You are on page 1of 10

ISLAMIC 

HOME-SCHOOLING
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Jamali Sahrodi, M.Ag
Disusun oleh: Sarah Sarwati
NIM: 505910056
Program Studi: Manajemen Pendidikan Islam

Home-Schooling secara harfiah berarti : bersekolah di rumah.

Home-Schooling diselenggarakan ketika orangtua berkeberatan atau merasa kesulitan


menyekolahkan anaknya, baik karena alasan jarak (karena tinggal di pedalaman, misalnya)
ataupun karena alasan-alasan tertentu lainnya.

Mengapa disebut Home-Schooling (bersekolah di rumah), bukan Home-Learning (belajar di


rumah) ? Padahal istilah yang kedua sebenarnya lebih tepat. Barangkali ini adalah bias budaya.
Kita maklum, saat ini bersekolah merupakan tradisi yang sudah sedemikian merata. Hingga
kemudian dianggap suatu kelaziman, atau bahkan keharusan bagi anak-anak.

Karena itu, ketika seseorang mencoba untuk tidak menyekolahkan anaknya maka dia khawatir
akan dianggap telah melakukan ‘pelanggaran terhadap hak asasi anak’.

Untuk itulah, barangkali, para orangtua yang menyelenggarakan pembelajaran anak-anak mereka
di rumah seakan hendak ‘membela diri’, bahwa merekapun sebenarnya menyekolahkan anak-
anak mereka juga. Hanya berbeda lingkungan dan metodenya. Itulah, mengapa kemudian disebut
Home-Schooling. Untungnya, dalam hal ini pemerintah tidak salah kaprah sehingga menetapkan
kebijakan : wajib belajar. Dan tidak menetapkan wajib bersekolah.

Substansi dari bersekolah (schooling) sebenarnya adalah belajar (learning). Belajar dapat
dilakukan di manapun. Bersekolah hanyalah salah satu cara untuk belajar. Jadi, para orangtua tak
perlu merasa bersalah atau rendah diri dengan menjalankan Home-Schooling. Juga, mereka yang
menyekolahkan anaknya ke sekolah massal pun jangan dulu berbangga hati.

Sebab, kalau kita mau lebih menukik pada kedalaman realitas, kita patut mempertanyakan :
Apakah benar bersekolah itu otomatis sama dengan belajar ? Jawabannya : Belum tentu !

Mari kita pelajari faktanya ! Saat ini, berapa puluh juta lulusan sekolah menengah atas dan
perguruan tinggi ? Di sisi lain, berapa puluh juta pula yang berstatus pengangguran ? Padahal,
betapa besar karunia Allah berupa kekayaan alam di negeri ini. [1] Apa yang mereka pelajari di
sekolah ? Inilah salah satu fakta bahwa belajar di sekolah belum tentu efektif. Dengan kata lain
bersekolah belum tentu berarti belajar.

Dalam banyak kasus, bersekolah bahkan menjadi penyebab kegagalan hidup seorang anak. Tidak
sedikit anak yang terjerumus kepada hal-hal negatif yang menghancurkan hidup mereka, justeru

Page 1 of 10
mereka dapatkan lewat pergaulan di sekolah, baik dari (oknum) guru-guru mereka atau dari
(oknum) kawan-kawan mereka.

Tanpa perlu penelitian mendalam, banyak yang menilai bahwa metode pembelajaran dan sistem
evaluasi yang sekarang berjalan pun cenderung menciptakan mental-block (hambatan mental)
yang menghambat laju kreatifitas anak, padahal justeru hal itu amat dibutuhkan di era informasi
global saat ini.

Sekiranya otak anak terus menerus hanya dijadikan keranjang informasi iptek (itupun hanya
sebatas untuk keperluan menyelesaikan soal-soal ujian). Maka dapat dibayangkan, betapa akan
kesusahannya dia mengejar laju pertambahan informasi iptek yang terus berkembang dalam
hitungan jam, atau bahkan menit.

Mengapa tidak terpikirkan oleh kita – para orangtua – untuk melatih dan mengasah otak mereka
yang ajaib itu agar mampu memola ulang informasi tersebut, sehingga akhirnya mereka mampu
menciptakan informasi baru ?

Merangsang anak untuk bertanya ‘Apa .?’ , ‘Mengapa . ?’ dan ‘Bagaimana. ?’ adalah hal yang
penting sekali. Keingintahuan adalah tabiat dasar mereka.

Namun di samping itu, kita pun perlu merangsang anak untuk bertanya : ‘Mengapa tidak .?’ dan
‘Bagaimana jika .?’. Agar mereka menjadi insan-insan kreatif. Jangan keliru, kreatifitas pun
sebenarnya adalah bakat alamiah setiap anak, jika saja para orangtua tidak malas mengasahnya.
Atau, malah menyia-siakannya.

Sayang sekali, keingintahuan (curiosity) dan kreatifitas (creativity) – dua mutiara terpendam
dalam jiwa anak – saat ini justeru banyak ditelantarkan di sekolah massal (formal). Wajar kalau
Robert T. Kiyosaki berteriak lantang : “If You Want To Be Rich And Happy, Don’t Go To
School !”.

Ada alasan lain : “Keunikan”. Anak itu unik! Cara belajar mereka juga unik, seunik sidik jari
mereka; yakni masing-masing anak secara individual memiliki pembawaan dan cara yang khas
dalam menyerap serta menggali pengetahuan. Jadi, bagaimana mungkin anak-anak dapat
menemukan cara belajar mereka yang unik, jika mereka dituntut harus “berseragam” di sekolah ?

Berdasarkan penelitian [2] bahwa seseorang menjadi jenius adalah pada saat dia mampu
menemukan sendiri cara belajarnya yang unik dan orisinil. [3] Seperti dikatakan Enstein : “Saya
tidak memiliki bakat-bakat khusus, tetapi hanya memiliki rasa keingintahuan yang besar sekali.”.

Keingintahuan yang sangat besar – dilandasi keikhlasan – jugalah nampaknya yang membuat
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mampu bersabar duduk berjam-jam
lamanya di sudut sepi perpustakaan. Beliau lakukan itu berpuluh-puluh tahun lamanya hingga
akhirnya menjadi jenius di bidang hadits dan ilmu-ilmu syar’i lainnya. Menjadi mujaddid abad
ini sebagaimana diakui ulama besar yang sezaman dengan beliau, Syaikh Abdul Aziz bin
Abdillah bin Baaz rahimahullah.

Page 2 of 10
Namun, agar tidak memunculkan kontroversi yang sia-sia, perlu ditegaskan di sini bahwa :

· Menyelenggarakan home-schooling tidak berarti hendak mengingkari atau menggugat profesi


keguruan.

· Menyelenggarakan home-schooling tidak berarti hendak mengingkari atau menggugat peran


sekolah formal yang sudah ada dan banyak memberikan kontribusi kepada masyarakat.

· Kami pun tidak mengklaim bahwa : Home-schooling adalah satu-satunya cara untuk mendidik
Anak.

Tetapi . yang kami yakini :

- Home-Schooling adalah : Sarana paling efektif dalam upaya membangun hubungan baik dan
hangat dengan Anak. Mendampinginya saat ia menjalani hari-harinya untuk terus tumbuh dan
berkembang menjadi manusia dewasa.

- Home-Schooling adalah : Alternatif terbaik dalam mendidik Anak, memelihara fithrahnya serta
mengembangkan potensinya yang unik. Karena berpijak pada orisinalitas dan individualitasnya
sebagai hamba Allah.

- Home-Schooling adalah : Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah) untuk menunaikan


secara optimal peran dan tugas keorangtuaan yang nanti akan dituntut pertanggungjawabannya di
hadapan Allah.

- Home-Schooling adalah : Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah) untuk


mengembangkan potensi orangtua dan anak dalam hal penguasaan ilmu syar’i, memperbaiki
akhlaq diri, membina keluarga sakinah, mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan
bersosialisai, bahkan mengembangkan potensi ekonomi.

ISLAMIC HOME-SCHOOLING

Islamic Home-Schooling (Selanjutnya akan disingkat IHS) adalah Home-Schooling yang


diselenggarakan bertitik tolak dari pertimbangan syar’i, yakni kewajiban orangtua untuk
mengasuh dan mendidik anak, serta dijalankan dengan mengikuti tuntunan AlQuran dan
AsSunnah sebagaimana dipahami dan diamalkan para pendahulu ummat ini yang shalih
(AsSalafush Sholih).

Tujuannya adalah :

1. Terciptanya keluarga sakinah; yang di dalamnya semua hak dan kewajiban tertunaikan dengan
sebaik-baiknya

Page 3 of 10
2. Terbentuknya generasi penerus yang bertauhid, berpegang kepada sunnah, berakhlaq mulia,
berbadan sehat, multi-cerdas, kreatif dan mandiri serta memiliki semangat untuk membela Islam
dan kaum muslimin

SUBYEK IHS

IHS PERMATA HATI dimaksudkan bagi anak usia 0 – 13 tahun secara umum. Atau sampai
anak berusia 16 tahun bagi orangtua yang memiliki kemampuan mengajarkan gramatika Bahasa
Arab (kitab gundul) dan ilmu-ilmu syar’i tingkat menengah. Adapun setelah anak memasuki usia
baligh maka anak harus diarahkan untuk melakukan rihlah ilmiyyah guna menimba ilmu dari
para ulama, jika hal itu memungkinkan (dan memang harus diupayakan).

MENGAPA “ISLAMIC HOME-SCHOOLING” ?

Menyelenggarakan IHS membutuhkan motivasi yang luar biasa besar dari pihak orangtua.
Motivasi akan muncul ketika seseorang dengan sadar dan yakin memahami alasan mengapa dia
melakukan sesuatu. Maka kita dituntut untuk memiliki prinsip.

Ada beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan prinsip dalam menyelenggarakan IHS :

1. Pertimbangan syar’i. Dalam syari’at, kewajiban mendidik anak adalah tanggung jawab
orangtua.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim : 6)

“Setiap anak yang dilahirkan berada di atas fithroh (Islam), maka kedua orangtuanyalah yang
menjadikan dia yahudi atau nasrani atau majusi.” (HSR. Malik, Ahmad, AlBukhori, Muslim,
Abu Daud, AtTirmidzi)

2. Pertimbangan fakta sejarah. Banyak kisah dalam AlQuran yang menggambarkan peran
orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. (Baca : Qs. Maryam 54-55, QS.
Luqman : 13) Interaksi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan cucu beliau, Hasan dan
Husain, atau dengan sepupu beliau, Ibnu Abbas, atau dengan putera asuhnya yang berkhidmat
kepada beliau, Anas bin Malik juga dapat kita jadikan referensi. Dari kalangan ulama Islam,
tercatat misalnya Ibnul jauzi yang menulis kitab khusus untuk puteranya yang berisi petunjuk
menuntut ilmu secara lengkap, Laftatul kabid fi nashihatil walad (Kitab ini patut menjadi rujukan
dalam IHS).

3. Pertimbangan naturalitas. Perhatikanlah, anak ayam belajar tentang hidup kepada induknya.
Anak kucing belajar tentang hidup kepada induknya. Bayi ikan paus belajar tentang hidup
berpuluh tahun pada induknya. Tapi lihatlah si ujang dan si nyai. Kepada siapa mereka belajar
tentang hidup ? Ah kasihan sekali, mereka belajar tentang hidup kepada orang lain yang tidak
benar-benar mengenalnya !

Page 4 of 10
4. Pertimbangan orisinalitas dan individualitas anak. Orisinalitas (keaslian) seorang anak adalah :
fithroh, keingintahuan dan kreatifitasnya. Sedangkan individualitas (ke-diri-an), meliputi qolb
dan jasad (contoh yang jelas : sidik jari, suara dan DNA). Orisinalitas dan individualitas
menyebabkan tiap anak unik dalam segala hal, termasuk cara belajar mereka. Agar mereka dapat
menemukan cara belajar mereka yang unik, anak wajib mendapatkan kebebasan. [4]

DARI MANA KITA MEMULAI ?

a. Tash-hihun Niyyah (memperbaiki niat)

Mendidik diri dan keluarga adalah ibadah. Ada dua rukun ibadah, salah satunya adalah niat yang
ikhlash. Rukun yang lain : muwaafaqotusy-syar’i, yakni cocok dengan aturan syari’at. Jika salah
satu rukunnya rusak maka amal akan menjadi sia-sia.

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia, Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa
yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka
jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir (terjauhkan dari rahmat
Allah) QS. AlIsra: 18

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu
tidak akan dirugikan.

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa
yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Huud
: 15-16)

Niatkan ber-IHS dalam rangka menjalankan kewajiban syar’i dengan mengharap keridhoan
Allah dan jannah-Nya.

b. Bagi yang masih lajang dan berniat ber-IHS, maka berhati-hatilah memilih calon ibu/ayah dari
anak anda. Tetapkan pilihan Anda itu di atas dasar Din. Jangan silau dengan penampilan zhahir.

c. Keluarga sakinah sebagai prasyarat

Salah satu keuntungan ber-IHS adalah kita memiliki kemauan kuat dan terprogram untuk
mewujudkan Keluarga Sakinah. Hal yang mungkin terabaikan jika kita melempar tanggung
jawab mendidik anak (usia 0-13 thn) kepada orang lain. Alasannya sederhana. Saat kita
memutuskan ber-IHS, kita ingin suasana lingkungan rumah tertata se-Islami mungkin. Kita takut
anak kita mendapat pengaruh buruk dari kebiasaan buruk kita selaku orang tua. Maka selalu ada
upaya untuk memperbaiki diri dan keluarga.

Apa itu Keluarga Sakinah ? Definisi yang paling teknis adalah : Keluarga yang di dalamnya,
semua hak dan kewajiban tertunaikan dengan baik. Syaikh Muhammad Bin Sholih Al-Utsaimin
dalam kitabnya, “Huququn da’at ilaihal fithroh wa qorrorot-hasy syari’ah”, menerangkan 10 hak
yang wajib ditunaikan, yakni : Hak-hak Allah, hak-hak Nabi, hak-hak orangtua, hak-hak anak,

Page 5 of 10
hak-hak kerabat, hak-hak suami-istri, hak-hak pemimpin dan rakyat, hak-hak tetangga, hak-hak
kaum muslim secara umum, hak-hak non muslim.

Semua hak ini wajib dipelajari secara rinci agar bisa ditunaikan dengan benar dan sempurna.
Langkah pertama adalah mempelajari. Langkah kedua menerapkannya. Langkah ketiga terus-
menerus mengevaluasi sisi mana yang belum tertunaikan. Mewujudkan keluarga sakinah
menjadi bukan khayalan lagi, melainkan kesungguh-sungguhan yang berkesinambungan.

d. Dengan sepenuh hati menyukai anak anda. Senang bersamanya, sedih berpisah darinya. IHS
menuntut komitmen total dari orangtua, khususnya ibu. IHS bukan sekedar memindahkan belajar
dari sekolah ke rumah melainkan sebuah pola interaksi ideal orangtua-anak yang dibalut
kehangatan dan kelembutan.

e. Menjaga rumah dari syetan

Kita adalah ‘keluarga besar’ Nabi Adam ‘alaihis salam. Apa yang menimpa beliau bersama
isterinya, Hawa, adalah bagian dari sejarah dan hidup kita hari ini. Adam adalah bapak kita dan
Hawa adalah ibu kita, dan kita mengetahui apa yang telah menimpa mereka diakibatkan
kedengkian iblis. Membaca ulang kisah awal penciptaan manusia akan membantu kita
memahami – atau tepatnya : selalu tersadarkan – tentang asas pendidikan Islami yang
sebenarnya. Maka kenalilah iblis dan tipu dayanya lalu jadikanlah dia musuh untuk diperangi.

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka jadikalah ia musuh(mu), Karena
Sesungguhnya syaitan-syaitan itu Hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir : 6)

Beberapa kiat menjaga rumah dari syetan :

1. Perbanyak melakukan sholat di rumah [5] , 2. Perbanyak membaca Al Quran di rumah, 3.


Biasakan dzikir pagi dan sore, 4. Jaga adab-adab di rumah yang di dalamnya ada bacaan-bacaan
yang disyari’atkan, 5. Bersihkan rumah dari gambar atau bentuk-bentuk salib, 6. Bersihkan
rumah dari gambar-gambar hewan dan manusia, 7. Bersihkan rumah dari patung hewan dan
manusia, 8. Bersihkan rumah dari suara lonceng, 9. Bersihkan rumah dari suara musik, 10.
Jangan biarkan anjing berkeliaran di sekitar rumah. 11. Bersihkan rumah dari kemungkaran.

f. Menciptakan lingkungan rumah yang kondusif : aman, sehat serta penuh daya-rangsang
terhadap kreatifitasnya

Tentang kriteria aman, sehat dan penuh daya rangsang dapat dipelajari lebih lanjut dari beragai
referensi. Hanya saja ada 2 prinsip yang perlu dicatat :

Pertama, lebih baik membatasi lingkungan daripada membatasi anak. Kedua, kurangi aturan
(omelan-omelan) dengan cara menetapkan tempat tertentu untuk barang tertentu kemudian beri
label dan tempel aturan singkat yang jelas dan dapat dibaca anak.

Page 6 of 10
g. Memiliki kemauan keras untuk mempelajari baca tulis AlQuran dan ilmu-ilmu syar’i tingkat
dasar

Dapat dikatakan bahwa materi pelajaran inti yang wajib diajarkan kepada anak usia s/d 13 tahun
(usia ibtida-iyyah) adalah apa yang juga wajib diketahui semua muslim dan muslimah. Maka
tidak ada alasan untuk menghindari kewajiban mempelajarinya, walaupun sekiranya kita tidak
memiliki anak. Apalagi jika kita memiliki anak. Jelaslah ber-IHS merupakan peluang emas bagi
kita untuk meningkatkan kwalitas keislaman kita.

h. Mempelajari keterampilan mendidik dengan cinta

Peran orangtua dalam mendidik anak persis seperti petani yang menanam padi di sawah. Yang
harus dikerjakan dan selalu diperhatikan ada 5 hal :

1. Mempelajari ilmu tentang bercocok tanam (poin g dan h)

2. Memilih benih yang unggul (poin b)

3. Mempersiapkan lahan dengan mencangkul dan membajak (a, d, c dan f)

4. Memberikan nutrisi yang cukup : air dan pupuk

5. Menjaga dari hama (poin e)

Selanjutnya petani tidak ikut campur lagi. Bagaimana benih padi itu akan tumbuh, berapa lama
berbiji dan menghasilkan biji seberapa banyak adalah merupakan ketentuan Allah. Petani tidak
boleh dan memang tidak bisa intervensi. Petani sudah berusaha maksimal. Dia akan
mendapatkan pahala di sisi Allah, jika amalnya itu ikhlash dan sesuai dengan syari’at.

Semuanya sudah dijelaskan kecuali nomor 4, memberikan nutrisi. Nutrisi dalam mendidik adalah
: Rasa hormat yang tulus pada anak, Penuh pengertian, Peka terhadap masalah dan
kebutuhannya, Menerima apa adanya dengan lapang dada. Jika menggunakan kosakata populer :
Respek, Empati, Sensitif dan Penerimaan (dapat disingkat RESeP).

APA YANG HARUS DIAJARKAN ?

Untuk matapelajaran umum dapat mengacu pada kurikulum Diknas. Bisa juga menetapkan
sendiri. Menjadikan hidup sebagai kurikulum, tidak ada yang melarang.

Penting untuk selalu diingat : bahwa cara dan pola pendekatan Home-Schooling dalam
menyampaikan materi pelajaran murni berbeda dengan di sekolah. Dalam Home-Schooling yang
ditekankan adalah memilih cara berinteraksi dan berkomunikasi yang tepat serta khas antara
orangtua dan anak.

Orangtua dituntut kreatif dalam memilih metode dan media yang membuat interaksi menjadi
hangat dan akrab. Jadikan proses belajar sebagai proses alamiah hubungan orangtua-anak

Page 7 of 10
(seperti halnya melahirkan, menyusui dan memberi makan). Semua momen interaksi orangtua-
anak adalah belajar. Jadi dalam Home-Schooling anda bisa gunakan waktu kapanpun – jika
dianggap tepat – untuk memberikan penguatan-penguatan pada salah satu materi yang menurut
anda perlu diperkuat.

Materi Diniyyah yang diajarkan di IHS PERMATA HATI, secara garis besar meliputi :

A. Tarbiyah Syakhshiyyah (Pembinaan Karakter)

B. Tahfizhul Quran

C. Tahfizhul Ahaadits

B. ‘Ulum Syar’iyyah (Ilmu-ilmu Syar’i) : Aqidah, Manhaj, Fiqh, Tafsir, Akhlaq, Tarikh

C. Bahasa Arab

MENEPIS KERAGUAN

· Keraguan Pertama : “Aku tidak bisa menghadapi anak !”

Jawaban : Kala anda memutuskan untuk menikah, apakah tidak terpikirkan bakal memiliki
anak ? Mempelajari keterampilan mengasuh dan mendidik anak adalah konsekwensi yang harus
anda pikul dari keputusan yang anda ambil itu. Kecuali anda seorang egois yang hanya
memikirkan kesenangan pribadi dari sebuah pernikahan ! Perhatikanlah, banyak orang yang
mempelajari keterampilan seksual dengan cara membeli banyak buku referensi atau
berkonsultasi kepada pakar seks, meski keterampilan tersebut amat sangat bersifat primitif dan –
maaf – menjijikan kala dibuka di depan publik. Mengapa anda kalah oleh mereka. Anda bisa
bersaing dengan mereka dengan mempelajari keterampilan yang jauh lebih penting, yakni
keterampilan mendidik anak. Banyak wanita khawatir penampilannya tidak lagi menarik di
hadapan suami lalu berusaha keras dengan berbagai cara. Tapi amat sedikit yang khawatir kalau
penampilannya tidak lagi menarik di hadapan anak-anaknya sehingga tidak melakukan apapun
untuk mereka. Ah, tragis sekali !

· Keraguan kedua : “Aku bukan ustadz !”

Jawaban : Ini sudah dijelaskan, bahwa materi pelajaran inti yang wajib diajarkan kepada anak
usia s/d 13 tahun (usia ibtidaiyyah) adalah apa yang juga wajib (fardhu ‘ain) diketahui setiap
muslim dan muslimah. Maka tidak ada alasan untuk menghindari kewajiban mempelajarinya,
walaupun sekiranya kita tidak memiliki anak. Apalagi jika kita memiliki anak. Anda bisa
bertanya pada diri sendiri : “Apakah kalau aku tidak ber-IHS, aku bebas dari kewajiban
mempelajarinya ?”.

· Keraguan ketiga : Seorang ibu barangkali berkata : “Kalau aku secara total harus mengurus
anak, bagaimana aku bisa mengembangkan diri ?”

Page 8 of 10
Jawaban : Saya ingin menepis keraguan ini dengan menukil beberapa kalimat yang ditulis
seorang wanita barat yang beragama nasrani, agar kaum muslimat – yang telah dijaga
kehormatan dirinya oleh Allah dengan hijab – dapat merenungkannya (semoga kesimpulan
mereka sama dengan saya, bahwa kalimat-kalimat ini lebih layak diucapkan oleh seorang
muslimah yang berhijab) :

“Dalam budaya Barat, terbebas dari tanggung jawab mengasuh anak seringkali dipandang
sebagai cara terbaik dan satu-satunya cara bagi seorang ibu untuk mengembangkan diri. Saya
tidak setuju sama sekali dengan pandangan seperti itu. Waktu yang saya habiskan di rumah,
bermain dan belajar bersama anak-anak, adalah masa paling produktif dalam hidup saya. Saya
serius!”. (Marty Layne, Ibuku Guruku, hal. 26) Selanjutnya dia berkata di hal. 364 : “Sebenarnya
hanya dengan benar-benar merawat dan mengasuh anaklah kita belajar bagaimana menjadi
ibu.” . Lanjutnya lagi, masih di hal. 364 : “Mari kita lihat sebagian cara untuk mengembangkan
kehidupan yang tidak mengharuskan pemisahan dari anak-anak kita.”

Kemudian dia memberikan contoh : membaca, merajut, membuat karya tulis atau berolah raga
ringan !

MEMETIK MANFAAT

Apa manfaat menjalankan IHS ? Kalau saja tidak ada manfaat lain dari IHS selain pahala dari
sisi Allah atas upaya kita menunaikan peran dan kewajiban selaku suami/istri dan atau ayah/ibu
secara maksimal dan optimal, maka bagi seorang mukmin hal itu sudah cukup. Tapi ada banyak
manfaat lain yang semuanya sudah disinggung pada penjelasan yang terdahulu. Semoga
bermanfaat.

Karawang, 28 Shafar 1428 H/18 Maret 2007

———————————————————-

[1] Contoh kecil : Menurut keterangan Direktur Bank Mu’amalat Indonesia, bahwa panjang
pantai Indonesia adalah 88.000 km sehingga menempatkan Indonesia termasuk 10 negara
berpantai terpanjang di dunia. Ironisnya, kita masih mengimpor 1,5 juta ton garam per tahun !

[2] “Your child can think like a genius, How to unlock the gifts in every child”, karya Bernadette
Tynan, presiden Beautiful Minds, sebuah lembaga amal yang didirikan untuk mendanai
penelitian-penelitian yang bertujuan mengembangkan bakat alami anak-anak, mantan dosen
senior pada Research Centre for Able Children di Oxford. (Diterjemahkan dengan judul :
“Melatih anak berpikir seperti jenius, Menemukan dan mengembangkan bakat yang ada pada
setiap anak”, Penerbit Gramedia). Inti buku itu adalah memperkenalkan : Thumb Print Learning,
yakni : cara belajar seunik sidik jari.

[3] Belajar secara mulaazamah kepada masyayikh, sebagaimana dijalankan para salafus sholih
berabad-abad lamanya, memberikan banyak kebebasan kepada siswa untuk menentukan
matapelajaran apa yang akan dipelajari dan bagaimana dia mengembangkannya. Sehingga para

Page 9 of 10
siswa memiliki kesempatan yang luas untuk menemukan sendiri cara belajarnya yang unik.
Allaahu a’lam.

[4] Bebas adalah keadaan seseorang ketika melakukan sesuatu dengan senang hati dan atas
pilihannya sendiri. Mukmin, ketika melakukan ketaatan (menunaikan perintah Allah dan
menjauhi laranganNya) melakukannya dengan senang hati dan berdasarkan pilihannya sendiri,
bukan karena tekanan. Maka mukmin adalah orang yang sungguh-sungguh bebas dalam makna
yang hakiki. Munafiq adalah orang yang sungguh-sungguh terbelenggu jiwanya. Kafir juga
bebas, tetapi kebebasannya bersifat maya (semu), karena secara internal dia sedang berperang
dengan fithrohnya dan terbelenggu oleh hawa-nafsunya, serta berada di bawah ancaman azab.
Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa peran orangtua adalah ‘menanamkan’ pemahaman
yang benar tentang kebaikan dan keburukan ke dalam pikiran anak, sehingga nanti anak
bertindak berdasarkan pemahaman, bukan karena paksaan dari luar. Proses menanam ini harus
dilakukan dengan dengan : ikhlash, berkesinambungan, multi-metode serta pendekatan lembut
dan penuh kesabaran. Tidak ada batasan waktu tertentu yang diperlukan untuk proses ini. Nabi
Nuh ‘alaihi salam tinggal bersama kaumnya selama 950 th, berdakwah siang malam
(kesinambungan), dengan i’lan dan isror (multi-metode). Tidak dapat dikatakan gagal, hanya
karena sedikit yang mengikutinya. Tidak ada kata GAGAL dalam kamus mendidik, jika sudah
dilakukan dengan benar. Kita bertanggung jawab pada proses bukan pada hasil ! Menemukan
cara yang pas untuk menanamkan pemahaman yang benar pada pikiran anak adalah sebuah seni
mendidik yang amat indah! Selebihnya adalah kesiapan kita untuk memberi tempo yang cukup
kepadanya untuk tumbuh dan berkembang.

[5] Pria dewasa wajib sholat fardhu di masjid. Jadi yang dimaksud bagi mereka adalah
memperbanyak sholat-sholat sunnah di rumah.

—————————————————–
Abu Muhammad Ade Abdurrahman
Sumber: http://learningathome.wordpress.com/2007/07/06/islamic-home-schooling/

Page 10 of 10

You might also like