You are on page 1of 9

TUGAS INDIVIDU KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN DAN KRITIS

MANAJEMEN KEGAWATDARURATAN PADA HIPOGLIKEMIA

Disusun Oleh :
Lastina Fahrurnisa

22020112140018

A.12.1

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2014

MANAJEMEN KEGAWATDARURATAN PADA HIPOGLIKEMIA


Hipoglikemia adalah sebuah masalah serius pada penderita diabetus. Hipoglikemia terjadi
karena adanya kelebihan insulin dalam darah sehingga menyebabkan kadar gula darah turun
hingga kurang dari 60 mg/dl. Keluhan hipoglikemia dibagi dalam dua kategori, yaitu akibat
otak tidak mendapat kalori yang cukup sehingga mengganggu fungsi intelektual dan keluhan
akibat efek samping hormon lain yang berusaha meningkatkan kadar glukosa dalam darah
(Tandra, 2008).
Hipoglikemia pada umumnya dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya saja :
1. Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
2. Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang diberikan kepada penderita
diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya
3. Kelainan pada kelenjar hipofisia atau kelenjar adrenal
4. Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan glukosa hati
Secara umum, hipoglikemia dapat dikategorikan sebagai yang berhubungan dengan obat
dan yang tidak berhubungan dengan obat. Hipoglikemia banyak terjadi pada penderita diabetes
dan berhubungan dengan obat. Penderita diabetes berat menahun sangat peka terhadap
hipoglikemia berat.
Perjalanan hipoglikemia sendiri pada awalnya karena tubuh memberikan respon terhadap
rendahnya kadar gula darah yang disebabkan oleh insulin atau obat lain (sulfonilurea) yang
diberikan kepada penderita diabetes berat menahun yang digunakan untuk menurunkan kadar
gula darah. Pemberian obat tersebut lama-lama menyebabkan sel-sel pulau pankreas tidak
membentuk glukagon secara normal dan kelenjar adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin
secara normal. Padahal kedua hal tersebut merupakan mekanisme utama tubuh untuk
mengatasi kadar gula darah yang rendah.
Tubuh awalnya masih dapat memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah
dengan melepaskan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf.
Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi juga menyebabkan gejala
yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung
berdebar-debar dan kadang rasa lapar). Hipoglikemia berat akan menyebabkan berkurang
glukosa ke otak dan menyebabkan pusing, bingung, lelah, lemah, sakit kepala, perilaku yang

tidak biasa, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang dan akhirnya koma.
Hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen.
Pada kasus kegawatdaruratan hipoglikemia intervensi keperawatan pertama yang diberikan
adalah dengan memberikan glukagon pada penderitanya. Glukagon adalah peptida (protein)
hormon yang diproduksi oleh pankreas. Glukagon diproduksi setiap kali tubuh membutuhkan
gula lebih untuk produksi energi, yang dilakukan melalui respirasi selular. Glukagon
merupakan antagonis dari insulin yang disekresi pada saat kadar gula darah dalam darah rendah
(Corwin, 2009).
Menurut Soemadji (2006) dan Rush & Louies (2004) hipoglikemia diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu ringan, sedang dan berat. Hipoglikemia ringan memiliki ciri-ciri seperti
masih dapat diatasi sendiri dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari, penurunan glukosa
(stresor) merangsang saraf simpatis, sekresi adrenalin ke p.d: perspirasi, tremor, takikardia,
palpitasi, gelisah dan penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf parasimpatis lapar, mual,
dan tekanan darah turun.
Hipoglikemia sedang memiliki ciri-ciri seperti hipoglikemi masih dapat diatasi sendiri,
tetapi mengganggu aktivitas sehari-hari, otak mulai kurang mendapat glukosa sebagai sumber
energi timbul gangguan pada system saraf pusat : headache, vertigo, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, perubahan emosi, perilaku irasional, penurunan fungsi rasa, gangguan
koordinasi gerak, dan double vision.
Membutuhkan orang lain dan terapi glukosa serta pada system saraf pusat mengalami
gangguan berat: disorientasi, kejang, penurunan kesadaran adalah ciri-ciri dari terjadinya
hipoglikemia berat.
Terdapat sebuah jurnal penelitian mengenai keefektifan pemberian intervensi pada
penderita koma hipoglikemik dengan memberikan glukagon intravena atau dengan dekstrosa
intravena. Dalam jurnal ini dibandingkan antara keefektifan pemberian glukagon intravena (1
mg) dengan dekstrosa intravena (25 g). Diketahui bahwa kedua obat ini sama-sama efektif
diberikan kepada penderita hipoglikemia dengan kadar glukosa yang sama di Accident and
Emergency Departement, Royal Infirmary, Edinburgh, United Kingdom. Dalam penelitian ini
didapatkan hasil bahwa glukagon memiliki waktu lebih lambat dalam mengembalikan kadar
glukosa kembali normal dan mengembalikan ke tingkat kesadarannya kembali. Akan tetapi
pengobatan menggunakan glukagon lebih memiliki efek samping yang ringan dan dapat
diterima oleh pasien. Glukagon maupun dekstrosa sama-sama menimbulkan efek samping

seperti mual muntah dan pusing kepala, namun efek samping pusing kepala dan muntah lebih
banyak dialami oleh pasien yang diberikan terapi dekstrosa intravena.

Jurnal penelitian Comparison of Intravenous Glucagon and Dextrose in Treatement of


Severe Hypoglyceia in an Accident and Emergency Department menegaskan bahwa glukagon
lebih efektif digunakan dalam pengobatan hipoglikemia berat. Diprediksi setelah pemberian
glukagon terjadi kenaikan plasma glukosa sebesar 7 sampai 10 meskipun untuk kembali ke
tingkat keasadaran normal membutuhkan waktu lebih lambat dibandingkan dengan pemberian
dekstrose, akan tetapi perbandingan tersebut sangat kecil yaitu hanya 2.5 menit terutama
apabila dibandingkan dengan rata-rata durasi hipoglikemia yang dialami pasien (1.4 jam). Efek
samping seperti muntah dan sakit kepala umum dialami setelah sembuh dari hipoglikemia
dengan tidak ada perbedaan antara kelompok yang diobati dengan glukagon maupun dengan
dekstrosa.
Muntah diakui sebagai efek samping dari penggunaan glukagon yang diperkirakan karena
efek terjadinya koma hipogliemik sekunder, sebagai akibat dari iritasi pusat muntah dengan
neuroglycopenia atau edema otak. Hipoglikemia yang disebabkan debit parasimpatis yang
mengubah motilitas lambung mungkin faktor kontribusi lebih lanjut. Selain itu, efek samping
sakit kepala yang dialami oleh 50 % dari pasien mungkin disebabkan karena neuroglycopenia
(Andrew dkk, 1987).
Seringkali penyakit hipoglikemia tidak terlalu jelas diketahui penyebabnya, ada 49
responden dalam penelitian ini yang diketahui bahwa sebanyak lima belas pasien tidak
diketahui dengan jelas penyebabnya, dua belas pasien melewatkan makan, sepuluh pasien
memiliki sikap tidak bertanggung jawab terhadap pengendalian diabetes mereka seperti tidak
melakukan pemantauan glukosa darah atau urin. Tujuh pasien karena aktivitas, tiga pasien
diketahui bahwa penyebab dari terjadinya koma hipoglikemia adalah adanya alkohol dalam
darah yang ditemukan yaitu sebesar > 100 mg/dl dan satu pasien diketahui karena terjadinya
kehamilan. Dan ditemukan pula satu orang yang menderita penyakit Addison, pada penyakit
ini hipoglikemia ditangani dengan glukagon ataupun dekstrosa namun harus diberikan
tambahan pula hidrokortison untuk mengembalikan ke kesadaran normal.
Pasien dengan diabetes tipe 2 dapat terkena hipoglikemia yang dihasilkan dari obat yang
memicu insulin dalam rilis glukosa dengan cara indipendent. Seiring waktu, counterregulatory
komunikasi antara sel yang memproduksi glukagon dan sel yang memproduksi insulin

menjadi fisiologis disfungsional sehingga meningkatkan risiko hipoglikemia. Pasien dengan


penyakit lain seperti sirosis hati, gangguan makan, penyakit ginjal kronis, penyakit jantung dan
usia lanjut adalah berisiko tinggi untuk mengalami kematian akibat dari peristiwa hipoglikemia
berat atau parah. Penderita diabetes tipe 2 dianjurkan untuk selalu melakukan cek gula darah
(CGM) untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. Pada diabetes dengan tipe 1
counterregulation akan dapat terjadi setelah penderita terdiagnosa selama 1 tahun. Pasien khas
dengan tipe diabetes 1 akan mengalami dua episode gejala hopglikemia yaitu gejala
hipoglikemia mingguan dan ribuan kejadian selama kehidupan sehari-hari. Frekuensi dan
tingkat keparahan hipoglikemia pada pasien dengan diabetes tipe 2 sering diremehkan
(Graham, 2003).
Gangguan neurologis sering dialami pasien setelah terjadi hipoglikemik, karena otak
tergantung pada glukosa sebagai sumber energi obligat pengurangan cadangan glukosa tang
tersedia dapat mengakibatkan konsekuensi neurologis yang serius. Suasana hati dan memori
terganggu setelah terjadi satu episode dari hipoglikemia. Kadar glukosa plasma darah < 40
mg/dl akan menghasilkan neuroglycopenia yang berhubungan dengan tingkat kesadaran yang
berubah, koma dan bahkan kematian. Kadar glukosa < 50 mg/dl dapat mengganggu
kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas dan tugas sehari-hari, dapat mengakibatkan
kerusakan kognitif, irritabilitas, perilaku agresif, kelelahan, gangguan penglihatan, dysarthria,
disorientasi dan koma. Hipoglikemia pada usia lanjut telah diamati dan diketahui berhubungan
dengan dimensia, meskipun mekanisme gangguan kognitif yang terjadi tidak sepenuhnya. Pada
lansia hipoglikemia seringkali terjadi tanpa peringatan dan tiba-tiba sudah mengalami
ketidakseimbangan dan jatuh ke tanah. Perilaku menyimpang dan struktural kerusakan otak
dapat terjadi dengan episode berulang hipoglikemia. Kegagalan kesadaran otonom
hipoglikemia mengulangi terjadinya peristiwa hipoglikemik yang dapat menyebabkan Haaf,
sebuah kondisi neurologis yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk merasakan fitur
otonom kadar glukosa darah rendah. Orang dewasa dengan diabetes tipe 1 yang mengalami
gangguan kesadaran akibat hipoglikemia jauh lebih mungkin terkena hipoglikemia
asimptomatik dan berada pada risiko lebih tinggi terkena hipoglikemia parah dibandingkan
mereka yang mampu untuk mendeteksi penurunan plasma glukosa. Respon kehilangan
glukagon yang keluar untuk hipoglikemia adalah fitur kunci dari Haaf. Hipoglikemia adalah
sebuah respon epinefrin dilemahkan melengkapi rusaknya sindrom counterregulation. Tanpa
sekresi glukagon atau epinefrin counterregulation, pasien 25 kali lebih mungkin untuk
mengalami hipoglikemik parah.

Untuk mengurangi resiko hipoglikemia berikut ada beberapa cara yang dilakukan yaitu
salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien. Pendidikan
kesehatan pada pasien telah terbukti meningkatkan hasil dari hipoglikemia, tetapi tidak untuk
mengurangi dari angka kejadian. Obat-obatan yang mungkin mengakibatkan hipoglikemia
harus ditinjau kembali oleh baik pasien maupun anggota keluarga secara teratur. Gejala dan
manajemen hipoglikemia harus didiskusikan pada setiap kunjungan. Instruksi tertulis juga
harus diberikan kepada pasien karena terkadang perawat mungkin mengalami kepanikan dalam
situasi darurat. Pasien juga harus didarankan untuk segera memberitahu dokter apabila mereka
mengalami hipoglikemik. Beberapa pasien dengan hipoglikemi tinggi mungkin mengalami
gejala adrenergik, termasuk berkeringat, kelelalahan, kelemahan dan jantung berdebar,
meskipun tingkat plasma glukosa berada jauh diatas 70 mg/dl. Oleh karena itu untuk
penanganan pertama yang dapat dilakukan pasien adalah dengan mengkonsumsi glukagon
yang harus dibawa kemana saja mereka pergi sehingga dapat mengurangi angka kejadian
keparahan waktu datang ke ruang kegawatdaruratan. Sayangnya banyak pasien yag
mengabaikan hal tersebut.
Intervensi diet juga perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya hipoglikemi. Karbohidrat
meningkatkan kadar glukosa darah. Pasien harus memahami pilihan karbohidrat yang paling
mungkin yang paling cepat dan tepat untuk membalikkan hipoglikemia. Berikut beberapa
strategi yang dapat membalikkan keadaan hipoglikemia (Unger, 2013):
a. Jika gula darah 60 mg/dl, makan atau minum karbohidrat sebesar 15 gram, periksa
kembali glukosa darah setelah 15 menit. Jika hasil masih menunjukkan 60 mg/dl, ulangi
pengobatan dengan tambahan 15 gram karbohidrat. Tes ulang kembali glukosa darah
setelah 15 menit, jika glukosa darah tetap 60 mg/dl ulangi pengobatan dengan tambahan
15 gram karbohidrat dan hubungi dokter.
b. Formula yang berguna untuk membantu pasien muncul aman dari hipoglikemia tanpa
menyebabkan Rebound hipoglikemia adalah (100-glukosa darah) 0.2 = gram karbohidrat
yang diperlukan untuk koreksi tepat glukosa darah. Jadi, jika glukosa darah adalah 50
mg/dl, mengkonsumsi 100-50 = 50;50 x 0.2 = 10 gram karbohidrat.
c. Contoh makanan yang mengandung 15 gram karbohidrat adalah tablet glukosa (3 hingga
5 gram tablet), 4 ons jus atau soda biasa, 1 sendok makan madu atau gula meja, 1 kotak
kecil kismis, 1 botol glukosa ditembak cair.
d. Pasien dengan riwayat Haaf harus memiliki akses ke sebuah kit glukagon darurat di rumah
dan di tempat kerja mereka. Pasien dengan hipoglikemia berat yang tidak bisa terangsang

harus disuntik dengan glukagon 1 mg intramuskular oleng anggota keluarga atau teman.
Hal ini akan menghasilkan pembalikan cepat hipoglikemia.
e. Pasien yang menjadi hipoglikemik saat menggunakan inhibitor -glukosidase ( AGI,
acarbose atau miglitol) tidak akan menanggapi sukrosa. Glukosa oral (dekstrosa) harus
digunakan untuk mengobati hipoglikemia karena penyerapannya tidak dihambat oleh AGI,
glukagon juga akan efektif membalikkan hipoglikemia
Pasien yang menggunakan insulin campuran analog juga harus menghindari
melewatkan makan karena ini mungkin memicu hipoglikemia. Pola makan dan injeksi
insulin dipisahkan menyebabkan variabilitas glikemik dan hipoglikemia dengan asumsi
tingkat glukosa pra makan > 80 mg/dl, maka insulin harus disuntikkan 15 menit sebelum
makan sehingga kenaikan konsentrasi insulin akan cocok waktu puncak penyerapan
karbohidrat dari usus, jika kadar glukosa adalah < 80 mg/dl, suntikan harus diberikan baik
pada saat makan atau segera setelah makan.
Faktor latihan juga dapat mencegah terjadinya hipoglikemia. Latihan meningkatkan
pemanfaatan glukosa oleh otot rangka dan meningkatkan risiko hipoglikemia. Faktor
risiko hipoglikemia yang berhubungan dengan latihan adalah termasuk aktivitas fisik,
intensitas olahraga yang berlebih dan tidak terbiasa dan modus (misalnya, seorang pasien
yang berjalan pada treadmill setiap hari tapi sekarang memutuskan untuk bermain ski
lintas alam), hal tersebut akan mengakibatkan asupan karbohidrat tidak memadai dalam
kaitannya dengan nsulin ambient on board (insuin dari dosis sebelumnya yang masih
aktif), Haaf dan kegagalan untuk melakukan SMBG sebelum dan selama latihan. Risiko
exercise-induced hipoglikemia dapat dikurangi dengan melakukan SMBG sebelum dan
dalam waktu 30 menit untuk mengakhiri sesi latihan. Target glukosa pra latihan harus 120180 mg/dl. Kadar glukosa darah harus diobati sebelum latihan dengan mengkonsumsi 15
gram karbohidrat. Menyesuaikan dosis insulin sebelum olahraga adalah bijaksana(Unger,
2013).
Monitor glukosa selain penting dalam hal menfgontrol diabetus juga diperlukan dalam
pengujian glukosa terstruktur yang menyediakan cara efektif untuk memprediksi
terjadinya hipoglikemia. Pengujian glukosa secara terstruktur memungkinkan pasien dan
dokter untuk mengidentifikasi pola-pola tertentu glikemik yang dapat dikoreksi dengan
farmakologi atau intervensi gaya hidup. Pengujian dilakukan setiap sebelum dan 2 jam
setelah makan selama 3 hari sebelum pasien dijadwalkan janji untuk bertemu dokter.

Perbedaan antara kadar glukosa pra makan dan 2 jam setelah makan disebut sebagai .
Respon fisiologis untuk makan harus menghasilkan positif 0-50 mg/dl. Sebagai contoh,
seorang pasien memeriksa glukosa darah sebelum makan malam dan mencatat 125mg/dl.
Kemudian dia menentukan bahwa 9 unit insulin akan diperlukan untuk makan. Dia
menyuntikkan insulin 15 menit sebelum makan karenanya glukosa pra makan adalah > 80
mg/dl. Kadar glukosa postprandial 2 jam adalah 145 ( = +20 mg/dl). Dengan demikian,
pasien memberikan jumlah insulin yang benar untuk menutupi jumlah konsumsi
karbohidrat dalam makanan itu. Apabila menunjukkan hasil negatif menyiratkan bahwa
ada ketidakcocokan yang terjadi antara dosis bolus insulin dan jumlah karbohidrat yang
dikonsumsi (Unger, 2013).

DAFTAR PUSTAKA

Andrew Collier, dkk. 1987. Comparison of Intravenous Glucagon and Dextrose in


Treatement of Severe Hypoglicemia in an Accident and Emergency Department.
Vol. 10. No 6. Diakses pada tanggal 14 November 2014 pukul 23.00 WIB.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Graham P. Leese, dkk. 2003. Frequency of Severe Hypoglycemia Requiring Emergency
Treatment in Type 1 and Type 2 Diabetes. Vol 26. No. 4. Diakses pada tanggal
14 November 2014 pada pukul 23.45 WIB.
Steven J. Russel, dkk. 2012. Blood Glucose Control in Type 1 Diabetes With a
Bihormonal Bionic Endocrine Pancreas. Diakses pada tanggal 14 November
2014 pada pukul 22.18 WIB.
Tandra, Hans. 2008. Diabetes. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Unger, Jeff. 2013. Educating Patients About Hypoglicemia Prevention and Self
Management. Vol 31. No. 4. Diakses pada tanggal 14 November 2014 pukul
22.43 WIB.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29265/4/Chapter%20II.pdf diakses pada


tanggal 16 November 2014 pada pukul 21.15 WIB.

You might also like