You are on page 1of 25

Bab I

Pendahuluan
Fraktur merupakan salah satu masalah ortopedi yang paling banyak ditemui di
dunia. Hampir setiap hari selalu ada insiden terjadinya fraktur, di mana fraktur ini bila
tidak ditangani dapat menyebabkan kecacatan, bahkan bukan tidak mungkin bisa terjadi
akibat yang fatal karena adanya gangguan pada struktur pembuluh darah besar seperti a.
femoralis yang dapat menyebabkan perdarahan hingga syok.
Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden fraktur terbanyak disebabkan
oleh karena trauma, di mana trauma terbanyak berasal dari kecelakaan lalu lintas, di
mana pasien biasa datang dengan multiple trauma. Tanpa tahu penanganan fraktur yang
tepat maka tingkat kecacatan dan kematian dapat meningkat. Apalagi dengan
pengetahuan masyarakat yang minim, di mana tingkat penanganan patah tulang masih
banyak dilakukan oleh tenaga non-medis yang berakibat pada banyakya angka
komplikasi dan kecacatan yang timbul.

Bab II
Tinjauan Pustaka
II.1 Fraktur dan Definisinya

Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang


rawan bisa komplet atau inkomplet

Diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang
Secara umum fraktur dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur

terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila
kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka.
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal
dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan
tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan
lunak yang lebih luas. Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari
titik trauma dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada
olahragawan, penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula
atau metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma yang berulang. Selain trauma,
adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada penyakit Paget dengan
energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang normal hal
tersebut belum tentu menimbulkan fraktur.
II.2 Klasifikasi Fraktur
I. Menurut Penyebab Terjadinya
Faktur Traumatik : direct atau indirect
a. Trauma langsung / direct
Adanya tekanan langsung pada tulang dengan diikuti fraktur pada daerah
tekanan, biasanya tipe frakturnya adalah kominutif dengan jaringan lunak
sekitar daerah fraktur ikut terkena.
b. Trauma tidak langsung / indirect
Fraktur terjadi jauh dari tempat di mana diberikan tekanan, pada keadaan

seperti ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.


Fraktur fatigue atau Stress fracture
Fraktur karena trauma berulang yang kronis di lokasi yang sama
Contoh : fr. Fibula pd olahragawan
Fraktur patologis :
Biasanya terjadi secara spontan, di mana terjadi fraktur karena adanya gangguan
pada struktur tulang.
2

II.

Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya


Fraktur Simple : fraktur tertutup (Tscherne Classification)
1.

Grade 0 fraktur tertutup tanpa atau dengan sedikit kerusakan jaringan

2.

Grade 1 fraktur tertutup denagn abrasi superfisial atau lebam pada


kulit atau jaringan subkutan.

3.

Grade 2 fraktur tertutup dengan contusio jaringan dan bengkak

4.

Grade 3 cedera jaringan parah dengan kerusakan jaringan yang nyata


serta kemungkinan terjadinya sindrom kompartemen.

Fraktur Terbuka : bone exposed (Gustillo Classification)


Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. Fraktur
terbuka terbagi atas 3 derajat (menurut R.Gustilo), yaitu:

Derajat I:
1. Luka < 1cm.
2. Kerusakan jaringan sedikit, tidak ada tanda luka remuk.
3. Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau komunitif ringan.
4. Kontaminasi minimal.

Derajat II:
1. Laserasi >1cm.
2. kerusakan jaringan lunak. Tidak luas, falp/avulsi.
3. Fraktur komunitif sedang.
4. Kontaminasi sedang.

Derajat III:
1. Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur
derajat III terbagi atas:
a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas/falp/avulsi atau fraktur segmental yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya
ukuran luka.
b. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur yang terpapar atau
kontaminasi masif.

c. Luka pada pembuluh darah arteri/saraf perifer yang harus


diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

Fraktur tertutup

Fraktur terbuka

Fraktur Komplikasi :
fraktur disertai kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera

Gambar 1 Macam Macam Garis Fraktur

Gambar 2 Macam Macam Fraktur


III.

Menurut Bentuk
1).

Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang


atau melalui kedua korteks tulang.

2).

Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang


tulang seperti:
a. Hair Line Fraktur.
b.

Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

c.

Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks


lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

a. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme


trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.

b. Berdasarkan jumlah garis patah.


1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.

Gambar fraktur simple,komunitif dan segmental.

c. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.


1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a)

Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu


dan overlapping).

b)

Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

c)

Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

d. Berdasarkan posisi fraktur


Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal

Gambar 5 Fraktur berdasarkan displacementnya.


II.3 Etiologi Terjadinya Fraktur
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang. Ada 2 faktor yang mempengaruhi
terjadinya fraktur, yaitu :

Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan
kekuatan trauma.
8

Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,


kekuatan, dan densitas tulang.
Apabila kedua hal ini terjadi maka akan terjadi fraktur, di mana posisi dari

fraktur tersebut dapat mengalami perubahan dari posisi semulanya sehingga bisa
menyebabkan gangguan lebih berat ke struktur sekitarnya.
Selain itu yang dapat menjadi penyebab fraktur ada beberapa hal:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan
yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.

DIAGNOSIS
I.

Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk mencari riwayat mekanisme trauma (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan trauma tersebut.
Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau
jatuh dari kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat,
kecelakaan pekerja oleh karena mesin atau karena trauma olahraga. Penderita
biasanya datang denga keluhan nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota
gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan gejala lain. Perlu
juga ditanyakan riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi,
pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat
osteoporosis serta penyakit lain.

II. Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan awal, penderita perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia, perdarahn
2. Kerusakan organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organorgan dalam rongga thoraks, panggul, abdomen
3. Faktor predisposisi, misalnya fraktur patologis
III. Pemeriksaan Lokal
a) Inspeksi/Look

Bandingkan dengan anggota gerak yang sehat

Perhatikan posisi anggota gerak

Keadaan umum penderita secara keseluruhan

Ekspresi wajah karena nyeri

Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan

Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur terbuka atau tertutup

Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari

Perhatikan

ada

tidaknya

deformitas:

angulasi,

rotasi,

pemendekan,

pemanjangan, bengkak.
b) Palpasi/Feel (nyeri tekan, krepitasi)
Status neurologis dan vaskuler dibagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan
palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian

10

diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi.
Temperatur kulit juga dapat diperiksa. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur
meliputi pulsasi arteri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler (Capillary refill
test).
c) Gerakan/Moving
Pergerakan dengan meminta penderita menggerakan secara aktif dan pasif sendi
proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada penderita dengan
fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan
tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
d) Pemeriksaan trauma (kepala, thoraks, abdomen, pelvis)
Pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol
ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing dan circulation.
Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan
dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan
secondary survey.
II.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus)
ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:

11

1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah
di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
Pemeriksaan Laboratorium
1)

Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan


tulang.

2)

Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan


kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

3)

Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase

(LDH-5),

Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap


penyembuhan tulang.
Pemeriksaan lain-lain
(1)

Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan


mikroorganisme penyebab infeksi.

(2)

Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

(3)

Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan


fraktur.

(4)

Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena


trauma yang berlebihan.

(5)

Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada


tulang.

(6)

MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

II.4 Penyembuhan dan Pemulihan Fraktur

12

Berbeda dengan jaringan lain, tulang dapat sembuh secara sempurna tanpa
disertai pembentukan jaringan parut, di sini berbagai faktor berpengaruh, seperti suplai
darah dan posisi dari tulang yang fraktur sendiri, itulah sebabnya memposisikan tulang
sedemikian rupa sangat diperlukan.

Penyembuhan Pada Tulang


1. Fase Hematoma
Fraktur menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil di
dalam kanalikuli havers, akibatnya terbentk hematoma yang mengelilingi
kedua sisi fraktur.
2. Fase Proliferasi Selular Subperiosteal & Endosteal
Dalam waktu kurang lebih 8 jam, mulai terjadi inflamasi disertai
proliferasi sel di bawah periosteum, di mana mulai terbentuk sistem
kapiler yang baru, hematomanya mulai diserap.
3. Fase Pembentukan Kalus
Mulai terbentuk kalus, di mana sel sel fibroblast, dan sel sel
lain berubah menjadi sel yang kondrogenik dan osteogenik. Sel sel ini
kemudian

terus

membelah

dan

mengalami

mineralisasi

sambil

membungkus garis fraktur, lama kelamaan gerakan kedua segmen tulang


semakin terbatas hingga akhirnya terbentuk union.
4. Fase Konsolidasi
Woven bone akan berubah menjadi lamellar bone, di mana proses
ini berlangsung cukup lama, bisa beberapa bulan hingga terbentuk
kesatuan yang kuat. Kalus primer mulai berubah menjadi kalus
intermediat.
5. Fase Remodelling
Terbentuk proses remodeling untuk merapikan penyatuan tulang.
Bagian yang berlebihan akan diresorpsi oleh osteoclast, sementara kalus
intermediat akan berubah menjadi tulang kompak, lengkap dengan
pembentukan sistem havers dan pembentukan ruang sumsum.

13

Gambar 7 Fase Fase Penyembuhan Tulang


II.5 Proses Penyembuhan Tulang
Fase inflamasi

14

Berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang pada awalnya terjadi reaksi
inflamasi. Peningkatan aliran darah menimbulkan hematom fraktur yang segera diikuti
invasi dari sel-sel peradangan yaitu netrofil, makrofag dan sel fagosit. Sel-sel tersebut
termasuk osteoklas berfungsi untuk membersihkan jaringan nekrotik untuk menyiapkan
fase reparatif. Secara radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat karena material
nekrotik disingkirkan.
Fase reparatif
Umumnya beriangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai dengan differensiasi
dari sel mesenkim pluripotensial. Hematom fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan
fibroblas yang akan menjadi tempat matrik kalus. Mula-mula terbentuk kalus lunak,
yang terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang.
Osteoblas kemudian yang mengakibatkan mineralisasi kalus lunak membah menjadi
kalus keras dan meningkatkan stabilitas fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai tak
tampak.
Fase remodelling
Membutuhkan

waktu

bulanan

hingga

tahunan

untuk

merampungkan

penyembuhan tulang meliputi aktifitas osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan


perubahan jaringan immatur menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga
menambah stabilitas daerah fraktur (McCormack,2000).

15

Gambar 8 Fracture Healing & Fracture Repair


II.6 Komplikasi Fraktur
Biasanya komplikasi fraktur dibagi berdasarkan waktu, sesuai dengan
lokalisasinya, di mana dibagi menjadi :
A. Komplikasi Segera
a. Komplikasi Lokal
i. Komplikasi pada Kulit
Biasanya komplikasi ini terjadi bersama dengan traumanya, di
mana biasanya ada abrasi, disertai dapat ada luka terbuka, apalagi
bila ada fraktur terbuka. Edema yang terbentuk juga dapat
menyebabkan kerusakan kulit sekitar, termasuk saat pemasangan gips
dan plaster of Paris dapat terbentuk penekanan hingga terjadi ulkus
dekubitus.
ii. Komplikasi Vaskular
Dapat terjadi kerusakan pada arteri kecil maupun arteri besar. Di
mana, pada kerusakan arteri besar maka akan nampak tanda tanda
perdarahan hingga syok, apalagi jika fraktur terjadi pada femur yang
merusak arteri femoralis. Pada kerusakan arteri kecil maka kerusakan
tidak terlalu besar jika hanya obliterasi biasa, namun pada oklusi
arteri akibat penekanan pada struktur organ karena posisi tulang. Di
sini terjadi Volkmann Ischemic Contracture. Biasanya tandanya ialah
adanya nyeri, kesemutan, dan turunnya CRT, serta hilangnya pulsasi
arteri distal.
iii. Komplikasi Neurologis
Komplikasi neurologis yang segera terjadi biasanya berkaitan
langsung dengan traumanya, misalnya trauma pada kepala, SSP, dll.
16

iv. Komplikasi Pada Otot


Dapat terjadi kerusakan otot dan robekan yang berat.
b. Komplikasi pada Organ Lain
i. Trauma Multiple
ii. Hemorrhagic Shock
B. Komplikasi Awal
a. Komplikasi Lokal
i. Komplikasi pada Sendi
Dapat terjadi septic arthritis akibat masuknya bakteri ke dalam tulang
ii. Komplikasi pada Tulang
1. Infeksi pada Tulang [Osteomyelitis]
Infeksi dapat terjadi akibat kontak tulang dengan luar, di
mana sangat sering terjadi pada fraktur terbuka yang tidak
segera ditangani.
2. Nekrosis Avaskular
Terjadi karena kerusakan sistem pembuluh darah yang
mendarahi tulang pada kanalikuli havers, akibatny perfusi ke
tulang menurun, tulang mengalami iskemia dan akibatnya
kematian sel.
b. Komplikasi pada Organ Lain
i. Emboli Lemak & Emboli Paru
Release dari struktur intra tulang dan sekitarnya disertai
kerusakan pembuluh darah dapat menebabkan masuknya lemak ke
dalam sirkulasi dan menyebabkan emboli, di mana yang paling sering
adalah emboli paru yang dapat berakibat fatal. Dapat diserai dengan
kerusakan kapiler pada paru paru dan ditandai dengan respiratory
distress, biasanya keadaan ini muncul pada hari kedua.
ii. Tetanus
C. Komplikasi Lanjut
a. Komplikasi pada Sendi
Dapat terjadi kontraktur dan kekakuan sendi, biasanya hal ini disebabkan
karena adanya adhesi / perlekatan pada sekitar sendi maupun dengan struktur
sekitarnya seperti otot dan tulang.
b. Komplikasi pada Tulang
i. Penyembuhan fraktur yang abnormal
1. Malunion
Penyembuhan tulang yang disertai dengan deformitas oleh
karena penyambungan tulang tidak persis seperti semula.
2. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus
berjalan dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan
normal.

Delayed

union

merupakankegagalan

fraktur

berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang


17

untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai


darah ke tulang
3. Non-Union
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6 - 9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseuardoarthrosis.
Di mana secara klinis dan radiologis tidak terjadi
penyambungan kedua fragmen tulang.
o Tipe I (hypertrophic non union) :
Tidak akan terjadi proses penyembuhan
fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh
jaringan fibrous yang masih mempunyai potensi
untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi
dan bone grafting.
o Tipe II (atrophic non union) :
Disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat
jaringan sinovial sebagai
rongga sinovial yang

kapsul

berisi

sendi

beserta

cairan,

proses

union tidak akan dicapai walaupun dilakukan


imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti
disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi
fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak
memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi
interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis)

Gambar 9 Komplikasi Non Union


ii. Gangguan pertumbuhan karena kerusakan pada ephyphiseal plate
iii. Osteoporosis pasca trauma
iv. Sudeck Atrophy
18

Biasanya

terjadi

dalam

kondisi

di

mana

pasien

gagal

mengembalikan fungsi normal kaki dan tangannya, dapat terjadi


kekakuan sendi dengan nyeri saat digerakkan.
II.7 Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip 4R (chairudin Rasjad) :

Recognition
: diagnosis dan penilaian fraktur
Reduction
Retention
: Immobilisasi
Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin

Recognition/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.

Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang)
adalah

mengembalikan

fragmen

tulang

pada

kesejajarannya

dan

rotasfanatomis
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat
fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter
melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit
bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan
untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur,
dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan
anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan
lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara
gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan
19

menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang.


Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah
dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi
fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus
pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk
melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna
dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan
untuk

mempertahankan

fragmen

tulang

dalam

posisnya

sampai

penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi
tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga
aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.

Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar
sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur.

Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan
ahli

bedah

ortopedi

diberitahu

segera

bila ada

tanda

gangguan

neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan


berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan
20

nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan


untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas
semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna
memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan
stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada
ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan
beban berat badan.
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan
splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum
maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma,
sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien
stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips
atau dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.
Tujuan Pengobatan fraktur :
1. Reposisi :
Dengan tujuan mengembalikan fragmen ke posisi anatomis

Tertutup : fiksasi eksterna (gips), Traksi (kulit, sekeletal)

Terbuka : Indikasi :
1. Reposisi tertutup gagal
2. Fragmen bergeser dari apa yang diharapkan
3. Mobilisasi dini
4. Fraktur multiple
5. Fraktur Patologis

2. IMOBILISASI / FIKSASI
Tujuan : mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai Union.
Jenis Fiksasi :

Ekternal / OREF
- Gips ( plester cast)
- Traksi

Indikasi :

Pemendekan (shortening)

Fraktur unstable : oblique, spiral

21

Kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar

Macam macam Traksi :


1. Traksi Gravitasi
2. Skin traction

: U- Slab pada fraktur humerus


: Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur

sehingga fragmen akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5


kg karena bila kelebihan kulit akan lepas.
3. Skeletal traction
: K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
Dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur,
lutut), pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris)
Komplikasi Traksi :
1. Gangguan sirkulasi darah bila beban > 12 kg
2. Trauma saraf peroneus (kruris) / drop foot
3. Sindroma kompartemen
4. Infeksi pada tempat masuknya pin

Gambar 11 Reduksi Tertutup

22

Gambar 12 Metode Traksi


Indikasi OREF :
1. Fraktur terbuka derajat III
2. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
3. fraktur dengan gangguan neurovaskuler
4. Fraktur Kominutif
5. Fraktur Pelvis
6. Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
7. Non Union
8. Trauma multiple

23

Gambar 13 Pemasangan OREF pada Fraktur Tibia - Fibula

Internal / ORIF : K-wire, plating, screw, k-nail

Gambar 14 Pemasangan ORIF


3. Union
Prinsip terjadinya Union :
a. Dewasa
: Kortikal 3 bulan, Kanselus 6 minggu
b. Anak-anak
: separuh dari orang dewasa
4. Rehabilitasi

DAFTAR PUSTAKA

24

1. Thompson JC.Netters Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy. 1st edition.


Philadelphia; Mosby Elsevier. 2001.
2. Canale ST and Beaty JH. Editors. Campbells Operative Orthopaedics. 11 th ed.
Philadelhia, Pennsylvania; Mosby Elsivier. 2007.
3. John P, Ign. Riwanto. Anorektum. In: Sjamsuhidajat R, Jong W.D, editors. Buku
Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. EGC. Jakarta; 2011.
4. Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang
Lamumpatue.
5. Skinner, Harry B. 2006. Current Diagnosis & Treatment In Orthopedics. USA: The
McGraw-Hill Companies

25

You might also like