You are on page 1of 6

Nama : Yoga Ady Sugama

Nim

: 07111002085

Analisis isu-isu tentang kesetaraan gender dan kasus kekerasan anak


Peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan sangat diperlukan karena kualitas
kehidupan perempuan masih jauh lebih rendah daripada laki-laki. Demikian pula halnya
dengan anak, yang merupakan generasi penerus, perlu ditingkatkan kesejahteraan dan
pelindungannya. Secara umum, pembangunan pemberdayaan perempuan dan pelindungan
anak telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, tetapi berbagai permasalahan masih
dihadapi, seperti masih tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih
adanya kesenjangan pencapaian hasil pembangunan antara perempuan dan laki-laki, yang
tercermin dari masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan ke layanan kesehatan yang
lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih
luas. Selain itu, juga masih banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias
gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan belum peduli anak. Masalah lain adalah masih
lemahnya kapasitas kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, terutama di
tingkat kabupaten/ kota. Untuk itu, perlu diambil langkah-langkah kebijakan untuk
mengatasinya dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta
kesejahteraan dan pelindungan anak.
Kerangka hukum dan kebijakan di Indonesia perlu diperkuat untuk mencegah dan
menangani kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran anak. Kerangka hukum
dan kebijakan yang ada saat ini kondusif untuk mempromosikan hak anak, tetapi masih
terdapat beberapa kesenjangan. Kerangka hukum tersebut harus menunjuk lembaga
pemerintah dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang jelas terhadap penanganan
dan penyediaan layanan perlindungan anak. Indonesia juga menghadapi tantangan untuk
memastikan keselarasan peraturan daerah (Perda) dan kebijakan perlindungan anak di hampir
500 kabupaten, masing-masing dengan kewenangan untuk menetapkan peraturannya sendiri.
Oleh karena itu, langkah terakhir yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk
mengembangkan pedoman Perda yang mengacu pada pendekatan berbasis sistem terhadap
perlindungan anak merupakan sebuah langkah positif.
Di tingkat kabupaten, peraturan dan kebijakan tentang perlindungan anak cenderung
berfokus pada permasalahan, terbatas pada rehabilitasi korban dan sering kali mengabaikan
aspek-aspek pencegahan. Tidak adanya penetapan kewenangan yang jelas bagi pelayanan
perlindungan anak di tingkat provinsi dan kabupaten menyebabkan aksi-aksi terfragmentasi
dan kurang terkoordinasi. Pemerintah daerah tidak mengalokasikan anggaran yang memadai
untuk perlindungan anak, dan kapasitas untuk implementasi secara umum lemah.
Layanan kesejahteraan sosial dan keluarga di banyak provinsi telah mengembangkan
penanganan tersier dengan baik bagi anak-anak dalam krisis, tetapi tetap belum memadai
dalam hal pencegahan. Unit-unit polisi khusus (PPA) dan pusat pelayanan terpadu berbasis
rumah sakit (PPT dan PKT)i memberikan pelayanan medis, dukungan psikososial, bantuan
hukum dan prosedur investigasi yang sensitif anak bagi anak-anak yang menjadi korban dari
berbagai bentuk kekerasan dan perdagangan anak yang serius. Akan tetapi, unit-unit
pelayanan ini biasanya hanya menangani kasus-kasus yang paling berat. Unit-unit tersebut

tidak memiliki mandat atau kapasitas untuk menilai pengasuhan dalam keluarga, atau untuk
memastikan bahwa anak-anak mendapatkan pelayanan dan perlindungan yang tepat setelah
mereka meninggalkan pusat pelayanan tersebut. Respon tersier juga difokuskan pada
pengembangan rumah perlindungan sosial anak (RPSA), dimana korban anak-anak dapat
berlindung.
Bagian Pengaduan Masyarakat pada Biro Hukum dan Humas Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumatera Selatan sepanjang tahun 2012
telah menerima pengaduan masyarakat sebanyak 284 kasus. Pengaduan dilakukan secara
langsung (dengan mendatangi kantor pengaduan) dan tidak langsung yaitu melalui telepon,
email maupun surat Pengadu/pelapor adalah korban/keluarga/orang lain/kelompok
masyarakat/institusi datang mengadukan/melaporkan adanya tindak kekerasan yang
dialaminya sendiri/orang lain/keluarga/komunitasnya/institusinya.
No.
1.

2.

Pengaduan
yang
masuk
Pengaduan Langsung
Yang terdiri dari :
Datang Langsung
Email
Telepon
Pengaduan tidak langsung
Yang terdiri dari
Surat

3.

Pengaduan rujukan

4.

Pengaduan berulang

Jumlah

Persentase

41 kasus

14%

31 kasus
2 kasus
10 kasus
28%

:
80 kasus
62 kasus

21%

101 kasus

37%

TOTAL
284 kasus
*Sumber: Bagian Pengaduan Masyarakat, 2012

100%

Hambatan dalam peradilan anak meliputi kurangnya petugas khusus, tidak adanya
prosedur yang jelas bagi petugas penegak hukum dan kurangnya sumber daya, khususnya
terbatasnya alokasi anggaran untuk petugas pengawas bagi anak yang menjalani masa
percobaan. Terbatasnya jumlah fasilitas tahanan anak berarti bahwa anak-anak ditempatkan
dalam tahanan dengan narapidana dewasa. Di tingkat masyarakat, dimana praktek-praktek
peradilan tradisional dan informal masih diberlakukan, tidak ada prosedur yang jelas
mengenai penanganan anak dan tidak ada kesepakatan dengan polisi dalam pelaksanaan
mekanisme tersebut.
Ditambah lagi Tradisi, sikap dan praktek tertentu menimbulkan dampak buruk
terhadap anak-anak dan melanggar hak-hak mereka. Misalnya, banyak masyarakat
menganggap hukuman fisik dan kekerasan terhadap anak sebagai norma. Kampanye advokasi
pada umumnya belum efektif dalam mengubah perilaku tersebut. Kampanye tersebut
difokuskan pada pendistribusian poster dan bahan-bahan komunikasi lainnya, dan memiliki
jangkauan yang terbatas.

Tidak adanya model pengasuhan alternatif merupakan hambatan utama untuk


mengubah paradigma dari fokus pada pengasuhan di institusi. Anak-anak tanpa pengasuhan
orang tua dan anak-anak dari keluarga miskin memerlukan pilihan-pilihan lain selain tinggal
di lembaga pengasuhan anak untuk dapat tumbuh dalam lingkungan yang melindungi dan
untuk melanjutkan pendidikan mereka. Opsi pengasuhan berbasis keluarga perlu
dikembangkan dalam sistem pengasuhan alternatif yang didukung dan diatur oleh pemerintah.
Guna untuk mengurangi kekerasan anak pemerintah harus mengambil peran dalam
melaksanakan pelatihan dan akreditasi pekerja sosial. Pekerja sosial kini menjadi tanggung
jawab Kementrian Sosial, tetapi seiring dengan perkembangan jaringan, kabupaten harus
mengambil alih sehingga pekerja sosial menjadi pegawai kabupaten yang terakreditasi.
Petugas yang bekerja di panti asuhan dan lembaga pengasuhan anak harus mendapatkan
pelatihan ulang dan diangkat kembali sebagai pekerja sosial masyarakat.
Kapasitas pemantauan dan sistem data perlu ditingkatkan. Pemerintah perlu
mengembangkan seperangkat indikator yang disepakati, standar terkait dan pendekatan
pengukuran. Dalam banyak hal, ketika fenomena tersebut tabu atau tidak sah, data keluaran
tentang proses dan lembaga dapat menjadi pengganti yang berguna untuk mengukur situasi.
Akan tetapi, data keluaran yang berguna pertama memerlukan penetapan norma-norma yang
disepakati oleh pemerintah untuk proses dan lembaga. Sedapat mungkin, survei tetap seperti
Susenas dan Sakernas harus dikembangkan.
Di tingkat kabupaten dan provinsi, lembaga perlindungan anak yang melakukan tugas
pemantauan perlu melakukan penyesuaian dengan indikator dan metodologi yang disepakati
secara nasional dalam kerangka nasional kesejahteraan dan perlindungan anak. Jika
koordinasi tersebut tidak dilakukan, data perlindungan anak tidak dapat dibandingkan di
seluruh provinsi dan kabupaten, dan akan tidak berguna bagi kebijakan dan perencanaan.
ISU SELANJUTNYA
Sementara itu menyoroti tentang isu kesetaraan gender, saya ingin memusatkan
perhatian pada meningkatkan jumlah perempuan di panggung politik ini merupakan isu yang
banyak diperdebatkan sepanjang tahun 2002. Inti diskusi itu terfokus pada masalah kuota 30
persen yang bakal diterapkan dalam UU pemilu atau UU partai politik. Para aktivis politik,
tokoh-tokoh perempuan di parpol, kalangan akademisi dan LSM nyaris semuanya setuju akan
perlunya meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia. Ada banyak alasan yang
menjadikan isu ini sebagai topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama,
keterwakilan politik perempuan Indonesia (baik di tingkat nasional maupun lokal) masih
sangat rendah, yakni sekitar 9.2 persen kursi di DPR pusat, 5.2 persen kursi di DPRD, dan di
DPD partai-partai politik bahkan lebih rendah lagi
Meskipun perempuan Indonesia adalah mayoritas penduduk negeri ini, dan telah telah
banyak memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan perekonomian, namun representasi
mereka di lembaga-lembaga politik masih amat sangat rendah. Di parlemen nasional, jumlah
total politisi perempuan hanya 9.2% dari seluruh anggota parlemen - ini jauh lebih kecil dari
persentase mereka pada periode terdahulu yakni 12.5%. Sejarah mencatat bahwa representasi
perempuan di lembaga-lembaga legislatif selalu di bawah 10%. Tingkat keterwakilan

tertinggi pernah dicapai antara tahun 1987-1992, manakala jumlah politisi perempuan di
parlemen mencapai 13%. Di lembaga legislatif lokal, jumlah itu bahkan lebih kecil lagi, yakni
5% dari total anggota DPRD I, dan kurang 1% dari total anggota DPRD II.
Di samping itu, representasi kaum perempuan pada posisi-posisi puncak pengambilan
keputusan di semua departemen negara juga sangat rendah. Meskipun kaum perempuan
adalah mayoritas pegawai negeri di departemen-departemen besar dan penting seperti
Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri,
kebanyakan mereka hanya menduduki posisi birokrasi menengah ke bawah. Sebagian besar
jabatan eselon (eselon 1 dan 2) dipegang oleh lelaki. Keadaan yang sama berlaku juga di
daerah: di negara sebesar ini hanya ada tiga gubernur wanita dan tiga kepala daerah tingkat
dua.
Tabel 1 : Representasi Politik Perempuan di Lembaga-Lembaga Politik atau Jabatan Formal

Lembaga
MPR
DPR
MA
BPK
DPA
KPU
Gubernur
Walikota
PNS golongan IV & III
Hakim
PTUN

Wanita Persentase
18
9.2
44
8.8
7
14.8
0
0
2
4.4
2
18.1
0
0
5
1.5
1883
7.0
536
16.2
35
23.4

Pria Persentase
117
90.8
455
91.2
40
85.2
7
100
43
95.6
9
81.9
30
100
331
98.5
25110
93.0
2775
83.8
150
76.6

Sumber: Divisi Perempuan dan Pemilu, CETRO, 2001

Representasi perempuan di Parlemen Nasional kurang lebih sebesar 9.2 persen.


Tingkat persentase representasi perempuan untuk parlemen lokal jauh lebih rendah, dan tak
pernah beranjak dari tingkat 5.2 persen.
Tabel 2 : Perempuan di Parlemen Tingkat Propinsi di Indonesia

Propinsi

Wanita

Persentase

Aceh

5.2

Sumatra Utara

3.4

86

96.6

Sumatra Barat

6.8

55

93.2

Jambi

6.1

46

93

Riau

4.5

21

95.5

10

12.7

69

87.3

Bengkulu

4.1

47

95.9

Lampung

5.1

75

75

DKI Jakarta

7.9

82

82

Jawa Barat

97

97

Sumatra Selatan

Pria

55

Persentase

94.8

Jawa Tengah

4.8

99

95.2

Yogyakarta

5.1

56

94.9

Jawa Timur

11

10.6

93

89.4

Kalimantan Barat

5.1

56

94.9

Kalimantan Tengah

48

98

Kalimantan Selatan

10.1

53

89.9

Kalimantan Timur

10.2

44

89.8

Bali

39

100

Nusa Tenggara Barat

3.6

52

96.4

Nusa Tenggara Timur

3.4

57

96.6

Sulawesi Utara

8.2

45

91.8

Sulawesi Tengah

45

91.8

Sulawesi Tenggara

2.6

48

98

Sulawesi Selatan

73

97.4

Maluku

48

98

Papua

6.5

43

93.5

Sumber : Divisi Perempuan dan Pemilu, CETRO, 2001


* Data dari propinsi-propinsi Bangka Belitung, Banten, Gorontalo dan Maluku Utara tidak tersedia

Terlihat sitabel bahwa untuk provinsi Sumatera selatan partisipasi perempuan di


parlemen pada tahun 2001 sangat rendah hanya mencapai 12.7 % jika dibandingkan dengan
laki-laki sebesar 87.3%. Jelas terlihat bahwa di tingkat nasional dan propinsi, kultur patriarki
dan sistem politik yang ada berdampak sangat negatif terhadap kaum perempuan yang
berusaha melaksanakan hak mereka untuk berpartisipasi secara politis. Dalam masyarakat
tradisional Indonesia, perempuan tidak didorong untuk berperan aktif dalam kehidupan
publik; keterampilan dan bakat mereka lebih diakui di dalam lingkungan rumah tangga yang
sangat pribadi sifatnya. Dikotomi ini masih dipelihara, bahkan dalam Era Reformasi sekarang
ini. Oleh karenanya, perempuan Indonesia menghadapi kendala besar pada dua tingkat. Di
luar perjuangan mereka melawan kultur partriarkis itu, mereka juga harus mengatasi praktekpraktek yang bersifat diskriminatif dan buta gender dalam proses pemilu, di lembagalembaga legislatif maupun di tubuh parpol.
Norma-norma kultural tadi telah amat mengakar di dalam masyarakat, dan bahkan
telah merasuki pemikiran sebagian mayoritas perempuan Indonesia. Kondisi ini membuat
mereka secara psikologis tak siap untuk berpartisipasi dalam politik. Banyak perempuan yang
terjangkit rasa rendah diri dan merasa tak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk
menangani isu-isu politis. Keadaan ini membuat banyak perempuan menunjukkan sikap atau
pendekatan pasif terhadap politik, bahkan banyak diantaranya memandang politik secara
negatif. Pandangan ini membuat mereka tak mampu mengembangkan dan mengidentifikasi
berbagai strategi untuk kepentingan mereka sendiri. Selain itu, kegiatan kampanye politik
dianggap sebagian besar orang sebagai aktivitas yang tak pantas dilakukan perempuan.

Banyak peserta diskusi yang menyoroti isu peran ganda perempuan sebagai ibu dan
istri, dan sebagai anggota dari angkatan kerja produktif. Realitas ini sesungguhnya
menghambat kaum perempuan, sebab mengurangi alokasi waktu mereka untuk melakukan
aktivitas-aktivitas politik. Stereotyping masyarakat terhadap kaum perempuan juga
melahirkan masalah-masalah lain. Sebagai contoh, perempuan yang lebih memikirkan karir
mereka sering dituding menyalahi norma masyarakat. Untuk mendapat predikat wanita
sukses, mereka dituntut untuk berhasil menjalani peranan ganda itu.
Praktek-praktek di dalam organisasi dan partai-partai politik tidak mengakui dan
mengakomodasi peran ganda perempuan. Sebagai contoh, keputusan-keputusan politik yang
penting kerap kali diambil melalui rapat-rapat maraton yang digelar mulai petang hingga dini
hari, yang hampir tak mungkin diikuti oleh para kader politik perempuan, dikarenakan
berbagai tugas rumah tangga mereka.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana cara para kaum perempuan untuk mensetarakan
peran gender mereka terhadap kaum laki-laki? Pertama yang harus dilakukan adalah
mencakup sosialisasi politik melalui program pendidikan politik. Perlu diadakan latihan
berorganisasi bagi para kandidat perempuan, latihan teknik untuk mengidentifikasi dan
mengangkat isu-isu jender, dan pembentukan jaringan kerja antar kelompok aktivis
perempuan di dalam gerakan masyarakat madani, parpol-parpol, parlemen, dan media.
Strategi kedua berkaitan dengan langkah-langkah untuk memperkuat posisi
perempuan yang sudah menduduki berbagai posisi, dengan memberi mereka pelatihan
melakukan lobi yang efektif, berkampanye, dan teknik-teknik untuk mengidentifikasi para
pendukung (resource persons). Juga upaya-upaya meningkatkan kapasitas kelembagaan
dengan mengembangkan keterampilan staf, mengembangkan kapasitas, dan memperluas basis
dukungan bagi tokoh-tokoh perempuan yang terpilih. Ada pula masukan-masukan yang
mengusulkan agar semua kegiatan itu dilaksanakan melalui kolaborasi antar perempuan
anggota parlemen, parpol, akademisi, dan aktivis perempuan.
Strategi ketiga lebih menonjolkan pentingnya dukungan bagi parpol yang mempunyai
komitmen memajukan kesetaraan jender melalui platform politik dan struktur intern partai
mereka. Bantuan ini dapat diberikan dalam bentuk program-program pelatihan dan bantuan
dana atau insentif lewat badan-badan penyelengara pemilu.
Strategi terakhir berkaitan dengan struktur politik secara umum. Para peserta
lokakarya dan konferensi menegaskan bahwa langkah-langkah pemberdayaan perempuan
tidak hanya harus merasuk ke dalam struktur politik formal, tetapi juga ke dalam organisasi
kemasyarakatan, gerakan sosial serta kelompok-kelompok masyarakat madani lainnya.

You might also like