Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
I. Pendahuluan
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun dan ireversibel dengan etiologi
yang beragam serta memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialysis atau trasplantasi ginjal.1 Gagal ginjal kronik dapat mengakibatkan
berbagai perubahan sistemik pada manusia yang salah satunya adalah rongga
mulut. Penderita gagal ginjal umumnya akan mengalami perubahan secara
fisiologi berupa gangguan pada indera pengecap. Hal ini dikernakan defisiensi
seng atau gangguan fungsi neurologis. Pada umumnya penderita mengeluh rasa
kecap logam (metallic taste). Penderita juga mengalami penurunan produksi saliva
karena pembatasan intake cairan. Intake cairan diperlukan untuk menjaga
keseimbangan cairan karena menurunnya output pada penderita gagal ginjal
kronik. Hal ini dapat menyebabkan xerostomia dan parotitis. Selain itu, adanya
kadar urea yang berlebih di dalam saliva akan diubaj oleh bakteri mulut menjadi
ammonia sehingga nafas berbau ammonia. Manifestasi lain di rongga mulut dapat
berupa pembesaran gingiva, halitosis, hipoplasia email dan peningkatan karies
sehingga perawatan gigi harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan umum
penderita penyakit ginjal. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko tejadinya
perdarahan, pengontrolan dalam penggunaan obat karena turunnya laju filtrasi,
glomerulus, dan pemakaian profilaksis dalam penggunaan obat karema turunnya
laju filtrasi glomerulus, dan pemakaian profilaksis antibiotik untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder. Tujuan perawatan gigi dan mulut pada penderita gagal
ginjal kronis adalah untuk memulihkan dan mempertahakan kesehatan mulut
sebaik mungkin dan untuk menghilangkan timbulnya semua kemungkinan yang
bisa menjadi sumber infeksi di kemudian hari.
akibat alterasi sensai pengecapan, terutama pada pagi hari. Rasa kecap
logam ini berupa bau ammonia, dan kondisi ini sering dialami oleh penderita yang
menjalani hemodialysis.
Xerostomia
yang buruk pada penderita penyakit ginjal kronis karena hidrolisis urea saliva
menjadi ammonia, dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH menjadi
basa. Secara langsung, retensi urea akan menfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan
meningkatkan pembentukan kalkulus terutama pada penderita yang menjalani
hemodialysis. Selain itu, penderita yang menalani hemodialysis memiliki jumlah
magnesium saliva yang sangat rendah. Pada kalkulus penderita yang menjalani
hemodialysis mengandung oksalat dan pada kondisi uremia turut menyebabkan
retensi oksalat.
Pembengkakan gingiva
Pembengkakan gingiva dikarenakan terapi obat adalah manifestasi oral pada
penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan. Ini dapat disebabkan oleh
siklosporin
dan
atau
penghambat
calcium
channel.
Hal
ini
terutama
mempengaruhi papila interdental labia, walaupun dapat juga menjadi lebih luas,
meliputi margo gingiva dan lingua serta permukaan palatum.
Pembengkakan Gingiva disebabkan siklosporin
Prevalensi pembengkakan gingiva pada pasien yang meminum siklosporin masih
belum jelas, dari 6 sampai 85%. Hal ini dapat tampak 3 bulan setelah permulaan
penggunaan siklosporin. Usia anak-anak dan remaja lebih rentan terjadi penyakit
ini dibanding pada dewasa. Bila kebersihan mulut jelek, usia lebih tua dapat
rentan mendapat penyakit ini juga.
Perbaikan kebersihan mulut dapat mengurangi kejadian penyakit ini. Tetapi, ini
lebih dikarenakan pengurangan plak yang terkait proses inflamasi, dibandingkan
pelebaran gingiva karena penggunaan siklosporin ini sendiri. Ada beberapa
laporan yang masih bertentangan pada hubungan pembengkakan gingiva dengan
dosis siklosporin, tapi luas pembengkakan gingiva tampaknya tidak berhubungan
dengan fungsi cangkok ginjal.
Pengawasan secara teratur penyakit ini penting, karena karsinoma sel skuamosa
dan sarkoma Kaposi dilaporkan didapatkan pada penyakit pembengkakan gingiva
seperti ini.8
abu di atas bercak merah yang nyeri, sedang bentukan ulseratif berwarna merah
dengan ditutupi pustul. Tidak ada deskripsi secara histologis yang jelas mengenai
stomatitis uremia ini, dan juga sulit untuk menjelaskan penyebab perubahan
mukosa mulut yang tidak biasa ini.Beberapa penelitian menyebutkan secara
histologis, penyakit ini ditandai dengan infiltrat keradangan minimal dengan
hiperplasi epitel dan hiperparakeratinisasi yang tidak biasa.
Etiologi stomatitis uremia masih belum jelas diketahui, walaupun diperkirakan
berasal dari kenaikan komponen amonia dalam darah, juga diperkirakan dapat
berasal dari pembakaran kimia. Amonia terbentuk oleh kerja bakteri urease yang
merubah urea saliva yang dapat meningkat pada pasien tersebut. Diperkirakan,
stomatitis muncul bila kadar urea dalam darah lebih tingi dari 300 mg/ml,
walaupun ada beberapa laporan perubahan mukosa dapat terjadi pada kadar urea
kurang dari 200 mg/dl.
Pasien yang mengalami penyakit ini biasanya mengeluh penyakit mukosa mulut
yang membuat tidak nyaman, terkadang berpengaruh pada nutrisi dan input
cairan, penurunan aliran saliva, dan sensasi terbakar pada bibir.
Pada beberapa keadaan, permukaan mukosa dapat menjadi eritema atau berupa
ulserasi. Makula mukosa mulut dan nodul juga didapatkan pada 14% pasien yang
menerima hemodialisis.
Risiko karsinoma sel skuamosa pada mulut pada pasien yang menerima
hemodialisis adalah sama dengan risiko pada populasi orang yang sehat, walaupun
telah ada laporan yang menunjukkan bahwa terapi yang menyertai cangkok ginjal
merupakan predisposisi kejadian displasia epitelial dan karsinoma pada bibir.
Mungkin, Sarkoma Kaposi dapat muncul pada mulut resipien cangkok ginjal yang
mengalami imunosupresi. Ada beberapa laporan kejadian karsinoma sel skuamosa
di daerah pembengkakan gingiva yang disebabkan penggunaan siklosporin. Tiap
peningkatan risiko keganasan mulut pada pasien GGK mungkin menunjukkan
efek imunosupresan iatrogenik, yang meningkatkan kejadian tumor yang
berhubungan dengan virus seperti sarkoma Kaposi ataiu limfoma Non Hodgkin.
Infeksi oral
Kandidosis
Keilitis angular ditemukan pada 4% pasien dengan hemodialisis dan resipien
cangkok ginjal. Lesi kandidiasis oral lain seperti pseudomembran (1,9%), eritema
(3,8%) dan kandidosis atropik kronis (3,8%) ditemukan pada resipien cangkok
ginjal.
Infeksi Virus
Sekitar 50 % resipien cangkok ginjal yang seropositif herpes simplex, mengalami
episode infeksi HSV rekuren, parah dan lama. Tetapi akhir-akhir ini, penggunaan
terapi anti herpes yang efektif telah mengurangi infeksi serupa secara signifikan.
Keadaan imunosupresi yang lama pada pasien pasca pencangkokan ginjal dapat
menjadi predisposisi infeksi herpesvirus 8 (HHV-8) dan sarkoma Kaposi yang
terkait.
Kelainan Gigi
Gigi lambat tumbuh dilaporkan pada anak-anak dengan GGK. Hipoplasi enamel
pada gigi susu maupun permanen dengan atau tanpa warnanya berubah menjadi
coklat juga dapat timbul.
Pada pasien GGK dewasa, penyempitan atau kalsifikasi ruang pulpa juga dapat
terjadi. Penyebab yang sebenarnya dari perubahan gigi ini belum diketahui.
Resipien cangkok ginjal mengalami penyempitan ruang pulpa lebih banyak
daripada pasien yang menerima hemodialisis. Tidak ada hubungan yang
konsisiten antara terapi kortikosteroid dengan penyempitan ruang pulpa.
Peningkatan maupun penurunan angka kejadian karies gigi telah dilaporkan pada
kelompok pasien GGK. Tetapi, tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan
risiko karies secara signifikan pada pasien dengan GGK. Walaupun pasien
mengalami xerostomia, tampaknya tidak ada peningkatan risiko terjadi karies
servikalis, seperti yang diperkirakan sebelumnya.
Kehilangan jaringan gigi non-karies lebih banyak dijumpai pada pasien dengan
GGK dibandingkan populasi orang sehat. Ini mungkin disebabkan karena nausea,
regurgitasi esofagus atau vomitus yang disebabkan bulimia nervosa.
Lesi pada tulang
Beragam jenis kelainan tulang dapat dijumpai pada penyakit ginjal kronis. Ini
menunjukkan
bermacam jenis