You are on page 1of 10

LAPORAN KASUS BLOK ELEKTIF

PENEGAKAN DIAGNOSIS RETENSIO URIN AKUT PADA


HIPERPLASIA PROSTAT

DISUSUN OLEH:
HAYA FARAH KHANSA (1102012110)
BIDANG KEPEMINATAN: KEGAWATDARURATAN
TUTOR: dr. EDWARD SYAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2015 - 2016

DIAGNOSTIC OF URINARY RETENTION IN PROSTATE HYPERPLASIA


ABSTRACT
Background

Case Report

Discussion
Conclution

Keywords

:Acute Urinary Retention (AUR) is a urological emergency characterized by a sudden


and painful inability to pass urine. It is estimated that 10% of men in their seventies
and a third in their eighties will have AUR within next 5 years. Men in their seventies
are at five times more risk of AUR than men in their fourties. Bed side US is
recommended as a noninvasive means of deterimining the presence of urinary
retention. Bladder catheterization both treat and helps to diagnose the cause of
urinary retention. AUR needed rapid diagnostic in order to choose treatment and
avoid complication that thread patients life. As general doctor, we should understand
about rapid diagnostic so the patient have an adequate management.
: Observation of emergency cases at Bhakti Yudha Hospital s Emergency Room
(ER) one of six emergency case patient came with inability to pass urine and blood
on his underwear since the night before. The ER doctor temporarily diagnose the
patient with urinary retention et causa benign prostatic hyperplasia with differencial
diagnose urolithiasis
: There are several differences between diagnostic in field and literature that to
diagnose with hyperplastic prostate, the doctor should perform digital rectal
examination.
: in the diagnosis of acute urinary retention ec prostate hyperplasia required
anamenesis, proper physical examination and supporting examination that support a
the diagnosis. Because AUR is a common urological emergency cases, the
examination must be proper to determine the cause so the treatment done adequately
and reduce mordibility of patient.
: Acute Urinary Retention, Diagnosis Emergency

PENEGAKAN DIAGNOSIS RETENSIO URIN PADA HIPERPLASIA PROSTAT


ABSTRAK
Latar Belakang: Retensi Urin Akut (RUA) adalah kasus emergensi urologi dengan ciri ciri
ketidakmampuan tiba tiba dan menyakitkan saat berkemih. 10% pria di usia tujuh
puluhan dan 1:3 pada usia delapan puluhan menderita akan RUA dalam 5 tahun
kedepan. Pria pada usia tujuh puluhan memiliki resiko 5 kali lipat lebih banyak
dibandingkan dengan pria pada usia empat puluhan. Pemeriksaan USG
direkomendasikan sebagai pemeriksaan non invasif untuk menentukan adanya
retensi urin. Kateterisasi dapat digunakan sebagai tatalaksana dan membantu
mendiagnosis penyebab pasien dengan retensi urin et causa hiperplasia prostat
benigna diagnosis banding urolithiasis. Kasus retensi urin akut pada hyperplasia
prostat membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat sehingga dapat dilakukan
penanganan dengan baik dan menghindari komplikasi yang dapat mengancam
nyawa pasien. Sebagai dokter umum tentunya harus memahami penegakan
diagnosis yang cepat dan tepat sehingga pasien mendapat penganganan yang
adekuat.
Laporan Kasus: Observasi pada instalasi gawat darurat (IGD) RS. Bhakti Yudha, satu dari enam
pasien datang dengan ketidakmampuan untuk berkemih dan nyeri di bagian
abdomen bawah dan terdapat bercak darah pada celana dalamnya sejak semalam.
Dokter jaga IGD mendiagnosis sementara dengan retensi urin et causa hiperplasia
prostat benigna diagnosis banding urolithiasis
Diskusi
: Terdapat beberapa perbadaan pada kenyataan dilapangan dan literatur yang
didapatkan oleh penulis untuk mendiagnosa hiperplasia prostat, pada literatur untuk
mendiagnosa hiperplasia prostat, seorang dokter harus melakukan pemeriksaan
colok dubur
Kesimpulan
: Dalam penegakan diagnosis retensio urin ec hiperplasia prostat diperlukan
anamnesis, pemeriksaan fisik yang tepat serta pemeriksaan penunjang yang
mendukung sebuah diagnose. Karena retensio urin merupakan kasus emergensi
yang banyak dijumpai, maka pemeriksaan harus tepat untuk menentukan penyebab
sehingga penanganan yang dilakukan adekuat dan mengurangi mordibilitas pasien.
Keywords
: Acute Urinary Retention, Diagnosis Emergency

PENDAHULUAN
Retensi urin akut (RUA) merupakan emergensi urologi yang ditandai dengan
ketidakmampuan berkemih secara tiba tiba. Ada beberapa penyebab yang memungkinkan terjadinya
RUA yaitu (i) adanya retensi yang besar pada aliran urin, baik obstruksi mekanik (misalnya striktur
uretra, retensi karna bekuan) atau obstruksi dinamik (misalnya; peningkatan aktifitas
adrenergik); (ii) over-distensi kandung kemih (misalnya; imobilitas, konstipasi, berpergian dalam
waktu yang lama di dalam mobil) yang mungkin menjadi penyebab sekunder adalah pengaruh obat
obatan (misalnya obat obatan antikolinergik yang dapat menghambat kontraktilitas kandung kemih,
opiate atau opioid sebagai akibat dari menurunnya isi kandung kemih); dan (iii) penyebab neuropati
(misalnya sistopati diabetik). (Fitzpatrick dan Kirby, 2006)
Urin di produksi secara normal ditampung di kandung kemih yang lama kelamaan membesar
dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Kebanyakan pasien dengan retensi urin adalah pria yang
sudah tua, insiden dan resikonya meningkat seiring dengan usia. Penyebab tersering dari retensi urin
adalah hiperplasia prostat benigna (HPB), dengan atau tanpa faktor pencetus yang menginduksi
terjadinya obstruksi pada kandung kemih. (Tintinalli dan Cline, 2012) Gejala retensi urin akut adalah
ketidaknyamanan dan nyeri pada perut bagian bawah, kebutuhan mendesak untuk buang air kecil tetapi
tidak bisa, dan kembung perut bagian bawah. (Medtronic.com, 2015)
Insiden RUA yang dilaporkan pada studi berbasis masyarakat beragam dari 2,2 hingga 6,8 per
1000 pria per tahun dengan 4%-73% dengan resiko akumulasi 10 tahun. Diperkirakan bahwa 1 dari 10
pria berusia 70 tahun akan mengalami retensi urin dalam 5 tahun kedepan. Resiko untuk pria di usia
delapan puluhan hampir 1 banding 3. Faktor resiko retensi urin pada pria berkaitan dengan usia,
beratnya gejala, volume (ukuran) prostat, dan urin flow rate. Terdapat rekurensi 20% dalam 6 bulan
pasca episode retensi. Data baru baru ini yang tersedia pada insiden retensi urin berdasarkan studi
deskriptif yang berbeda, termasuk populasi, obserfasional, dan control-kelompok-plasebo pada studi
HPB, bervariasi dari 1,9% - 39,0% secara keseluruhan, 0,37% -13,0% per tahun, dan 3,7 sampai 130,0
per 1000pasien per tahun. Resiko ini adalah kumulatif dan meningkat seiring betambahnya usia.
(Tintinalli and Cline, 2012)
Pada umumnya, pria memiliki kecenderungan mengalami Retensi Urin 10 kali lipat lebih
banyak dibandingkan dengan wanita. Selain itu, penyebab lain yang dapat dipertimbangkan adalah
penyebab neurologis. Penyebab paling umum pada wanita adalah infeksi atau inflamasi yang
berhubungan dengan postpartum atau herpes sekunder, abses kelenjar bartholini, ureteritis akut, atau
vulvovaginitis. RUA sangat jarang pada anak dan biasanya dikaitkan dengan infeksi atau pasca operasi.
(Kalejaiye and Speakman, 2009).
Kasus retensi urin akut pada hyperplasia prostat membutuhkan penegakan diagnosis yang
cepat sehingga dapat dilakukan penanganan dengan baik dan menghindari komplikasi yang dapat
mengancam nyawa pasien. Sebagai dokter umum tentunya harus memahami penegakan diagnosis yang
cepat dan tepat sehingga pasien mendapat penganganan yang adekuat. Tujuan umum penulisan laporan
kasus ini adalah untuk mengetahui penegakan diagnosis retensio urin akut pada hiperplasia prostat.
Sedangkan tujuan khusus untuk penulisan laporan kasus ini yaitu menjelaskan penegakan diagnosis
retensio urin akut pada hiperplasia prostat dan menjelaskan pandangan islam mengenai
kegawatdaruratan pemeriksaan medic oleh lawan jenis.

DESKRIPSI KASUS
Tn. D berumur 68 tahun datang pukul 10.40 WIB diantar oleh anaknya ke Instalasi Gawat
Darurat ( IGD) RS. Bhakti Yudha dan diterima oleh dokter jaga. Pasien datang sambil memegangi
perut bagian bawah. Kemudian dokter melakukan anamnesis, Tn. D mengeluh tidak bisa Buang Air
Kecil (BAK) dan terdapat darah di celana dalamnya berwarna merah gelap sejak semalam, Tn. D juga
mengeluh nyeri bagian pinggang dan anyang anyangan. Tn. D mengaku sudah mengalami gangguan
berkemih sejak 1 tahun yang lalu namun biasanya sembuh sendiri dan tidak ada darah yang keluar,
keluarga tidak mengetahui kejadian tersebut karena tidak tinggal serumah dengan Tn. D.
Selanjutnya, dokter jaga melakukan pemeriksaan fisik dan menyarankan pasien untuk
melakukan pemeriksaan penunjang BNO /IVP dan PSA. Dokter juga melakukan informed consent
untuk memasang kateter urin no. 18 sebagai penanganan awal. Saat kateter telah terpasang, terlihat
darah yang jelas pada kantung urin. Lalu dokter mendiagnosis sementara dengan retensio urin et causa
hyperplasia prostat dd urolithiasis. Dikarenakan keterbatasan rumah sakit, maka dokter merujuk pasien
untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan di fasilitas rumah sakit yang lebih lengkap.
Identitas
Nama
: Tn. D
Umur
: 68 tahun
Jenis Kelamin
: Laki laki
Alamat
: Kp. Pitara Jl. Damai RT. 07 / RW. 07
Jam Masuk
: 10.40 WIB
Agama
: Islam
Pengantar
: Ny. I
Hubungan dengan pasien
: Anak
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis, diketahui pasien mengalami retensio urin dan
hematuria sejak 1 hari yang lalu disertai nyeri perut pada regio suprapubik, dengan riwayat
gangguan berkemih sejak 1 tahun yang lalu. Dengan keluhan tambahan nyeri pinggang.
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
2. Kesadaran
: Composmentis
3. Mata
: Konjungtiva (-/-), Sklera (-/-)
4. Pulmonal
: Vesikuler (+/+) , Rhonki (-/-) , Wheezing (-/-)
5. Thorax
: Cor bunyi jantung I&II Reguler,Murmur (-), Gallop (-)
6. Abdomen
: Full Blast (+)
Pemeriksaan Penunjang
1. BNO / IVP untuk menegetahui adanya massa pada traktus urinarius
2. PSA untuk mengetahui adanya hiperplasia pada prostat.
Diagnosa Sementara
Retensio urin ec hiperplasia prostat dd urolithiasis
Tatalaksana
Kateter urin nomer 18, Cefixime untuk mencegah infeksi, Asam Traneksamat untuk menghentikan
perdarahan dan rujukan ke bedah urologi.

DISKUSI
Pada saat melakukan observasi, penulis menemukan penegakan diagnosis dilakukan dengan
autoanamnesis dan melihat hasil tindakan darurat yaitu kateterisasi urin. Selanjutnya dokter jaga
memberikan diagnosis sementara dengan retensio urin et causa hiperplasia prostat. Hasil yang
didapatkan dari literatur dan kasus yang diamati penulis terdapat sejumlah perbedaan pada penegakan
diagnosis pasien tersebut yaitu tidak adanya pemeriksaan colok dubur untuk menegakan diagnosis
hiperplasia prostat. Namun hal ini tidak sesuai dengan literatur, berikut penegakan diagnosis
berdasarkan literatur yang didapatkan oleh penulis.
Retensi urin adalah ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih secara tuntas. Retensi
urin dapat terjadi secara akut maupun kronik. Retensi urin akut (RUA) terjadi secara tiba tiba dan
berlangsung dalam waktu singkat. Orang dengan RUA tidak dapat buang air kecil sama sekali,
meskipun kandung kemih penuh. Retensi urin akut, merupakan kondesi medis yang potensial
membahayakan kehidupan, memerlukan perawatan darurat. (Medtronic.com, 2015)
Ada beberapa penyebab yang memungkinkan terjadinya RUA yaitu (i) adanya retensi yang
besar pada aliran urin, baik obstruksi mekanik (misalnya striktur uretra, retensi karna bekuan) atau
obstruksi dinamik (misalnya; peningkatan aktifitas -adrenergik); (ii) over-distensi kandung
kemih (misalnya; imobilitas, konstipasi, berpergian dalam waktu yang lama di dalam mobil) yang
mungkin menjadi penyebab sekunder adalah pengaruh obat obatan (misalnya obat obatan
antikolinergik yang dapat menghambat kontraktilitas kandung kemih, opiate atau opioid sebagai akibat
dari menurunnya isi kandung kemih); dan (iii) penyebab neuropati (misalnya sistopati diabetik).
(Fitzpatrick dan Kirby, 2006)
Insiden RUA yang dilaporkan pada studi berbasis masyarakat beragam dari 2,2 hingga 6,8 per
1000 pria per tahun dengan 4%-73% dengan resiko akumulasi 10 tahun. Diperkirakan bahwa 1 dari 10
pria berusia 70 tahun akan mengalami retensi urin dalam 5 tahun kedepan. Resiko untuk pria di usia
delapan puluhan hampir 1 banding 3. Faktor resiko retensi urin pada pria berkaitan dengan usia,
beratnya gejala, volume (ukuran) prostat, dan urin flow rate. Terdapat rekurensi 20% dalam 6 bulan
pasca episode retensi. Data baru baru ini yang tersedia pada insiden retensi urin berdasarkan studi
deskriptif yang berbeda, termasuk populasi, obserfasional, dan control-kelompok-plasebo pada studi
HPB, bervariasi dari 1,9% - 39,0% secara keseluruhan, 0,37% -13,0% per tahun, dan 3,7 sampai 130,0
per 1000pasien per tahun. Resiko ini adalah kumulatif dan meningkat seiring betambahnya usia.
(Tintinalli and Cline, 2012)
Gejala yang umum dikeluhkan pasien adalah nyeri perut bagian bawah dan adanya inflamasi,
ketidakmampuan berkemih (atau hanya sedikit urin), dan teraba masa tumpul saat diperkusi di pelvis.
Meskipun dinyatakan bahwa pasien dengan RUA biasanya tidak memiliki riwayat gejala saluran cerna
bawah (lower urinary tract symptoms/LUTS) sebelumnya. Pemeriksaan harus mencakup pemeriksaan
colok dubur yang terdiri dari ukuran, tekstur konsistensi, dan ada atau tidaknya konstipasi. (Tintinalli
and Cline, 2012)
Pemeriksaan Ultrasonografi dapat digunakan saat evaluasi awal dan jika dibutuhkan dapat
membantu dalam memandu tindakan aspirasi suprapubik. (Markovchick, Pons and Bakes, 2011) Bed
side ultrasonografi direkomendasikan untuk penanganan non-invasif dalam menentukan adanya
retensio urin. Kateterisasi urin dapat digunakan untuk terapi maupun diagnosis. Namun untuk
penegakan tes diagnosis yang lebih mendalam, tergantung terhadap riwayat penyakit alami, faktor
pencetus dan komordibitas pasien. Urinalisis dan kultur urin juga diperlukan. (Tintinalli and Cline,
2012) direkomendasikan untuk melihat urea nitrogen dan kreatinin darah utuk mengevaluasi fungsi
ginjal, khususnya dalam kasus dugaan retensi kronik. (Markovchick, Pons and Bakes, 2011)
Pemasangan kateter dapat menimbulkan efek hematuria sekunder karena trauma fisik yang
terjadi dan hal tersebut merupakan hal umum yang dapat terjadi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan
pada pasien yang diduga menderita infeksi berat, hematuria masif dengan kemungkinan syok
hipovolemik atau kelainan darah. Obstruksi yang berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan fungsi
ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit. USG abdomen atau CT dapat menjadi indikasi untuk masa
yang terdapat di pervis maupun abdomen, batu kandung kemih atau hidronefrosis. Tetapi, pemeriksaan
tersebut tidak umum dilakukan jika gejala berkurang setelah pemasangan kateter. Gambaran saraf dan
tulang belakang diperlukan jika pada pemeriksaan ditemukan defisit neurologis. Pemeriksaan
sistoureterografi akan dibutuhkan untuk mengevaluasi kelainan patologis pada traktus urinarius bawah.
(Tintinalli and Cline, 2012)
Kemungkinan Penyebab Retensio Urin Berdasarkan Riwayat dan Temua Pemeriksaan Fisik
Pasien
Riwayat
Pemeriksaan Fisik
Etiologi
Pria
Riwayat retensi urin
Prostat
membesar, Hiperplasia
Prostat
keras, tidak kenyal, Benigna
tidak bernodul saat

Demam, disuria; nyeri


punggung, perineum,
dan rektum
Penurunan
berat
badan;
tanda
dan
gejala utama
Nyeri, pembengkakan
pada kulit penis
Wanita

Pria atau Wanita

Tekanan pada pelvis;


penonjolan di panggul
dari vagina
Nyeri
panggul,
dysmenorrhea,
ketidaknyamanan pada
abdomen
bawah,
kembung
Discharge
vagina,
dysuria, gatal pada
vagina
Disuria,
hematuria,
demam,
sakit
punggung; discharge
uretra, gatal di bagian
genital,
riwayat
aktifitas seksual
Hematuria tanpa nyeri
Konstipasi
Gejala umum; nyeri
abdomen / distensi;
perdarahan perktum

pemeriksaan
colok
dubur;
pemeriksaan
kemungkinan
juga
normal
Prostat teraba empuk,
hangat,
lengket;
kemungkinan terdapat
cairan penis
Prostat
yang
membesar
dan
berbenjol
Edema penis dengan
kulit penis yang tidak
bisa ditarik
Prolaps
kandung
kemih, rectum, atau
uterus
saat
pemeriksaan pelvis
Uterus
membesar,
ovarium, atau adneksa
saat
pemeriksaan
pelvis

Prostatitis akut

Prostatic Cancer
Fimosis, parafimosis, atau
edema karena alat yang
memberikan
tekanan
eksternal
Sistookel,
rektokel,
prolapse uteri
Masa pada pelvis, fibroid
uteri,
keganasan
ginekologi

Inflamasi vulva dan


vagina;
discharge
vagina
Suprabubik
nyeri;
sudut
costovebral
lembut; discharge dari
uretra, vesikel pada
genital

Vulvovaginitis

Gross
hematuria
dengan sumbatan
Distensi
abdomen;
rectum dilatasi; feses
tertahan
Teraba masa abdomen;
terdapat darah pada tes
tinja , masa pada
rektum
Defisit
neurologis
umum atau fokal

Tumor kandung kemih

Sistisis; urethritis; infeksi


traktus urinarius; infeksi
menular seksual; infeksi
herpes

Impaksi feses
Tumor atau keganasan
gastrointestinal

Ada atau tidaknya


Neurogenic bladder
penyakit neurologis;
multiple
skerosis,
Parkinson
disease,
neuropati
diabetic,
neuropati
stroke;
inkontinensia overflow
Pasien dengan 150 200 mL urin yang tertahan, kandung kemih akan teraba saat perkusi atau palpasi.
(Subedi, 2015)
1. Colok Dubur ( Digital Rectal Examination )
Prosedur pemeriksaan colok dubur biasanya dilakukan dokter dengan memasukkan jari yang
terbungkus sarung tangan dan dioles gel ke dalam rectum untuk meraba permukaan kelenjar prostat
melalui dinding rectum, menentukan ukuran, bentuk, dan konsistensi kelenjar. Prostat yang normal
akan teraba lunak, sedangkan pada keganasan akan teraba keras, kadang seperti batu dan sering tidak
teratur. Bila prostat teraba membesar dan terasa tidak normal, perlu dilakukan pemeriksaan lain.
(Setiati et al., 2015)

Ukuran
Ukuran rata rata prostat sekitar 4
cm panjang dan lebarnya.
Pentingnya pemeriksaan klinis
hiperplasia prostat diukur dari
tingkat keparahan gejala dan
jumlah urin resudu, bukan oleh
ukuran kelenjar saat palpasi. Saat
pemeriksaan, prostat pasien
dengan retensi urin akut atau
keluhan
obstruktif
kronis
mungkin teraba normal bentuk
dan konsistensinya. (Smith,
2008)
Konsistensi
Sulit untuk membedakan area keras yang ada di prostate : area keras itu bisa fibrosis nonspecific
infection, granulomatous prostatitis, nodularity tuberculosis atau area keras dikarenakan prostatic
calculi atau kanker stadium awal. Serum prostate specific antigen (PSA) prostat dapat membantu jika
nilainya meningkat dan saat ini metode yang paling umum untuk mendiagnosis kanker prostat. (Smith,
2008)
Mobilitas
Mobilitas kelenjar beragam. Dengan karsinoma tingkat lanjut, biasanya tidak dapat digerakkan karena
ekstensi local dari kapsul. (Smith, 2008)
2. Kateterisasi
Kateterisasi urin dapat digunakan untuk terapi maupun diagnosis. Namun untuk penegakan tes
diagnosis yang lebih mendalam, tergantung terhadap riwayat penyakit alami, faktor pencetus dan
komordibitas pasien. Urinalisis dan kultur urin juga diperlukan. (Tintinalli and Cline, 2012)
direkomendasikan untuk melihat urea nitrogen dan kreatinin darah utuk mengevaluasi fungsi ginjal,
khususnya dalam kasus dugaan retensi kronik Pemasangan kateter dapat menimbulkan efek hematuria
sekunder karena trauma fisik yang terjadi dan hal tersebut merupakan hal umum yang dapat terjadi. .
(Markovchick, Pons and Bakes, 2011)
3. Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA) dan Prostatic Acid Phosphate (PAP)
Tes ini dilakukan dengan menentukan kadar PSA dalam darah, dan PAP pada penderita BPH.
PSA adalah antigen spesifik yang dihasilkan oleh sel kapsul prostat (membrane yang meliputi prostat )
dan kelenjar periuretral. Peningkatan kadar PSA menunjukan pembesaran kelenjar prostat atau
prostatitis, dan juga dapat menentukan perkiraaan ukuran dan berat prostat. Kadar PSA normal kurang
dari 4 ng/ml. kadar PSA 4 10 ng/ml menunjukkan pembesaran ringan, kadar 10 20 ng/ml
menunjukkan pembesaran sedang dan 20 35 ng/ml menunjukkan pembesaran berat. Seseorang yang
mempunyai kadar PSA ringan biasanya masih normal atau bukan keganasan. Bila kadarnya sedang dan
berat biasanya keganasan prostat.
Hasil pemeriksaan PSA dapat menghasilkan positif palsu bila kadar PSA naik tetapi tidak ada
gejala keganasan, sedangkan hasil negative palsu terjdi bila kadar PSA normal tetapi terdapat
keganasan prostat. Pada keadaan tersebut di atas maka perlu dilakukan biopsi. Dalam darah, terdapat 2
macam PSA, yaitu yang bebas dan yang terikat dengan protein. Beberapa studi menunjukan bahwa sel
ganas banyak menghasilkan PSA terikat protein, karenanya bila dalam kadar darah PSA bebas lebih
sedikit berarti ada keganasansedangkan bila kadar PSA bebas yang tinggi menunjukkan BPH atau
prostatitis. Berdasarkan called age-spesific PSA. PSA sampai dengan 2,5 ng/ml pada laki laki umur
50 59, 4,5 ng/ml untuk umur 60 69 dan 6,5 ng/ml untuk umur 70 tahun atau lebih masih dianggap
kelenjar prostat normal. (Setiati et al., 2015)
4. Pemeriksaan Neurogenik
Sebuah survey menunjukkan hubungan gangguan inkontinensia. Karena kanding kemih dan
sfingter dipersarafi oleh segmen sakral-2 sampai sakral-4, pemeriksaan dapat dilakukan denngan
menguji tonus spincter ani, mengevaluasi sensasi kulit perianal, dan tes tendon Achilles serta reflex
bulbocavernosis. Refleks bulbocavernosus muncul dengan meletakkan jari di rectum daan meremas
gland penis atau klitoris, atau dengan menggerakkan (dengan tiba tiba) kateter foley. Reflex normal
apabila terjadi kontraksi pada sphincter anal dan otot bulbocavernosus dalam merespon manuver ini.
(Smith, 2008)
5. Urinalisis
Digunakan sebagai pemeriksaan lini pertama dan dapat di lakukan menggunakan dipstick.
Dapat mengidentifikasi hematuria, glikosuria, proteinuria, pyuria, berat jenis, adanya nitrit, dan

leukosit esterase. Deteksi hematuria bergantung pada sifat peroksidase hemoglobin. Jadi, sel darah
merah bebas, hemoglobinuria dan myoglobinuria akan memberikan hasil positif. Nitrit yang ada di urin
pada tes stik dapat menunjukkan infeksi (beberapa bakteri mengkonversi nitrat ke nitrit ). Hasil positif
palsu bisa terjadi karena solusio hipoklorit, bahan pengoksidasi dan bakteri peroksidase. Protein dapat
mengindikasi infeksi dan atau gagal ginjal. Darah atau leukosit dapat mengindikasi infeksi atau
keganasan, dan glukosa dapat mengindikasi diabetes mellitus. (UK, 2010)
Tes Diagnosis Pada Pasien Retensio Urin
Tipe Tes
Tes Diagnosis
Alasan
Laboratorium
Urinalisis
Evaluasi infeksi, hematuria,
proteinuria, glukosuria
Serum urea nitrogen darah, Evaluasi gagal ginjal dari
creatinin, elektrolit
obstruksi
traktur
urinarius
bawah
Serum glukosa darah
Evaluasi diabetes mellitud yang
belum terdiagnosis atau tidak
terkontrol
pada
persarafan
kandung kemih
Prostate-spesific antigen (PSA)
Meningkat pada kanker prostat;
mungkin
meningkat
pada
benign prostat hyperplasia
(BPH), prostatitis, dan retensi
urin akut
Studi Pencitraan
Ultasonografi
ginjal
dan Mengukur residu urin postvoid ;
kandung kemih
evaluasi untuk batu kandung
kemih dan uretra, hidronefrosis,
dan penyakit traktus urinarius
Ultrasonografi
pelvis;
CT Evaluasi untuk kecurigaan pada
abdomen dan pelvis
pelvis, abdomen, atau masa
retroperitoneal atau keganasan
yang menyebabkan kompresi
ekstrinsik kandung kemih
MRI atau CT otak
Evalusi
lesi
intracranial,
termasuk tumor, stroke, multiple
sclerosis (MRI lebih cenderung
untuk multiple sclerosis)
MRI tulang belakang
Evaluasi untuk herniasi diskus
lumbosacral, syindrom kauda
equine, tumor tulang belakang,
kompresi saraf pusat, multiple
sklerosis
Lain lain
Sistoskopi,
sistoureterografi Evaluasi dugaan tumor kandung
retrograde
kemih dan baru pada kandung
kemih atau uretra atau striktur
Urodinamik
(urinflowmetri, Evaluasi fungsi kandung kemih
sistometri,
elektromyografi, (otot detrusor dan sfingter) pada
tekanan profil uretra, tekanan pasien dengan kelainan saraf
pancaran mikturisi )
untuk membantu managemen.
Catatan : Pencitraaan dan prosedur diagnostik dipandu oleh keadaan klinis dan perkiraan diagnosis
CT = Computer tomography ; MRI = Magnetic Resonance Imaging
(Subedi, 2015)
Jika penanganan terlambat retensi urin dapat menyebabkan :
1. Infeksi saluran kemih
Urin normalnya steril, dan aliran urin normal biasanya mencegah bakteri menginfeksi saluran kemih.
Dengan retensi urin, aliran urin yang abnormal memberikan jalan bagi bakteri uretra untuk menginfeksi
saluran kemih.
2. Kerusakan Kandung Kemih
Jika kandung kemih membesar untuk waktu yang lama, otot otot kandung kemih bisa rusak secara
permanen dan kehilangan kemampuan berkontraksi.
3. Kerusakan Ginjal

Pada beberapa orang, retensi urin menyebabkan aliran urin mengalir mundur ke ginjal, aliran mundur
ini disebut reflux, hal ini dapat merusak atau membuat ginjal terluka. (Niddk.nih.gov,2015)
Pandangan Islam mengenai kegawatdaruratan pemeriksaan medik oleh lawan jenis
Khalwat Darurat artinya sunyi atau sepi, sebagai contoh Berdua-duaan antara pasien laki-laki
dg wanita yg bukan mahramnya di suatu tempat yg tdk terlihat oleh orang lain. Khalwat darurat di bagi
dua jenis yaitu yang diharamkan yaitu berduaan yang dapat menjerumuskan melakukan yang haram
dan yang diperbolehkan misalnya berduaan di keramaian karena ada kebutuhan dan aman dari fitnah,
berkhalwat dengan seorang wanita karena suatu kebutuhan dan aman dari fitnah, sekelompok laki
laki baik baik berkhalewat dengan seorang wanita karena suatu kebutuhan dan aman dari fitnah, dan
seorang laki laki berkhalwat dengan para wanita, para dokter wanita, atau para perawat atau para
penjenguk.
Khalwat dalam pengertian positif yaitu dengan sengaja mengasingkan diri di tempat sepi
untuk tujuan menyucikan diri dan beribadah sebanyak mungkin dlm rangka mendekatkan diri kepada
Allah SWT . Amalan sufi dan pengamal tarikat, bentuk riydhah (latihan) meninggalkan
ketergantungan hati dg kenikmatan duniawi dan agar konsentrasi pada taqarrub kepada Allah SWT.
Pengertian batasan aurat menurut bahasa yaitu kekurangan, cacat anggota tubuh yang tidak
baik untuk dibuka. Menurut arti lainnya yaitu sesuatu yang wajib ditutup dan haram dilihat, merupakan
bagian tubuh manusia, haram dilihat oleh orang lain, yang melihatnya berdosa. Wajib ditutupi, yang
membukanya berdosa dan hukumannya haram. Wajib hukmnya untuk menundukkan pandangan,
memejamkan pandangan menjauhkan diri dari melihat aurat. Setiap aurat tidak boleh dilihat, maka
tidak boleh disentuh walaupun memakai pelapis. Menyentuh wanita yang bukan mahram haram
hukumnya, sebagaimana juga haram melihatnya.
Fatwa ulama tentang bolehnya melihat aurat dalam pengobatan berpegang pada kisah Ahmad
Ibn Hanbal (164 241 H). iya memperbolehkan dokter atau yang sejenisnya melihat aurat pasien
wanita yang bukan mahram, khusus pada bagian tubuh yang menuntutnya meski aurat vitalnya,
demikian pula sebaliknya dengan alas an tuntutan. Ibn Muflih (816 884 H ), Al Qadli Abu Yala
Al Hanbali, Ibn Abidin Al Hanafi, dan lain lain memperbolehkan menyingkap dada perempuan
yang lengannya terluka dan menyentuhnya karena darurat. Demikian juga jika seorang wanita sakit dan
tidak diketahui sakitnya kecuali oleh dokter laki laki, maka dokter tersebut diperbolehkan melihat
tempat sakitnya itu bahkan hingga bagian vitalnya. Juga sebaliknya, dokter wanita diperbolehkan
melihat bagian yang sakit dari pasien laki laki meski hingga ke bagian vitalnya.
Bagi dokter laki-laki tdk dilarang melihat aurat pasien perempuan untuk keperluan memeriksa
dan mengobati penyakitnya. Seluruh tubuhnya boleh diperiksa, bahkan hingga alat genitalnya, jika
pemeriksaan dan pengobatan itu mengenai genitilia dan sekitarnya perlu ditemani oleh seorang anggota
keluarga laki-laki yg terdekat atau suaminya. Para ulama membuat batasan bolehnya berobat atau
mengobati lain jenis dg 4 syarat yaitu :
1. Tdk ditemukan dokter yg sejenis.
2. Karena keadaan darurat, atau keberadaannya sangat diperlukan (al-hajat).
3. Penyingkatan aurat hanya sebatas yg diperlukan dan terkait dg proses pengobatan. Jika yg
ditangani melibatkan berbagai anggota tubuh dan yg menanganinya sejumlah dokter yg berbeda
spesialisasinya, maka masing-masing hanya boleh melihat sesuai yg ditanganinya.
4. Mesti ditemani oleh mahram pasien, sebab penyingkapan aurat akan mengundang fitnah,
(Zuhroni, 2010)
KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam penegakan diagnosis retensio urin ec hiperplasia prostat diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik yang tepat serta pemeriksaan penunjang yang mendukung sebuah diagnose. Karena
retensio urin merupakan kasus emergensi yang banyak dijumpai, maka pemeriksaan harus tepat untuk
menentukan penyebab sehingga penanganan yang dilakukan adekuat dan mengurangi mordibilitas
pasien.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas nikmat dan rahmatnya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyakbanyaknya kepada dr. Edward Syam selaku pembimbinng tutor kelompok kegawatdaruratan selama
blok elektif, dr. H Kamal Anas, SpB selaku koordinator tutor kepeminatan kegawatdaruratan, DR. Drh.
Titiek Djannatun dan dr. Hj RW Susilowati, Mkes selaku koordinator pelaksana blok elektif. Tak lupa

ucapan terimakasih saya sampaikan kepada dr. Yusrizal, dr. Sakinah dan petugas kesehatan di Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.

5.
6.
7.
8.
9.

Fitzpatrick, J. and Kirby, R. 2006. Management of acute urinary retention. BJU International,
97(s2), pp.16-20.
Kalejaiye, O. and Speakman, M. (2009). Management of Acute and Chronic Retention in
Men. European Urology Supplements, 8(6), pp.523-529.
Medtronic.com, (2015). Urinary Retention - Urinary Retention Causes and Symptoms.
[online] Available at: http://www.medtronic.com/patients/urinary-retention/ [Accessed 22 Nov.
2015].
Niddk.nih.gov,(2015).UrinaryRetention.[online]Availableat:
http://www.niddk.nih.gov/healthinformation/healthtopics/urologicdisease/urinary
retention/Pages/facts.aspx#sec9[Accessed22Nov.2015].
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A., K, M., Setiohadi, B. and Syam, A. 2015. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta Pusat: InternaPublishing, p.2143-4.
Smith, D. 2008. Smith's general urology. England: MCGRAW-HILL MEDICAL Publishing
DIV.
Subedi, B. 2015. Urinary Retention in Adults: Diagnosis and Initial Management - American
Family
Physician.
[online]
Aafp.org.
Available
at:
http://www.aafp.org/afp/2008/0301/p643.html [Accessed 14 Nov. 2015].
UK, N. 2010. Diagnosis. Royal College of Physicians (UK). [online] Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK65072/ [Accessed 14 Nov. 2015].
Zuhroni, Z. (2010). Dasar dan SumberSyariatIslam.Jakarta:Yarsi.

You might also like