You are on page 1of 6

Susi Muharni Risma

NIM 1307101030235

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN


Definisi
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung
atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau
kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Ada 2
golongan besar PJB, yaitu non sianotik (tidak biru) dan sianotik (biru) yang masing-masing
mempunyai

gejala

dan

memerlukan

penatalaksanaan

yang

berbeda

(Rao,

2009).

Angka kejadian PJB dilaporkan sekitar 810 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30 %
diantaranya telah memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak
terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada
bulan pertama kehidupan. Di negara maju hampir semua jenis PJB telah dideteksi dalam masa
bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara berkembang banyak yang
baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa jenis PJB yang berat
mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis PJB tertentu sangat
diperlukan pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan pengobatan serta
tindakan bedah yang diperlukan (Rao, 2009).
Sianotik dan Asianotik PJB
Pada PJB sianotik, bayi baru lahir terlihat biru oleh karena terjadi percampuran darah
bersih dan darah kotor melalui kelainan pada struktur jantung. Pada kondisi ini jaringan tubuh
bayi tidak mendapatkan cukup oksigen yang sangat berbahaya sehingga harus ditangani secara
cepat. Sebaliknya pada PJB non sianotik tidak ada gejala yang nyata sehingga seringkali tidak
disadari dan tidak terdiagnosa baik oleh dokter maupun oleh orang tua. Gejala yang timbul
awalnya berupa lelah menyusu atau menyusu sebentar-sebentar dan gejala selanjutnya berupa
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan (Rao, 2009).

Kelainan Sianotik pada penyakit jantung bawaan biasanya lebih mudah diingat dengan
menggunakan istilah 5Ts seperti yang tertera di bawah ini.

TETRALOGY OF FALLOT
Tetralogy of Fallot (TOF) adalah penyebab paling sering sianosis di bawah usia 1 tahun
dan merupakan 10% dari total kasus CHD. Tetralogi of Fallot ini menunjukkan empat kelainan
yang terjadi pada jantung berupa ventricular septal defect (VSD), pulmonary stenosis (PS), right
ventricular hypertrophy dan dextroposisis aorta. Defek ventricular umumnya luas dan nonrestriktif dan biasanya terjadi pada area subaorta (Rao, 2009).
Umumnya anak-anak tidak berwarna kebiruan sejak awal dan baru mengalami sianosis
pada usia 2-6 bulan. Hampir pada rata-rata kasus ditemukan gejala asimtomatik murmur dan
kebiruan (sianosis ) yang bisa diamati oleh orang tua atau tenaga medis. Pernafasan yang cepat
dan berkurangnya toleransi terhadap aktivitas. Untuk kondisi ini dikenal istilah hipersianotik
juga dikenal dengan anoxic spells, hypoxic spells, blue spells, paroxysmal dyspnea, paroxysmal
hyperpnea. Gejala sesak ini biasanya selalu muncul pada TOF dan kelainan dengan fisiologi
yang sama. Gejala ini bisa muncul dalam rentang waktu di antara 1 bulan hingga 12 tahun dan
yang paling sering pada usia 2 sampai dengan 3 bulan. Gejala sesak ini bisa muncul kapan saja
namun yang paling khas yaitu terlihat saat anak baru saja terbangun dari tidurnya: saat menangis
dan saat buang air besar. Selain itu pemberian makanan juga bisa menjadi faktor pencetus faktor
presipitasi dan peningkatan laju pernafasan pada anak. Pola pernafasan pada CHD ini ditandai

dengan peningkatan rate dan kedalamam pernapasan (Hyperpneua) yang bisa menyebabkan
sianosis dan sinkop (Rao, 2011).

Patofisiologi Sesak Nafas Pada Penyakit Jantung Bawaan


Penyebab terjadinya sesak nafas pada penyakit jantung bawaan tidak terlalu jelas namun
beberapa teori menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan terjadinya spasme pada infundibular
ventrikel kanan diikuti dengan peningkatan katekolamin endogenous. Pencegahan sesak dengan
menggunakan betadrenergic di kemudian hari mendukung hipotesis ini. Karena pada kasus VSD
dan Atresia pulmonal spasme ini tidak ditemukan, maka teori ini tidak bisa dijadikan mekanisme
terjadinya sesak pada setiap kasus. Mekanisme lain terjadinya sesak yaitu terjadinya sesak saat
terbangun pada malam hari. Selama tidur konsumsi oksigen berkurang dan nilai asam basa
dalam keadaan normal. Ketika bayi terbangun, konsumsi O2 meningkat drastic dan terjadilah
ketidakseimbangan asam basa. Maka hal ini akan dikonpensasi dengan meningkatkan laju
pernapasan untuk menyeimbangkan kembali keadaan asam basa dalam tubuh. Namun jika
peningkatan aktivitas terjadi secara tiba-tba maka proses kompensasi untuk

PO2, PH dan

peningkatan PCO2 akan menyebabkan terjadinya sesak sebagai respon sentral pernafasan yang
bisa menajdi siklus lingkaran setan (Rao,2009)

Teori lain menyatakan bahwa sesak terjadi untuk mengurangi tekanan intrathorakal
dengan mengurangi resistensi sistemik dan pulmonal. Namun kedua hal ini tidak bersesuaian
karena adanya pemblokiran dominan aliran darah ventrikel kanan. Lebih besar perpindahan dari
kanan ke kiri, yang merendahkan kadar O2 dalam tubuh dan mempengaruhi PH. Pendekatan ini
dianggap sebagai mekanisme yang paling rasiona (Rao,2009).

Selain hipotesis di atas, penyakit jantung bawaan juga bisa menyebabkan respiratory
distress yang berat yang terjadi karena aliran darah pulmonal yang tidak bisa dikontrol atau lesi
yang berhubungan dengan obstruksi vena pulmonal yang jelas bisa berakhir pada kondisi
takipneu, retraksi dinding dada dan menambah beban kerja fungsi pernafasan. Gangguan yang
bertanggung jawab terhadap gejala ini paling banyak yaitu obstruksi pada sisi kiri (juga muncul
bersama hipotensi dan collaps), TGA (muncul bersamaan dengan sianosis yang berat) dan
TAPVR (juga muncul bersama dengan sianosis berat) dan truncus arteriosus (terjadi bersama
dengan sianosis ringan). Lesi shunt left to right yang sederhana seperti VSD, ASD, AVSD, dan
PDA

jarang terjadi bersama dengan edema pulmonal yang berat dan distress pernafasan selama

periode neonatal karena resistensi vascular pulmonal yang relative masih tinggi, yang bisa
mengontrol aliran darah. PDA preterm juga bisa menimbulkan gejala edema pulmonal dan
distress pernafasan (Rao, 2009; Yun, 2011).

Cara Menegakkan Diagnosa


Anamnesis
Dari hasil anamnesis akan ditemukan tanda dan gejala sebagai berikut.
1.
2.
3.
4.

Sesak Nafas
Sianosis
Nyeri dada
Syncope

5. Kurang gizi/ kurang pertumbuhan


a. Pemeriksaan fisik
Sianosis sentral terlihat pada banyak kasus Tetralogi of Fallot. Namun demikian pada
kasus dengan dengan desaturasi arteri yang ringan gejala inimungkin tidak terlihat. Clubbing
pada jari tangan dan kaki dapat terlihat setelah beberapa bulan masa kehidupan. Biasanya tidak
ada tanda congestive heart failure. Bising sistolik mungkin muncul pada bagian atas garis
sternum. Bunyi jaunting 1 bisa normal atau meningkat. Bunyi jantung 2 tanpa bunyi pulmonal
tambahan. Pada grade III-IV, terdengar ejeksi memanjang dan murmur sistolik yang disebabkan
oleh aliran darah melalui ventrikel kanan, bisanya terdengar pada bagian atas sinistra garis
sternum. Berbeda dengan pulmonal stenosi pulmonal, suara murmur pada TOF menjadi semakin
pendek dan kurang intense dengan memberatya stenosis pulmonal. Selama sesak pada kasus ini,
murmur bisa tidak terdengar atau menjadi sangat lemah. Holositolik murmur pada VSD dapat
terdnegar pada bagian bawah sternum terutama pada anak dengan kelainan jantung yang tidak
terlalu berat. Murmur diastolic awal tidak terjadi pada TOF kecuali pada TOF tanpa katup
pulmonal. Murmur berlanjut pada PDA jarang terdengar. Pada anak yang lebih besar murmur
yang berlanjut dari bronchial collateral biasanya terdengar di bagian belakang (Rao, 2009).
Pemeriksaan penunjang berupa X-Ray dan Echocardiografi sudah cukup membantu
proses penegakan diagnosis.

Penatalaksanaan sesak pada PJB


Dibagi menjadi 3 bagian besar, yaitu terapi medikamentosa, operatif (operasi jantung
terbuka) dan kateterisasi. Terapi medikamentosa merupakan terapi tambahan untuk mencegah
perburukan PJB dan untuk menjaga stabilitas organ jantung setelah tindakan operasi atau
kateterisasi. Namun perlu diingat bahwa terapi medikamentosa bukan terapi definitif untuk
penanganan PJB. Metode operatif merupakan terapi definitif yang utama, namun dengan
perkembangan teknik kateterisasi jantung yang semakin maju, saat ini kateterisasi lebih banyak
dilakukan oleh para dokter, mengingat risiko yang lebih minimal pada pasien (meskipun metode
operatif juga sangat aman). Banyak ahli menyatakan lebih menyukai metode kateterisasi karena
lebih nyaman untuk pasien (terutama pada masa setelah operasi dilakukan) dan tidak
menimbulkan bekas operasi yang cukup besar di daerah dada. Namun tidak semua PJB dapat
ditangani dengan kateterisasi dan tetap membutuhkan metode operatif.

Terapi yang tepat untuk penanganan PJB penting untuk mencegah kematian bayi. Untuk
PJB sianotik, biasanya tindakan operatif / kateterisasi harus dilakukan dalam 1 tahun pertama
kehidupan, setelah organ-organ dalam tubuh bayi dianggap telah mampu untuk menjalani
tindakan. Namun, untuk kebanyakan PJB non sianotik terapi operatif / kateterisasi dapat ditunda
sampai usia pasien lebih besar karena dianggap lebih aman untuk dilakukannya operasi dan
pembiusan (Rao, 2009; Yun, 2011)..
Beberapa jenis PJB tidak memerlukan tindakan koreksi apapun, terutama untuk kelainan
struktur jantung yang ringan dan tidak menimbulkan gejala. Kebanyakan dari kasus-kasus ini
dapat diatasi hanya dengan obat-obatan atau bahkan tanpa obat-obatan sekalipun. Tetapi sangat
disayangkan sebagian besar PJB pada kenyataannya harus mendapatkan tindakan terutama
apabila gejala-gejala gagal jantung sudah terlihat, seperti cepat lelah, sesak nafas atau nafas yang
cepat, dan pembesaran ruang jantung tertentu(Rao, 2009; Yun, 2011)..
Di samping penanganan medikamentosa dan operatif/kateterisasi, penanganan nutrisi
juga harus diperhatikan untuk mencegah keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan pada
penderita PJB. Tambahan susu formula dengan kalori tinggi dan suplemen untuk air susu ibu
sangat dibutuhkan bayi dengan PJB, terutama untuk bayi-bayi yang lahir prematur, memilki
kelainan jantung berat (seperti defek jantung yang besar), dan bayi-bayi yang cepat lelah saat
menyusui (Rao, 2009; Yun, 2011)..

You might also like