You are on page 1of 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Epilepsi

2.1.1. Definisi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum
terjadi dan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi
yang berbeda-beda ditandai dengan kejang yang tiba-tiba dan berulang. Tidak ada
perbedaan usia, jenis kelamin, atau ras, meskipun kejadian kejang epilepsi yang
pertama mempunyai dua pembagian, dengan puncaknya pada saat masa kanakkanak dan setelah usia 60 tahun (WHO, 2012).
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani dan Latin untuk kejang dan
mengambil alih (WHO, 2005). Epilepsi berasal dari kata Yunani, epilambanmein,
yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh
jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci.
Hal ini yang melatarbelakangi adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi.
Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan
penderita epilepsi dalam kehidupan normal.
Kejang berasal dari bahasa Latin, sacire, yang berarti untuk mengambil
alih. Kejang adalah suatu kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya
agregat dari sel-sel saraf di sistem saraf pusat yang abnormal dan berlebihan
(Lowenstein, 2010).
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Epilepsi ditetapkan
sebagai kejang epileptik berulang (dua atau lebih), yang tidak dipicu oleh
penyebab yang akut (Markand, 2009).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan

Universitas Sumatera Utara

atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok


sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya
muatan listrik yang berlebihan ini dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan
menimbulkan gejala seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan
jangka pendek, halusinasi sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh (Miller, 2009).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang
terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus dan kronisitas (Engel Jr, 2006).

2.1.2. Epidemiologi
WHO melaporkan sebanyak sekitar 43 juta orang dengan epilepsi berasal
dari 108 negara yang mencakup 85,4% dari populasi dunia. Angka rata-rata orang
dengan epilepsi per 1000 populasi adalah 8,93 dari 105 negara. Angka rata-rata
orang dengan epilepsi per 1000 populasi bervariasi di seluruh wilayah. Amerika
mempunyai angka rata-rata 12,59, 11,29 di Afrika, 9,4 di Mediterania Timur, 8,23
di Eropa, dan 3,66 di Pasifik Barat. Sementara itu, Asia Tenggara memiliki angka
rata-rata sebanyak 9,97 (WHO, 2005).
Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi membuktikan
keseragaman pada angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi epilepsi di negara
maju adalah 24-53 per 100.000 populasi. Terdapat beberapa studi kejadian
epilepsi di negara berkembang, tetapi tidak ada yang cukup prospektif. Mereka
menunjukkan 49,3-190 per 100.000 populasi. Tingkat insidensi tinggi di negara
berkembang yang dianggap sebagai akibat dari infeksi parasit terutama
neurosistiserkosis, HIV, trauma, dan morbiditas perinatal sulit untuk ditafsirkan
karena masalah metodologis, terutama kurangnya penyesuaian usia, yang penting
karena epilepsi memiliki dua bimodal terkait usia. Sedangkan di negara maju,
insidensi di kalangan orang tua meningkat dan menurun di kalangan anak-anak.
Hal ini diakibatkan karena meningkatnya risiko penyakit serebrovaskular.
Sebaliknya, perawatan obstetrik yang lebih baik dan pengendalian infeksi dapat
mengurangi angka kejadian pada anak-anak. Tingkat insidensi di dunia lebih
besar pada pria dibandingkan wanita (WHO, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum


diketahui. Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun
insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang penduduknya berkisar 220
juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami
bangkitan dan membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta orang (Hawari, 2011).

2.1.3. Etiologi
Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:
1. Neonatal
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik
(hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6, defisiensi biotinidase,
fenilketonuria).
2. Bayi (1-6 bulan)
Kelainan kongenital, kelainan

saat

persalinan,

anoksia,

kelainan

metabolik, spasme infantil, Sindroma West.


3. Anak (6 bulan 3 tahun)
Spasme infantil, kejang demam, kelainan saat persalinan dan anoksia,
infeksi, trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan obatobatan.
4. Anak (3-10 tahun)
Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi,
thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma
Lennox Gastaut, Rolandic epilepsi.
5. Remaja (10-18 tahun)
Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik, epilepsi
mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan.
6. Dewasa muda (18-25 tahun)
Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat sedasi
lainnya.
7. Dewasa (35-60 tahun)
Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya.

Universitas Sumatera Utara

8. Usia lanjut (>60 tahun)


Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses, penyakit
degeneratif, trauma.

Gambar 2.1. Distribusi penyebab utama kejang di berbagai usia (diadaptasi dari
berbagai sumber termasuk Hauser dan Annegers serta Engel dan Pedley)
Sumber: (Ropper dan Brown, 2005)

Meningitis atau ensefalitis dan komplikasinya mungkin adalah penyebab


kejang di semua kelompok usia. Hal ini dikarenakan adanya gangguan metabolik
yang berat. Pada negara tropis dan subtropis, infeksi parasit pada sistem saraf
pusat adalah penyebab umum kejang.

2.1.4. Klasifikasi
Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Against
Epilepsi (1981):
A. Bangkitan parsial
a.

b.

Bangkitan parsial sederhana


1.

Motorik

2.

Sensorik

3.

Otonom

4.

Psikis

Bangkitan parsial kompleks


1.

Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran

2.

Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal


bangkitan

Universitas Sumatera Utara

c.

Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder


1.

Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik

2.

Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik

3.

Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi


umum tonik-klonik

B. Bangkitan umum
a.

Absans (lena)

b.

Mioklonik

c.

Klonik

d.

Tonik

e.

Tonik-klonik

f.

Atonik

C. Tak tergolongkan

Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 1989 (Rudzinski dan Shih,


2011):
A. Berkaitan dengan letak fokus
a.

Idiopatik (primer)
1.

Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal


(Rolandik benigna)

b.

2.

Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

3.

Primary reading epilepsy

Simtomatik (sekunder)
1.

Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak (Sindrom


Kojewnikow)

c.

2.

Epilepsi lobus temporalis

3.

Epilepsi lobus frontalis

4.

Epilepsi lobus parietalis

5.

Epilepsi lobus oksipitalis

Kriptogenik

B. Umum

Universitas Sumatera Utara

a.

b.

c.

Idiopatik (primer)
1.

Kejang neonatus familial benigna

2.

Kejang neonatus benigna

3.

Epilepsi mioklonik benigna pada bayi

4.

Epilepsi absans pada anak

5.

Epilepsi absans pada remaja

6.

Epilepsi mioklonik pada remaja

7.

Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga

8.

Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak

Kriptogenik atau simtomatik


1.

Sindroma West (spasme infantil dan hipsaritmia)

2.

Sindroma Lennox Gastaut

3.

Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik

4.

Epilepsi dengan absans mioklonik

Simtomatik
1.

Etiologi non spesifik


- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara

2.

Etiologi atau sindroma spesifik


- Malformasi serebral
- Gangguan metabolisme

C. Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan


a.

b.

Serangan umum fokal


1.

Kejang neonatal

2.

Epilepsi mioklonik berat pada bayi

3.

Sindroma Taissinare

4.

Sindroma Landau Kleffner

Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

D. Epilepsi berkaitan dengan situasi


a.

Kejang demam

b.

Berkaitan dengan alkohol

Universitas Sumatera Utara

c.

Berkaitan dengan obat-obatan

d.

Eklamsi

e.

Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

2.1.5. Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang
bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat
dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam
perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang
berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau
jaringan neuron.
-

Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada
tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbangligan; atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan
permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi
berkepanjangan yang mengawali kejang.

Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari
perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi
perubahan

konsentrasi

ion,

perubahan

metabolik,

dan

kadar

Universitas Sumatera Utara

neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan


sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama
kejang,

yang

mendahului

perubahan

pada

K2+.

konsentasi

Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar


K2+.
-

Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di


sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron
inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk
aktivasi neuron inhibisi.

2. Mekanisme epileptogenesis
-

Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan
kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan
pompa Na+-K+ akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan
epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur
kadar Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang diaktivasi oleh GABA,
dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung
sinaps

bergantung

pada

lamanya

depolarisasi

dan

jumlah

neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing


abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal
memainkan peran penting pada epileptogenesis.
-

Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan
inhibisi GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
o GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan
serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada
potongan jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang
resisten

terhadap

obat,

memperkirakan

bahwa

pasien

ini

mengalami penurunan inhibisi.


o Glutamat

Universitas Sumatera Utara

Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan


peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama
dan mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada
hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi
GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang
non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di
glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang
epileptogenetik (Eisai, 2012).

2.1.6. Gejala Klinis


Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang
berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua
hemisfer otak terlibat secara bersamaan.
Tabel 2.1. Manifestasi klinis bangkitan epilepsi
Tipe kejang

Ciri khas

Kejang parsial
Parsial sederhana

Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik,


otonom, atau kejiwaan.
Kesadaran normal.

Parsial kompleks

Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik,


otonom,atau kejiwaan.
Adanya penurunan kesadaran.

Kejang umum
Tonik-klonik

Kekakuan tonik yang diikuti oleh sentakan ekstremitas


yang sinkron.
Dapat disertai inkontinensia.
Diikuti dengan kebingungan pasca kejang.

Absans

Hilangnya kesadaran yang singkat (biasanya <10


detik) dengan terhentinya aktivitas yang sedang
berlangsung.

Universitas Sumatera Utara

Dapat disertai gerakan otomatis, seperti mengedip.


Pola EEG menunjukkan gambaran paku-ombak (spikeand-wave).
Mioklonik

Adanya satu atau banyak sentakan otot.


Kesadaran normal.
Biasanya bilateral dan simetris.

Atonik

Hilangnya tonus otot yang singkat.

Tonik

Kontraksi otot yang berkepanjangan.

Klonik

Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas secara


berulang-ulang.

Sumber: (Miller, 2009)


2.1.7. Penegakan Diagnosa
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang
yang tidak dipicu (Rudzinski dan Shih, 2011). Diagnosis pasti dapat ditegakkan
hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat
dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang
tetap yang paling utama (Miller, 2009).
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat
diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan
yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak (Sunaryo, 2006).
1.

Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena

pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.


Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:
a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan

Universitas Sumatera Utara

e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2.

Pemeriksaan fisik dan neurologi


Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda

meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus menepis
sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumubuhan otak unilateral.
Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk
mencari tanda-tanda fokal atau lateral.
3.

Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan
bahkan sindrom epilepsi (Markand, 2009). EEG juga dapat membantu
pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien (Smith, 2005).
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar
dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur (Sunaryo, 2006). Gambaran
EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya
gelombang tajam (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksismal.
b. Pemeriksaan radiologis

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan

yang

dikenal

dengan

istilah

pencitraan

otak

(neuroimaging) bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi


data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih
unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan
menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single
Photon Emission Computerised Tomography (SPECT), Positron Emission
Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk
menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan
struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan
lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan (Consensus
Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).

2.1.8. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi
(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang
sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai
beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah
sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan
menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai
berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan
faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental.
Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1.

Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam

menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan,


pendekatan yang mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go
slow) akan mengurangi risiko intoleransi obat (Smith dan Chadwick, 2001).
Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka panjang.

Universitas Sumatera Utara

Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan


keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi
(Louis, Rosenfeld, Bramley, 2009). Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat
dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya
Tipe kejang

Lini pertama

Lini kedua

Parsial sederhana,

Carbamazepine

Acetazolamide

Parsial kompleks,

Lamotrigine

Clonazepam

Umum sekunder

Levetiracetam

Gabapentin

Oxcarbazepine

Phenobarbitone

Topiramate

Phenytoin

Kejang parsial

Valproate
Kejang umum
Tonik-klonik,

Carbamazepine

Acetazolamide

Klonik

Lamotrigine

Levetiracetam

Topiramate

Phenobarbitone

Valproate

Phenytoin

Ethosuximide

Acetazolamide

Lamotrigine

Clonazepam

Absans

Valproate
Absans atipikal,

Valproate

Acetazolamide

Atonik,

Clonazepam

Tonik

Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate

Mioklonik

Valproate

Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam

Universitas Sumatera Utara

Phenobarbitone
Piracetam
Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010)
2.

Terapi bedah epilepsi


Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan

meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi


dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2
tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau
jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima.
Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh
daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal
didekatnya (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).

2.2.

Perilaku
Perilaku

adalah

suatu

kegiatan

atau

aktivitas

organisme

yang

bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan


atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak
dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skinnier (1938) dalam Notoatmodjo
(2012), perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus. Ia
membedakan adanya dua respons, yaitu:
a. Respondent response atau reflexive, yaitu respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut
eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif
tetap.
b. Operant response atau instrumental response, yaitu respons yang timbul
dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu. Stimulus ini
disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat
respons.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a. Perilaku tertutup (covert behavior)


Respons terhadap stimulus masih terbatas pada perhatian, persepsi
pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang
menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh
orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons terhadap stimulus sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik,
yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan,

dan

minuman,

serta

lingkungan.

Perilaku

kesehatan

dapat

diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:


a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)
b. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan
kesehatan (health seeking behavior)
c. Perilaku kesehatan lingkungan
Becker (1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan ini,
yaitu:
a. Perilaku hidup sehat, yaitu perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya
atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan atau meningkatkan
kesehatannya.
b. Perilaku sakit, mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,
persepsi terhadap sakit, dan pengetahuan tentang penyakit.
c. Perilaku peran sakit, mencakup tindakan untuk memperoleh kesembuhan,
mengetahui fasilitas atau sarana peyembuhan penyakit yang layak, serta
mengetahui hak dan kewajiban orang sakit.
Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi
perilaku manusia ke dalam tiga domain, sesuai dengan tujuan pendidikan. Bloom
menyebutnya ranah atau kawasan, yakni: a) kognitif, b) afektif, c) psikomotor.
Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil
pendidikan kesehatan, yakni pengetahuan, sikap, dan tindakan.

Universitas Sumatera Utara

2.2.1. Pengetahuan (Knowledge)


Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam
tingkatan, yakni:
1.

Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2.

Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus

dapat

menjelaskan,

menyebutkan

contoh,

menyimpulkan,

meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.


3.

Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4.

Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

Universitas Sumatera Utara

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5.

Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6.

Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoatmodjo, 2012).

2.2.2. Sikap (Attitude)


Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial
menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak,
dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu
perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Alport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen
pokok, yaitu:
1.

Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2.

Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3.

Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Universitas Sumatera Utara

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh


(total attitude).
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
1.

Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).

2.

Merespons (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu
usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang
menerima ide tersebut.

3.

Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4.

Bertanggung jawab (responsible)


Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden


terhadap suatu objek. Secara langsung dapat dilakukan dengan pernyataanpernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo,
2012).

2.2.3. Tindakan (Practice)


Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung
untuk suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah faktor fasilitas dan
faktor dukungan. Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:
1.

Respons terpimpin (guided response)

Universitas Sumatera Utara

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh merupakan indikator tindakan tingkat pertama.
2.

Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai tindakan tingkat kedua.

3.

Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan

wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,


atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung,
yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Pengukuran
tindakan juga dapat diukur dari hasil perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2012).

Universitas Sumatera Utara

You might also like