You are on page 1of 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
I. Pendahuluan
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun dan ireversibel dengan etiologi
yang beragam serta memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialysis atau trasplantasi ginjal.1 Gagal ginjal kronik dapat mengakibatkan
berbagai perubahan sistemik pada manusia yang salah satunya adalah rongga
mulut. Penderita gagal ginjal umumnya akan mengalami perubahan secara
fisiologi berupa gangguan pada indera pengecap. Hal ini dikernakan defisiensi
seng atau gangguan fungsi neurologis. Pada umumnya penderita mengeluh rasa
kecap logam (metallic taste). Penderita juga mengalami penurunan produksi saliva
karena pembatasan intake cairan. Intake cairan diperlukan untuk menjaga
keseimbangan cairan karena menurunnya output pada penderita gagal ginjal
kronik. Hal ini dapat menyebabkan xerostomia dan parotitis. Selain itu, adanya
kadar urea yang berlebih di dalam saliva akan diubaj oleh bakteri mulut menjadi
ammonia sehingga nafas berbau ammonia. Manifestasi lain di rongga mulut dapat
berupa pembesaran gingiva, halitosis, hipoplasia email dan peningkatan karies
sehingga perawatan gigi harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan umum
penderita penyakit ginjal. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko tejadinya
perdarahan, pengontrolan dalam penggunaan obat karena turunnya laju filtrasi,
glomerulus, dan pemakaian profilaksis dalam penggunaan obat karema turunnya
laju filtrasi glomerulus, dan pemakaian profilaksis antibiotik untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder. Tujuan perawatan gigi dan mulut pada penderita gagal
ginjal kronis adalah untuk memulihkan dan mempertahakan kesehatan mulut
sebaik mungkin dan untuk menghilangkan timbulnya semua kemungkinan yang
bisa menjadi sumber infeksi di kemudian hari.

II. Epidemiologi Gagal Ginjal


2.1. Distribusi Gagal Ginjal
a. Distribusi Menurut Orang
Gagal ginjal dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis
kelamin,umur maupun ras. Menurut penelitian Aghighi, dkk (2009), dari total
35.859 orang,jumlah penderita yang terdaftar di seluruh Rumah Sakit di Iran dari
tahun 1997 sampai dengan 2006, terdapat penderita laki-laki sebesar 20.633 orang
dan perempuan sebesar 15.226 orang. Rata-rata umur penderita laki-laki dan
perempuan meningkat dari umur 47 dan 49 tahun menjadi 52,5 dan 53 tahun. Dari
data United States Renal Data System (USRDS) 2008, di Amerika Serikat sejak
tahun 2000 penderita gagal ginjal untuk usia 45-64 meningkat, dengan IR dari
2,6/10.000 menjadi 6,25/10.000. Penderita dengan usia 75 meningkat dengan
cepat, dengan IR dari 1,6/10.000 menjadi 17,74/10.000. Penderita dengan usia 2044 meningkat, dengan IR dari 2,1/100.000 menjadi 12,7/100.000. Menurut hasil
penelitian Hendrati (1999) menunjukkan bahwa penderita gagal ginjal yang
menjalani hemodialisa di RSUD Dr. Sutomo Surabaya terbanyak pada laki-laki
(77,3%).23 Menurut Marlina (2009), di RSU dr. Pirngadi Medan , penderita GGA
yang terbesar pada kelompok umur 40-50 tahun (42%).13 Menurut Flora (2008)
di RSUP H Adam Malik Medan, penderita GGK terbesar terdapat pada kelompok
umur 45-59 tahun (43,1%) dan jenis kelamin laki-laki (63,8%).
b. Distribusi Menurut Tempat
Menurut penelitian Grasmaan (2005), hingga akhir tahun 2004, 52% dari
seluruh penderita gagal ginjal di dunia terdapat di Amerika, Jepang, Brazil dan
Jerman, dimana ke empat negara tersebut memiliki angka populasi penduduk
hanya 11% dari seluruh populasi di dunia. China menempati urutan ke lima
dengan penderita gagal ginjal sebanyak 48.000 penderita. Pada Tahun 2000 di
Indonesia terdapat 3000 penderita gagal ginjal terminal yang menjalani
hemodialisa dengan prevalensi sebesar 1,5/100.000 penduduk.

c. Distribusi Menurut Waktu


Berdasarkan data laporan European Renal AssociationEuropean Dialysis
and Transplant Association Registry (ERA-EDTA 2008), pada tahun 2007, IR
penderita gagal ginjal yang terdaftar adalah 1,16 per sepuluh ribu populasi,
denganPR kasus sebesar 6,62 per sepuluh ribu populasi. Pada tahun 2007,
Australia and New Zealand Dialysis and Transplant Registry, melaporkan IR
gagal ginjal tahap akhir sebesar 1,1/ 10.000 untuk Australia dan 1,09/10.000 di
New Zealand, sedangkan PR sebesar 7,97/10.000 untuk Australia dan 7,93/10.000
untuk New Zealand. Peningkatan jumlah penderita Diabetes Melitus yang terkena
penyakit ginjal di Indonesia menunjukkan angka 8,3% dari seluruh penderita
gagal ginjal terminal pada tahun 1983. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun
1993, angka ini telah meningkat lebih dari dua kali lipat yaitu 17% dari seluruh
penderita gagal ginjal terminal yang disebabkan nefropati diabetik.
III. Manifestasi oral pada penyakit ginjal kronis
Apabila aspek fungsional ginjal terganggu pada tahap terminal, maka
fungsi ginjal hampir tidak ada sehingga glomerulus filtration rate terus menurun
dan retensi dari berbagai produk buangan sistemik akan memberikan gambaran
penyakit ginjal kronis pada rongga mulut apabila kondisi tubuh dari azotemik
menjadi uremik. Berikut merupakan manifestasi penyakit ginjal kronis pada
rongga mulut, yaitu:
Bau mulut/ Halitosis
Gejala yang paling sering muncul dan paling awal terjadi apabila ginjal
gagal berfungsi adalah oral malodor atau timbulnya rasa kecap logam (metallic
taste)

akibat alterasi sensai pengecapan, terutama pada pagi hari. Rasa kecap

logam ini berupa bau ammonia, dan kondisi ini sering dialami oleh penderita yang
menjalani hemodialysis.
Xerostomia

Gejala xerostomia dapat muncul pada banyak pasien yang menjalani


hemodialisis. Xerostomia adalah kondisi mulut kering. Penyebab yang mungkin
meliputi efek samping terapi obat,pernapasan menggunakan mulut (Kussmauls
respiration) dan keterlibatan langsung kelenjar salivarius, dan restriksi konsumsi
cairan. Xerostomia yang lama dapat menjadi predisposisi timbulnya karies dan
peradangan gingiva dan dapat menyebabkan kesulitan bicara, retensi dental,
mastikasi, disfagi, luka pada mulut, dan hilang rasa. Xerostomia juga menjadi
predisposisi terjadinya karies dan kejadian infeksi, seperti kandidosis dan
sialadenitis supuratif akut serta menyebabkan kesulitan berbicara, penurunan
retensi gigi palsu, kesulitan mastikasi, disfagia, dan gangguan penciuman.
Plak, Kalkulus dan Karies
Terdapat berbagai teori yang menentang hubungan antara efek dari
penyakit ginjal kronis terhadap pembentukan plak dan kalkulus. Dalam satu
penelitian, xerostomia akan meningkatkan predisposisi penderita terhadap karies
karena retensi produk urea serta pengaliran dan produksi saliva yang sedikit.
Proses dialysis dapat memperburuk kondisi rongga mulut dimana jumlah kalkulus
meningkat, dan banyaknya dijumpai lesi karies. Deposit kalkulus dapat bertambah
akubat dari hemodialysis.
Namun menurut beberapa penelitian, hidrolisis urea akan menghasilkan
konsentrasi ammonia yang tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa pada
penderita penyakit ginjal kronis sehingga meningkatkan substansi fosfat dan
ammonia dalam saliva dan hasilnya kapasitas buffer yang tinggi disertai risiko
karies menurun. Hal ini turut didukung oleh peneliti, dimana hidrolisis urea
mampu meningkatkan kapasitas antibakteri akibat peningkatan urea nitrogen
dalam saliva. Kebenaran teori ini terus diperkuat terutama pada anak-anak
walaupun konsumsi gula yang tinggi dan kurang penjagaan kesehatan rongga
mulut, risiko karies tetap rendan dan terkontrol.
Pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan erat dengan gangguan
homeostasis kalsium-fosfor. Prepitasi kalsium dan fosfor yang didorong oleh pH

yang buruk pada penderita penyakit ginjal kronis karena hidrolisis urea saliva
menjadi ammonia, dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH menjadi
basa. Secara langsung, retensi urea akan menfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan
meningkatkan pembentukan kalkulus terutama pada penderita yang menjalani
hemodialysis. Selain itu, penderita yang menalani hemodialysis memiliki jumlah
magnesium saliva yang sangat rendah. Pada kalkulus penderita yang menjalani
hemodialysis mengandung oksalat dan pada kondisi uremia turut menyebabkan
retensi oksalat.
Pembengkakan gingiva
Pembengkakan gingiva dikarenakan terapi obat adalah manifestasi oral pada
penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan. Ini dapat disebabkan oleh
siklosporin

dan

atau

penghambat

calcium

channel.

Hal

ini

terutama

mempengaruhi papila interdental labia, walaupun dapat juga menjadi lebih luas,
meliputi margo gingiva dan lingua serta permukaan palatum.
Pembengkakan Gingiva disebabkan siklosporin
Prevalensi pembengkakan gingiva pada pasien yang meminum siklosporin masih
belum jelas, dari 6 sampai 85%. Hal ini dapat tampak 3 bulan setelah permulaan
penggunaan siklosporin. Usia anak-anak dan remaja lebih rentan terjadi penyakit
ini dibanding pada dewasa. Bila kebersihan mulut jelek, usia lebih tua dapat
rentan mendapat penyakit ini juga.
Perbaikan kebersihan mulut dapat mengurangi kejadian penyakit ini. Tetapi, ini
lebih dikarenakan pengurangan plak yang terkait proses inflamasi, dibandingkan
pelebaran gingiva karena penggunaan siklosporin ini sendiri. Ada beberapa
laporan yang masih bertentangan pada hubungan pembengkakan gingiva dengan
dosis siklosporin, tapi luas pembengkakan gingiva tampaknya tidak berhubungan
dengan fungsi cangkok ginjal.

Pengawasan secara teratur penyakit ini penting, karena karsinoma sel skuamosa
dan sarkoma Kaposi dilaporkan didapatkan pada penyakit pembengkakan gingiva
seperti ini.8

Pembengkakan gingiva disebabkan obat calcium channel blocker


Penghambat kanal kalsium digunakan oleh para pasien resipien cangkok ginjal
untuk mengurangi hipertensi dan efek nefrotoksik yang disebabkan siklosporin.
Dilaporkan penggunaan berbagai jenis obat ini, di antaranya, nifedipin,
amilodipin.,diltiazem, verapamil, oksidipin, felodipin, nitrendipin, menyebabkan
pembengkakan gingiva. Dilaporkan, prevalensi kejadian pembengkakan gingiva,
disebabkan nifedipin bervariasi antara 10-83% pasien yang dirawat. Belum ada
data mengenai prevalensi pada obat yang lain.
Adanya plak gigi dapat menjadi prediposisi pembengkakan gingiva karena
nifedipin, tapi tidak begitu penting untuk perkembangan selanjutnya. Dosis dan
durasi penggunaan tidak berhubungan dengan prevalensi pembengkakan gingiva.
Beberapa penelitian menunjukkan pengurangan kejadian pembengkakan gingiva
setelah adanya penggantian dengan Obat Penghambat Saluran Kalsium yang lain,
tapi obat-obat ini juga masih tetap dapat menyebabkan pembengkakan gingiva.6
Kombinasi terapi siklosporin dan penghambat saluran kalsium
Ada peningkatan kejadian dan keparahan pembengkakan gingiva ketika
siklosporin dan obat penghambat saluran kalsium digunakan bersama. Sebaliknya,
kombinasi verapamil dangan siklosporin tampaknya tidak meningkatkan frekuensi
atau keparahan pembengkakan gingiva secara signifikan.
Takrolismus
Takrolismus dilaporkan dapat menyebabkan atau juga mengurangi pembengkakan
gingiva, walaupun pada penelitian terbaru pada anak dengan cangkok ginjal, 41 %
pasien yang memakai siklosporin mengalami pembengkakan gingiva, mayoritas

mereka yang menerima takrolismus tidak memiliki penyakit ini. Pembengkakan


gingiva karena siklosporin dapat berkurang atau sembuh ketika siklosporin
digantikan dengan takrolismus.
Perubahan gingiva yang lain
Gingiva pada pasien GGK dapat menjadi pucat karena anemia, dengan
kemungkinan hilangnya garis pertemuan mukogingiva, dan kalau ada kelainan
trombosit, gingiva dapat menjadi mudah berdarah.
Kebersihan mulut dan penyakit periodontal
Kebersihan mulut pada pasien yang menggunakan hemodialisis dapat menjadi
jelek. Contohnya, hanya 15% -45% pasien dengan hemodialisis pada 4 pusat
kesehatan di Virginia yang memliki tingkat kebersihan mulut yang baik. Deposit
kalkulus dapat meningkat.
Tidak ada bukti yang cukup kuat mengenai peningkatan risiko periodontitis,
walaupun tanggal gigi lebih awal juga telah dilaporkan, osteomielitis supuratif
terlokalisasi , sekunder dari periodontitis, telah ditemukan pada satu pasien
penerima hemodialisis.
Lesi mukosa mulut
Beragam jenis lesi mukosa mulut, terutama bercak putih dan atau ulserasi, telah
didapatkan pada pasien-pasien penerima hemodialisis dan cangkok ginjal.
Khususnya, penyakit seperti liken planus, dapat muncul, terkadang, tapi tidak
selalu, sebagai akibat terapi obat. Hal yang sama, oral hairy leukoplakia dapat
muncul disebabkan imunosupresi karena obat, walaupun secara klinis dan
histopatologis lesi yang serupa dengan yang disebabkan virus EBV tersebut, telah
ditemukan dengan uremia. Dengan catatan, lesi lanjut dapat sembuh dengan
koreksi uremia.
Stomatitis uremia dapat berwujud sebagai daerah putih, merah, atau abu-abu pada
mukosa mulut. Bentukan eritema pustulosa terbentuk dari pseudomembran abu-

abu di atas bercak merah yang nyeri, sedang bentukan ulseratif berwarna merah
dengan ditutupi pustul. Tidak ada deskripsi secara histologis yang jelas mengenai
stomatitis uremia ini, dan juga sulit untuk menjelaskan penyebab perubahan
mukosa mulut yang tidak biasa ini.Beberapa penelitian menyebutkan secara
histologis, penyakit ini ditandai dengan infiltrat keradangan minimal dengan
hiperplasi epitel dan hiperparakeratinisasi yang tidak biasa.
Etiologi stomatitis uremia masih belum jelas diketahui, walaupun diperkirakan
berasal dari kenaikan komponen amonia dalam darah, juga diperkirakan dapat
berasal dari pembakaran kimia. Amonia terbentuk oleh kerja bakteri urease yang
merubah urea saliva yang dapat meningkat pada pasien tersebut. Diperkirakan,
stomatitis muncul bila kadar urea dalam darah lebih tingi dari 300 mg/ml,
walaupun ada beberapa laporan perubahan mukosa dapat terjadi pada kadar urea
kurang dari 200 mg/dl.
Pasien yang mengalami penyakit ini biasanya mengeluh penyakit mukosa mulut
yang membuat tidak nyaman, terkadang berpengaruh pada nutrisi dan input
cairan, penurunan aliran saliva, dan sensasi terbakar pada bibir.
Pada beberapa keadaan, permukaan mukosa dapat menjadi eritema atau berupa
ulserasi. Makula mukosa mulut dan nodul juga didapatkan pada 14% pasien yang
menerima hemodialisis.
Risiko karsinoma sel skuamosa pada mulut pada pasien yang menerima
hemodialisis adalah sama dengan risiko pada populasi orang yang sehat, walaupun
telah ada laporan yang menunjukkan bahwa terapi yang menyertai cangkok ginjal
merupakan predisposisi kejadian displasia epitelial dan karsinoma pada bibir.
Mungkin, Sarkoma Kaposi dapat muncul pada mulut resipien cangkok ginjal yang
mengalami imunosupresi. Ada beberapa laporan kejadian karsinoma sel skuamosa
di daerah pembengkakan gingiva yang disebabkan penggunaan siklosporin. Tiap
peningkatan risiko keganasan mulut pada pasien GGK mungkin menunjukkan
efek imunosupresan iatrogenik, yang meningkatkan kejadian tumor yang
berhubungan dengan virus seperti sarkoma Kaposi ataiu limfoma Non Hodgkin.

Infeksi oral
Kandidosis
Keilitis angular ditemukan pada 4% pasien dengan hemodialisis dan resipien
cangkok ginjal. Lesi kandidiasis oral lain seperti pseudomembran (1,9%), eritema
(3,8%) dan kandidosis atropik kronis (3,8%) ditemukan pada resipien cangkok
ginjal.
Infeksi Virus
Sekitar 50 % resipien cangkok ginjal yang seropositif herpes simplex, mengalami
episode infeksi HSV rekuren, parah dan lama. Tetapi akhir-akhir ini, penggunaan
terapi anti herpes yang efektif telah mengurangi infeksi serupa secara signifikan.
Keadaan imunosupresi yang lama pada pasien pasca pencangkokan ginjal dapat
menjadi predisposisi infeksi herpesvirus 8 (HHV-8) dan sarkoma Kaposi yang
terkait.
Kelainan Gigi
Gigi lambat tumbuh dilaporkan pada anak-anak dengan GGK. Hipoplasi enamel
pada gigi susu maupun permanen dengan atau tanpa warnanya berubah menjadi
coklat juga dapat timbul.
Pada pasien GGK dewasa, penyempitan atau kalsifikasi ruang pulpa juga dapat
terjadi. Penyebab yang sebenarnya dari perubahan gigi ini belum diketahui.
Resipien cangkok ginjal mengalami penyempitan ruang pulpa lebih banyak
daripada pasien yang menerima hemodialisis. Tidak ada hubungan yang
konsisiten antara terapi kortikosteroid dengan penyempitan ruang pulpa.
Peningkatan maupun penurunan angka kejadian karies gigi telah dilaporkan pada
kelompok pasien GGK. Tetapi, tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan
risiko karies secara signifikan pada pasien dengan GGK. Walaupun pasien
mengalami xerostomia, tampaknya tidak ada peningkatan risiko terjadi karies
servikalis, seperti yang diperkirakan sebelumnya.

Kehilangan jaringan gigi non-karies lebih banyak dijumpai pada pasien dengan
GGK dibandingkan populasi orang sehat. Ini mungkin disebabkan karena nausea,
regurgitasi esofagus atau vomitus yang disebabkan bulimia nervosa.
Lesi pada tulang
Beragam jenis kelainan tulang dapat dijumpai pada penyakit ginjal kronis. Ini
menunjukkan

bermacam jenis

kelainan metabolisme kalsium, termasuk

hidroksilasi dari 1-hidroksikolekalsiferol menjadi vitamin D aktif, penurunan


ekskresi ion hidrogen (dan asidosis yang diakibatkannya), hiperpospatemia,
hipokalsemia,dan hiperparatiroidisme sekunder yang diakibatkan, dan terakhir
gangguan biokimiawi pospat oleh proses dialisis.
Hiperparatiroidisme sekunder mempengaruhi 92% pasien yang menerima
hemodialisis. Hiperparatiroidisme dapat berakibat antara lain menjadi tumor
coklat maksila, pembesaran tulang basis skeletal dan mempengaruhi mobilitas
gigi. Beberapa kelainan pada tulang yang lain antara lain adalah demineralisasi
tulang, fraktur rahang, lesi fibrokistik radiolusen, penurunan ketebalan korteks
tulang, dan lain-lain. Sedang pada gigi dan jaringan periodonsium antara lain,
terlambat tumbuh, hipoplasi enamel, kalsifikasi pulpa, penyempitan pulpa, dan
lain-lain.

You might also like