You are on page 1of 14

TUGAS MID

MAKALAH POLITIK HUKUM


PERANAN POLITIK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI
INDONESIA

DI SUSUN OLEH :
FITRI ZULFIANTI
21309025
KELAS : V.C

FAKULTAS ILMU HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI

2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga tugas mata kuliah POLITIK HUKUM & DEMOKRASI MAKALAH
POLITIK HUKUM dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penyelesaian tugas ini tentunya tidak lepas dari berbagai macam kendala. Namun dengan
upaya yang maksimal serta adanya arahan/bimbingan serta bantuan dan motivasi dari rekanrekan terutama Dosen mata kuliah, akhirnya tugas ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan, penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya.
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa tugas ini mungkin masih terdapat hal-hal
yang dianggap belum sempurna terutama hasil pembahasannya. Oleh karena itu kritik dan saran
yang sifatnya membangun dari dosen mata pelajaran ini sangat diharapkan.

Kendari,

november 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

ii

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang...................................................................................

I.2 Rumusan Masalah..............................................................................

I.3 Tujuan dan Manfaat............................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian hukum .............. .. 7
2.2 Peranan politik hukum dalam perkembangan hukum di indonesia

BAB 3

PENUTUP
3.1

Kesimpulan......................................................................................

13

3.2

Saran.................................................................................................

13

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Perlu kita ketahui bahwa pada Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang
bersifat memaksakan kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan
Pemerintah pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya
pembelengguan disegala sektor, dimulai dari sector Hukum/undang-undang,
perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya. Dan untuk
mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang
hukum dan Politik, untuk meyakinkan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan
landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun
1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan
sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh. Dengan Ketetapan MPRS
No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen yaitu Pancasila. Pada pembangunan lima tahun yang merupakan sebagai Rule of Law
pada tahun 1969 merujuk kepada paragraf Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa Indonesia
adalah negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan
belaka, dimana Hukum di fungsikan sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat proses
pembangunan melakukan pendekatan baru yang dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan
hukum dan fungsi hukum dengan permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada persoalan
normative dan ligitigatif (dengan kombinasi melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum
nasional). Yang secara Eksplisit dan resmi dalam naskah Rancangan Pembangunan Lima Tahun
Kedua Tahun 1974, Bab 27 Paragraf IV butir I Menguraikan : Hukum dan Rancangan
Perundang-undangan, dengan prioritas untuk meninjau kembali dan merancang peraturanperaturan perundangundangan sesuai dengan pembangunan sosial-ekonomi (perundanganundangan disektor social-ekonomi. Kontinuitas Perkembangan Hukum Dari Hukum Kolonial Ke
Hukum Kolonial yang dinasionalisasi, adalah pendayagunaan hukum untuk kepentingan

pembangunan Indonesia, adalah dengan hukum yang telah diakui dan berkembang dikalangan
bisnis Internasional (berasal dari hukum dan praktek bisnis Amirika), Para ahli hukum praktek
yang mempelajari hukum eropa (belanda), dalam hal ini, mochtar berpengalaman luas dalam
unsur-unsur hukum dan bisnis Internasional, telah melakukan pengembangan hukum nasional
Indonesia dengan dasar hukum kolonial yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila
adalah yang dipandang paling logis.

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian hukum ?
2. Bagaimana peranan politik hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia?

I.3 Tujuan dan Manfaat


1. Untuk mengetahui pengertian hukum.
2. Untuk mengetahui peranan politik hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia .

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia
agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan
atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat
pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau
ketentuanketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan
menyediakan sangsi bagi pelanggarnya. Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti
ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan
bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses
pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum
bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya
sendiri.

2.2 Peranan Politik Hukum dalam Perkembangan Hukum di Indonesia


Sudah banyak pengertian atau definisi tentang politik hukum yang diberikan oleh para
ahli di dalam berbagai literature. Dari berbagai pengertian atau definisi itu, dengan mengambil
substansinya yang ternyata sama, bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru
maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara. Dengan
demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan
sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang

kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan Negara seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 1945. Secara lebih spesifik perkembangan karakter produk hukum tentang
Pemilu, Pemda, dan Agraria menurut penggalan waktu (periodisasi) konfigurasi politik tersebut
adalah sebagai berikut. Hukum Pemilu Setelah proklamasi kemerdekaan (selama periode 19451959) berbagai eksperimen, perundang-undangan tentang Pemilu dikeluarkan, tetapi pada era ini
terjadi Pemilu yang benar-benar fair , yaitu Pemilu untuk anggota DPR dan konstituante pada
tahun 1955 dilaksanakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953 ini memuat materi sangat rinci (139
pasal)sehingga tidak memberikan space yang terlalu besar kepada eksekutif untuk
menafsirkannya dengan peraturan pelaksana menurut visi politiknya sendiri. Organisasi
penyelenggara Pemilu adalah independen dan tidak di intervensi oleh kekuatan politik
pemerintah. Pengangkatan anggota DPR maupun konstituante yang tidak berdasar hasil Pemilu
hanya dimungkinkan bila terjadi situasi memaksa tertentu, yaitu adanya daerah yang berhalangan
menyelenggarakan pemungutan suara (sehingga dimungkinkan pengangkatan untuk sementara),
atau karena kuri-kursi DPR dan konstituante tidak terbagi habis setelah dibagi-bagi menurut
perimbangan perolehan suara, atau karena tidak terpenuhinya jumlah minimal tertentu untuk
golongan minoritas China, Arab, dan Eropa. Dengan demikian, produk hukum Pemilu pada era
ini dikualifikasi sebagai produk hukum yang lebih berwatak responsive/populistik. Pada era
demokrasi terpimpin (1959-1966) tidak pernah ada Pemilu maupun UU Pemilu, sesuai dengan
konfigurasi politik yang sangat otoriter. Tetapi lembaga perwakilan rakyat yang ada mengalami
emaskulasi untuk akhirnya dibubarkan oleh presiden. Logika pembangunan ekonomi pada era
Orde Baru (1966-1998) telah menyebabkan pemerintah mengambil sikap tertentu tentang
Pemilu, yakni Pemilu harus diadakan sesuai dengan tuntutan konstitusi, tetapi kekuatan
pemerintah harus menang. Oleh sebab itu, UU Pemilu, yaitu UU No. 15 Tahun 1969, yang
kemudian hampir selalu diperbaharui setiap menjelang Pemilu, lebih cenderung berwatak
konservatif/ortodoks/elitis. Artinya lebih banyak memberi keuntungan kepada kekuatan politik
pemerintah. Di dalam UU tersebut dianut system pengangkatan secara tetap (untuk jumlah
tertentu) yang ditentukan oleh dan untuk visi politik pemerintah. Organisasi penyelenggara
Pemilu dinilai tidak netral dan peraturan-peraturan pelaksanaannya yang merupakan interpretasi
resmi atas UU Pemilu (electoral laws) dinilai tidak fair. UU No. 15 Tahun 1969 yang hanya
memuat 37 pasal memang member space sangat luas kepada pemerintah untuk memberikan
interpretasi, yang dalam banyak hal dinilai tidak sekadar interpretasi teknis. Hukum Pemda

Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945 membawa semangat demokrasi yang


cenderung liberal sehingga masalah desentralisasi menjadi salah satu perhatian utama. Pada
periode 1945-1959, masalah desentralisasi berjalan secara eksperimental dalam wujud lahirnya
UU Pemerintahan Daerah (Pemda) sampai tiga kali, yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22
Tahun 1948, dan UU No. 1 Tahun 1957. Secara umum hukum Pemda pada era 1945-1959 ini
dapat dikualifikasi sebagai hukum yang berkarakter sangat renponsif/populistik karena luasnya
otonomi yang diberikan kepada daerah. DPRD merupakan penanggung jawab utama dalam
penyelenggaraan desentralisasi, sedangkan tugas pembantuan lebih banyak ditangani oleh
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemilihan kepala daerah otonom juga sangat fair, yakni
dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat yang untuk tahap awal (sebelum ada UU
tentan Pemilihan Kepala Daerah) dipilih oleh DPRD. Begitu juag control pusat terhadap produk
Peraturan Daerah (Perda) hanya dibatasi pada hal-hal tertentu yakni pada masalah-malasah yang
menyangkut kepentingan umum. Pemerintah pada era demokrasi terpimpin memandang system
otonomi atau desentralisasi yang berlaku sejak zaman demokrasi liberal membahayakan
keutuhan nasional karena tendensi pada timbulnya gerakangerakan daerah yang disintegratif.
Presiden Soekarno segera mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang merombak secara total
dasar-dasar yang dipakai oleh UU No. 1 Tahun 1957. Penpres No. 6 Tahun 1959 menggeser
dominasi asas desentralisasi kea rah sentralisasi atau pengendalian daerah secara ketat oleh
pusat. Meskipun penpres tersebut secara formal masih menyebut asas otonomi nyata yang
seluas-luasnya, namun asas tersebut tidak dielaborasi sama sekali, malahan penpres itu
memuat ketentuanketentuan yang sangat tidak sesuai dengan prinsip desentralisasi. Kepala
daerah diangkat dan ditentukan sepenuhnya oleh pusat dengan kedudukan sekaligus sebagai
pengawas (atas nama pusat) atas jalannya pemerintahan di daerah yang diberi wewenang untuk
menangguhkan keputusan-keputusan DPRD. Penpres ini kemudian digantikan oleh UU No. 18
Tahun 1965 yang lebih merupakan penggantian baju hukum karena isinya tidak mengandung
perubahan yang berarti, bahkan dapat dikatakan bahwa UU No. 18 Tahun 1965 mengambil
hamper seluruh isi Penpres No. 6 Tahun 1969 sebagai materinya. Dengan demikian, produk
hukum tentang Pemda pada periode ini memiliki karakter yang sangat
konservatif/ortodoks/elitis. Era Orde Baru (1966-1998) yang berusaha menggalang persatuan
dan kesatuan melakukan perubahan terhadap UU No. 18 Tahun 1965. Meskipun pada awal
Orde Baru, MPRS menetapkan asas otonomi nyata yang seluas-luasnya, tetapi ketetapan MPRS

ini harus diganti sebelum berlaku. Orde Baru memandang penetapan otonomi yang seluas
luasnya bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan sehingga harus diganti dengan asas
otonomi nyata dan bertanggung jawab yang lebih merupakan kewajiban bagi daerah. Asas
otonomi nyata dan bertanggung jawab ini dituangkan dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973
yang kemudian dijabarkan dengan UU No. 5 Tahun 1974. Meskipun tidak seekstrem UU No. 18
Tahun 1965, UU No. 6 Tahun 1974 ini dapat dikualifikasi sebagai produk hukum yang
cenderung berkarakter konservatif karena memberikan porsi kekuasaan kepada pusat secara lebih
dominan. Kepala daerah diangkat oleh pusat dari calon-calon yang diajukan daerah berdasarkan
hasil pemilihan DPRD tanpa terikat pada peringkat hasil pemilihan DPRD itu. Calon-calon yang
akan dipilih untuk diusulkan oleh DPRD itu harus mendapat persetujuan lebih dulu dari pusat.
Hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan kepala daerah sebagai organ daerah otonom
sekaligus alat pusat di daerah. Kepala daerah diletakkan pada posisi penguasa tunggal dalam
bidang pemerintahan di wilayahnya masing-masing yang menempel di atas daerah otonom.
Control pusat atas daerah masih melalui pengawasan preventif, pengawasan represif, dan
pengawasan umum. Dengan demikian, desentralisasi menurut UU No. 5 Tahun 1974 sebenarnya
lebih diwarnai oleh sentralisasi sehingga produk hukum ini bukan produk yang berwatak
renponsif. Hukum Agraria Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, hukumhukum agraria yang ditinggalkan kolonialisme Belanda mendapat gugatan secara gencar agar
diganti dengan hukum agraria yang lebih renponsif. Pemerintah sendiri menempuh dua jalur
untuk memenuhi gugatangugatan itu, yaitu mengeluarkan peraturan perundang-undangan secara
parsial dalam bidang keagrariaan dan membentuk berbagai Panitia Perancang Hukum Agraria
Nasional. Peraturan perundang-undangan yang sifatnya parsial itu dibuat untuk sementara sambil
menunggu lahirnya hukum agrarian nasional yang materi-materinya berisi pencabutan terhadap
bidang-bidang tertentu dalam hukum agraria yang dirasa sangat tidak adil. Seperti
pencabutan hak konversi bagi pengusaha Eropa dengan UU No. 13 Tahun 1948, penghapusan
tanah partikelir dengan UU No. 1 Tahun 1958, perubahan Peraturan Persewaan Tanah dengan
UU Darurat No. 6 Tahun 1951 (yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 6 Tahun 1952) dan
sebagainya. Semua produk hukum dalam bidang agraria yang masih bersifat parsial mempunyai
karakter yang lebih renponsif/populistik. Sejak awal kemerdekaan pemerintah juga telah
mengambil langkah-langkah untuk membuat hukum agraria nasional yang komprehensif melalui
pembentukkan berbagai Panitia Agraria. Mula-mula dibentuk Panitia Agraria Yogya (1948),

kemudian disusul dengan Panitia Agraria Jakarta (1951), dan Panitia Soewahjo (1956).
Rangkuman hasil-hasil kerja berbagai panitia itu diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada
DPR sebagai RUU. Namun, RUU yang diajukan pada era demokrasi liberal ini kemudian ditarik
oleh pemerintah karena terjadi perubahan konstitusi berkenaan dengan Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959. RUU tersebut setelah diperbaharui atau disesuaikan dengan terma-terma yang ada
dalam UUD 1945 dan konsepsi demokrasi terpimpin diajukan lagi kepada DPR sebagai RUU
pada tahun 1960 oleh Menteri Agraria Sadjarwo untuk kemudian disahkan menjadi UU No. 5
Tahun 1960 yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA (Undang- Undang Pokok Agraria). UUPA
menghapus semua watak yang melekat pada AW 1870 dan semua produk hukum yang
menyertainya, yaitu watak dualistic, feodalistik, dan ekploitatif. UUPA juga memuat asas fungsi
social bagi hak atas tanah serta prinsip pembatasan luas maksimum dan minimum
tanah yang dapat dimiliki secara adil. Domeinverklaring dinyatakan dicabut dan diganti dengan
asas hak menguasai dari Negara yang berorientasi pada upaya mengusahakan kemakmuran
rakyat yang sebesar-besarnya sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian,
UUPA berkarakter sangan renponsif/populistik. Kasus UUPA menjadi satu-satunya produk
hukum yang berkarakter responsive dalam penelitian ini pada era demokrasi terpimpin yang
otoriter. Hal ini bisa dijelaskan dari empat hal, yaitu : Pertama, UUPA berasal dari warisan
(rancangan-rancangan) zaman demokrasi liberal yang pengundangannya tertunda karena ada
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kedua, UUPA memuat materi yang membalik dasr-dasar
kolonialisme yang sudah pasti sangat ditentang oleh semua pemimpin Indonesia, baik pemimpin
yang demokratis maupun yang otoriter. Ketiga, materi UUPA tidak menyangkut distribusi
kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan mengganggu sebuah rezim otoriter sekalipun.
Keempat, UUPA tidak hanya memuat aspek public (hukum administrasi Negara), tetapi juga
memuat masalah-masalah privat (hukum perdata). Pada era Orde Baru tidak diperlukan lagi
sebuah produk hukum agraria nasional karena Indonesia sudah meiliki UUPA. Oleh sebab itu,
hanya dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan dalam bidang keagrariaan yang
sifatnya parsial. Ada tuntutan bagi Orde Baru untuk melakukan pembaharuan terhadap beberapa
masalah (parsial) dalam bidang agraria ini, seperti yang menyangkut UU Landreform (UU No.
56/PRP //1960). Dapat juga dicatat bahwa proses pembangunan pada era Orde Baru telah
menyebabkan meningkatnya tuntutan atas penggunaan lembaga onteigning (pencabutan hak atas

tanah), seperti yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961. Tetapi sikap pragmatis Orde Baru telah
melahirkan peraturan perundang-undangan parsial dalam bidang agrarian ini yang dapat
dikualifikasi cenderung berkarakter konservatif/ortodoks. Peraturan Menteri Dalam Negeri
(PMDN) No. 15 Tahun 1975 tentang Prosedur Pembebasan Tanah untuk Keperluan
Pembangunan, di samping materinya secara hierarkis tidak proporsional karena memuat materi
UU atau mengatur cara lain dari apa yang diatur UU No. 20 Tahun 1961, tidak memberikan
alternative jika musyawarah untuk pembebasan tanah itu gagal, sehingga di dalam praktik
banyak menimbulkan masalah yang cenderung selalu memenangkan pihak yang ingin
membebaskan tanah. Dalam pada itu, Inpres No. 9 Tahun 1973 dapat juga dipandang
sebagai produk peraturan perundang-undangan yang lebih memenuhi keperluan praktis
pemerintah untuk melakukan pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan. Seharusnya
materi kedua peraturan perundangundangan ini dapat dibuat lebih rinci dan diberi bentuk hukum
setingkat UU. Sedikit kemajuan terjadi pada tahun 1993, pemerintah mengeluarkan Keppres
No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Kemajuan tersebut, misalnya terlihat pada prosedur musyawarah yang lebih
terbuka untuk menentukan ganti rugi. Terlihat juga adanya jalan keluar jika penetapan ganti rugi
ditolak pemilik hak atas tanah, yakni dengan mengajukan keberatan dan minta penyelesaian
gubernur. Jika penetapan gubernur itu masih ditolak dapat ditempuh penyelesaian dengan
menggunakan UU No. 20 Tahun 1961, yaitu prosedur pencabutan hak (onteigning). Namun
Karena substansinya sangat penting, materi Keppres No. 55 Tahun 1993 seharusnya diberi baju
hukum dalam bentuk UU yang sekaligus diintegrasikan dengan UU No. 20 Tahun 1961.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hasil atas kasus-kasus ini menunjukkan bahwa perkembangan karakter produk hukum
senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi politik. Artinya
konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Pada
saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka karakter produk hukum yang
dilahirkannya cenderung responsive/populistik. Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke
sisi yang otoriter, maka produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.
Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketenteraman, kedamaian,
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum
maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses
pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum
bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya
sendiri.

3.2 S a r a n
Dalam pembuatan makalah ini, tentunya saya selaku penulis tidak lepas dari kesalahan,
ataupun kekeliruan. Oleh karena itu, saya selaku penulis mengharapkan kritik dan saran yang
dapat berguna bagi pembuatan makalah saya selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
M.D., Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2009.

You might also like