You are on page 1of 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Sawit Off Grade


Sawit off grade merupakan buah sawit di luar grade kematangan buah

sehingga tidak layak olah dan biasanya berasal dari sisa sortasi pabrik Crude
Palm Oil (CPO). Sawit off grade merupakan salah satu sumber minyak nabati
yang belum termanfaatkan. Berdasarkan tingkat kematangannya, sawit off grade
diklasifikasikan menjadi buah muda (mentah), kurang matang, lewat matang,
busuk, dan abnormal. Sawit off grade dapat diperoleh sekitar 7-10% dari kapasitas
giling Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Jika kapasitas olah pabrik CPO sebesar 30 ton
per jam, maka Sawit off grade yang dihasilkan sekitar 2 3 ton perjam [Arifin,
2009].
Penggunaan buah sawit off grade di pabrik akan menurunkan kualitas
minyak yang dihasilkan sehingga berimbas kepada rendahnya harga jual minyak
yang diproduksi. Biasanya, sawit off grade harus dikembalikan ke penjual.
Selanjutnya penjual akan menjual kembali ke pengumpul sawit dengan harga
murah. Sawit off grade yang tidak terjual akan ditumpuk atau dibakar di areal
perkebunan tanpa ada pemanfaatan lanjut. Pengolahan minyak muda dan
abnormal akan menghasilkan yield CPO yang rendah sedangkan pengolahan lewat
matang dan busuk akan menghasilkan minyak yang berkadar Asam Lemak Bebas
(ALB) >5% [Arifin, 2009].
Jika Tandan Buah Segar (TBS) yang telah dipanen tidak langsung
diproses, akan menyebabkan peningkatan kadar ALB ketika buah diekstrak
menjadi minyak [Arifin, 2009]. Faktor yang menyebabkan adanya sawit off grade
adalah waktu pemanenan terlalu cepat atau terlalu lambat, lamanya waktu tinggal
di Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) maupun di pabrik. Beberapa kriteria buah
sawit yang digolongkan ke dalam sawit off grade adalah [Budiawan dkk., 2013] :
1. Buah sawit muda ditandai dengan buah yang berwarna hitam dan keras,
mesokorp buah lapisan luar berwarna kekuningan, tidak ada berondolan
yang lepas dan memiliki kadar minyak yang sangat sedikit.
5

2. Buah sawit abnormal ditandai dengan tandan mempunyai buah yang tidak
normal dari segi ukuran atau kepadatan. Buah abnormal biasanya didapat
dari tandan buah sawit muda yang memiliki lebih dari 50% buah
parthenocarpic (buah yang tumbuh karena kurang dipupuk) dan
menghasilkan yield minyak yang sedikit serta kernel (inti) tidak
mengandung endosperm dan embrio dimana bagian pusat buah biasanya
padu.
3. Buah sawit lewat matang ditandai dengan tandan mempunyai buah
berwarna merah tua dan lebih dari 50% buah telah lepas dari tandan tetapi
terdapat sekurang-kurangnya 10% buah segar yang masih melekat pada
tandan.
4. Buah sawit busuk ditandai dengan sebagian tandan atau seluruhnya telah
lembek/menghitam warnanya, busuk dan / atau berjamur.
2.2

Biodiesel
Biodisel merupakan bahan bakar alternatif untuk mesin diesel yang

diproduksi dengan mereaksikan minyak dari tanaman atau lemak hewan dengan
alkohol seperti metanol [Gerpen, 2005]. Biodiesel larut dengan petrodiesel dengan
semua perbandingan campuran. Beberapa keunggulan biodiesel dibandingkan
diesel adalah [Taufiq dkk., 2011 ; Knothe dkk., 2005]:
a. Tidak beracun (non-toxic).
b. Memiliki sifat pelumasan pada piston dan mudah terurai dilingkungan.
c. Kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin.
d. Menghasilkan gas buang berbahaya yang lebih sedikit dibandingkan
diesel seperti sulfur dioksida (SO2) karbon monoksida (CO), karbon
dioksida (CO2), hidrokarbon yang tidak terbakar dan partikel karbon
lainnya.
e. memiliki flash point yang lebih tinggi sehingga lebih aman dalam
penanganan dan penyimpanan.

Semua

keunggulan

tersebut

membuat

produksi

biodiesel

lebih

menjanjikan dan lebih mudah selagi persediaan minyak tumbuhan dan lemak
hewan masih ada. Karakteristik diesel dan biodiesel dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbandingan Karakteristik Standar Diesel dan Biodiesel
Property

Diesel

Biodiesel

Standard number
Composition
Specific gravity (g/mL)
Flash Point (K)
Cloud Point (K)
Pour Point (K)
Water (vol%)
Carbon (wt%)
Hydrogen (wt%)
Oxygen (wt%)
Sulphur (wt%)
Cetane number

ASTM D975
Hydrocarbon (C10 C21)
0,85
333 353
258 278
243 258
0,05
87
13
0
0,05
40 55

ASTM D6751
Fatty Acid Methyl Ester (C12 C22)
0,88
373 443
270 285
258 289
0,05
77
12
11
0,05
48 60

Sumber : Chopade dkk., 2012.


Kemiripan karakteristik dari bahan bakar dieseil dengan biodiesel seperti
pada Tabel 2.1 menjadikan biodiesel sebagai bahan bakar mesin diesel secara
langsung maupun campuran.
2.3

Proses Pembuatan Biodiesel


Biodiesel umumnya dibuat melalui reaksi transesterifikasi

minyak dan alkohol menggunakan katalis. Metode ini dilakukan


jika minyak memiliki kadar ALB dibawah 2%. Jika minyak
berkadar ALB tinggi langsung ditransesterifikasi dengan katalis
basa maka ALB akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun
sehingga menurunkan yield dan mempersulit proses pemisahan.
Penggunaan minyak berkadar ALB diatas 2% membutuhkan
perlakuan

awal

untuk

menurunkan

kadar

ALB.

Sehingga

diperlukan dua reaksi bertahap untuk mengkonversi minyak


dengan kadar ALB tinggi menjadi biodiesel yaitu esterifikasi
berkatalis asam dilanjutkan dengan transesterifikasi berkatalis
basa [Budiawan dkk, 2013].

2.3.1

Reaksi Esterifikasi

Reaksi Esterifikasi adalah reaksi reversibel antara asam karboksilat dengan


alkohol membentuk ester asam karboksilat. Gugus karbonil dari asam karboksilat
akan bereaksi dengan alkohol sehingga akan terbentuk ester dengan melepaskan
air sebagai produk samping. Katalis-katalis yang cocok adalah zat
berkarakter asam kuat sehingga asam sulfat, asam sulfonat
organik atau resin penukar kation asam kuat merupakan kataliskatalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial [Hikmah dan
Zuliyana, 2010]. Contoh reaksi antara metanol dan ALB adalah sebagai berikut :
O

H2SO4

RC

ROH

O
RC

OH

H2O

OR

Asam karboksilat

Alkohol

Ester Karboksilat

Air

Gambar 2.1 Reaksi Esterifikasi


Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari
minyak berkadar ALB tinggi. Pada reaksi ini terjadi tahap konversi
ALB menjadi alkil ester yang bertujuan mengurangi ALB yang
terdapat di dalam bahan baku. Tahap esterifikasi diikuti dengan
tahap

transesterfikasi.

Namun

sebelum

produk

esterifikasi

diumpankan ke tahap transesterifikasi, air, sisa metanol, dan


bagian terbesar katalis asam yang ada harus dipisahkan terlebih
dahulu [Hikmah dan Zuliyana, 2010].
2.3.2

Reaksi Transterifikasi

Transesterifikasi merupakan suatu proses penggantian alkohol dari suatu


gugus ester (trigliserida) dengan ester lain atau mengubah asam asam lemak ke
dalam bentuk ester sehingga menghasilkan alkil ester dan produk samping berupa
gliserol. Proses tersebut dikenal sebagai proses alkoholisis

[Hikmah dan

Zuliyana, 2010]. Secara umum reaksi transesterifikasi antara minyak nabati


(trigliserida) dan alkohol (metanol) dapat dilihat pada Gambar 2.2.
O

R1 C OCH2

R1 C OCH3
Katalis

O
R2 C OCH

+ 3CH3OH

O
R2 C OCH3

HOCH2
+ HOCH

R3 C OCH2
Trigliserida

Metanol

R3 C OCH3

HOCH2

Metil Ester

Gliserol

Gambar 2.2 Reaksi transeterifikasi


Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi bolak balik yang relatif lambat.
Untuk mempercepat jalannya reaksi dan meningkatkan hasil, maka dilakukan
penambahan reaktan berlebih dan penambahan katalis yang biasanya berupa
katalis basa agar reaksi bergeser ke kanan dan dapat mempercepat reaksinya
[Hikmah dan Zuliyana, 2010].
2.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Biodisel


Tahapan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi pembuatan

biodiesel selalu menginginkan agar didapatkan produk biodiesel


dengan jumlah yang maksimum. Beberapa kondisi reaksi yang
mempengaruhi

konversi

serta

perolehan

biodiesel

adalah

sebagai berikut:
2.4.1

Bahan Baku dan Reaktan

Biodiesel dapat dihasilkan dari minyak nabati atau lemak hewani. Hingga
saat ini penggunaan minyak atau lemak nabati dan hewani sebagai bahan baku
biodiesel terus diteliti dan berkembang. Beberapa bahan baku yang dapat
digunakan untuk pembuatan biodiesel antara lain sawit, kedelai, jarak pagar,
bunga matahari dan lain-lain. Karakteristik biodiesel dari berbagai jenis sumber
minyak ditampilkan pada Tabel 2.2.

10

Tabel 2.2 Karakteristik Biodiesel dari Berbagai Bahan Baku


Minyak

Angka
Setana

Biji Kapas
51
Kedelai
45
Kcang Tanah
54
Sawit
62
Bunga
49
Matahari
Diesel
50
Sumber : Chopade dkk., 2012.

Titik
Awan
(oC)
1
5
13

Titik
Tuang
(oC)
-4
-7
-

Titik
Nyala
(oC)
110
178
176
164

Massa
Jenis
(kg/l)
0,885
0,883
0,880

Nilai
117-143
80-106
35-61

183

0,860

110-145

-16

76

0,885

Iodine

Minyak yang dihasilkan dari berbagai sumber akan memberikan


spesifikasinya

masing-masing

sehingga

biodiesel

yang

dihasilkan

akan

mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan karena


komposisi kandungan asam lemak dan jenis asam lemak yang terkandung di
dalam bahan baku [Budiawan dkk, 2013]. Faktor penting yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan bahan baku adalah kadar air, kandungan asam lemak bebas dan
harga bahan baku tersebut. ALB yang tinggi dapat disebabkan oleh kadar air yang
terkandung di dalam minyak atau lemak. Air ini harus dihilangkan karena dapat
bereaksi dengan katalis sehingga menyebabkan jumlah katalis berkurang [Taufiq
dkk., 2011].
Minyak nabati akan direaksikan dengan alkohol dengan reaksi
transesterifikasi membentuk biodiesel. Alkohol yang paling umm digunakan
untuk pembuatan biodiesel adalah metanol. Metanol atau yang lebih dikenal
dengan alkohol kayu atau metil alkohol mempunyai rumus molekul CH 3OH
merupakan turunan alkohol yang paling sederhana. Metanol adalah cairan yang
tidak berwarna, volatil dan mudah terbakar. Sifat-sifat fisika metanol dapat dilihat
pada Tabel 2.3.

11

Tabel 2.3 Sifat-sifat Fisika Metanol


Parameter
Wujud
Massa Molar (gr/mol)
Specific gravity
Titik Leleh (oC)
Titik Didih (oC)
Sumber: Perry dan Green, 1999.

Nilai
Cairan tidak berwarna
32,04
0,7918
-97
64,7

Penggunaan metanol dengan kemurnian tinggi pada pembuatan biodiesel


dapat meminimalkan hidrolisa minyak atau lemak serta meminimalkan
pembentukan sabun akibat kadar air yang terdapat di dalam alkohol. Keunggulan
lain yang dimiliki metanol dibandingkan etanol adalah harga yang lebih murah
dan lebih reaktif karena rantai karbonnya lebih pendek sehingga dapat membentuk
reaksi biodiesel yang lebih stabil [Budiawan dkk., 2013].
2.4.2

Katalis

Katalis merupakan suatu bahan yang ditambahkan untuk menurunkan


energi aktivasi tanpa ikut bereaksi sehingga dapat mempercepat laju reaksi.
Berdasarkan fasanya katalis dapat dibedakan menjadi dua yaitu katalis homogen
dan heterogen. Katalis homogen merupakan katalis yang memiliki fasa yang sama
dengan fasa reaktannya sedangkan katalis heterogen merupakan katalis yang
fasanya berbeda dengan fasa reaktannya [Helwani dkk., 2009]. Pada tahap
esterifikasi katalis yang digunakan yaitu katalis homogen, sedangkan pada tahap
transesterifikasi menggunakan katalis heterogen.
2.4.2.1

Katalis Homogen Asam untuk Esterifikasi

Pada reaksi esterifikasi, katalis-katalis yang cocok adalah


zat berkarakter asam kuat sehingga asam sulfat, asam sulfonat
organik atau resin penukar kation asam kuat merupakan kataliskatalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial [Hikmah dan
Zuliyana, 2010]. Biasanya reaksi dengan menggunakan katalis asam efektif
bekerja pada perbandingan rasio molar antara minyak dan alkohol yang tinggi,

12

tekanan dan temperatur rendah dan konsentrasi katalis asam yang cukup tinggi
[Taufiq dkk., 2011].
Hayyan dkk., [2011] telah meneliti pengaruh konsentrasi katalis asam
sulfat pada reaksi esterifikasi Sludge Palm Oil (SPO) dalam konversi ALB
menjadi biodiesel. Pada penelitian tersebut didapatkan kadar ALB menurun dari
23,2% menjadi kurang dari 2% pada konsentrasi katalis H 2SO4 1%-b. Sedangkan
untuk konversi ALB menjadi biodiesel tertinggi didapat pada konsentrasi katalis
H2SO4 1,5% yaitu berkisar 98%. Naluri dkk., [2015] juga telah melakukan
penelitian terhadap penurunan kadar ALB di dalam minyak dari sawit off grade
menggunakan katalis H2SO4 dengan konsentrasi 1%-b dapat menurunkan kadar
ALB dari 12,02% menjadi 1,22%. Pengaruh konsentrasi katalis asam sulfat
terhadap Penurunan Kadar ALB dan konversi ALB menjadi biodiesel ditampilkan
pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Pengaruh Konsentrasi Katalis H2SO4 terhadap Penurunan Kadar


ALB dan Konversi ALB menjadi Biodiesel [Hayyan dkk., 2011]
2.4.2.2

Katalis Heterogen Basa untuk Transesterifikasi

Katalis yang digunakan pada reaksi transesterifikasi dapat berupa katalis


homogen ataupun heterogen. Penggunaan katalis homogen memiliki beberapa
kelemahan seperti sulitnya proses pemisahan katalis dengan produk karena katalis
homogen berada pada fasa yang sama dengan reaktan dan produk, serta katalis
homogen tidak bisa digunakan kembali setelah reaksi [Helwani dkk., 2009].

13

Katalis homogen tersebut dapat digantikan dengan katalis heterogen yang lebih
ramah lingkungan, lebih mudah dipisahkan sehingga menghasilkan produk yang
lebih murni, serta dapat digunakan kembali [Taufiq dkk., 2011].
Katalis heterogen merupakan katalis yang memiliki fasa yang berbeda
dengan reaktan. Katalis heterogen banyak digunakan pada reaksi transesterifikasi
trigliserida untuk menghasilkan biodiesel, diantaranya CaO, NaOH/Al 2O3,
KOH/zeolit alam dan lain-lain. Katalis heterogen yang akan digunakan adalah
Natrium Oksida (Na2O) dari Natrium Nitrat (NaNO3) yang diembankan ke dalam
serbuk besi.
Penggunaan logam natrium yang dimodifikasi telah diteliti sebelumnya
oleh Taufiq dkk., [2011] dengan menggunakan logam natrium yang berasal dari
larutan NaOH untuk memodifikasi support oksida logam berupa Al2O3. Kondisi
optimum pada reaksi transesterifikasi berbahan baku CPO menggunakan katalis
heterogen ini adalah pada penambahan jumlah katalis 3% berat minyak sawit,
suhu reaksi 60oC, rasio molar metanol: minyak 15:1, dan waktu reaksi 3 jam.
Pengaruh penambahan jumlah katalis terhadap perolehan biodiesel ditampilkan
pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Pengaruh Jumlah Katalis NaOH/Al2O3 terhadap Konversi CPO


menjadi Biodiesel pada Tahap Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]

14

a.

Serbuk Besi
Besi adalah logam transisi yang paling banyak dipakai karena relatif

melimpah di alam dan mudah diolah. Bijih besi biasanya mengandung hematite
(Fe2O3) yang dikotori oleh pasir (SiO2) sekitar 10 %, serta sedikit senyawa sulfur,
fosfor, aluminium, dan mangan. Besi adalah logam yang paling banyak dan paling
beragam penggunaannya. Hal itu karena beberapa hal, diantaranya adalah
kelimpahan besi di kulit bumi cukup besar, pengolahannya relaif mudah dan
murah, serta besi mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan dan mudah
dimodifikasi [Diyanto dan Sulardjaka, 2012]

Gambar 2.5 Serbuk Besi [Adeyanju dan Manohar, 2011]


Serbuk besi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 sebagian besar
merupakan produk sampingan dari proses grinding, filling, dan milling dari
produk besi. Serbuk besi yang memiliki komposisi terbesar Fe 2O3 sebanyak
93,14% merupakan padatan berwarna hitam yang tidak berbau dan tidak larut
dalam air [Adeyanju dan Manohar, 2011]. Serbuk besi merupaan bahan yang
bersifat feromagnetik yaitu benda yang dapat ditarik dengan kuat oleh magnet.
Sifat fisik dari serbuk besi dapat dilihat pada Tabel 2.4

15

Tabel 2.4 Sifat Fisik Serbuk Besi


Sifat

Nilai
4,5
1.946,7
13,73

Specific gravity
Densitas (kg/m3)
BET Surface Area (m2/g)
Sumber: Adeyanju dan Manohar, 2011.
b.

Natrium Oksida
Natrium oksida adalah senyawa kimia dengan rumus Na 2O.

Senyawa ini biasanya digunakan dalam pembuatan keramik dan


gelas, meskipun tidak dalam bentuk murni dan merupakan basa
anhidrida dari senyawa NaOH. Sehingga ketika air ditambahkan
ke natrium oksida maka NaOH akan terbentuk.
Pada

penelitian

penambahan

H2O

ini,

pada

Na2O

terbentuk

senawa

NaNO3

karena

selama

proses
proses

impregnasi dengan serbuk besi dengan reaksi:


H2O + 2 NaNO3

2 HNO3 + Na2O

Penggunaan Na2O sebagai katalis pada pebuatan biodiesel


sudah

dilakukan

memodifikasinya

oleh

Martinez

menggunakan

dkk.,
zeolit

[2013]
NaX.

dengan

Senyawa

cara
Na 2O

berasal dari natrium asetat (C2H3Na2O) yang diimpregnasi


dengan zeolit NaX. Hasil impregnasi kemudian dipanaskan
dengan suhu 110oC dan dikalsinasi pada suhu 550oC selama 3
jam.

Hasil

yang

didapatkan

menunjukkan

merupakan bahan dengan situs basa yang

bahwa

Na 2O

kuat sehingga

meningkatkan reaktifitas. Pembentukan metil ester terbesar


sekitar 99,3% didapatkan pada komposisi katalis Na2O-4,5%/NaX
dengan nilai basicity sekitar 0,6335 mmol/g
2.4.3

Waktu Reaksi

16

Waktu reaksi berbanding lurus dengan konversi yaitu semakin lama waktu
reaksi maka kemungkinan kontak antar zat semakin besar sehingga akan
menghasilkan konversi yang besar [Helwani dkk., 2009]. Jika kesetimbangan
reaksi sudah tercapai maka dengan bertambahnya waktu reaksi tidak akan
menguntungkan karena tidak memperbesar hasil. Menurut Taufiq dkk., [2011]
konversi biodiesel dengan bahan baku CPO meningkat dalam selang waktu 1 3
jam. Hubungan waktu terhadap konversi CPO menjadi biodiesel ditampilkan pada
Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Konversi CPO menjadi Biodiesel
pada Proses Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]
Gambar 2.6 menampilkan pengaruh waktu reaksi terhadap konversi
biodiesel, dengan rentang waktu yang digunakan yaitu 1 hingga 7 jam. Pada jam
pertama hingga ketiga perolehan biodiesel terus meningkat namun setelah 4 jam,
konversi biodiesel mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena reaksi yang
terjadi merupakan reaksi bolak balik (reversible) sehingga setelah mencapai
waktu reaksi setimbang (3 jam reaksi) terjadi pergeseran kesetimbangan ke arah
reaktan [Taufiq dkk., 2011].
2.4.4

Suhu Reaksi

Suhu reaksi berbanding lurus dengan yield biodiesel yang


dihasilkan yaitu semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka

17

semakin banyak biodiesel yang dihasilkan, hal ini sesuai dengan


persamaan Archenius. Bila suhu naik maka harga konstanata laju
raksi makin besar sehingga reaksi berjalan cepat dan hasil
konversi makin besar [Hikmah dan Zuliyana, 2011]. Dalam
berbagai penelitian suhu reaksi optimal untuk pembuatan
biodiesel adalah berkisar 45 65 oC [Hayyan dkk., 2010]. Namun,
peningkatan yield biodiesel hanya sampai suhu 60oC saat suhu reaksi dinaikkan
yield biodiesel semakin menurun.
Taufiq dkk., [2011] dan Naluri dkk., [2015] memperoleh konversi CPO
menjadi biodiesel tertinggi pada suhu reaksi 60 oC dan saat suhu reaksi dinaikkan
perolehan biodiesel menjadi berkurang. Hal ini terjadi karena pada suhu ini telah
melewati titik didih metanol 65oC, sehingga sebagian metanol mengalami
perubahan fasa dari cair menjadi gas. Terjadinya perubahan fasa metanol ini
menyebabkan jumlah metanol dalam fasa cair berkurang sehingga jumlah
tumbukan efektif untuk menghasilkan biodisel semakin berkurang [Taufiq dkk.,
2011].

Gambar 2.7 Pengaruh Suhu Reaksi terhadap Konversi CPO menjadi Biodiesel
pada Proses Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]
2.4.5

Rasio Molar Metanol terhadap Minyak

Rasio molar merupakan perbandingan jumlah mol antara bahan baku


minyak dengan pelarut yang digunakan yaitu alkohol dalam reaksi. Pada reaksi

18

esterifikasi berdasarkan stoikiometrinya satu mol metanol cukup untuk bereaksi


dengan satu mol asam lemak bebas, namun karena reaksi berjalan bolak balik
(reversible) maka ditambahkan metanol berlebih agar reaksi bergerak ke arah
produk. Sedangkan pada reaksi transesterifikasi untuk setiap satu mol trigliserida
membutuhkan tiga mol alkohol sehingga dapat memperoleh tiga mol alkil ester
dan satu mol gliserol [Budiawan dkk., 2013 ; Taufiq dkk., 2011].
Taufiq dkk., [2011] telah mempelajari pengaruh rasio mol metanol :
minyak sawit antara 6:1 hingga 18:1. Pada reaksi transesterifikasi minyak sawit
dengan kondisi operasi berlangsung pada jumlah katalis 3% berat minyak, suhu
60oC, dan waktu reaksi 3 jam. Pengaruh rasio mol reaktan terhadap konversi CPO
menjadi biodiesel ditampilkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Pengaruh Rasio Mol Metanol : Minyak Sawit terhadap Konversi
CPO menjadi Biodiesel pada Proses Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]
Pada Gambar 2.8 dapat dilihat bahwa konsentrasi mol metanol optimal
terhadap sampel adalah 15:1 dengan konversi CPO menjadi biodiesel yang
diperoleh sebesar 99%. Bila konsentrasi metanol ditingkatkan, konversi menjadi
turun. Hal ini karena penambahan metanol berlebih melewati batas optimum akan
meningkatkan pembentukan gliserol dan emulsi [Taufiq dkk., 2011]
2.4.6

Laju Pengadukan

19

Pengadukan akan menambah frekuensi tumbukan antara


molekul zat pereaksi dengan zat yang bereaksi sehingga
mempercepat reaksi dan reaksi terjadi sempurna. Semakin cepat
pengadukan maka semakin besar frekuensi tumbukan antar partikel sehingga
reaksi

akan

lebih

cepat

mencapai

kesetimbangan.

Sesuai

dengan

persamaan Archenius bahwa semakin besar tumbukan maka


semakin besar pula harga konstanta kecepatan reaksi [Hikmah dan
Zuliyana, 2010]
Karunia dkk., [2013] telah mempelajari pengaruh kecepatan pengadukan
pada penelitian produksi biodiesel dari Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) secara
esterifikasi dengan variasi kecepatan pengadukan 100 - 300 rpm dihasilkan
konversi PFAD menjadi biodiesel tertinggi sebesar 38,37% terjadi pada kecepatan
pengadukan 300 rpm. Hayyan dkk., [2011] juga telah melakukan penelitian
dengan mempelajari pengaruh laju pengadukan terhadap penurunan kadar ALB
dan konversinya menjadi biodiesel. Variasi kecepatan pengadukan yang diberikan
adalah 200 800 rotation per minute (rpm). Pengaruh laju pengadukan terhadap
penurunan kadar ALB dan konversinya menjadi biodiesel ditampilkan pada
Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Kadar ALB dan


Konversi ALB menjadi Biodiesel [Hayyan dkk., 2011]

20

Pada Gambar 2.9 dapat dilihat bahwa penurunan kadar ALB cukup
signifikan yaitu dari 23,2% hingga kurang dari 2% dan konversi tertinggi dicapai
pada kecepatan pengadukan 400 rpm yaitu sebesar 94,78%. Namun dengan
meningkatkan kecepatan pengadukan melebihi 400 rpm hanya akan memberikan
dampak negatif karena konversi menurun sedangkan konsumsi energi semakin
meningkat [Naluri dkk., 2015]

You might also like