You are on page 1of 5

BAB I

PEMBAHASAN








mitsil mahar

berpendapat

bagian bukan


kafaah dari

ayah

nikah

perempuan anak

sedikit lebih

mitsil mahar dari










)(gadis perawan anak

janda wanita

pandai


ridho ketika


minimal yang mahar

Artinya : Adapun mengenai mahar mitsil, maka imam malik dan syafii
berpendpaat bahwa ia bukan bagian dari kafaah (penyetaraan). dan bagi ayah
boleh menikahkan anak perempuannya dengan lebih sedikir dari mahar mitsil.
yang kami maksud dengan anak perempuan disini anak perawan , sedangkan
perempuan janda yang pandai, ketika dia ridho dengan mahar yang minimal tadi

maka bagi para wali tidak bisa bertindak apa-apa.dan abu hanifah berpendapat
bahwa mahar mitsil termasuk dari kafaah.
Penjelasan
Mahar misil adalah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut junmlah
yang bisa di terima oleh keluarga pihak istri karena pada waktu akad nikah jumlah
mahar belum ditentukan ditetapkan bentuknya. 1 Allah SWT berfirman dalam surat
Al-Baqarah 236:

Artinya : Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut
yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan.
Menurut imam Malik dan para pengikut berdasarkan ayat di
atas, seorang suami boleh memilih salah satu dari tiga
kemungkinan. Apakah ia menceraikan istrinya tanpa menentukan
maharnya atau menentukan maharnya, sebagaimana yang
diminta oleh pihak istri. Atau ia menentukan mahar mitsil-nya.
Sebagaimana pada ayat diatas dijelaskan secara rinci pada
kalimat, hendaklah kalian berikan suatu mutah menurut
kemampuanmu. Demikian pula dalam surat An-Nisa ayat 4:

Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)


sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Berdasarkan ayat diatas kemungkinan pertama sebagaimana yang
dikemukakan oleh imam malik bertentangan dengan ayat bersangkutan,
sedangkan kemungkinan kedua dipandang akan memberikan pihak bekas suami,
1 Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 1, CV.Pustaka Sertia, Bandung, 2009, hal. 277
2

apabila pihak istri meminta jumlah mahar yang tinggi. Kemungkinan ketiga yaitu
membayar mahar misil dipandang lebih adil dan bijsakana karena dalam hal itu
didasarkan kepada kemampuan pihak suami dengan mengacu pada mahar yang
bisa diterima oleh pihak suami.
Menurut Slamet Abidin dan H. Aminuddin dalam bukunya Fiqih Munakahat
1, dikatakan bahwa Mahar mitsil adalah Mahar yang tidak disebut besar kadarnya,
pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar
itu

mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak

perempuan bibik/bude), apabila tidak ada misil itu beralih dengan ukuran wanita
lain yang sederajat dengan dia.2
Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut :
a. Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri atau meninggal sebelum
bercampur.
b. Kalau mahar musama belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur
dengan istri ternyata nikahnya tidak sah.
Dalam buku fiqih lima mazhab disebutkan tentang mahar misil itu, ada
beberapa situasi yang diberikan padanya yaitu :
Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad,
sebaimana halnya dalam jual beli, tetapi merupakan salah satu konsekuensi
adanya akad. Karena itu akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut) mahar, dan
bila terjadi percampuran ditentukanlah mahar misil. Kalau kemudian si istri
ditalak sebelum dicampuri maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus diberi
mutah, yaitu pemberian sukarela dari suami bisa dalam bentuk pakaian. Cincin,
dan sebagainya. Kalau dua pihak setuju dengan pemberian dalam bentuk barang
tersebut, maka barang itulah yang menjadi mutahnya, tetapi kalau tidak diperoleh
kesepakatan, maka hakimlah yang menentukan sama dengan mencampuri, di
belakang akan saya kemukakan tentang itu.

2 Slamet Abidin, dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal.
119-120

Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa manakala salah satu diantara mereka
meninggal dunia sebelum terjadi percampuran, maka ditetapkan bahwa si sitri
berhak atas mahar mitsil telah mencampuri istrinya.
Sementara itu Maliki dan Imamiyah mengatakan bahwa tidak ada keharusan
membayar mahar manakala salah seorang di antara kedua pasangan itu meninggal
dunia sebelum terjadi percampuran.
Apabila seorang laki-laki mengawini seoarang wanita dengan syarat tanpa
mahar, maka menurut kesepakatan seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tersebut
hukumnya sah. Sementyara itu akad itu dibatalkan sebelum terjadinya
percampuran. Tetapi apabila sudah terjadi percampuran akad tersebut dinyatakan
sah dengan mahar misil.
Menurut Hanafi, mahar mitsil ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang
serupa dai pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi menurut Malik mahar
tersebut ditetapkan berdasarkan keadaan wanita tersebut, baik fisik maupun moral,
sedangkan Syafii menganalogikannya dengan istri dari anggota keluarga, yaitu
istri saudara dan paman, kemudian dengan saudara perempuan dan seterusnya.
Bagi Hambali hakim harus menentukan mahar mitsil dengan menganalogikannya
pada wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi.

DAFTAR PUSTAKA
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 1, CV.Pustaka Sertia, Bandung, 2009
Slamet Abidin, dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, CV. Pustaka Setia,
Bandung, 1999
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2008

You might also like