Professional Documents
Culture Documents
Nim
: 07111002085
tidak memiliki mandat atau kapasitas untuk menilai pengasuhan dalam keluarga, atau untuk
memastikan bahwa anak-anak mendapatkan pelayanan dan perlindungan yang tepat setelah
mereka meninggalkan pusat pelayanan tersebut. Respon tersier juga difokuskan pada
pengembangan rumah perlindungan sosial anak (RPSA), dimana korban anak-anak dapat
berlindung.
Bagian Pengaduan Masyarakat pada Biro Hukum dan Humas Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumatera Selatan sepanjang tahun 2012
telah menerima pengaduan masyarakat sebanyak 284 kasus. Pengaduan dilakukan secara
langsung (dengan mendatangi kantor pengaduan) dan tidak langsung yaitu melalui telepon,
email maupun surat Pengadu/pelapor adalah korban/keluarga/orang lain/kelompok
masyarakat/institusi datang mengadukan/melaporkan adanya tindak kekerasan yang
dialaminya sendiri/orang lain/keluarga/komunitasnya/institusinya.
No.
1.
2.
Pengaduan
yang
masuk
Pengaduan Langsung
Yang terdiri dari :
Datang Langsung
Email
Telepon
Pengaduan tidak langsung
Yang terdiri dari
Surat
3.
Pengaduan rujukan
4.
Pengaduan berulang
Jumlah
Persentase
41 kasus
14%
31 kasus
2 kasus
10 kasus
28%
:
80 kasus
62 kasus
21%
101 kasus
37%
TOTAL
284 kasus
*Sumber: Bagian Pengaduan Masyarakat, 2012
100%
Hambatan dalam peradilan anak meliputi kurangnya petugas khusus, tidak adanya
prosedur yang jelas bagi petugas penegak hukum dan kurangnya sumber daya, khususnya
terbatasnya alokasi anggaran untuk petugas pengawas bagi anak yang menjalani masa
percobaan. Terbatasnya jumlah fasilitas tahanan anak berarti bahwa anak-anak ditempatkan
dalam tahanan dengan narapidana dewasa. Di tingkat masyarakat, dimana praktek-praktek
peradilan tradisional dan informal masih diberlakukan, tidak ada prosedur yang jelas
mengenai penanganan anak dan tidak ada kesepakatan dengan polisi dalam pelaksanaan
mekanisme tersebut.
Ditambah lagi Tradisi, sikap dan praktek tertentu menimbulkan dampak buruk
terhadap anak-anak dan melanggar hak-hak mereka. Misalnya, banyak masyarakat
menganggap hukuman fisik dan kekerasan terhadap anak sebagai norma. Kampanye advokasi
pada umumnya belum efektif dalam mengubah perilaku tersebut. Kampanye tersebut
difokuskan pada pendistribusian poster dan bahan-bahan komunikasi lainnya, dan memiliki
jangkauan yang terbatas.
tertinggi pernah dicapai antara tahun 1987-1992, manakala jumlah politisi perempuan di
parlemen mencapai 13%. Di lembaga legislatif lokal, jumlah itu bahkan lebih kecil lagi, yakni
5% dari total anggota DPRD I, dan kurang 1% dari total anggota DPRD II.
Di samping itu, representasi kaum perempuan pada posisi-posisi puncak pengambilan
keputusan di semua departemen negara juga sangat rendah. Meskipun kaum perempuan
adalah mayoritas pegawai negeri di departemen-departemen besar dan penting seperti
Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri,
kebanyakan mereka hanya menduduki posisi birokrasi menengah ke bawah. Sebagian besar
jabatan eselon (eselon 1 dan 2) dipegang oleh lelaki. Keadaan yang sama berlaku juga di
daerah: di negara sebesar ini hanya ada tiga gubernur wanita dan tiga kepala daerah tingkat
dua.
Tabel 1 : Representasi Politik Perempuan di Lembaga-Lembaga Politik atau Jabatan Formal
Lembaga
MPR
DPR
MA
BPK
DPA
KPU
Gubernur
Walikota
PNS golongan IV & III
Hakim
PTUN
Wanita Persentase
18
9.2
44
8.8
7
14.8
0
0
2
4.4
2
18.1
0
0
5
1.5
1883
7.0
536
16.2
35
23.4
Pria Persentase
117
90.8
455
91.2
40
85.2
7
100
43
95.6
9
81.9
30
100
331
98.5
25110
93.0
2775
83.8
150
76.6
Propinsi
Wanita
Persentase
Aceh
5.2
Sumatra Utara
3.4
86
96.6
Sumatra Barat
6.8
55
93.2
Jambi
6.1
46
93
Riau
4.5
21
95.5
10
12.7
69
87.3
Bengkulu
4.1
47
95.9
Lampung
5.1
75
75
DKI Jakarta
7.9
82
82
Jawa Barat
97
97
Sumatra Selatan
Pria
55
Persentase
94.8
Jawa Tengah
4.8
99
95.2
Yogyakarta
5.1
56
94.9
Jawa Timur
11
10.6
93
89.4
Kalimantan Barat
5.1
56
94.9
Kalimantan Tengah
48
98
Kalimantan Selatan
10.1
53
89.9
Kalimantan Timur
10.2
44
89.8
Bali
39
100
3.6
52
96.4
3.4
57
96.6
Sulawesi Utara
8.2
45
91.8
Sulawesi Tengah
45
91.8
Sulawesi Tenggara
2.6
48
98
Sulawesi Selatan
73
97.4
Maluku
48
98
Papua
6.5
43
93.5
Banyak peserta diskusi yang menyoroti isu peran ganda perempuan sebagai ibu dan
istri, dan sebagai anggota dari angkatan kerja produktif. Realitas ini sesungguhnya
menghambat kaum perempuan, sebab mengurangi alokasi waktu mereka untuk melakukan
aktivitas-aktivitas politik. Stereotyping masyarakat terhadap kaum perempuan juga
melahirkan masalah-masalah lain. Sebagai contoh, perempuan yang lebih memikirkan karir
mereka sering dituding menyalahi norma masyarakat. Untuk mendapat predikat wanita
sukses, mereka dituntut untuk berhasil menjalani peranan ganda itu.
Praktek-praktek di dalam organisasi dan partai-partai politik tidak mengakui dan
mengakomodasi peran ganda perempuan. Sebagai contoh, keputusan-keputusan politik yang
penting kerap kali diambil melalui rapat-rapat maraton yang digelar mulai petang hingga dini
hari, yang hampir tak mungkin diikuti oleh para kader politik perempuan, dikarenakan
berbagai tugas rumah tangga mereka.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana cara para kaum perempuan untuk mensetarakan
peran gender mereka terhadap kaum laki-laki? Pertama yang harus dilakukan adalah
mencakup sosialisasi politik melalui program pendidikan politik. Perlu diadakan latihan
berorganisasi bagi para kandidat perempuan, latihan teknik untuk mengidentifikasi dan
mengangkat isu-isu jender, dan pembentukan jaringan kerja antar kelompok aktivis
perempuan di dalam gerakan masyarakat madani, parpol-parpol, parlemen, dan media.
Strategi kedua berkaitan dengan langkah-langkah untuk memperkuat posisi
perempuan yang sudah menduduki berbagai posisi, dengan memberi mereka pelatihan
melakukan lobi yang efektif, berkampanye, dan teknik-teknik untuk mengidentifikasi para
pendukung (resource persons). Juga upaya-upaya meningkatkan kapasitas kelembagaan
dengan mengembangkan keterampilan staf, mengembangkan kapasitas, dan memperluas basis
dukungan bagi tokoh-tokoh perempuan yang terpilih. Ada pula masukan-masukan yang
mengusulkan agar semua kegiatan itu dilaksanakan melalui kolaborasi antar perempuan
anggota parlemen, parpol, akademisi, dan aktivis perempuan.
Strategi ketiga lebih menonjolkan pentingnya dukungan bagi parpol yang mempunyai
komitmen memajukan kesetaraan jender melalui platform politik dan struktur intern partai
mereka. Bantuan ini dapat diberikan dalam bentuk program-program pelatihan dan bantuan
dana atau insentif lewat badan-badan penyelengara pemilu.
Strategi terakhir berkaitan dengan struktur politik secara umum. Para peserta
lokakarya dan konferensi menegaskan bahwa langkah-langkah pemberdayaan perempuan
tidak hanya harus merasuk ke dalam struktur politik formal, tetapi juga ke dalam organisasi
kemasyarakatan, gerakan sosial serta kelompok-kelompok masyarakat madani lainnya.