You are on page 1of 13

PERKEMBANGAN TEKTONIK DAN STRATIGRAFI

KOMPLEKS BANTIMALA, SULAWESI SELATAN


Kaharuddin
Jurusan Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar 90245
Telp/Fax : (0411) 580202
Email : kaharuddin_geounhas@yahoo.co.id
At the since Mesozoic period of the Sulawesi are accretionary complex system,
collided of the between Asia plate and West Pacific plate to beneath the Asian continent
(Kalimantan). In the Cenozoic period, tectonic activity of the Pacific was mostly and
resulted of difficult and complex geologic condition. At Miocene age, injection of the
asthenospheric in to Asian margin caused of spreading (opening) of Makassar Strait. The
activity of magmatism due intrusion and volcanism happened in the end Tertiary to
Quartenary of the West Sulawesi province. The forming of Macassar Strait and obduction
Barru and Pangkajene happened in four phase tectonics as rifting and spreading and
separated of West Sulawesi part from East Kalimantan margin (Lower Miocene),
breaking and thrusting of oceanic plate (Lower to Middle Miocene), bimodal oceanic
plate and obduction ophiolite (Middle Miocen to Pliocene) , and subducting of Makassar
oceanic plate and island arc volcanism occurred. Development of stratigraphic sequence
of the Bantimala area explain as in Lower Cretaceous age metamophisme of the
accretionary complex and deformation and mlange occurred in East Kalimantan
margin, at Upper Cretaceous age flysch and chert filled in trench of subduction zone. At
Paleocene-Eocene age happened strong subsidence of East Kalimantan and filled
Mallawa Formation and Langi volcanic. A Eocene-Lower Oligocene age, transgressive
Tonasa Formation occurred in this basin. The post-spreading (Plio-Pleistocene) of
Macassar Strait formed volcanism and sedimentation at island arc continent.
Keywords :tectonic, stratigraphic, development
PENDAHULUAN
Daerah Bantimala terletak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, lebih kurang 70
km kea rah utara dari kota Makassar, Sulawesi Selatan dan dapat dijangkau dengan
kendaraan roda dua dan roda empat melalui jalur pegunungan. (gambar 1).
Kompleks Bantimala tampaknya masih menyisakan misteri yang tiada habisnya
tanpa penyelesaian secara tuntas, termasuk keberadaan dan batasan batasan mlange tidak
jelas, hubungan tidak selaras antara batuan alas sekis dan kontinen dengan rijang laut
dalam dan volkanik Paleosen berada di bawah rijang yang berumur Kapur, serta
pengerrtian masalah breksi sekis dan mlange. Jadi tampaknya harus diteliti dan dikaji
secara menyeluruh mengenai problematika geologi daerah Bantimala, padahal itu hanya
fenomena geologi biasa saja.
Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bantimala merupakan bagian dari tepian
Kalimantan Timur yang terpisah sejak kala Miosen bersamaan dengan pembentukan Selat
Makassar. Kelompok batuan ini disebut Kompleks Tektonik Bantimala yang tersusun oleh
batuan metamorf yaitu glaucophane schist, hornblende-mica schist, eclogite, granulite,
1

phyllite dan metaquazite berumur Trias (Sukamto,1975), mlange dengan komponen


sekis,kuarsit, metachert,, metabasal yang berumur Jura-Kapur dan batuan sedimen yang
meliputi serpih kersikan, batupasir, batu;empung dan rijang radiolarian berumur Kapur.
Blok ofiolit terdiri dari harzburgit dan serpentinit, terbentuk secara obduksi
menindih batuan Tersier di daerah ini, sedang tipe batuan sedimen tepian kontinen berupa
flysch Balangbaru-Paremba yang berumur Kapur tertutupi secara tidak selaras oleh
batupasir Mallawa dan tufa yang berumur Paleosen-Eosen, batugamping Tonasa (EosenMiosen dan batuan vulkanik Camba berupa breksi dan tufa yang berumur Miosen AtasPliosen. Peristiwa tektonik yang terjadi pada kala Tersier hingga Kuarter menyusul
pembentukan struktur geologi, menyebabkan posisi stratigrafi batuan di daerah ini
terganggu yang selain merumitkan kondisi geologinya juga dapat menambah keragaman
fenomena geologi di daerah ini. Aktifitas tektonik di kala Neogen menghasilkan batuan
terobosan yang bersifat asam hingga basa berupa diorite, sienit, granodiorit dan basal
yang berumur Miosen-Pliosen.

Gambar 1. Peta tunjuk daerah kompleks Bantimala.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan yaitu :


1. Studi Literatur
Mengumpulkan data terdahulu yang berkaitan dengan geologi dan tektonik daerah
Bantimala dan sekitarnya.
2. Penelitian Lapangan
a. Pengamatan, pengambilan data dan pengukuran gejala-gejala geologi dan
aspek-aspek tektonik beserta perkembangannya.
b. Pengamatan dan pengambilan data struktur (kekar, lipatan, sesar dan gejalagejala lainnya)
c. Pengambilan sampel batuan.
3. Penelitian Laboratorium
a. Analisis data struktur dan tektonik
b. Pengamatan petrografi batuan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tektonik dan Struktur
Proses tektonik kompleks Bantimala terbentuk dalam dua model yaitu sistem
subduksi lempeng oseanik yang berlangsung sejak Mesozoikum hingga Tersier dan sistem
obduksi ofiolit di kala Tersier hingga Kuarter.
Tektonik kompleks Bantimala ditunjukkan oleh kehadiran batuan metamorf
tingkat tinggi yang berasosiasi dengan mlange dan ultrabasa dalam satu sistem
penunjaman pra-Kapur (Trias-Jura?) lempeng Pasifik Barat terhadap tepian kontinen
Kalimantan. Kondisi ini memperlihatkan temperature antara 580o 640oC dan tekanan 18
24 kbar dengan kedalaman sekitar 65 85 km (Miyazaki dkk, 1996 dalam Zulkarnain,
1999).
Tektonik Tersier lebih cenderung memperlihatkan kondisi subsiden yang disusul
pengendapan batuan sedimen Mallawa, Tonasa dan volkanik Paleosen. Di kala OligosenMiosen terjadi gerak tektonik tensional membentuk rifting dan pembentukan Selat
Makassar yang disusul dengan pembentukan batuan Gunungapi Camba dan obduksi
ofiolit Bantimala.
Perkembangan tektonik Tersier hingga Kuarter memberikan pengaruh terhadap
pembentukan struktur dan tersingkapnya batuan alas di daerah Bantimala. Pembentukan
sesar naik Pangkajene yang berpasangan tiga buah sangat berkaitan dengan
tersingkapnyabatuan metamorf sekis hijau, sekis biru, granulit dan eklogit di tiga tempat
pada dasar sungai Patteteyang, Bantimala (gambar 2).

Gambar 2. Peta geologi daerah Bantimala(modifikasi dari berbagai sumber).


Perkembangan Tektonik dan Stratigrafi Bantimala
Sejak masa Mesozoikum, Sulawesi termasuk Bantimala merupakan kompleks
akresi yang terbentuk oleh benturan antara lempeng Asia dan lempeng Pasifik Barat yang
menunjam masuk di bawah tepian kontinen Kalimantan. Pada masa Kenozoikum aktivitas
tektonik semakin meningkat menyebabkan kondisi geologi semakin kompleks dan rumit
hingga pada kala Miosen terjadi injeksi astenosfer ke tepian kontinen tersebut
menyebabkan terjadinya rifting dan spreading membentuk Selat Makassar. Sejalan
dengan itu, aktivitas magmatisme dan volkanisme di akhir Tersier hingga Kuarter terjadi
pada bagian barat Sulawesi Barat, sedang pada bagian tengah Sulawesi Barat terjadi
benturan Sulawesi Timur terhadap Sulawesi barat hngga terjadi obduksi ofiolit.
Perkembangan tektonik Bantimala dapat diuraikan sebagai berikut :
A. Pra-Kapur
Benturan antara lempeng Asia dan lempeng Pasifik Barat pada Pra-Kapur bersamaan
dengan subduksi dan rifting lempeng oseanik kemudian menunjam masuk di bawah
4

lempeng oseanik kemudian menunjam masuk di bawah lempeng Asia menghasilkan


kompleks akresi di tepian timur lempeng kontinen Asia.
B. Kapur Bawah
Evolusi tektonik pada Kapur Bawah menyebabkan kompleks akresi mengalami deformasi
dan metamorfisme dalam sistem subduksi lempeng Pasifik Barat di tepian Kalimantan
Timur.
C. Pra-Kapur Atas (Kapur Tengah)
Aktivitas tektonik Pasifik menyebabkan terjadinya deformasi, patahan dan penghancuran
formasi batuan pada kompleks akresi tepian Kalimantan menghasilkan batuan melange.
D. Kapur Atas
Benturan antara lempeng Pasifik Barat dengan Kalimantan Timur, melebar dari
Kalimantan bagian Tenggara, Jawa dan berhenti di Sumatera (Katili, 1973 dan Sukendar,
1974). Kemiringan zona Benioff menunjam ke lempeng Asia. Pada pegunungan Meratus
di tenggara Kalimantan, busur luar tersusun atas sedimen sedimen laut dalam seperti
rijang radiolarian dan serpih silikaan yang berasosiasi dengan ofiolit. Batuan tersebut
menunjukkan umur Kapur dan dikenal sebagai formasi Alino (Koolhoven, 1935).
Endapan trench di daerah ini berada pada lapisan Paniungan, terdiri dari batulempung
napalan, batupasir polimik dan napal. Formasi Alino, Lapisan Paniungan dan batuan
peridotit merupakan bagian dari zona subduksi Kapur di atas. Batuan busur
volkanik/plutonik terdiri dari granodiorit, breksi, tufa dan lava. Batuan tersebut
merupakan fasies volkanik dari formasi Manunggal. Endapan pada cekungan luar
memperlihatkan perlapisan konglomerat, batupasir, batulempung, napal dan batugamping
yang pada beberapa literature dikenal sebagai fasies sedimen dari Formasi manunggal
(Katili, 1978).
E. Paleosen-Eosen
Pada kala Paleosen, daerah ini mengalami subsiden yang kuat, sabuk pegunungan
Meratus (tenggara Kalimantan) sebagai bagian dari batuan pematang samudera. Di bagian
tengah pada muara sungai, formasi Mallawa terendapkan pada lingkungan delta
menghasilkan batupasir dengan sisipan batubara, konglomerat, napal dan batugamping.
Pada daerah laut terjadi volkanisme yang membentuk formasi Langi yang menjemari
dengan formasi Mallawa.
F. Eosen-Oligosen Bawah
Kelanjutan dari subsiden, terbentuk formasi Tonasa yang terdiri dari batugamping
koral,kalkarenit dan napal. Sedimen klastik dari formasi Salokalupang yang terdiri atas
batupasir, batulempung dan serpih, disisipi oleh tufa dan lava dari volkanik bawah laut.
G. Miosen Bawah-Tengah
Sejak kala Miosen, tepian timur Kalimantan mengalami rifting dan memisahkan Sulawesi
Barat dari Kalimantan oleh pembentuakn Selat Makassar yang disebabkan oleh pengaruh
injeksi astenosfer di tepian Kalimantan tersebut yang diikuti oleh intrusi granodiorit pada
batuan dasar sampai formasi Tonasa.
H. Miosen Tengah-Pliosen
Pada kala ini, daerah Sulawesi Barat mengalami subduksi dua arah dari lempeng oseanik.
Sementara itu graben Walanae terbentuk bersamaan dengan volkanisme bawah laut
Camba dan Formasi Soppeng serta intrusi sienit pada bagian barat. Graben walanae terisi
oleh material klastik dan volkanik yang berselingan dengan lava. Batugamping terbentuk
pada bagian barat dan timur cekungan Walanae.
5

I. Pliosen-Plistosen
Subduksi dua arah dari lempeng pasifik Barat dan lempeng Selat Makassar menunjam ke
bawah kontinen Sulawesi Barat, yang menghasilkan Gunungapi Parepare di daerah barat
dan Gunungapi Baturape-Lompobattang di bagian timur. Pengangkatan pada bagian
tengah menghasilkan overthrust dari batuan alas pada Kompleks Tektonik Bantimala
seperti metamorf, mlange, ofiolit (peridotit), rijang dan serpih.
Rekonstruksi Pembentukan Selat Makassar dan Obduksi Ofiolit Barru dan Pangkep
Rekonstruksi pembentukan Selat Makassar dan obduksi ofiolit dapat diuraikan
melalui gambar-gambar berikut ini :

Gambar 3. Proses spreading yang terjadi di Selat Makassar yang menyebabkan


pembukaan Selat Makassar pada Miosen Bawah.

Gambar 4. Rekonstruksi pada bagian Miosen Bawah Tengah, breaking dan


thrusting plate.

Gambar 5. Rekonstruksi pada Miosen Tengah-Pliosen.

Gambar 6. Rekonstruksi pada Plistosen.

Tektonik dan Ultrametamorf


Aktivitas tektonik subduksi di masa Mesozoikum menghasilkan batuan metamorf
tingkat tinggi (ultrametamorf) berupa sekis hijau di sungai Cempaga, Mangilu (foto 1 dan
2) , sekis biru di sungai Pateteyang, Bantimurung (foto 3 dan 4), eklogit di sungai
Cempaga, Mangilu (foto 5 dan 6), granulit di sungai Pateteyang, Bantimurung (foto 7 dan
8) dan mlange di sungai Pateteyang, Bantimurung (foto 9).

Foto 1. Singkapan sekis hijau di sungai


Cempaga.

Foto 2. Foto mikrograf sekis hijau


(aktinolit).

Sekis biru dan sekis hijau mengandung Al 2O3 sekitar 15-27% yang menunjukkan
protolit batuan sedimen (Zulkarnain, 1993). Sedangkan granulit terbentuk dari hasil
metamorfisme kerak oseanik pada zona subduksi di kedalaman 65-85 km, temperature
580o-640oC dan tekanan sekitar 18-24 kbar dengan kecepatan gerak lempeng 3 cm/tahun
(Peacock, 1993).
Eklogit dan granulit yang terdapat di Bantimala merupakan tipe lensa dalam sekis
biru yang tersingkap dijalur sesar naik.
Melange terbentuk pada zaman Jura, dimana kompleks akresi mengalami
deformasi dan penghancuran pada tekanan dan temperature yang tinggi sehingga
komponennya tersusun oleh beberapa batuan berbagai ukuran seperti fragmen sekis,
kuarsit, metarijang, filit, serpentinit dan batupasir malih.

Foto 3. Singkapan sekis biru di sungai


Pateteyang.

Foto 4. Fotomkrograf sekis biru


(glaukofan).

Foto 5. Singkapan eklogit di sungai Cempaga. Foto 6. Fotomikrograf eklogit.

Foto 7. Singkapan granulit di sungai Pateteyang. Foto 8. Fotomikrograf granulit.

Foto 9. Singkapan melange di sungai


Pateteyang.

Foto 10. Foto mikrograf fragmen kuarsit


melange.

Tersingkapnya batuan alas ultrametamorf dan melange serta poli metamorfik


sangat terkait dengan proses tektonik yang berkelanjutan dan pensesaran sungkup
Pangkajene yang melalui daerah Bantimala dan Mangilu Pangkep. Sayatan stratigrafi
daerah Bantimala dan Mangilu ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 7. Sayatan stratigrafi daerah Bantimala dan Mangilu (Wakita dkk., 1994).

10

Tektonostratigrafi kompleks Bantimala dan sekitarnya dapat dilihat pada tabel di


bawah ini.
Tabel 1. Tektonostratigrafi Kompleks Bantimala dan sekitarnya (Kaharuddin, 1995).

SIMPULAN
11

1. Tektonik kompleks Bantimala berlangsung sejak zaman Mesozoikum hingga


Tersier, membentuk kompleks batuan alas metamorf, batuan sedimen,intrusi
batuan beku dan volkanik yang diiringi dengan pembentukan struktur geologi
sehingga batuan alas tersebut dapat tersingkap di permukaan.
2. Perkembangan tektonik dan stratigrafi kompleks Bantimala terjadi sejak pra
Kapur hingga Tersier,dimana terjadi proses subduksi lempeng oseanik di bawah
lempeng Asia (Kalimantan) yang disertai dengan pembentukan berbagai jenis
kelompok batuan serta pemekaran tepian kontinen.
3. Pembentukan Selat Makassar dimulai pada kala Miosen Bawah hingga terjadi
obduksi kerak oseanik di atas kontinen Barru dan Pangkep pada kala PlioPistosen.
4. Tektonik yang terjadi pada masa Mesozoikum berupa subduksi lempeng oseanik
menghasilkan batuan ultra metamorf berupa sekis biru, sekis hijau, eklogit,
granulit dan melange.

DAFTAR PUSTAKA
Hamilton., 1979, Tectonic of the Indonesian Region, U.S. Geological Survey, Prof. Pap.
1078.
Hasan, K., 1991, The Upper Cretaceous Flysch Succesion of the Balangbaru
Formation, Southwest Sulawesi, Proceeding Indonesian Petroleum
Association, Twentieth Annual Convention, p. 183 - 198 .
Hermes, H., Maaskant, P.,Hartel, T.H.D., 1990, Garnet Peridotite and Associated High
Grade Rocks from Sulawesi, Indonesia, Lithos. 25, p. 171 - 188.
Isozaki, Y., Kimura, G., 1992, Distribution, Characteristic, Definition and Origin of
Accretionary Complex, Evolv. Earth Symposium Okazaki, Japan. p. 17
- 24.
Katili, J.A., 1978, Past and Present Geotectonic Position of Sulawesi, Indonesia.
Tectonophysics 45, p. 289 - 322.
McCafferey, R., Albers, G.A., 1991, Orogeny in Arc Continent Collision : The Banda
Arc and Western New Guinea. Geology 15, p. 563 - 566.
Priadi, B., Bellon, H., Maury, R.,C., Polve, M., Soeria-Atmadja, R., 1997, TMThe
Occurrence of Back-Arc Magmatism in Sulawesi: Geochemical
Constraints on Geodynamic Reconstruction, Proceedings of the 26nd
Annual Convention of the Indonesian Association of Geologists.
Priadi, B., Bellon, H., Maury, R.,C., Polve, M., Soeria-Atmadja, R., Philippet, J.C., 1994,
Magmatic Evolution in Sulawesi in the Light of New 40K 40Ar Age
Data, Proceedings of the 23nd Annual Convention of the Indonesian
Association of Geologists.
Seno, T., Maruyama, S., 1989, Origin, Definition and Classification of Microplates,
Rep. Inst. Kuroshio Sphere, Kochi University. 4, p. 5 - 19.

12

Silver, E.A., MacCafferey, R., 1983, Ophiolite Emplacement by Collision Between the
Sula Platform and the Sulawesi Island Arc, Indonesia, Journal
Geophysic Research 88, p. 9419 - 9435.
Silver, E.A., MacCafferey, R., Smith, R.B.,1983, Collision, Rotation and the Initation of
Subduction in the Evolution of Sulawesi, Indonesia, Journal Geophysic
Research 88, p. 9407 - 9418.
Smith, R.B., 1982, Geology of A Miocene Collision Complex on Buton : Implication for
the Evolution of the Eastern Sulawesi Collision Zone, Indonesia,
Thesis of Ph.D University of California, p. 1 - 60.
Sukamto, R., 1975, Geologic Map of Indonesia, Ujung Pandang Sheet, Geological
Survey, Indonesia.
Sukamto, R., 1975, The Structure of Sulawesi in the Light of Plate Tectonics, Prog. Reg.
Confr. Geology Mining Research, p. 121 - 141.
Sukamto, R., 1982, The Geology of the Pangkajene and Western part of Watampone,
Sulawesi, Geological Research and Dev. Centre.
Sukamto, R., Supriana, S., 1982, The Geology of the Ujung Pandang, Benteng and
Sinjai Quadrangles Sulawesi, Geological Research and Dev. Centre.
Tatsumi, Y., Murasaki, M., Arsadi, E.M., Nohda, S., 1991, Geochemistry of Quaternary
Lavas from NE Sulawesi : Transfer of Subduction Components into
the Mantle Wedge, Cont. Mining Petroleum 107, p. 137 - 149.
Tsuchiya, N., 1992, Miocene Back Arc Rifting and Aosowa Basalt, Geology Department,
Geological Survey, Tsukuba 305, Japan, p. 29 - 37.
Van Leuween, Th.M., 1981, The Geology of Southwest Sulawesi with Special Reference
to the Biru Area. The Geology and Tectonics of Eastern Indonesia,
Geological Research and Dev. Centre, Special Publication No. 2, p. 277
- 304.
Wakita, K, Munasri, Sopaheluwakan J., Zulkarnain, I. Miyazaki, K., 1994, Early
Cretaceous Tectonics Events Implied in the Time-lag Between the Age
of Radiolarian Chert and Its Metamorphic Basement in the
Bantimala Area, South Sulawesi, Indonesia, The Island Arc 3,
Research Article, p. 90 - 102.
Zulkarnain, I., 1999, Cretaceous Tectonic Events of the Bantimala Area, South
Sulawesi Indonesia: Evidence from Rock Chemistry, Mineral
Technology Journal 2, Vol VI, p. 65 - 77.
Zulkarnain, I., Sopaheluwakan, J., Wakita, K., Miyazaki, K., 1993, The Origin of the
Bantimala Eclogite : A Preliminary View, Proceedings of the 22nd
Annual Convention of the Indonesian Association of Geologists, p. 147
- 158.

13

You might also like