Professional Documents
Culture Documents
contents
1 CONTENTS
3 Instruction for Authors
PERSPEKTIF
3 Ekologi Mikroba di tubuh kita
LEADING ARTICLE
5 Peranan Aminoglikosid Dalam Mengatasi Infeksi
Serius
17 Profil Produk Amiosin
ORIGINAL ARTICLE (RESEARCH)
19 Nilai Diagnostik Anemia Hipokrom Mikrositer &
Hipoalbumin Pada Infeksi Cacing Tambang
ORIGINAL ARTICLE (CASE REPORT)
28 Acute Liver Failure Related to Chemotherapy
TECHNOLOGY
32 Likuisolid: Teknik Pembuatan Tablet untuk Bahan
Obat Tidak Larut Air
MEDICAL REVIEW
39 Protein Energy Malnutrition in Liver Cirrhosis: How to
Manage it?
43 Kajian Puasa Bagi Wanita Hamil
Meet the Expert
49 Dr. Frans Josef Vincentius Pangalila, SpPD-KIC
Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Perawatan Intensif
Contribution
Medicinus Editors accept participation in
form of writings, photographs and other
materials in accordance with the mission of
this journal. Editors reserve the right to edit
or modify the writings, particulary redactionally without changing the content of the
published articles, if necessary.
52
55
56
57
58
59
MEDICAL NEWS
Diagnosis Dini, GBS dan MG
Atasi Hipertensi Dengan Satu Aksi
Ganasnya Pneumonia bagi balita
Pola tidur terganggu, obesitas menunggu
6 Lokasi Terkotor di Dalam Kantor
10 Pekerjaan beresiko untuk paru-paru
MEDICINUS
MEDICINUS
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
13. Editor(s), compiler(s) as author
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996
14. Organization(s) as author
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid
program. Washington:The Institute; 1992
15. Chapter in a book
Note: This Vancouver patterns according to the page marked with
p, not a colon punctuation like the previous pattern).
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH,
Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis
and Management. 2nd ed. New York:Raven Press; 1995.p.465-78
16. Conference proceedings
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of
EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan.
Amsterdam:Elsevier; 1996
17. Conference paper
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P,
Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World
Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5
18. Scientific or technical report
Issued by funding/sponsoring agency:
Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed
during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.
of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860
Issued by performing agency:
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work Force and Education Issues. Washington:National
Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research
19. Dissertation
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access
and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington University; 1995
20. Newspaper article
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates
50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;
Sept A:3 (col.5)
21. Audiovisual material
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis
(MO): Mosby-Year Book; 1995
electronic material
22. Journal article on the Internet
Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the
ANA acts in an advisory role. Am J Nurs [serial on the Internet].
2002 Jun [cited 2002 Aug 12]; 102(6):[about 3 p.]. Available from:
http://www.nursingworld.org/AJN/2002/june/Wawatch.htm
23. Monograph on the Internet
Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph on the Internet]. Washington: National Academy
Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.nap.
edu/books/0309074029/html/
24. Homepage/Web site
Cancer-Pain.org [homepage on the Internet]. New York: Association of Cancer Online Resources, Inc.; c2000-01 [updated 2002
May 16; cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.cancerpain.org/
25. Part of a homepage/Web site
American Medical Association [homepage on the Internet]. Chicago: The Association; c1995-2002 [updated 2001 Aug 23; cited
2002 Aug 12]. AMA Office of Group Practice Liaison; [about 2
screens]. Available from: http://www.ama-assn.org/ama/pub/
category/1736.html
26. CD-ROM
Anderson SC, Poulsen KB. Andersons electronic atlas of hematology [CD-ROM]. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2002
perspective
Dengan meningkatnya penyakit infeksi yang disebabkan bakteri, penggunaan antibiotika justru
makin menimbulkan resistensi di seluruh dunia. Perang terhadap bakteri patogen dengan menggunakan antibiotika dalam jangka panjang justru dapat merugikan pasien. Betapa tidak, kita tahu
bahwa ada banyak mikroba di dalam tubuh manusia, seperti di mulut, hidung, kulit maupun di saluran pencernaan. Sekitar 100 triliun mikroba komensal tumbuh sehat berdampingan dengan tubuh
kita, mereka berumah tangga di dalam tubuh kita dan itu disebut sebagai Mikrobioma. Mikroba liar
tapi jinak di tubuh kita inilah yang menjadi fokus riset bagi para ilmuwan biomedis belakangan ini.
Pendekatan baru untuk kesehatan ini dikenal sebagai ekologi medis. Daripada melakukan pembantaian membabi buta, saat ini, para ilmuwan berpikir untuk mengelola mikroba liar sehingga dapat
menjadi lebih berguna bagi tubuh. Namun, bukan berarti kita tidak boleh menggunakan antibiotika.
Melainkan bahwa dengan jalan memelihara ekosistem yang tidak tampak, yang berada di dalam tubuh manusia, kita diharapkan bisa menemukan cara lain untuk melawan penyakit menular dengan
efek samping yang lebih minimal. Mikrobioma ini juga dapat membantu pengobatan gangguan
yang tak langsung berhubungan dengan bakteri, seperti obesitas dan diabetes.
Dengan semakin banyaknya temuan terbaru tentang ekosistem dalam tubuh kita dalam beberapa
tahun ke depan, diharapkan kita lebih mengerti cara-cara penggunaan antibiotika yang lebih rasional sehingga dapat memanfaatkan mikrobioma secara lebih efektif pula. Beberapa minggu lalu,
ada satu kelompok mikrobiolog yang melaporkan hasil survey terhadap 242 orang sehat yang dilacak selama dua tahun. Melalui tajuk The Human Microbiome Project, para ilmuwan tersebut mencari sekuens materi genetik bakteri yang diisolasi dari sekurangnya 15 tempat isolasi di dalam tubuh
manusia sehingga terdapat lebih dari lima juta gen. Hasil studi-studi semacam ini memperlihatkan
bagaimana mikroba menjadi teman kita selama proses kehidupan manusia dari lahir sampai mati.
Banyak juga ditemui hasil-hasil penelitian lainnya yang menjelaskan bagaimana seorang ibu bisa
meningkatkan kesehatan anak-anak mereka dengan membentuk mikrobioma di dalam tubuh anak.
Satu studi terbaru yang telah dipublikasikan adalah tentang mikrobioma yang tumbuh di vagina
wanita hamil. Pada awal trimester pertama kehamilan, keragaman bakteri vagina mengalami perubahan secara signifikan. Salah satu spesies yang dominan pada vagina wanita hamil, ternyata adalah
Lactobacillus johnsonii, yang biasanya ditemukan dalam usus. Spesies mikrobioma ini menghasilkan enzim yang dapat mencerna susu. Agaknya, perubahan kondisi dalam vagina mendorong bakteri
probiotika ini untuk tumbuh. Pada saat melahirkan, bayi akan dilapisi oleh Lactobacillus johnsonii
MEDICINUS
dan menelan sebagian. Inokulasi ini mempersiapkan bayi untuk mencerna ASI. Microbioma bayi
itu akan terus tumbuh selama menyusui. Dalam sebuah penelitian terhadap 16 wanita menyusui,
dilaporkan bahwa air susu ibu memiliki hingga 600 spesies bakteri, serta gula yang disebut oligosakarida yang berfungsi untuk memelihara bakteri tertentu dan membantu proses perncernaan di
dalam usus bayi. Sewaktu pertumbuhan sang anak berlangsung, mikrobioma bertumbuh dalam
keadaan tertentu menjadi ekologis yang lebih kompleks, yang juga memperkenalkan tubuh pada
sistem kekebalan. Gangguan ekologis dapat menghentikan proses pendidikan ini. Contohnya pada
penelitian pada tikus yang tubuhnya direkayasa bebas mikrobioma, malah terjadi ketidak seimbangan pertumbuhan sel imun dimana sel Natural Killer malah meningkat jumlahnya dan karenanya inflamasi terjadi pada tubuh sang tikus. Akibatnya tikus tersebut malah menderita asma dan penyakit
inflamasi usus sewaktu mereka tumbuh dewasa. Penelitian ini sejalan dengan studi pada anak yang
dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini. Penggunaan antibiotik dosis tinggi pada anak-anak
malah meningkatkan risiko terkena alergi dan asma di kemudian hari. Sama halnya pada tikus yang
bisa saja terhindar dari serangan penyakit dengan cara pemberian bakteri sementara saat mereka
masih bayi dan kepada anak tikus. Pada tikus, apabila mikrobioma diberikan setelah mereka dewasa,
malah tidak akan membantu.
Antibiotik dapat membunuh bakteri berbahaya, tetapi dalam spektrum luas, antibiotik dapat membunuh spesies komensal yang sangat bersahabat dengan tubuh kita. Meskipun dikonsumsi dalam
jumlah banyak, tidak ada jaminan ekosistem mikroba secara otomatis akan kembali normal. Sebuah
spesies yang disebut Clostridium difficile kadang-kadang akan menyerang usus seseorang setelah
pemberian antibiotik. Suatu penelitian di Amerika Serikat menemukan beberapa pasien rawat inap
rumah sakit memiliki C. difficile lebih dari dua kali lipat. Apalagi C. difficile yang resisten terhadap
antibiotik itu sulit diberantas. Salah satu cara yang mungkin bisa mengembalikan mikrobioma yang
hilang adalah dengan menumbuhkan bakteri menguntungkan secara selektif. Para ilmuwan telah menghubungkan obesitas, misalnya, dengan perubahan ekosistem usus. Ketika para ilmuwan
melakukan transfer bakteri dari tikus gemuk kepada yang, tikus ramping bertambah berat badannya. Bagaimana hal ini dapat terjadi, masih belum jelas, namun beberapa studi menunjukkan bahwa
mikrobioma yang berhubungan dengan obesitas mengirimkan sinyal ke tubuh dan mengajarkan
agar sel menggunakan lebih banyak gula untuk membentuk energi sehingga menyebabkan tubuh
untuk menyimpan ekstra lemak.
Dampak dari terapi bertarget tertentu (targeted therapy), telah mengubah komposisi berbagai komunitas mikrobiota, mulai dari skala kecil, yaitu menghilangkan strain individu suatu spesies tunggal,
sampai dengan mengubah keseluruhan spesies tersebut berganti menjadi mikrobiota utuh yang
baru. Nampaknya infeksi sekunder yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik terlalu banyak memberikan peringatan tentang akibat yang tidak diinginkan dari mutasi spesies mikroba dan
menyoroti tentang kebutuhan untuk antibiotik spektrum sempit baru. Tentunya penelitian tentang
ekologi mikroba juga akan bermanfaat bagi pengembangan probiotik, yang prospek terapinya akan
bergantung pula pada uji klinis berbasis GCP. Efektifitas mikrobiota untuk terapi perlu dinilai dengan
menggunakan alat diagnostik baru yang dapat mengukur aktivitas biologis komposisi mikrobiotia
keseluruhan terhadap perubahan yang diakibatkan oleh pemberian antibiotik atau probiotik. Namun demikian, inovasi ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Hal sederhana yang perlu dilakukan
dalam waktu dekat adalah edukasi kepada para dokter tentang pemberian antibiotika yang tepat
dan rasional, agar mereka bisa berpikir seperti ahli ekologi yang tidak merusak lingkungan hidup di
masa sekarang, untuk kebaikan di masa mendatang.
MEDICINUS
Leading article
3 skp
ABSTRAK
Aminoglikosid adalah salah satu antibiotik pilihan untuk menangani infeksi serius. Aminoglikosid
pertama ditemukan adalah streptomisin yang diisolasi dari Streptomyces griseus(1943), neomisin
yang diisolasi dari Stretomisin fradiae mempunyai aktifitas lebih baik dari streptomisin tetapi mempunyai efek toksis yang lebih kuat sehingga tidak digunakan secara sistemik. Gentamisin yang diisolasi dari mikromonospora(1963), merupakan penemuan yang paling penting dalam era pengoba tan
kuman gram negatif terutama oleh kuman Pseudomonas aeruginosa. Selanjutnya, beberapa aminoglikosid dikembangkan seperti amikacin, netilmycine dan tobramycine yang semuanya dapat digunakan secara sistemik. Efek bakterisid aminoglokosid dengan cara menghambat sintesa protein kuman setelah mengikat secara menetap pada 30S ribosom dari bakteri. Akibat reaksi kation antibiotik
menimbulkan celah pada dinding luar kuman sehingga terjadi kebocoran dan mengeluar kan isi kuman diikuti penetrasi antibiotik samakin dalam. Aktifitas antibiotik ini memerlukan oksigen (energi)
sehingga efek bakterisid akan berkurang pada infeksi anaerob atau gram positif. Semua golongan
aminoglikosid mempunyai sifat farmakokinetik yang hampir sama. 15-30 menit pasca pemberian intravena mengalami distribusi ke ruang ekstraseluler dan konsentrasi puncak dalam plasma dialami
setelah 30-60 menit paska pemberian pada keadaan fungsi ginjal normal. Ikatan amino-glikosid dan
protein sangat lemah dan dieliminasi obat ini melalui filtrasi glomerulus secara utuh. Dua prinsip
utama farmakodinamik aminoglikosid yaitu: concentration-dependent killing dan post antibiotic effect (PAE). Concentration-dependent killing menunjukan hubungan antara konsentrasi obat dan efek
antimikroba.
Efek antibakterisid yang optimal dari aminoglikosid bila rasio dosis konsentrasi maksimal dan MIC
kuman antar 8:1 hingga 10:1. PAE menunjukan efek bakterisid tetap aktif walaupun konsentrasi obat
dalam plasm berada dibawah MIC. Dosis rekomendasi aminogliko sid secara empiris gentamisin dan
tobramisin antara 1.22 mg/kg setiap 8 jam, amikasin 57.5 mg/kg setiap 8 sampai 12 jam. Sejak 1980
dengan mengikuti prinsip farmakodinamik dikembangkan dengan cara extended interval minoglycoside cosing (EIAD) atau sekali sehari. Pemberian cara ini memungkinkan dosis sangat tinggi sehingga efek bakterisid menjadi optimal dan konsentrasi obat menjelang akhir dosis rendah sehingga
mengurangi efek toksis. Aminoglikosid mempunyai spektrum yang luas terhadap kuman aerob dan
fakultatif basil gram negatif, terutama terhadap enterobacteria ceae (E.coli, P.mirabilis dan spesies
Morganella, Klebsiella, Citrobacter, Serratia dan Enterobacter), spesies Pseudomonas, Acinetobacter
dan Haemophillus influenza. Efek samping aminoglikosi yang tersering adalah nefrotoksik dan ototoksik (tuli) sedangkan kelumpuhan otot lebih jarang. Untuk mengurangi kejadian efek samping
aminoglikosid yaitu melakukan identifikasi faktor faktor risiko terjadinya efek samping dan hindari
pemberian aminoglikosid secara multidosis.
ABSTRACT
Aminoglycosides continue to serve as a clinically useful class of antibacterials for severe infections.
The first aminoglycosides, streptomycine,was isolated from streptomycine griseus in 1943. Neomycine isolated from streptomyces fradiae, had better activity than streptomycine against aerobic
gram-negative bacilli but, because of its formidable toxicity, could not safely be used systemically.
Gentamycine,isolated from micromonospora in 1963, was a breakthrough in the treatment of gram-
MEDICINUS
leading article
negative bacillary infections including those cause by Pseudomonas aeruginosa. Other aminoglycosides were subsequently develope, including amikacin, netilmycine and tobramycine, which are
all currently available for systemically use. The antibacterial properties of aminoglycosides from inhibition of bacterial protein synthesis through inhibition irreversible binding to the 30S bacterial
ribosom. The initial site of action is the outer bacterial membrane, the cationic antibiotic molecules
create fissure in the outer cell membrane, resulting in leakage of intracelluler contents and enhanced
antibiotic uptake. Energy is needed for aminoglycosides uptakes into the bacterial cell, anaerob has
less energy available for this uptake, so aminoglycosides are less active against anaerob and gram
positive bacteria. All aminoglycosides have a similiar pharmacokinetics properties with a peak serum concentration at 30 to 60 minutes after an IV infusion and a terminal half- life 1.5 to 3.5 hours in
adult patients with a normal renal function. Aminoglycosides are minimally bounds to plasma proteins, and elimination of these agents occurs primarily via glomerular filtration as unchanged drug in
urine. Concentration-dependent killing and post antibiotic effect (PAE) are two important pharmacodynamic properties related to aminoglycosides that clinician shoud be familiar when prescribing
these agents. Concentration-dependent killing refers to the relationship between drug concentration and antimicrobial effect.
Optimal anti micobial effect occurs when the peak serum concentration of drug in proportion to MIC
of bacteria achieves a ratio of at least 8:1 to 10:1. The PAE refers to the antimicrobial activity of antibiotics after serum concentration have fallen bellow the MIC. The aminoglycosides are lincesed to
be administration multiple times per day based on a patients renal function, empirical maintenance
doses for gentamicin and tobramycin range from 1.2-2 mg/kg every 8 hours and for amikacin 5 to 7.5
mg/kg every 8 to 12 hours. Based on pharmacodynamic principles (concentration-dependent killing
and PAE) has been used widely since its introduction in the 1980. This strategy is referred to as extended interval aminoglycosides dosing (EIAD) or once daily dose. This concept is to achieves a high
serum concentration to produce rapid bactericidal effect and undetectable trough concentra tion
at the end of dosing interval to reduced accumulation of drugs, limiting toxicities. Aminoglycosides
have a broad spectrum of activity against aerobic and facultative gram negative bacilli. Most are active against enterobacteriaceae(E. coli, P. mirabilis and species Klebsiella, Morganella, Citrobacter, Serratia and Enterobacter), Pseudomonas species, Acinetobacter species and Haemophilus influenzae.The
toxicity of aminoglycosides include nephrotoxicity,ototoxicity (vestibular and auditory) and rarely
neuromuscular blockade. In order to minimize toxicity clinician should remember a few point : identified potensial risk factor that predispose to toxic and limited to administered multiple dose.
PENDAHULUAN
Aminoglikosid adalah salah satu antibiotik
pilihan untuk menangani infeksi serius. Penggunaan antibiotik ini diindikasikan karena
mempunyai spektrum luas terutama terhadap infeksi kuman aerob gram negatif, dan
berefek sinergis terhadap gram positif bila
dikombinasikan dengan antibiotik lain (misalnya -laktam). Aminoglikosid merupakan senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula
amino yang terikat lewat ikatan glikosidik pada
inti heksosa. Dengan adanya gugusan amino,
zat-zat ini bersifat basa lemah dan garam sulfanya yang digunakan dalam terapi mudah
larut dalam air.
MEDICINUS
leading article
PENGGOLONGAN
Aminoglikosid dapat dibagi atas dasar rumus kimianya sebagai berikut :
Streptomisin mengandung satu molekul gula-amino dalam molekulnya
Kanamisin dengan turunan amikasin, dibekasin, gentamisin, dan turunannya netilmisin dan tobramisin, semuanya mempunyai dua molekul gula yang dihubungkan oleh siklo heksan
Neomisin, framisetin dan paramomisin dengan tiga gula-amino
PEMBAHASAN
Mekanisme Kerja
Aktifitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat
diri pada ribosom (partikel partikel kecil dalam protoplasma sel yang kaya akan RNA, tempat terjadinya sintesa protein) didalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosentasa
protein dikacaukan. Untuk menembus dinding bakteri mencapai ribosom, aminoglikosid yang bermuatan kation positif akan berikatan secara pasif dengan membran luar dinding kuman gram negatif yang mengandung muatan negatif.
Terjadinya reaksi kation antibiotik akibat adanya potensial listrik transmembrane sehingga menimbulkan celah atau lubang pada membran luar dinding kuman selain mengakibatkan kebocoran dan
keluarnya kandungan intraseluler kuman memungkinkan penetrasi antibiotik semakin dalam hingga menembus membran sitoplasma, proses ini merupakan efek bakteriosid aminoglikosid.
MEDICINUS
leading article
Farmakokinetik/Farmakodinamik
Semua golongan aminoglikosid mempunyai
sifat farmakokinetik yang hampir sama. 1530
menit paska pemberian intravena mengalami
distribusi ke ruang ekstraseluler dan konsentrasi puncak dalam plasma dialami setelah 30-60
menit paska pemberian. Waktu paruh (half-life)
aminoglikosid rerata antara 1.5 hingga 3.5 jam
pada fungsi ginjal yang normal, waktu paruh
ini akan memendek pada keadaan demam dan
akan memanjang pada penurunan fungsi ginjal.
Ikatan aminoglikosid dan protein sangat lemah
(protein binding < 10%) dan eliminasi obat ini
terutama melalui filtrasi glomerulus.
MEDICINUS
leading article
MEDICINUS
leading article
10
MEDICINUS
Efek samping
Efek samping aminoglikosid yang tersering
adalah nefrotoksik, angka kejadiannya bervariasi antara 5%-25%, angka kejadian nefrotoksik
leading article
yang bervariasi ini dikarenakan tidak menggunakan kriteria definisi yang sama. Beberapa
faktor risiko untuk terjadinya nefrotoksik yang
perlu diketahui oleh para klinisi sebelum memberikan aminoglikosid yaitu : usia tua, komorbid
penyakit ginjal dan gangguan hati, penggunaan aminoglikosid multidosis atau menggunakan lebih dari 3 hari, menggunakan obat
bersifat nefrotoksik secara bersamaan seperti
vancomiciin, manitol, amfoterisin B dan radiokontras untuk diagnostik atau penderita rawat
ICU dengan hipotensi akibat hipovolemik mempunyai risiko tinggi untuk terjadi nefrotoksik.
Renal tubular nekrosis yang mendasari nefrotoksik, umumnya bersifat ringan dan revesibel.
Recovery akan mengalami secara spontan beberapa hari setelah penghentian obat, selama
tidak didapatkan hipotensi berkepanjangan,
dan tidak menggunakan obat nefrotoksik yang
lain secara bersamaan dan terjadi renal nekrosis
kortek akibat penyakit yang lain.
Efek toksik yang lain adalah kerusakan cochlear
dan vestibular sehingga mengakibatkan tuli bilateral yang bersifat permanen. Angka kejadian
tuli (ototoxicity) bervariasi antara 3%-14% tetapi
permasa lahanya efek samping ini umumnya
baru terdeteksi setelah pemberian aminoglikosid selesai diberikan. Faktor faktor risiko terjadinya efek samping ini sama halnya dengan faktor
risiko pada nefrotoksik. Salah satu efek samping
MEDICINUS
11
leading article
kombinasi antibiotik yang sinergik selama 3 sampai 5 hari pertama untuk penanganan infeksi Pseudomonas atau infeksi netropenia. Walaupun pendapat ini masih kontroversial tetapi beberapa klinisi
berpvvendapat bahwa untuk menghadapi sepsis berat yang kemungkinan disebabkan oleh kuman multidrug-resistant pathogen maka penggunaan secara empiris kombinasi antibiotik sinergis
merupakan pilihan yang tepat. Pemilihan aminoglikosid sebagai salah satu unsur dalam kombinasi
antibiotik terutama bila dikombinasikan dengan laktam merupakan pilihan yang rasional karena
mempunyai efek sinergik antara kedua kelompok antibiotik tersebut.Kombinasi aminoglikosid dan
laktam telah banyak digunakan pada senter yang maju sebagai inisial empirik antibiotik terutama
ditempat dimana prevalensi multidrug-resistant pathogen khususnya Pseudomonas yang sangat
tinggi.
KESIMPULAN
Aminoglikosid masih merupakan salah satu pilihan antibiotik untuk mengatasi infeksi yang
serius, terutama amikasin, gentamisin dan tobramisin yang berperan penting mengobati infeksi yang disebabkan oleh kuman yang berspektrum luas bakteremia, endokarditis, nasokomial
pneumonia dan infeksi saluran kencing.
Aminoglikosid diindikasikan terutama untuk kuman aerob dan fakultatif basil gram negatif seperti kuman Enterobacterceae (E. coli, Proteus mirabillis, K. Pneumoniae), Pseudomonas aeruginosa,
Acinetobacter dan Haemophilus influenza.
Pemberian Aminoglikosid direkomendasikan dengan dua cara, yaitu multipel dosis dan extended interval dosing tetapi rekomendasi saat ini lebih menganjurkan untuk menggunakan cara
yang kedua (extended interval closing).
Efek samping Aminoglikosid terutama adalah nefrotoksik dan ketulian, maka itu perlu identifikasi adakah faktor risiko terjadinya efek samping sebelum pemberian Aminoglikosid
daftar pustaka
1. Data CCU Kepekaan Kuman RS Siloam Kebon Jeruk: periode Juli Desember 2011 (internal file dokumen)
2. Iva Z, Glew RH, Daly JF.Use of antimicrobial in the treatment of infection in the criticalli ill
patient In : Irwin and Rippes Intensive Care Medicine 6th ed. Lippincott William&Wilkins.
2008,pp1024-1037
3. Lacy MK, Nicolau DP, Nightingle CH, Quintiliani R.The pharmacodynamic of aminoglycosides. Clinical Infectiuous Disease 1998.27:23-27
4. Leibovici L, Vidal L, Paul M.Aminoglycosides drugs in clinical practice : an evidence approach. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2009.63,pp 246-251
5. Radigan EA, Gilchrist NA, Miller MA.Management of aminoglycosides in the Intensive
Care Medicine. Journal of Intensive Care Medicine 2009.25(6):327-342
6. Rose J.Aminoglycosides In : Textbook of Critical Care 5th ed.Fink MD, Vincent JL, Kochanek PM (eds).Elsevier Saunders,Philadelphia-Pennsylvania.2005,pp 1199-1203.
7. Taccone FS, Lattere FP, Debacker D, Vincent JL et al.Revisiting the loading of amikacin for
patients with severe sepsis and septic shock.Critical Care 2010.14.R53,pp 1-10
12
MEDICINUS
MEDICINUS
13
NAMA LENGKAP :
ALAMAT
KOTA :
KODE POS :
NO. TELEPON :
EDISI BULAN (Beri tanda [] CME artikel edisi mana yang Anda selesaikan ini):
EDISI APRIL 2012
LIPATAN PERTAMA
LIPATAN KEDUA
14
MEDICINUS
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
P10
BARANG CETAKAN
Perangko
Kepada:
Redaksi CME MEDICINUS
Gedung Titan Center Lt. 5
Jl. Boulevard Bintaro blok B7/B1 No. 05
Bintaro Jaya Sektor 7
Tangerang Selatan 15224
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MEDICINUS
15
16
MEDICINUS
Sekilas Produk
amiosin
Rumah sakit dan ICU merupakan area breeding
ground dari bakteri yang multiresisten terhadap
antibiotik. Hal itu disebabkan karena penggunaan prosedur invasif, terjadi transmisi infeksi
pada setting ICU, dan penggunaan berbagai antibiotik.1 Pasien yang dirawat di ICU pada umumnya dengan penyakit berat dan dalam kondisi
imunokompromais. Munculnya resistensi terhadap berbagai antibiotik dipengaruhi oleh
pemakaian antibiotik. Semakin lama seorang
pasien mendapat terapi antibiotik, akan memudahkan timbulnya kolonisasi dengan mikroba
yang resisten antibiotik. Hal tersebut akan mengancam efektifitasnya sehingga menimbulkan
resistensi terutama bakteri Gram negatif.1 Bakteri Gram negatif sangat tinggi resistensinya
terhadap antibiotik -laktam, sehingga merupakan ancaman terhadap pasien imunokompromais.1 Bakteri Gram negatif yang paling sering
diisolasi di ICU adalah P.aeruginosa, Escherichia
coli, Enterobacter sp, dan K.pneumoniae. Sumber bakteremia tersering adalah infeksi saluran
kemih dan pneumonia.1
Dari hasil studi yang dilakukan di RS Oen, Solo,
pada tahun 2006-2007 menunjukkan bahwa kuman gram negatif yang paling sering muncul
adalah Escherichia coli (36.21%), Klebsiella pneumonia (14,95%) dan Klebsiella ornithinolytica
(10,30%) dan di antara gram positif yang paling
sering adalah Streptococcus aureus (26,97%),
Staphylococcus saprophyticus (22,47%) dan Staphylococcus epidermidis (24,72%).2 Berdasarkan
studi yang dilakukan di PICU RSAB Harapan
Kita, isolat yang paling banyak ditemukan E.coli,
Klebsiella sp dan Pseudomonas sp (75,9%). Pseudomonas sp adalah bakteri yang sering diiso-
MEDICINUS
17
Pseudomonas aeruginosa
Klebsiella pneumonia
Antimikrobial
Sensitivitas
Cefixime
100%
Cefoperazone-sulbactam
80%
Piperacillin-tazobactam
98%
Meropenem
90%
Cefoperazone-sulbactam
86%
Cefepime
86%
Amikasin
85%
Cefixime
100%
Amikasin
88%
Meropenem
87%
Cefoperazone-sulbactam
85%
Piperacillin-tazobactam
80%
Fosfomycin
80%
88%
88%
88%
86%
100%
100%
100%
100%
KESIMPULAN
1. Bakteri Gram negatif mempunyai tingkat resistensi yang tinggi terhadap antibiotik - laktam.
2. Antibiotik baru yang efektif untuk mengatasi infeksi tersebut sangat sedikit.
3. Antibiotik golongan aminoglikosida merupakan salah satu antibiotik pilihan untuk
mengatasi infeksi gram negatif.
4. Sensitivitas amikasin terhadap beberapa bakteri gram negatif dan Pseudomonas aeruginosa
saat ini masih tinggi.
daftar pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
18
Adisasmito, A.W., Tumbelaka, A.R., Penggunaan antibiotik khususnya padainfeksi bakteri gram negatif di
ICU Anak RSAB Harapan Kita. Sari Pediatri.2006; 8 (2):127-134.
Rizal, Microbial pattern and antimicrobial resistance of isolates collected from various specimen in RS Dr
Oen Baru, Sukoharjo.The Indonesian Journal of Medical Science. 2010;1(7): 392-9.
Yohanes George, et.al. Panduan Tata kelola hospital-acquired pneumonia, ventilator-associated pneumonia and healthcare-associated pneumonia pasien dewasa. Centra Communications.2009:1-48.
Drusano, G.L, et al. Back to the Future: Using aminoglycosides again and how to dose them optimally. Clinical Infectious Diseases 2007;45:753-60.
Amiosin. Package insert. PT Dexa Medica.
MEDICINUS
Research
5 skp
Abstract
Abstract
MEDICINUS
19
research
PENDAHULUAN
Cacing tambang atau Hookworm adalah salah
satu jenis parasit usus, sering dijumpai di Eropa
selatan, Amirika latin, Afrika utara, Asia utara,
di mana yang banyak menginfeksi pada manusia adalah Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Kasus infeksi cacing tambang
terbanyak terdapat di Asia diikuti oleh Sub Sahara Afrika. Di dunia sekitar seperempat penduduknya terinfeksi oleh cacing tambang, di
mana infeksi lebih banyak disebabkan N americanus, sedangkan A.duodenale secara geografis
lebih terbatas. Infeksi cacing tambang pada pria
lebih sering dibanding wanita, karena laki-laki
lebih banyak terekspos dengan tanah terutama dipedesaan.1-8 Diperkirakan infeksi terjadi
740 juta kasus terdapat di areal pedesaan terutama di daerah tropis dan subtropis. Di China,
diperkirakan terdapat 190 juta penderita, dimana ini berdasarkan survei nasional dengan
pemeriksaan tinja pada 1,5 juta orang antara
tahun 19881992.1-5
Cacing tambang dewasa dengan panjang 1 cm
menggunakan buccal teeth (Ancylostoma) atau
cutting plates (necator) untuk melekat pada
nukosa usus kecil dan menghisap darah 0.2 ml/
hari per cacing. Cacing dewasa menghasilkan
ber ribu-ribu telur per hari. Untuk A.duodenale
menghasilkan 30.000 telur per 24 jam, sedangkan N.americanus lebih sedikit yaitu 10.000 telur
per 24 jam. Telur keluar bersama tinja ke dalam
tanah, kemudian menetas menjadi larva infeksius dalam waktu lebih dari 1 minggu. Larva
yang infektif menembus kulit dan mencapai
paru melalui aliran darah, menyerang alveoli,
memasuki saluran nafas (bronkus, trachea) dan
tertelan untuk mencapai usus. Waktu dari infasi
kulit sampai tebentuknya telur di usus adalah
6-8 minggu, tetapi pada A.duodenale waktunya
lebih panjang. Cacing dewasa hidup lebih dari
satu periode yaitu mencapai 6-8 tahun untuk
A.duodenale dan 2-5 tahun untuk N americanus.1.8 Cacing tambang mempunyai siklus hidup
pendek hanya 6-12 bulan, tetapi pada individu
yang terinfeksi bertahun-tahun biasanya karena
terjadi reaktivasi berulang dari larva hipobiotik
Namun demikian dapat juga larva tetap berada
20 MEDICINUS
research
dihisap oleh cacing maupun darah yang keluar dan
kemudian masuk ke dalam tinja, serta jumlah cadangan besi dan protein yang ada pada penderita.1,8
Pada penderita dengan 40-160 cacing dalam tubuhnya, dihubungkan dengan kadar hemoglobin
(Hb)<11 g/dl. Di Zanzibar pada anak yang terinfeksi
cacing tambang N americanus prevalensi hipoferitinaemia (<12 ug/L) 33.1 %, sedangkan infeksi A
duodenale prevalensinya 58,9%.4 Di Nepal, infeksi
cacing tambang pada wanita hamil menyebabkan
anemia sedang sampai berat berturut-turut 30 dan
40% (Hb<9 g/dl).1
MANFAAT PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
Didapatkan 137 penderita infeksi cacing tambang
dari Januari 1996 sampai Desember 2009, terdiri dari
82 pria (59,85%) dan 55 wanita (40,15%). Namun
tidak semua parameter yang diinginkan ditemukan pada catatan medis (lihat tabel 1). Meskipun
demikian, telah diperoleh data albumin penderita
108 dan data evaluasi hapusan 130 penderita. Sehingga yang dapat dimasukkan ke dalam penelitian ini hanya 108 penderita. Pada beberapa penderita infeksi cacing tambang ternyata disertai
penyakit lain yaitu; 1 penderita infeksi bersama
leukemia, 1 penderita bersama trombositosis, 1
penderita bersama AIHA, 3 penderita bersama
malaria. Secara umum, pada infeksi cacing tambang nilai rata-rata (mean) kadar Hb, MVV, MCH,
dan albumin serum rendah, tetapi tidak ada perbedaan kadar antara pria dan wanita (p>0,05)
MEDICINUS
21
research
Tabel
1. Data
dengan
Infeksi
Cacing
Tambang
Tabel
1. DataPenderita
Penderita dengan
Infeksi
Cacing
Tambang
Parameter
Parameter
Hemoglobin (g/dl)
Hemoglobin (g/dl)
N N
132
132
PCV (%)
PCV (%)
Min
Min
Maks
Maks
Mean
Mean
2.00
15.40
5.52
2.33
6.00
46.00
18.17
7.07
2.00
123
123
6.00
3
) (pg)
MCV (mmMCH
115113
MCV (mm3)
46.00
18.17
0.998
2.33
0.998
0.633
109.00
38.70
65.45 5.18
19.86
11.85
0.867
0.932
113130
0.00
12.10
22.00
38.70
5.08
19.86 4.66
5.18
0.190
0.867
Eosinofil (/mm
(%) 3)
130130
0.00
0.00
22.00
1560.00
5.08 327.05
304.49
4.66
0.214
0.190
(/mm3)
Eosinofil Lekosit
absolut
3
(/mm )
130
0.00
3
)
Lekosit (/mm
LED 1 jam
132130
0.60
1.00
3
TrombositAlbumin
(/mm(g/dl)
)
132108
1.30
25.00
132
0.60
25.00
29.80
1560.00
7.15
0.932
0.633
48.00
12.10
132
11.85
7.07
65.45
Trombosit (/mm3)
48.00
5.52
SD P (pria vsPwanita)
(pria vs wanita)
109.00
Eosinofil absolut
115
15.40
SD
4.85
304.49
0.033
327.05
2016.00
358.73
217.14
29.80
180.00
7.15 41.05
45.70
0.383
4.85
4.60
3.13
2016.00
358.73 0.61 217.14
0.214
0.244
0.033
0.42
0.383
33
8.62 %
2 . Data Kontrol/Non Infeksi 10
Cacing Tambang
Hepatitis kronik
Parameter
Penyakit ginjal kronik
7
18
6.03 %
Persentase
15.52 %
Check up
rutinmellitus
Diabetes
33
4.31 %
28.45 %
10
3.45 %
8.62 %
17
Malaria
22
Hepatitis kronik
22
28.45 %
116
14.66 %
6.03 %
18.96 %
18
100 %
15.52 %
Diabetes mellitus
4.31 %
3.45 %
17
14.66 %
Malaria
22
18.96 %
Jumlah
116
100 %
MEDICINUS
research
Dari 108 penderita dan 116 kontrol didapatkan nilai diagnostik (sensitifitas, spesifitas, NRP dan NRN)
dari AHM berturut-turut adalah 78,70%; 82,76%; 46,96% dan 80,67%. Sedangkan untuk hipoalbumin
berturut-turut adalah 71,30%; 49,14%, 57,46% dan 64,67% (table 4).
DISKUSI
Dari 137 kasus infeksi cacing tambang yang
di dapatkan, hanya 132 mempunyai data Hb,
rentangan kadar Hb 2,0015,40 g/dl dan nilai
rata-rata Hb 5,52 g/dl (SD 2,33 g/dl). Sedangkan
data albumin hanya terdapat 108 kasus di mana
rentangan 1,304,60 g/dl dengan nilai rata-rata
3,13 g/dl (SD 0,61 g/dl). Pada penelitian ini kadar
rata-rata Hb sangat rendah dan persentase AHM
cukup tinggi 85/108 = 78,70%). Hal ini disebabkan karena penelitian kami diambil dari populasi
penderita yang masuk rumah sakit, yang berarti
penyakitnya cukup berat, bahkan terdapat 8
penderita yang infeksi cacing tambang bersama
penyakit lain yang dapat memperberat anemianya yaitu malaria, AIHA, leukemia. Pada penelitian lain derajat beratnya anemia dipengaruhi
oleh beratnya penyakit (jumlah telur cacing per
gram tinja), asupan dan cadangan zat besi. Dari
beberapa peneliti terdapat bermacam-macam
hasil yaitu Pasricha dkk (2008) mendapatkan
anemia (Hb < 12 g/dl) pada 37,5% wanita hamil,13
Saraya dkk (1970) mendapatkan AHM 64%,14
Bakta & Budhianto (1994) mendapatkan anemia
defisiensi besi pada 12,2% kasus di Bali.15 Stoltzfus (1997) dkk mendapatkan anemia<11 g/dl
MEDICINUS
23
research
Penelitian kami mendapatkan adanya hipoalbuminemia (< 3.5 g/dl) pada 71,30%, sedangkan Saraya
dkk mendapatkan albumin < 3.25 g/dl sebanyak 32,6%. Di mana anemia dan hipoalbumin juga
dhubungkan dengan banyaknya parasit. Hubungan antara anemia berat < 5g/dl dan hipoalbumin
< 2,75 g/dl secara nyata berhubungan dengan banyaknya parasit, fator nutrisi seperti defisiensi vitamin B 12 dengan atau asam folat dan protein.13 Bakta & Budhianto FX mendapatkan 60% (9/15) kasus
hipoalbumin, di mana hal ini juga dihubungkan dengan infeksi sedang sampai berat.15
Sebagai kesimpulan dari penelitian kami AHM mempunyai sensitifitas, spesifitas dan NRN cukup
baik pada infeksi cacing tambang, sedangkan hipoalbumin kurang spesifik (49,14%) untuk infeksi
cacing tambang. Hasil penelitian ini lebih sesuai digunakan untuk penderita infeksi cacing tambang
sedang sampai berat, karena datanya di ambil dari penderita yang sebagian besar infeksinya sedang
sampai berat. Hal ini terbukti bahwa penderita dengan kadar Hb > 10 g/dl hanya 5,65%.
daftar pustaka
1. Weller PF, Nutman TB. Intestinal Nematodes. In:
Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al, eds !7th.
In Harrisons Principles of Internal Medicine. New
York : Mc Graw Hill Medical, 2008: 1319-1323.
2. Loukas A, Provic P. Immune Responses in Hookworm Infections. Clin Microbiol Rev 2001; 14(4):
689-703.
3. Block S, Ali-Ahmad N, Bathija M, Abuhammour
W, Bravender T. Index of Suspicion. Pediatr Rev
2000; 21(10): 354-357.
4. Hotez PJ, Brooker S, Bethony JM, Bottazzi ME,
Loukas A, Xiao S. Current concepts Hookworm
Infection. N Engl J Med 2004; 351: 799-807.
5. Garg PK, Perry S, Dorn M, Hardcastle L, Parsonnet J. Risk Of Intestinal Helminth and Protozoan
Infection in a Refuuge Population. Am J Trop
Med Hyg 2005; 73(2): 386-391.
6. Thomas V, Haris K, Tony J, Sunilkumar R, Ramachandran TM, Anita PM. Colitis due to Ancylostoma duodenale. Indian J Gastroenterol 2006;
25: 210-211.
7. Beigel Y, Greeberg Z, Ostfeeld I. Letting The Patient off The Hook. N Engl J Med 2000; 342(22):
1658-1661.
8. Hotez PJ. Hookworms (Ancylostoma and Necator americanus). In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics, eds
17th . USA : Saunders An Imprint of Elsevier Science, 2004; 1156-1158
9. De Gruiter JM, van Lieshout L, Gasser RB, et al.
Polymerase chain reaction-based differential
diagnosis of ancylostomaduodenale and Necator americanus infections in humans in northern
Ghana. Trop Med and International Health 2005;
10(6): 574-580.
10. Calis JCJ, Phiri KS, Faragher EB, et al. Severe Anemia in Malawian Children. N Engl J Med 2008;
358(9): 888-899.
11. Culey FJ, Brown A, Conrory DM, Sabroe I, Pritch-
24
MEDICINUS
MEDICINUS
25
BIODATA PESERTA
NILAI DIAGNOSTIK ANEMIA HIPOKROM MIKROSITER DAN HIPOALBUMIN PADA INFEKSI CACING
TAMBANG
(gunakan huruf cetak dan tulis dengan jelas)
NAMA LENGKAP :
ALAMAT
KOTA :
KODE POS :
NO. TELEPON :
EDISI BULAN (Beri tanda [] CME artikel edisi mana yang Anda selesaikan ini):
EDISI APRIL 2012
LIPATAN PERTAMA
LIPATAN KEDUA
26
MEDICINUS
LEMBAR JAWABAN KUIS CME NILAI DIAGNOSTIK ANEMIA HIPOKROM MIKROSITER DAN
HIPOALBUMIN PADA INFEKSI CACING TAMBANG
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
P10
BARANG CETAKAN
Perangko
Kepada:
Redaksi CME MEDICINUS
Gedung Titan Center Lt. 5
Jl. Boulevard Bintaro blok B7/B1 No. 05
Bintaro Jaya Sektor 7
Tangerang Selatan 15224
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MEDICINUS
27
case report
Abstract
Hepatitis B virus (HBV) reactivation is a serious but preventable complication of immunosuppression. Chemotherapy in patients with lymphoma without specific anti-HBV prophylaxis
leads to significant impairment of liver function and results in an overall liver-related mortality of greater than 5%. Prevention is a better approach than intervention at the time of reactivation. The cause of death is usually HBV-related fulminant liver failure.
We reported a case of a male patient aged 42 years old who presented with acute liver failure related to chemotherapy for treatment of gastric lymphoma. He was later known as having chronic carrier hepatitis B, with high elevated transaminases and hyperbilirubinemia and
signs of decompensated liver. The patient was admitted to High Care Unit for best supportive
care but his condition deteriorated and he eventually died even though he was given antiviral agents.
Keywords: HBV reactivation, chemotherapy, liver failure.
INTRODUCTION
CASE REPORT
A male, 42 years old, came to hospital in an unconscious state. From the history, 6 months earlier he
was diagnosed with gastric lymphoma and underwent chemotherapy, 3 cycles of CHOP regimen
every 3 weeks, for the 4th cycle the regimen was
switched to R-CHOP because of low response of
previous regiment. One week later, he felt nausea
and often vomited and 2 days before admission,
he got jaundice, icteric skin, fever, and tea-colored
urine. There was history of alcohol consumption
and blood transfusion. On physical examination,
he was delirius, tachycardia (110 bpm), tachypneu
(28x/mins), icteric skin and sclera, hepatomegaly
(3 cm below arcus costarum, 2 cm below processus
xiphoideus), and edema. Laboratory result showed
high level of transaminase (AST/ALT: 1295/1051), hyperbilirubinemia (14.4/2.5/11.9), elevated LDH (1137),
hypoalbuminemia (2.6), and prolonged PT/aPTT
(61.4/98.2). His chest X-ray and ECG were normal.
28
MEDICINUS
We inserted the NGT and revealed 400 cc dark colored fluid. He was admitted to High Care Unit. He
was diagnosed with hepatic enchepalopathy with
case report
Thirdly, even when full recovery is achieved, reactivation may reduce survival because it may require
interruption of chemotherapy as scheduled. This
patient had a history of blood transfusion, presuming whether the transmission is vertical or through
blood and even though we dont know the exact
serology profile but his HBsAg revealed positive
so at least we can conclude that this patient was a
chronic carrier of hepatitis B because there were no
symptoms of acute infection.
Due to his condition with gastric lymphoma since
6 month earlier it was decided that he should have
chemotherapy with 3 cycles of CHOP regimen, containing immunosupresant agent, with unknown
hepatitis B status at that time. Later on, for the 4th
cycle the regimen was switched to R- CHOP because of low response.
Figure 1.
USG revealed non-specific hepatomegaly
He was treated with L-ornithine L-aspartate (LOLA)
inj., antiviral 3TC 1x100 mg & adefovir once daily, PPI
inj., sucralfat syr, lactulac syr, vitamin K inj., SNMC
inj., replace FFP, and best supportive care. On day
3 of follow up, he was still unconscious, haematemesis was ceased, AST/ALT was lowered (684/529),
bilirubin was elevated (23/11/12), and prolonged
PT/aPTT (44/56). On day 5, AST/ALT was lowered
(319/491), bilirubin was highly elevated (28/14/14),
and he eventually died due to fulminant liver failure.
DISCUSSION
In this report, we present a case of liver failure due
to chemotherapy. Patients with haematological malignancies deserve special attention regarding their
hepatitis B status for several reasons. First, in endemic countries, the incidence of HBV reactivation
is increased in this group compared with normal
subjects. Yet, overt and occult HBV infections are
often missed at a stage when pre-emptive antiviral
treatment may prevent HBV reactivation.4 Secondly, HBV reactivation is a common sequella of chemotherapy occurring in 2153% of HBsAg carriers and
when left undetected, may carry a poor prognosis.5
MEDICINUS
29
case report
30
MEDICINUS
case report
The optimal duration of anti-HBV treatment remains uncertain. Preempative treatment should be given for
about 2 weeks before receiving chemotherapy and needs to be continued for at least 3 months (range 3-12
months) after the cessation of chemotherapy. For patients receiving conventional chemotherapy, lamivudine therapy until 6 months after cessation of chemotherapy has been recommended. A longer duration of
lamivudine of 12 months or longer may be necessary for patients receiving monoclonal antibodies (rituximab or alemtuzumab), or HSC transplants because of the late immune-recovery of these patients. In addition, patients with high baseline HBV DNA before chemotherapy may also need more prolonged lamivudine.
Late HBV reactivation has been observed as the results of premature drug termination.7
Despite lamivudine, the mortality rate of HBV reactivation remains high. This is possibly due to the delay in
starting lamivudine while the hepatic viral load is already high and massive immune-mediated hepatic damage had already occurred.
Initial screening is based on serological tests for anti-HBc antibodies, HBsAg and anti-HBs antibodies. There
are some algorithms published, for example as seen in figure 2.
Prognostic of HBV reactivation related to chemotherapy is poor and related to long-term declining of liver
function. Extended anti-HBV prophylaxis can improve survival rates by 2.4% in HBsAg-positive patients, if
1,000 HBsAg-positive lymphoma patients receive prophylaxis, one will die from hepatitis B virus reactivation versus 25/1,000 if no prophylaxis is administered.12 Survival rate of patient having antiviral treatment,
undergo MARS or liver transplantation is variable individually and no exact report about this issue but most
reports show better prognosis for early antiviral treatment.
CONCLUSION
HBV reactivation is a serious but preventable complication of immunosuppression. At-risk patients must be
identified promptly and surveillance for HBV status should be an integral part of the care of the haematology
patient. Preemptive anti-HBV therapy should be given to all at-risk patients. By implementing good medical
practice, virtually all patients could be prevented from reactivating HBV, in view of the potentially serious
consequences which lead to high mortality rate.
references
1. Lau GKK. Hepatitis B reactivation after chemotherapy: two decade of clinical research. Hepatol Int. 2008; 2:152-62.
2. Takai S, Tsurumi H, Ando K, Kasahara S, Sawada M, Yamada T, et al. Prevalence of hepatitis B and C virus infection in haematological malignancies and liver injury following chemotherapy. European Journal of Haematology 2005; 74:15865
3. Lok AS, McMahon BJ. Chronic hepatitis B: Update 2009. AASLD Practice guideline. Hepatology 2009; 50(3):1-35
4. Yim HJ & Lok AS. Natural history of chronic hepatitis B virus infection: what we knew in 1981 and what we know in 2005.
Hepatology 2006; 43:17381
5. Yeo W, Chan PKS, Zhong S, Ho WM, Steinberg JL, Tam JS, et al. Frequency of hepatitis B virus reactivation in cancer patients undergoing cytotoxic chemotherapy:
a prospective study of 626 patients with identification of risk factors.
Journal of Medical Virology 2000; 62:299307
6. Koo YX,Tan DS,Tan IB,Tao M,Chow WC,Lim ST. Hepatitis B virus reactivation and role of antiviral prophylaxis in lymphoma patients with past hepatitis B virus infection who are receiving chemoimmunotherapy. Cancer 2010;116:115-21.
7. Lalazar G, Rund D, Shouval D. Screening, prevention and treatment of viral hepatitis B reactivation in patients with
haematological malignancies. Br J Haematol. 2007; 136:699-712
8. Yang SH, Kuo SH. Reactivation of hepatitis B virus during rituximab treatment of a patient with follicular lymphoma.
Ann Hematol. 2008; 87:325-27
9. Yeo W, Johnson PJ. Diagnosis, prevention and management of hepatitis B virus reactivation during anticancer therapy.
Hepatology 2006; 43:209-20
10. Kohrt HE, Ouyang DL, Keeffe EB. Lamivudine prophylaxis for chemotherapy-induced reactivation ofchronic hepatitis B virus infection. Aliment Pharmacol Ther, 2006; 24(7):1003-16.
11. Cortelezzi A, Vigano M, Zilioli VR. Adefovir added to lamivudine for hepatitis B recurrent infection in refractory B-cell
chronic lymphocytic leukemia on prolonged therapy with Campath-1H. J Clin Virol. 2006; 35:467-69
12. Ziakas PD, Karsaliakos P, Mylonakis E. Effect of prophylactic lamivudine for chemotherapy-associated hepatitis B
reactivation in lymphoma: a meta-analysis of published clinical trials and a decision tree addressing prolonged
prophylaxis and maintenance. Haematologica.2009;94(7):9981005.
MEDICINUS
31
Technology
Abstract
Abstract
Metode pembuatan tablet, yang umum digunakan adalah dengan cetak langsung
atau granulasi. Pada metode cetak langsung,
diperlukan sifat alir dan kompresibilitas
yang baik dari serbuk yang akan dicetak. Teknik likuisolid merupakan suatu teknik yang
relatif baru, yaitu teknik untuk mengubah
suatu bentuk cair ke keadaan serbuk kering
yang memiliki sifat alir dan kompresibilitas
yang baik, melalui pencampuran fisik sederhana dengan bahan pembawa dan bahan
penyalut tertentu, yang dapat dibuat tablet
dengan metode cetak langsung. Selain itu,
teknik ini juga dapat meningkatkan kelarutan dan disolusi bahan obat yang sukar larut
atau yang kelarutannya buruk dalam air, sehingga diharapkan dapat meningkatkan absorpsi dan bioavailabilitas obat.
PENDAHULUAN
Formulasi bahan obat yang memiliki kelarutan buruk di dalam air, sampai saat ini masih merupakan
tantangan di industri farmasi. Pada beberapa tahun terakhir telah banyak dikembangkan teknik formulasi sediaan solida yang dapat meningkatkan disolusi bahan obat dengan kelarutan buruk dalam air,
misalnya dengan cara pengecilan ukuran partikel (mikronisasi), penambahan surfaktan, pembuatan
bahan obat dalam bentuk garam, pembentukan kompleks, atau dengan pembuatan dispersi solida.
Dari salah satu cara yang telah disebutkan sebelumnya, metode yang umum digunakan untuk meningkatkan luas permukaan obat adalah mikronisasi (pengecilan ukuran partikel). Namun, metode ini
seringkali memberikan hasil yang mengecewakan terutama saat dicetak menjadi tablet dan dienkapsulasi. Mikronisasi obat memiliki kecenderungan untuk terjadinya agglomerat karena sifat hidrofobik
32
MEDICINUS
Techn
Technology
bahan obat yang akan menurunkan luas permukaan total.1 Teknik likuisolid merupakan suatu teknik
pembuatan tablet yang relatif baru, diperkenalkan pada tahun 2002 oleh Spireas,2 yaitu teknik untuk
mengubah suatu bentuk cair ke keadaan serbuk kering yang memiliki sifat alir dan kompresibilitas
baik, melalui pencampuran fisik sederhana dengan bahan pembawa dan bahan penyalut tertentu.
KEUNTUNGAN TEKNIK LIKUISOLID
Terdapat setidaknya enam keuntungan teknik likuisolid,3,4 yaitu:
1. Metode pembuatannya sederhana, mirip dengan pembuatan tablet secara konvensional.
2. Biaya pembuatan relatif murah, jika dibandingkan dengan pembuatan kapsul gelatin lunak.
3. Pelepasan obat dapat dimodifikasi menggunakan bahan tambahan yang sesuai.
4. Bahan obat dapat berada dalam dispersi molekular.
5. Dapat diaplikasikan untuk produksi skala industri.
6. Bioavailabilitas lebih baik jika dibandingkan dengan tablet konvensional.
PEMBUATAN TABLET DENGAN TEKNIK LIKUISOLID
Pembuatan tablet dengan teknik likuisolid akan melibatkan beberapa bahan tambahan selain bahan obat, seperti bahan pembawa, bahan penyalut, dan bahan tambahan lain seerti bahan penghancur, pelicin, maupun pelincir. Secara umum, teknik likuisolid dapat dilihat pada Gambar 1 dan
pembuatan tablet dengan teknik likuisolid dapat dilihat pada Gambar 2.
nology
MEDICINUS
33
Technology
34
MEDICINUS
Technology
Lf =
Q
R=
q
W
Q
L f = + (1 R )
dan adalah nilai berturut-turut untuk bahan pembawa dan bahan penyalut.
Liquid load factor yang masih menghasilkan
campuran yang memiliki kompresibilitas yang
baik (Lf ) dapat ditentukan dengan rumus:
L f = + (1 R )
MEDICINUS
35
Technology
menurunkan laju pelepasan obat. Laju pelepasan obat sebanding dengan fraksi obat dalam
dispersi molekuler (FM). Pengertian FM adalah
rasio antara kelarutan bahan obat (Sd) dan konsentrasi obat (Cd) dalam pelarut.5
FM =
Sd
Cd
Nilai R
36
MEDICINUS
Optimasi
Efek
PVP
superdisintegran
Technology
2.
3.
4.
5.
Spireas dkk (1998),7 menguji profil pelepasan hidrokortison dari tablet likuisolid.
Laju disolusi tablet likuisolid hidrokortison
lebih konsisten dan tidak tergantung pada
volume medium disolusi yang digunakan,
sedangkan pada tablet konvensional, laju
disolusi menurun dengan menurunnya
volume medium disolusi.
Spireas dkk (1998),5 membuat tablet
likuisolid prednisolon, laju disolusi lebih
tinggi dibandingkan dengan tablet konvensional yang dibuat dengan metode
cetak langsung, pada medium disolusi dan
volume medium disolusi yang berbeda.
Spireas dkk.8 (1999), meneliti efek dari serbuk likuisolid dari tablet likuisolid metilklotiazid, menunjukkan meningkatnya profil
pelepasan dikarenakan meningkatnya sifat
pembasahan dan permukaan bahan obat
yang terdisolusi. Laju disolusi meningkat
pada perbandingan optimum antara bahan pembawa dan bahan penyalut. Tablet
likuisolid yang dibuat memiliki laju disolusi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tablet konvensioanl yang ada di perdagangan.
Darwish (2001),9 melakukan penelitian terhadap efek komposisi serbuk likuisolid dan
jumlah cairan yang ditambahkan terhadap
sifat alir dan kompresibilitas pada pembuatan tablet likuisolid glibenklamid dengan teknik likuisolid. Tablet likuisolid glibenklamid memiliki laju disolusi yang lebih
tinggi dari tablet glibenklamid yang ada di
perdagangan, yang memungkinkan untuk
meningkatnya bioavailabilitas obat.
Javadzadeh1 (2007), membuat tablet
likuisolid Karbamazepin, dan diamati
pengaruh dari polimer hidrofilik yang ditambahkan (PVP K-30), HPMC, dan PEG
35000). PVP K-30 mempunyai laju disolusi
yang lebih baik dibandingkan tablet cetak langsung konvensional, formula yang
mengandung HPMC, dan formula yang
mengandung PEG 35000. Peningkatan
konsentrasi PVP K-30 dalam liquid medication (10%, 20%, dan 30%) mengakibatkan
6.
7.
8.
9.
KESIMPULAN
Teknik likuisolid merupakan suatu teknik sederhana yang dapat digunakan dalam pembuatan
tablet dengan biaya produksi yang rendah, dan
dapat meningkatkan pelepasan bahan obat,
khususnya bahan obat yang sukar larut dalam
air. Proses pembuatannya sederhana, dengan
mengkonversi bahan obat dalam bentuk cair,
larutan obat, maupun suspensi obat dalam
pelarut non volatile menjadi serbuk kering, tidak lengket, mudah mengalir, dan kompresibel;
dengan menambahkan bahan pembawa dan
MEDICINUS
37
Technology
bahan penyalut yang sesuai. Tablet dengan teknik likuisolid dapat meningkatkan kelarutan dan disolusi bahan obat, yang dapat meningkatkan absorpsi dan bioavailabilitas.
daftar pustaka
1. Javadzadeh Y, Navimipour B, Nokhodchi A. Liquisolid technique for dissolution rate enhancement of a high dose water insoluble drug (carbamazepine), Int J Pharm,2007; 341:26-34.
2. Spireas, S. Liquisolid systems and methods of preparing same, US Patent 6423339 B1, 2002.
3. Karmarkar, AB, Gonjari, ID, Hosmani, AH, Dhabale, PN,and Bhise, SB. Dissolution Rate Enhancement of Fenofibrate using Liquisolid Tablet Technique, Latin American Journal of Pharmacy.,
2009; 28 (4): 219-225.
4. Yadav, VB. and Yadav, AV. Liquisolid granulation technique for tablet manufacturing, Journal of
Pharmacy Research., 2009; 2(4): 1-5.
5. Spireas S, Sadu S. Enhancement of prednisolone dissolution properties using liquisolid compacts. Int J Pharm, 1998; 166: 177-188.
6. Yadav, V.B., Yadav, A.V.Enhancement of solubility and dissolution rate of BCS class II pharmaceuticalsby nonaqueous granulation technique, Int. J. Pharm. Res. Dev. 1: 1-12 (2010)
7. Spireas S, Sadu S, Grover R. In vitro release evaluation of hydrocortisone liquisolid tablets, J
Pharm Sci, 1998; 87: 867-872.
8. Spireas S, Wang T, Grover R, Effect of powder substrate on dissolution properties of methylclothiazide Liquisolid compacts, Drug Dev Ind Pharm, 1999; 25:163-168
9. DarwishAM., Dissolution enhancement of glibenclamide using liquisolid tablet technology,
Acta Pharm, 2001; 51: 173-181.
10. Patel VP, Patel NM, Dissolution enhancement
of glipizide using liquisolid tablet technology,
Ind Drugs, 2008;45(4): 318-323.
11. Fahmy
RH, Kassem MA. Enhancement of famotidine dissolution rate through liquisolid tablet
formulation: in vitro and in vivo evaluation, Eur J Pharm Biopharm, 2008; 69(3): 993-1003.
12. Hadisoewignyo, L, Hadi, E, Wibowo, N. Tablet likuisolid ibuprofen, Majalah Farmasi Indonesia,
2011; 22(3):
38
MEDICINUS
Medical review
INTRODUCTION
Protein-energy malnutrition (PEM) affects every organ system. Clinical signs of PEM are frequently seen in cirrhotic patients and may be
obvious at all clinical stages of liver disease and
even in clinically stable situations.1 Malnutrition in patients with chronic liver disease may
develop even in mild disease, despite nearnormal dietary intake.2 Malnutrition in cirrhotic
patients is readily understood as a consequence
of metabolic disturbances and also in combination with low dietary intake.2 Malnutrition is by
far considered one of the most important prognostic factors in liver cirrhosis and should alert
clinicians to the same extent as the presence of
other common complications of cirrhosis such
as hepatic encephalopathy or ascites.2
However, PEM is frequently underdiagnosed
in clinical practice. This is explained in part by
the fact that water retention increases body
weight and thus masks losses of body mass.
The prevalence of malnutrition varies widely
between studies (30%-90%), depending on the
study population and the methods used for nutritional assessment.2 Different parameters in
assessing the nutritional status have been used
and evaluated, and some of them are quite useful and easy to perform not only by experts. In
January 2006 the European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) issued
specific guidelines on enteral nutrition in liver
disease which can be easily applied in both inpatients and outpatients. The guidelines recommend the use of simple bedside methods such
as the Subjective Global Assessment (SGA) or
MEDICINUS
39
medical review
volume and therefore a greater use of macroand micronutrients is one of the most common
causes of high energy expenditure and demand,
with a resting energy expenditure 120% of the
expected value. Elevated pro-inflammatory and
anti-inflammatory cytokine levels point to a
cytokine-driven hypermetabolism in cirrhosis.4
Other important factors in the loss of body
protein are the inadequate synthesis of various
proteins from the affected liver, the diminished
storage capacity of the cirrhotic liver and the affected enterohepatic circle. Thus, providing the
cirrhotic patient with the proper amount of energy is far from easy. It has been observed that
among cirrhotic patients, after an overnight
fast, an early switch to gluconeogenesis from
amino acids originating from body proteins is
often the rule. The lack of sufficient amounts of
hepatic glycogen reserves, due to the impaired
synthetic capacity of hepatic cells, results in the
mobilization of amino acids from the skeletal
muscles so that the proper amount of glucose
is provided. Furthermore, deficiency in vitamins
and trace minerals is often observed in liver cirrhosis.
Dietary counseling is a cornerstone of malnutrition prevention and treatment in liver cirrhosis. Patients should be encouraged to eat a
balanced diet from the very beginning of their
illness. Frequent meals (4-7 small meals a day)
including one late-evening snack contribute
to improving nitrogen balance by reducing
40 MEDICINUS
When dietary counseling is not enough to maintain an adequate dietary intake, oral nutritional
supplements should be added. Their use has
been shown to improve nutritional parameters
and nitrogen balance.2 To improve treatment
compliance, supplements should be recommended as part of therapy planning and information should be provided about optimal frequency and timing (small sips, between meals)
and potential side effects. When malnourished
patients cannot meet their calorie requirements
through oral intake and nutritional supplements,
artificial nutrition should be commenced, either
via nasogastric tube or intravenously.
Energy requirement
The recommended energy intake for malnourished patients with liver cirrhosis is 35-40 Kcal/
kg/day, with 55% of calories from carbohydrate,
30% from fat, and the remainder from protein.6,7
To avoid the risk of the refeeding syndrome,
calorie intake should start at lower levels, increasing progressively with careful clinical and
biochemical monitoring. Energy intake should
be individualized, taking into account the wide
variability of energy requirements in liver cirrhosis. The presence of ascites per se may increase
the resting energy expenditure by about 10%.
Intercurrent illnesses or stress situations also
place extra energy demands.
Protein requirement and encephalopathy
In the last two decades increasing evidence
has shown that malnutrition negatively affects
medical review
clinical outcome in terms of survival and complications. The restriction of dietary protein
may have deleterious effects on malnutrition.
Indeed, it has been shown that the protein requirements to achieve nitrogen balance are increased in stable cirrhosis, due to an increased
rate of endogenous protein degradation. Other
studies demonstrated that diets with normal or
high protein content can safely be administered
to the majority of patients without adverse effects on mental state.8
To prevent negative nitrogen balance in patients with hepatic insufficiency, a protein intake in the range of 1.0 to 1.5 g/kg/day generally
is indicated. Higher protein intake may be indicated during periods of physical stress or in the
recovery phase from malnutrition. For maximal
effect of caloric consumption, the evidence suggests greatest benefit from frequent feeding,
with four to six smaller meals throughout the
day and a late-night snack.12
In malnourished cirrhotic patients protein supplementation may improve nutritional status,
liver function and also encephalopathy. In a recent randomized study Cordoba and colleagues
showed that diets with a protein content of 1.2
g/kg/day can be administered safely during
episodic hepatic encephalopathy and that protein restriction does not have any beneficial effect on mental state. They also confirmed that
protein restriction exacerbates protein breakdown.9 Protein restriction should be limited to
patients with episodic hepatic encephalopathy
who do not respond to standard treatment. In
the majority of cases, protein restriction is rarely
required in episodic encephalopathy, However,
if necessary, protein intake should not fall below
0.5 g/kg/day for more than 48 hours.10
Parenteral use of branched-chain amino acids
(BCAA) in hepatic encephalopathy is controversial, though some studies and a meta-analysis
have shown that it may contribute to accelerate the resolution of neurological symptoms.
Supplementation with BCAA, in the form of oral
supplements or enteral formulas enriched with
BCAA, is indicated in patients who are intolerant to proteins. While their role in the treatment
MEDICINUS
41
medical review
Preliminary data on the use of specific vasopressin-2 antagonists suggest a possible role of these
aquaretic drugs in the treatment of both dilutional hyponatremia and ascites.12 However, further
studies are needed to confirm the safety and efficacy of these drugs.
daftar pustaka
1. Kondrup J,Muller MJ. Energy and protein requirements of patients with chronic liver disease. J Hepatol
1997;27:23947
2. Ferreira-Figueiredo FA, De Mello Perez R, Kondo M. Effect of liver cirrhosis on body composition: evidence of significant depletion even in mild disease. J Gastroenterol Hepatol 2005;20:209216
3. Kondrup J, Nutrition in end stage liver disease. Best Pract. Res. Clin. Gastroenterol. 2006; 20: 54760
4. Caregaro I, Alberino F, Gatta A. Nutritional status in patients with liver disease: epidemiology and prognosis. Nutr Clin Mtabol 1999; 13: 232-40
5. Plauth M, Cabre E, Riggio O, Assis-Camilo M, Pirlich M, Kondrup J. ESPEN guidelines on enteral nutrition:
liver disease. Clin. Nutr. 2006; 25: 28594
6. Izbeki F, Kiss I, Wittmann T, Varkonyi TT, Legrady P, Lonovics J. Impaired accommodation of proximal
stomach in patients with alcoholic liver cirrhosis. Scand. J. Gastroenterol. 2002; 37: 140310
7. Aqel BA, Scolapio JS, Dickson RC, Burton DD, Bouras EP. Contribution of ascites to impaired gastric function and nutritional intake in patients with cirrhosis and ascites. Clin. Gastroenterol. Hepatol. 2005; 3:
1095100
8. Moscatiello S, Manini R, Marchesini G. Diabetes and liver disease: an ominous association. Nutr. Metab.
Cardiovas. 2007; 17: 6370
9. Miwa Y, Shiraki M, Kato M, et al. Improvement of fuel metabolism by nocturnal energy supplementation
in patients with liver cirrhosis. Hepatol res 2000; 18: 184-9
10. Nakaya Y, Harada N, Kakui S, et al. Severe catabolic state after prolonged fasting in cirrhotic patients: effect of oral branched-chain amino-acid-enriched nutrient mixture. J Gastroenterol 2002; 37: 531-6
11. Katz DL, Friedman RSC. Diet and hepatobiliary disease. In: Katz DL, Friedman RSC, eds. Nutrition in Clinical
Practice: A Comprehensive, Evidence-Based Manual for the Practitioner, 2nd Edition. Lippincott Williams
& Wilkins, 2008: 231-4
12. Nielsen K, Kondrup J, Martinsen l, Dossing H, Larsson B, Stilling B. Long term oral feeding of patients with
cirrhosis of the liver. Br J Nutr 1995; 74: 557-67
13. Cordoba J, lopez-Hellin J, Planas M, et al. Normal protein diet for episodic hepatic encephalopathy: results of a randomized study. J Hepatol 2004; 41: 38-43
14. Ferenci P, lockwood A, Mullen K, Tarter r, Weissenborn K, Blei AT. Hepatic encephalopathy definition, nomenclature, diagnosis and quantification: final report of the working party at the 11th World Congresses
of Gastroenterology, Vienna 1998. Hepatology 2002; 35: 716-21
15. Moore KP, Aithal GP. Guidelines on the management of ascites in cirrhosis. Gut 2006; 55 (Suppl VI): vi1-12
16. Gins P, Wong F, Watson H, Milutinovic S, Ruiz de Arbol L, Olteanu D. Effects of satavaptan, a selective
vasopressin V2 receptor antagonist, on ascites and serum sodium in cirrhosis with hyponatremia: a randomized trial. Hepatology 2008; 48: 204-13
42
MEDICINUS
Medical review
Berpuasa salah satu ibadah yang identik dengan pantangan, terutama saat harus berniat,
berucap, dan atau melakukan perbuatan yang
merupakan pantangan. Berpuasa, secara lahiriah, mungkin dapat kita pahami sebagai ikhtiar
menjaga diri dari segala perkataan dan tingkah
laku yang tidak dibenarkan oleh fitrah kemanusiaan. Jadi, dengan berpuasa sesungguhnya
manusia telah membuka jalan menjadi insan
kamil yang merupakan konsep kesempurnaan
akhlak, dimana sifat-sifat Allah menjadi terpresentasikan dalam diri manusia.1
Kehamilan merupakan kondisi khusus yang
hanya dihadapi oleh perempuan dan menjadi
ujian yang sangat menegangkan bagi seorang
perempuan. Banyak perubahan yang terjadi
selama kehamilan berlangsung, baik dari psikis
maupun fisik. Hal itu sangat mempengaruhi semua organ tubuh perempuan hamil yang harus
mempersiapkan kekuatan ekstra pada setiap
tahapan kehamilan. Ada ungkapan yang mengatakan makan untuk dua. Ini merupakan ungkapan yang biasanya dinyatakan untuk mendorong kesehatan ibu dan anak.2,3,4
Keputusan sebagian perempuan hamil untuk
tetap menjalani puasa biasanya didasarkan
pada keyakinan dan agamanya masing-masing.
Pilihan ini pun dikembalikan pada diri masingmasing pribadi, yang tentunya juga mendapatkan dukungan suami dan anggota keluarga
yang lain. Bagi para ibu hamil yang berkeinginan untuk mengikuti ritual puasa selama kurun
waktu yang lama, misalnya pada bulan ramadhan, bagi yang muslim. Ada baiknya untuk selalu berkonsultasi dengan dokter terkait mengenai kemungkinan untuk berpuasa apabila
dikaitkan dengan kondisi fisik, keadaan kandungan dan janin, serta keadaan kesehatan guna
MEDICINUS
43
medical review
44
MEDICINUS
Perut
Produksi asam berkurang selamapuasa
Pankreas
Biasanya memproduksi insulin. Namun selama
puasa produksinya dikurangi namun tetap
menghasilkan gula
Usus besar
Di sini banyak terjadi penyerapan air dari
makanan, maka kedua ginjal berperan penting
dalam penyerapan air tersebut
Hati
Salah satu yang menjadi control utama cadangan energi. Selama puasa hati melepaskan gula
dan mengalirkannya ke organ.
Empedu
Konsentrat empedu selama puasa di persiapkan
untuk makan berikutnya.
Usus halus
Tidak ada produksi cairan pencernaan, namun
kontraksi teratur tiap 4 jam sekali. 6
Pada keadaan puasa, jangka waktu makan
menjadi tidak sama dengan hari-hari di luar
puasa Ramadhan. Waktu-waktu yang biasanya boleh sering makan menjadi harus tidak
makan selama sekitar 13-14 jam (antara sahur
dan buka). Tubuh beradaptasi pada keadaan
ini melalui pengaturan neuroendokrin. Pada
keadaan puasa kadar glukosa darah dipertahankan dalam batas fisiologis, karena glukosa
sangat dibutuhkan tubuh sebagai satu-satunya
sumber energi untuk otak dan eritrosit. Hormon yang berperan pada keadaan ini terutama
adalah hormon glukagon yang dihasilkan oleh
sel alfa pulau Langerhans pankreas. Hormon
glukagon mempertahankan kadar glukosa darah melalui proses glikogenolisis dan glukoneogenesis. Sumber karbon untuk proses glukoneogenesis yaitu laktat, gliserol dan asam amino
terutama alanin. Trigliserid jaringan adiposa
merupakan sumber energi utama selama puasa
Ramadhan. Trigliserid akan mengalami proses
lipolisis menghasilkan gliserol dan asam lemak.
Sebagian gliserol akan mengalami proses glukoneogenesis untuk mempertahankan kadar
glukosa darah. Asam lemak akan mengalami
oksidasi sebagai sumber energi. Sebagian asam
lemak akan mengalami reesterifikafi membentuk trigliserid.7
medical review
belakang. Kekurangan folat juga dapat meningkatkan kehamilan kurang umur (prematur), bayi
dengan berat badan lahir rendah (bayi berat lahir rendah/BBLR), dan pertumbuhan janin yang
kurang. Asam folat sangat diperlukan terutama
sebelum kehamilan dan pada awal kehamilan
sekitar 600 mg folat. Folat dapat didapatkan
dari suplementasi asam folat. Sayuran berwarna
hijau (seperti bayam, asparagus), jus jeruk, buncis, kacang-kacangan dan roti gandum merupakan sumber alami yang mengandung folat.9
Zat Besi.
Zat besi dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin, yaitu protein di sel darah merah yang
berperan membawa oksigen ke jaringan tubuh.
Selama kehamilan, volume darah bertambah
untuk menampung perubahan pada tubuh dan
pasokan darah bayi. Hal ini menyebabkan kebutuhan zat besi bertambah sekitar dua kali lipat.
Jika kebutuhan zat besi tidak tercukupi, perempuan hamil akan mudah lelah dan rentan infeksi. Risiko melahirkan bayi tidak cukup umur dan
bayi dengan berat badan lahir rendah juga lebih tinggi. Kebutuhan zat besi yang dibutuhkan
berkisar 27 mg sehari. Selain dari suplemen, zat
besi bisa didapatkan secara alami dari daging
merah, ikan, unggas, sereal sarapan yang telah
difortifikasi zat besi, dan kacang-kacangan.9
Zat Seng (Zinc).
Mengonsumsi zat seng dalam jumlah cukup
saat hamil merupakan langkah antisipatif yang
dapat dilakukan. Zat seng dapat ditemukan secara alami pada daging merah, gandum utuh,
kacang-kacangan, polong-polongan, dan beberapa sereal sarapan yang telah difortifikasi.
Pada umumnya, perempuan tidak membutuhkan tambahan suplemen. Namun dapat
mengkonsumsi suplemen (sekitar 25 mg zat
seng sehari) jika dalam kondisi yang kurang sehat.9
Kalsium.
Janin mengumpulkan kalsium dari ibunya sekitar 25 sampai 30 mg sehari. Paling banyak ketika trimester ketiga kehamilan. Ia dan bayinya
membutuhkan kalsium untuk menguatkan tulang dan gigi. Selain itu, kalsium juga digunakan
MEDICINUS
45
medical review
46
MEDICINUS
medical review
minum banyak cairan sebelum matahari terbit. Protein dan lemak akan membuat Anda
tetap segar dan bersemangat meski tengah
berpuasa.
2. Tetap tenang saat berpuasa.
3. Istirahat yang cukup untuk menghemat energi dan cairan.
4. Jika mulai merasa pusing, sebaiknya berbuka
dan langsung minum air putih.
5. Jika merasakan kontraksi rahim, minumlah
beberapa cairan, sehingga ajan menjauhkan
Anda dari terjadinya dehidrasi. Dehidrasi
sendiri dapat menyebabkan kontraksi dan
berpotensi persalinan prematur. Jika kontraksi tidak berhenti juga dengan istirahat
dan konsumsi cairan, segera menghubungi
dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut.
6. Berbukalah segera dengan air secara perlahan-lahan dan konsumsi makanan ringan
yang mengandung karbohidrat karena mudah dicerna.
7. Dengarkan ritme tubuh. Tubuh Anda adalah
barometer yang paling baik untuk mengukur
kesehatan janin Anda. Jika tubuh sedang
merasa buruk, mungkin tidak baik pula bagi
bayi Anda.12
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan :
Ibu hamil yang ingin berpuasa dianjurkan untuk memonitor peningkatan berat badan dan
asupan cairan, oleh karena itu mereka harus
makan sahur untuk memenuhi kebutuhan
cairan dan nutrisi. Pemeriksaan penyakit diabetes dan status gizi ibu sebaiknya dianjurkan sebelum ia memutuskan untuk puasa. Perempuan
hamil pada kehamilan trimester yang pertama
yang mengalami mual dan muntah tidak dianjurkan untuk berpuasa, karena sulit memenuhi
kebutuhan nutrisi dan cairan pada saat berbuka.
Puasa Ramadhan pada ibu hamil tidak
menyebabkan berat bayi lahir rendah (BBLR).
Bila dalam keadaan sehat dan mampu meiakukan puasa Ramadhan, ibu hamil boleh berpuasa
dengan syarat kebutuhan kalori per hari harus
tetap terpenuhi.
B. Saran :
Dilakukan pemeriksaan gula darah sebelum berpuasa.
Dilakukan pemeriksaan status gizi, dengan
pemeriksaan Body Mass Index (BMI) BMI
= BB/TB2 (Ket: BB: berat bedan dlm kg, TB:
tinggi badan dalam cm)
daftar pustaka
1. Qauliyah, Asta. Hakekat Puasa. 23/11/2006.
http://www.astaqauliyah.com/h11.html.
2. Thalbah, Hisham. Ensiklopedia-Mukjizat AlQuran dan Hadis, cetakan pertama, Jakarta,
Sapta Sentosa, 2008.
3. Mochtar Rustam, MPH. Dr. Prof, Sinopsis Obstetri, Edisi kedua, EGC.
4. Irfan ,Hwaa. Fasting and Pragnancy.
10/27/2003. http://www.ramadanpregnancy.
pdf/h4.html.
5. Info Bunda, Sekilas Tentang Puasa dan Kehamilan,05/09/2008. http://www.infobunda.
com/h2.html.
6. Masroor, ajmal, Ramadan Health and Spirituality Guide CIA. http://www.RamadanHealthGuide.pdf/h.30.html
7. Meida, Shani, Nur. Pengaruh puasa Ramadhan pada ibu hamil, 10/01/2002. http://www.
jurnal kedokteran yarsi.pdf.
8. Nasrollahi, Shahla. Interrelation of Ramadan
Fasting and Birth Weight, 14:3, 91-95, 2001.
http://www. Medical Journal of Islamic Academy of Sciences.pdf.
9. Sophia, Ennie. Kebutuhan Gizi Ibu Hamil.
20-05-2009,
http://ramadanhealthguide.
com/h4.html.
10. Ziyad, Ummu. Antara Qadha dan Fidyah
bagi Ibu Hamil dan Menyusui. http://muslimah.com/h14.html.
11.Renny, Ibu Hamil Bermasalah Disarankan
tidak Berpuasa. http:/www.Indonesia ontime.humaniora.keshatan.com
12.Greenfield, Marjorie. Seven Guidelines for
Religious Fasting in Pregnancy. 28/08/2008.
http://www. Seven Guidelines for Religious
Fasting in Pregnancy.html.
MEDICINUS
47
48
MEDICINUS
RM: Dalam hal prestasi, apa pencapaian Dokter yang paling membanggakan dalam hidup ataupun karier? Dan
apakah ada sesuatu hal yang masih ingin Dokter capai?
MEDICINUS
49
50
MEDICINUS
MEDICINUS
51
Medical news
Cepat Teratasi!
Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan jenis penyakit pun semakin marak.
Salah satu yang belakangan ini terjadi adalah
Guillain-Barre Syndrome (GBS). Guillain Barre
merupakan gangguan pada sistem imun seseorang yang mana justru antibodinya menyerang sistem saraf sendiri, yaitu saraf perifer. Di
Indonesia, kasus GBS yang baru-baru ini terjadi,
dialami oleh 2 orang pasien anak yang tengah
dirawat intensif di RSCM. Selain GBS, sindroma
lain yang harus diwaspadai adalah Myasthenia
Gravis (MG) yang juga merupakan gangguan
otoimun yang merusak paut saraf otot hingga
mengakibatkan kelemahan otot. Pada Myasthenia Gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang menyerang salah satu jenis reseptor
pada otot samping pada simpul neuromukularreseptor yang bereaksi terhadap neurotransmiter acetycholine. Akibatnya, komunikasi
antara sel syaraf dan otot terganggu, sehingga
bisa mengakibatkan kelemahan otot. Melihat
kondisi tersebut, Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI) berinisiatif mengadakan simposium besar yang bertajuk Peripheral Nerves Disorder Symposium Focus on Guillain Barre Syndrome and Myasthenia Gravis di
Hotel Mulia, Senayan, 14 April 2012. Namun, sehari menjelang acara, diadakan konferensi pers
terlebih dahulu di tempat yang sama dan dihadiri oleh para wartawan yang mewakili berbagai
media nasional.
Tujuan kami mengadakan simposium ini
adalah agar kami bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai bahaya
GBS dan MG, serta selalu waspada terhadap
serangan penyakit ini dengan melakukan gaya
hidup sehat dan seimbang, ungkap Dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K), selaku Ketua Penyelenggara acara. Dokter yang juga menjadi Kepala
52
MEDICINUS
medical news
tendon), dan AMSAN (Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy) yang gejalanya menunjukkan
gangguan pada gerak dan juga sensibilitasnya
(kehilangan fungsi indera perasa/sensorik).
Lain halnya dengan GBS, gejala MG dirasakan
pada saat melakukan aktivitas oral atau fisik.
Berdasarkan lokasi timbulnya gejala, MG terdiri dari 3 tipe yaitu okular, bulbar dan general.
Tipe okuler ditandai dengan kelopak mata yang
lama-kelamaan turun sehingga terlihat seperti orang yang sedang mengantuk. Selain itu,
karena otot mata yang semakin lemah, penderita juga mengalami penglihatan ganda. Tipe
bulbar yaitu gangguan karena lemah otot di
bagian mulut yang mengakibatkan penderi-ta
sulit menelan makanan dan bicaranya pun terdengar sengau hingga tidak jelas. Tipe general merupakan kelemahan otot pada bagian
lengan dan kaki. Ada pula kasus dimana orang
yang melakukan aktivitas fisik yang berat, lamakelamaan ototnya semakin melemah bahkan
hingg memperberat proses pernapasannya. Inilah yang disebut sebagai krisis myasthenia yang
kadangkala dipicu oleh infeksi.
Lalu bagaimana mengatasinya? Lebih lanjut
Dr. Manfaluthy memaparkan bahwa penanganan GBS dan MG sebaiknya dilakukan sedini
mungkin, karena jika terlambat, GBS akan
menimbulkan kelumpuhan ekstremitas, baik
secara asenden maupun simetris. Sementara
MG yang terlambat ditangani akan menyebabkan kelemahan fungsi okulasi mata, kesulitan
bernapas dan berbicara, bahkan jika disertai
dengan timoma (tumor pada kelenjar thymus),
akan mengalami penurunan kekebalan tubuh
yang semakin drastis yang membuat tubuh
menjadi semakin lemah. Untuk mendiagnosis
GBS, selain dari gejala klinis yang timbul, bisa
pula dilakukan beberapa tes seperti analisis
cairan otak dan pemeriksaan Electro Monography/EMG atau kecepatan hantar saraf yang
akan memberikan informasi pada awal gejala
penyakit. Diagnosis GBS bisa dilakukan pada 2
minggu setelah onset.
Bila sudah terdiagnosis dengan tepat, terapi
untuk mengatasi GBS antara lain dengan pemberian IvIg (Intravenna Immunoglobulin) dan
MEDICINUS
53
medical news
54
MEDICINUS
Medical news
Atasi Hipertensi
Dengan Satu Aksi
Kini, hipertensi bukan hanya sekedar peningkatan
tekanan darah secara tetap, yakni > 140/90 mmHg,
melainkan juga beberapa faktor risiko yang dapat
memicu gangguan-gangguan lain yang timbul hingga
merusak beberapa organ vital dalam tubuh, seperti
otak, ginjal, hati, dan juga jantung. Semakin tinggi
tekanan darah, maka risiko kerusakan organ-organ tubuh semakin melonjak. Badan Kesehatan Dunia, WHO
pun memproyeksikan bahwa hipertensi tetap menjadi
ancaman bagi kehidupan manusia. Pasalnya, angka
kejadian hipertensi di dunia terus meningkat. Data
terakhir, versi WHO, sebanyak 1 miliar penduduk dunia
mengalami hipertensi dengan 66% diantaranya berasal dari negara miskin dan berkembang. Setiap tahunnya pun, sebanyak 7,6 juta orang di didunia meninggal
akibat berbagai penyakit yang dipicu oleh hipertensi.
Puncaknya, prevalensi hipertensi diperkirakan akan
mencapai titik nadir pada tahun 2025, yakni sebanyak
1,5 miliar orang di dunia.
Sementara itu, jumlah kasus hipertensi di Indonesia
pun bisa dikatakan cukup tinggi. Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan
RI, angka kejadian hipertensi pada 5 tahun terakhir
sebanyak 31,7%. Angka tersebut ini jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Singapura (27,3 persen), Thailand (22,7 persen), dan
Malaysia (20 persen). Sementara itu, kasus hipertensi
yang belum berhasil terdiagnosis juga masih sangat
tinggi, yakni 76%.
Besarnya angka kejadian di Indonesia, mendorong PT
Dexa Medica untuk memproduksi obat antihipertensi
dengan jenis ARB (Angiotensin Receptor Blocker), yaitu
Canderin. Dengan kandungan candesartan cilexetil,
Canderin dapat menghambat peningkatan kreatinin,
menurunkan ekskresi albumin/protein pada pasien hipertensi yang disertai atau tanpa diabetes melitus sehingga dapat menghambat komplikasi kardiovaskuler.
Dalam mekanisme aksinya, seperti yang diungkapkan
oleh Prof. dr. Harmani Kalim, M.P.H., SpJP(K)., FIHA, pada
acara Simposium ASMIHA ke-21, April lalu, di hotel Ritz
Carlton, Jakarta, ARB bekerja pada jalur non-ACE dan
bertugas memblokade ikatan Angiotensin II dengan
reseptor AT 1, sehingga aktivitas reseptor AT1 akan
berhenti sementara reseptor ATI2 akan teraktivasi. Aksi
blokade ARB ini sangat dipengaruhi oleh ikatan afini-
MEDICINUS
55
Medical news
Ganasnya
Pneumonia
Bagi Balita!
Tak hanya menyerang usia dewasa, Pneumonia juga menjadi pembunuh bagi anak-anak
usia balita. Secara gobal, pada tahun 2010, dari
total angka kematian balita yakni sebesar 7,6
juta anak, sekitar 1,4 juta (18%) kematian diantaranya disebabkan oleh pneumonia. Angka
tersebut diperoleh dari data riset yang dilakukan John Hopkins Bloomberg School of Public
Health dan sebuah tim ahli peneliti dunia yang
hasil penelitiannya dipublikasikan dalam The
Lancet. Angka tersebut menunjukkan betapa
ganasnya pneumonia bagi balita di dunia
hingga menempatkannya sebagai pembunuh
nomor satu pada anak balita.
Sementara itu, komplikasi karena kelahiran
prematur menduduki urutan kedua penyebab
kematian pada bayi dan balita, dengan jumlah
1,1 juta orang (14%). Disusul oleh diare yang
sudah memakan nyawa anak balita sebanyak
800.000 kematian sepanjang tahun 2010. Perhitungan ini dilakukan melalui survey dengan
subjek anak yang berusia antara 1 sampai 59 bulan. Menurut, Robert Black, MD., penulis senior
dari The Lancet, jika dirata-ratakan dalam satu
dekade terakhir (2000-2010), angka tersebut
memang mengalami penurunan hingga 2 juta
kepala, namun penurunan tersebut tetap belum bisa mencapai target program Millenium
Development Goal (MDP) yang dicanangkan
PBB, yakni penurunan angka kematian global
hingga 70% selama periode 1990-2015.
Beberapa jenis penyakit infeksi yang harus
bisa diupayakan untuk dikurangi angka kematiannya dalam rangka mencapai target MDP
1990-2015 adalah AIDS, campak, tetanus, dan
malaria di daratan Afrika. Kontribusi pneumo-
56
MEDICINUS
nia, diare, dan campak memang cukup membantu dalam mengupayakan penurunan jumlah kematian bayi dan balita akibat penyakit
infeksi, namun hal itu belum bisa menembus
target yang diinginkan oleh MDP. ungkap Li
Liu, Ph.D, MHS, penulis utama The Lancet. Dari
3 kasus penyumbang kematian bayi dan balita
teratas pada dekade terakhir, ternyata Diare
menjadi yang tercepat angka penurunannya,
yakni sebesar 4%. Disusul dengan Pneumonia yang rata-rata penurunan prevalensinya
sebesar 3%, dan di peringkat ketiga adalah
komplikasi akibat kelahiran prematur dengan rata-rata 2%. Li Liu menambahkan bahwa
strategi untuk mempertahankan usia hidup
bayi dan balita utamanya adalah dengan mengarahkan segala sumber daya yang dimiliki
oleh seluruh negara untuk mencegah semakin
berkembangnya penyakit menular yang dapat
menyebabkan kematian pada usia tersebut,
terutama penyakit infeksi dan komplikasi akibat dari kelahiran prematur.
Untuk itu, upaya percepatan penurunan angka
kematian bayi dan balita harus terus dilakukan
selam kurun waktu kurang lebih 4 tahun ke
depan, khususnya penurunan angka kematian
yang disebabkan pneumonia dan komplikasi
akibat kelahiran prematur. Salah satu yang
bisa diusahakan adalah mengumpulkan datadata terbaru untuk melakukan rencana strategis tentang metode pencegahan berkembangnya penyakit-penyakit tersebut di suatu
wilayah dan diikuti dengan pemberian nutrisi
yang baik, serta penyediaan pengobatan yang
terjangkau bagi bangsa di dunia. (NDA)
Pola Tidur
Terganggu
Obesitas
Menunggu!
Apakah pola tidur Anda di hari-hari kerja berbeda
dengan saat libur kerja di akhir minggu? Kalau iya,
berarti Anda tengah mengalami apa yang disebut
sindrom Social Jetlag. Pada Social Jetlag, Anda akan
memiliki jumlah waktu tidur yang berbeda; waktu
tidur akan lebih singkat pada hari-hari kerja dan
menjadi lebih panjang saat libur kerja. Misalnya,
pada hari kerja, Anda terbiasa tidur dari jam 12
malam dan akan bangun pada jam 6 pagi. Bila Anda
mengalami Social Jetlag, pada akhir minggu (libur
kerja), jika Anda tidur jam 12 malam, maka akan
bangun lebih lama lagi dari hari-hari kerja biasanya.
Menurut Till Roenneberg, Guru Besar Institute of
Medical Psychology, University of Munich, gangguan social jetlag pada seseorang bisa diketahui
melalui pembandingan antara jumlah waktu tidur
pada satu hari kerja dengan jumlah waktu tidur
pada satu hari libur. Jika hasil perbandingan sudah
mencapai 2/3, maka orang itu sudah dapat dikatakan mengidap social jetlag.
Sindrom ini pun diibaratkan Roenneberg seperti
merubah zona waktu saat melakukan perjalanan
jauh melewati perbedaan waktu dan membuat
mereka merasakan kelelahan (travel jetlag). Perilaku ini sama halnya ketika Anda terbang dari Paris
menuju New York pada Jumat sore hari, dan akan
kembali pulang lagi ke Paris pada hari Senin, sehingga mengalami travel jetlag tambahnya. Perbedaan antara social jetlag dengan travel jetlag
hanya pada sisi tempat; pada travel jetlag, Anda
mengalami perpindahan tempat (daerah/negara),
sementara social jetlag, Anda tetap berada di tempat yang sama.
Peralihan pola tidur seperti itu dikatakan memiliki beberapa dampak terhadap kesehatan tubuh.
Menurut penelitian yang dilakukan Institute of
Medical Psychology, University of Munich, salah
satu dampak dari sindrom peralihan pola tidur ini
adalah obesitas. Setiap jam penambahan jumlah
waktu tidur pada social jetlag, akan berisiko mengalami kelebihan berat badan atau obesitas sebesar
33%, ungkap Roenneberg. Pengidap social jetlag
MEDICINUS
57
Medical news
6 Lokasi
Terkotor di
Dalam Kantor
Sebagai tempat bekerja dengan berbagai aktivitas yang dilakukan selama 5-6 hari dalam
seminggu, kantor kerap berubah menjadi
lingkungan yang kurang bersahabat dalam hal
kebersihan bagi karyawannya. Lalu,di bagian
mana saja di lingkungan kantor yang sering
terkontaminasi dengan kotoran?
Baru-baru ini, Kimberly-Clark Proffesional
melakukan studi terhadap 4800 lokasi (spot)
dalam sebuah kantor di beberapa perusahaan
di Amerika Serikat, seperti perusahaan manufaktur, firma hukum, asuransi, penyedia layanan kesehatan, dan operator telepon. Riset
ini dilakukan dalam rangka mensosialisasikan
program kampanye Membantu Perusahaan
Menciptakan Lingkungan Bersih dan Produktif
bagi Karyawan. dimaksudkan Jika para karyawan sudah mengetahui lokasi mana saja di
dalam kantor yang banyak terdapat kotoran,
mereka bisa berupaya memberikan fokus perhatian terhadap spot-spot tersebut untuk selalu dijaga kebersihannya. Dengan begitu, kantor bisa dijadikan sebagai rumah kedua bagi
karyawan, karena mereka bisa tetap merasa
nyaman dan segar, seperti saat mereka sedang
berada di rumah.
58
MEDICINUS
Studi dilakukan dengan menggunakan alatalat yang bisa melihat hewan, tumbuhan,
bakteri, bulir-bulir, sel-sel jamur, dan makhluk
mikroskopik lainnya yang tidak dapat dilihat
dengan mata telanjang. Dari studi ini, diperoleh kurang lebih 300 jenis kuman dan makhluk mikroskopik di masing-masing spot di
area dalam kantor.
Berikut adalah peringkat lokasi (spot) di dalam
kantor yang kerap dipenuhi dengan berbagai
macam kotoran:
1. 91% ada di ruang santai, terutama di bagian
permukaan wastafel
2. 80% ada di pegangan pembuka microwave
di dapur kantor
3. 69% ada di keyboard komputer
4. 69% ada di pegangan pintu kulkas
5. 53% ada di keran wastafel
6. 6.51% ada di mouse komputer
7. 51% ada di gagang telepon di meja
8. 48% ada di area tombol air dispenser
9. 43% ada di mesin pendukung lainnya seperti mesin fotokopi, printer, scanner, penghancur kertas. (NDA)
10 Pekerjaan
Berisiko Untuk
Paru-Paru!
Paru-paru ibarat bagian nyawa dari manusia, karena
setiap detik hidup manusia dipompa oleh paru-paru
untuk selalu bisa bernapas. Orang dewasa sendiri bernapas lebih dari 20.000 kali sehari. Dan untuk menunjang kelancaran kerja paru-paru, harus didukung
dengan beberapa faktor yang salah satunya adalah
jenis pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Tetapi,
bagaimana jika pekerjaan tersebut tidak bisa memberikan efek sehat bagi paru-paru kita? Yang pasti, bahan-bahan pemicu tersebut bisa semakin menurunkan
fungsi paru-paru di kemudian hari, meskipun hal itu
bersifat akumulatif. Lalu, jenis pekerjaan apa saja yang
berisiko untuk paru-paru kita? Berdasarkan riset yang
dilakukan oleh Mel and Enid Zuckerman College of
Public Health, University of Arizona, Tucson, ada beberapa jenis pekerjaan yang sangat berisiko bagi paruparu, karena saat melakukan pekerjaan itu, kita kerap
terpapar dengan zat-zat yang bisa membahayakan
kesehatan paru-paru, seperti misalnya bahan kimia,
kuman penyakit, asap tembakau, debu dari serabut
dan kotoran lainnya. Lingkungan pekerjaan juga menjadi salah satu faktor risiko terbesar timbulnya gangguan paru-paru, mulai dari fibrosis, asma, PPOK, infeksi
paru, hingga kanker paru. ungkap Philip Harber, MD,
MPH, Guru Besar dari University of Arizona. Berikut 10
pekerjaan berisiko bagi paru-paru:
1. Pelayan Restoran dan Bartender
Tak pelak lagi, pekerjaan melayani konsumen yang datang untuk makan atau minum memang harus menghadapi risiko terpaparnya pernapasan dengan asap
rokok. Pelayan atau bartender harus berinteraksi langsung dengan konsumen perokok, sehingga kebulan
asap rokok pun kerap terisap oleh si pelayan, dengan
frekuensi yang tinggi pula. Padahal, meskipun si pelayan tersebut tidak merokok, namun sebagai perokok
pasif, risiko terkena kanker paru pun bahkan bisa lebih
besar daripada perokok aktif. Selain itu, untuk jenis
pekerjaan seperti ini, tidaklah mungkin para pelayan
dan bartender memakai tabung respirator ketika
mereka sedang melayani pelanggan, sebab belum ada
kebijakan tertulis yang mengatur mengenai hal tersebut. Satu-satunya upaya untuk menghindarinya agar
tidak terpapar lebih jauh lagi adalah dengan mencari
pekerjaan lain yang lebih manusiawi untuk paru-paru
dan kesehatan tubuh mereka secara total, namun pada
kenyataannya, mereka memiliki pilihan pekerjaan lain
yang sangat terbatas. kata Susanna Von Essen, MD,
Guru Besar bidang Penyakit Dalam, divisi Pulmonologi,
Perawatan Intensif, Tidur dan Alergi dari University of
Nebraska Medical Center.
2. Asisten Rumah Tangga dan staf kebersihan gedung
Meskipun sudah banyak peralatan kebersihan yang
melabelkan produk mereka go green alias ramah
pada alam, namun tetap saja beberapa penelitian yang
mengungkapkan bahwa masih ada kandungan bahan
kimia di dalamnya. Peralatan-peralatan tersebut yang
menjadi pegangan sehari-hari para pekerja rumah
tangga dan kebersihan di gedung-gedung (cleaning
service). Karena itu, banyak dari mereka yang sering
terpapar dengan polutan yang berasal dari bahan-bahan kimia yang terkandung di dalamnya. Pembersih
adalah bahan kimia reaktif, yang berarti akan bereaksi
dengan kotoran dan juga dengan jaringan paru-paru
pekerja tersbeut," lanjut Von Essen. Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan pembersih lantai dari bahan sederhana, seperti campuran air dengan
cuka atau soda kue, dan juga untuk tetap membuka
jendela atau ventilasi agar proses sirkulasi udara tetap
terjaga.
3. Pekerja Medis
Paparan bahan kimia dari obat-obatan ataupun peralatan medis sangat bisa mengancam para pekerja medis,
seperti dokter, suster, apoteker, dan orang-orang lain
yang bekerja di pusat pelayanan kesehatan terkena
gangguan pernapasan, seperti TB, Influenza, dan SARS
(Severe Acute Respiratory Syndrome). Bahan kimia lain
yang berisiko bagi paru-paru pekerja medis adalah
karet lateks sebagai bahan baku pembuat sarung tangan yang kerap mereka pakai untuk bekerja di labo-
MEDICINUS
59
medical news
60 MEDICINUS
perti petani dan peternak seringkali bersentuhan dengan bahan-bahan kimia yang bersumber dari pupuk
kandang, kotoran hewan yang belum diolah, jerami,
butiran gandum, dan sebagainya. Sumber-sumber
tersebut bisa menyebabkan para petani dan peternak
dihadapkan pada gangguan paru-paru. Salah satu
yang bisa muncul adalah hipersensitivtas pneumonia
yang disebabkan oleh semburan jerami dan butiran
gandum yang terhisap melalui saluran pernapasan.
Gejala awalnya bisa berupa demam tinggi, flu, batuk,
dan sakit di bagian dada. Sementara untuk peternak
babi dan ayam, gangguan yang kerap terjadi adalah
sindrom yang menyerupai penyakit asma. Cara pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan respirator.
8. P engecat kendaraan di bengkel
Para pekerja di bengkel, khususnya yang berhubungan
dengan reparasi body mobil, tidak diragukan lagi sering terpapar dengan bahan kimia isosianat. Isosianat
merupakan penyebab utama timbulnya asma. Penggunaan respirator bisa mengurangi risiko terjadinya
asma dan kemungkinan gangguan paru-paru lain.
Cara lain adalah dengan membiarkan ventilasi jendela
terbuka untuk menghilangkan bau dan gas yang dihasilkan bahan-bahan kimia tersebut.
9. Pekerja Pemadam Kebakaran
Selain berjibaku dengan api, petugas pemadam kebakaran pun kerap berhadapan dengan bahan dan
materi, seperti plastik, kayu, dan bahan kimia lainnya
yang sudah terbakar dan berterbangan di udara. Bahan dan material itulah yang bisa membuat mereka
berisiko terhadap gangguan paru-paru. Namun, biasanya, para pekerja jenis ini sudah dibekali dengan SelfContained Breathing Apparatus (SCBAs), yakni sejenis
alat untuk melindungi hidung saat sedang melakukan
proses pembersihan dan penyisiran area bencana kebakaran.
10. Penambang batu bara
Ruangan/gua bawah tanah, tempat para penambang
batu bara melakukan tugasnya merupakan area yang
sangat berisiko terhadap timbulnya gangguan pernapasan, seperti bronkhitis, pneumoconiosis atau paruparu hitam, dan juga fibrosis. Kondisi tersebut akan
menjadi kronis apabila para pekerja tambang kerap
menghirup debu atau uap hasil pemanasan batu bara
di dalam gua bawah tanah tersebut. Penggunaan alat
pelindung di bagian hidung pun wajib dipakai untuk
mengurangi intensitas menghirup udara kotor di area
tambang bawah tanah. (NDA)
Memperbaiki resistensi
insulin melalui mekanisme:
INLACIN 50
Box, 5 strip @ 6 kapsul
INLACIN 100
Box, 5 strip @ 6 kapsul
Menurunkan TNF-
Research by:
MEDICINUS
61
Referensi:
1. Current Therapeutics. Walter Kluwer Health 2005
2. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD).National
Institute of Health.National Heart, Lung and Blood Institute, Update 2010
3. Antariksa,B.et al.Diagnosa dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik.Edisi Buku Lengkap 2011 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
62
MEDICINUS