Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
sehingga tidak layak olah dan biasanya berasal dari sisa sortasi pabrik Crude
Palm Oil (CPO). Sawit off grade merupakan salah satu sumber minyak nabati
yang belum termanfaatkan. Berdasarkan tingkat kematangannya, sawit off grade
diklasifikasikan menjadi buah muda (mentah), kurang matang, lewat matang,
busuk, dan abnormal. Sawit off grade dapat diperoleh sekitar 7-10% dari kapasitas
giling Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Jika kapasitas olah pabrik CPO sebesar 30 ton
per jam, maka Sawit off grade yang dihasilkan sekitar 2 3 ton perjam [Arifin,
2009].
Penggunaan buah sawit off grade di pabrik akan menurunkan kualitas
minyak yang dihasilkan sehingga berimbas kepada rendahnya harga jual minyak
yang diproduksi. Biasanya, sawit off grade harus dikembalikan ke penjual.
Selanjutnya penjual akan menjual kembali ke pengumpul sawit dengan harga
murah. Sawit off grade yang tidak terjual akan ditumpuk atau dibakar di areal
perkebunan tanpa ada pemanfaatan lanjut. Pengolahan minyak muda dan
abnormal akan menghasilkan yield CPO yang rendah sedangkan pengolahan lewat
matang dan busuk akan menghasilkan minyak yang berkadar Asam Lemak Bebas
(ALB) >5% [Arifin, 2009].
Jika Tandan Buah Segar (TBS) yang telah dipanen tidak langsung
diproses, akan menyebabkan peningkatan kadar ALB ketika buah diekstrak
menjadi minyak [Arifin, 2009]. Faktor yang menyebabkan adanya sawit off grade
adalah waktu pemanenan terlalu cepat atau terlalu lambat, lamanya waktu tinggal
di Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) maupun di pabrik. Beberapa kriteria buah
sawit yang digolongkan ke dalam sawit off grade adalah [Budiawan dkk., 2013] :
1. Buah sawit muda ditandai dengan buah yang berwarna hitam dan keras,
mesokorp buah lapisan luar berwarna kekuningan, tidak ada berondolan
yang lepas dan memiliki kadar minyak yang sangat sedikit.
5
2. Buah sawit abnormal ditandai dengan tandan mempunyai buah yang tidak
normal dari segi ukuran atau kepadatan. Buah abnormal biasanya didapat
dari tandan buah sawit muda yang memiliki lebih dari 50% buah
parthenocarpic (buah yang tumbuh karena kurang dipupuk) dan
menghasilkan yield minyak yang sedikit serta kernel (inti) tidak
mengandung endosperm dan embrio dimana bagian pusat buah biasanya
padu.
3. Buah sawit lewat matang ditandai dengan tandan mempunyai buah
berwarna merah tua dan lebih dari 50% buah telah lepas dari tandan tetapi
terdapat sekurang-kurangnya 10% buah segar yang masih melekat pada
tandan.
4. Buah sawit busuk ditandai dengan sebagian tandan atau seluruhnya telah
lembek/menghitam warnanya, busuk dan / atau berjamur.
2.2
Biodiesel
Biodisel merupakan bahan bakar alternatif untuk mesin diesel yang
diproduksi dengan mereaksikan minyak dari tanaman atau lemak hewan dengan
alkohol seperti metanol [Gerpen, 2005]. Biodiesel larut dengan petrodiesel dengan
semua perbandingan campuran. Beberapa keunggulan biodiesel dibandingkan
diesel adalah [Taufiq dkk., 2011 ; Knothe dkk., 2005]:
a. Tidak beracun (non-toxic).
b. Memiliki sifat pelumasan pada piston dan mudah terurai dilingkungan.
c. Kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin.
d. Menghasilkan gas buang berbahaya yang lebih sedikit dibandingkan
diesel seperti sulfur dioksida (SO2) karbon monoksida (CO), karbon
dioksida (CO2), hidrokarbon yang tidak terbakar dan partikel karbon
lainnya.
e. memiliki flash point yang lebih tinggi sehingga lebih aman dalam
penanganan dan penyimpanan.
Semua
keunggulan
tersebut
membuat
produksi
biodiesel
lebih
menjanjikan dan lebih mudah selagi persediaan minyak tumbuhan dan lemak
hewan masih ada. Karakteristik diesel dan biodiesel dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbandingan Karakteristik Standar Diesel dan Biodiesel
Property
Diesel
Biodiesel
Standard number
Composition
Specific gravity (g/mL)
Flash Point (K)
Cloud Point (K)
Pour Point (K)
Water (vol%)
Carbon (wt%)
Hydrogen (wt%)
Oxygen (wt%)
Sulphur (wt%)
Cetane number
ASTM D975
Hydrocarbon (C10 C21)
0,85
333 353
258 278
243 258
0,05
87
13
0
0,05
40 55
ASTM D6751
Fatty Acid Methyl Ester (C12 C22)
0,88
373 443
270 285
258 289
0,05
77
12
11
0,05
48 60
awal
untuk
menurunkan
kadar
ALB.
Sehingga
2.3.1
Reaksi Esterifikasi
H2SO4
RC
ROH
O
RC
OH
H2O
OR
Asam karboksilat
Alkohol
Ester Karboksilat
Air
transesterfikasi.
Namun
sebelum
produk
esterifikasi
Reaksi Transterifikasi
[Hikmah dan
R1 C OCH2
R1 C OCH3
Katalis
O
R2 C OCH
+ 3CH3OH
O
R2 C OCH3
HOCH2
+ HOCH
R3 C OCH2
Trigliserida
Metanol
R3 C OCH3
HOCH2
Metil Ester
Gliserol
konversi
serta
perolehan
biodiesel
adalah
sebagai berikut:
2.4.1
Biodiesel dapat dihasilkan dari minyak nabati atau lemak hewani. Hingga
saat ini penggunaan minyak atau lemak nabati dan hewani sebagai bahan baku
biodiesel terus diteliti dan berkembang. Beberapa bahan baku yang dapat
digunakan untuk pembuatan biodiesel antara lain sawit, kedelai, jarak pagar,
bunga matahari dan lain-lain. Karakteristik biodiesel dari berbagai jenis sumber
minyak ditampilkan pada Tabel 2.2.
10
Angka
Setana
Biji Kapas
51
Kedelai
45
Kcang Tanah
54
Sawit
62
Bunga
49
Matahari
Diesel
50
Sumber : Chopade dkk., 2012.
Titik
Awan
(oC)
1
5
13
Titik
Tuang
(oC)
-4
-7
-
Titik
Nyala
(oC)
110
178
176
164
Massa
Jenis
(kg/l)
0,885
0,883
0,880
Nilai
117-143
80-106
35-61
183
0,860
110-145
-16
76
0,885
Iodine
masing-masing
sehingga
biodiesel
yang
dihasilkan
akan
11
Nilai
Cairan tidak berwarna
32,04
0,7918
-97
64,7
Katalis
12
tekanan dan temperatur rendah dan konsentrasi katalis asam yang cukup tinggi
[Taufiq dkk., 2011].
Hayyan dkk., [2011] telah meneliti pengaruh konsentrasi katalis asam
sulfat pada reaksi esterifikasi Sludge Palm Oil (SPO) dalam konversi ALB
menjadi biodiesel. Pada penelitian tersebut didapatkan kadar ALB menurun dari
23,2% menjadi kurang dari 2% pada konsentrasi katalis H 2SO4 1%-b. Sedangkan
untuk konversi ALB menjadi biodiesel tertinggi didapat pada konsentrasi katalis
H2SO4 1,5% yaitu berkisar 98%. Naluri dkk., [2015] juga telah melakukan
penelitian terhadap penurunan kadar ALB di dalam minyak dari sawit off grade
menggunakan katalis H2SO4 dengan konsentrasi 1%-b dapat menurunkan kadar
ALB dari 12,02% menjadi 1,22%. Pengaruh konsentrasi katalis asam sulfat
terhadap Penurunan Kadar ALB dan konversi ALB menjadi biodiesel ditampilkan
pada Gambar 2.3.
13
Katalis homogen tersebut dapat digantikan dengan katalis heterogen yang lebih
ramah lingkungan, lebih mudah dipisahkan sehingga menghasilkan produk yang
lebih murni, serta dapat digunakan kembali [Taufiq dkk., 2011].
Katalis heterogen merupakan katalis yang memiliki fasa yang berbeda
dengan reaktan. Katalis heterogen banyak digunakan pada reaksi transesterifikasi
trigliserida untuk menghasilkan biodiesel, diantaranya CaO, NaOH/Al 2O3,
KOH/zeolit alam dan lain-lain. Katalis heterogen yang akan digunakan adalah
Natrium Oksida (Na2O) dari Natrium Nitrat (NaNO3) yang diembankan ke dalam
serbuk besi.
Penggunaan logam natrium yang dimodifikasi telah diteliti sebelumnya
oleh Taufiq dkk., [2011] dengan menggunakan logam natrium yang berasal dari
larutan NaOH untuk memodifikasi support oksida logam berupa Al2O3. Kondisi
optimum pada reaksi transesterifikasi berbahan baku CPO menggunakan katalis
heterogen ini adalah pada penambahan jumlah katalis 3% berat minyak sawit,
suhu reaksi 60oC, rasio molar metanol: minyak 15:1, dan waktu reaksi 3 jam.
Pengaruh penambahan jumlah katalis terhadap perolehan biodiesel ditampilkan
pada Gambar 2.4.
14
a.
Serbuk Besi
Besi adalah logam transisi yang paling banyak dipakai karena relatif
melimpah di alam dan mudah diolah. Bijih besi biasanya mengandung hematite
(Fe2O3) yang dikotori oleh pasir (SiO2) sekitar 10 %, serta sedikit senyawa sulfur,
fosfor, aluminium, dan mangan. Besi adalah logam yang paling banyak dan paling
beragam penggunaannya. Hal itu karena beberapa hal, diantaranya adalah
kelimpahan besi di kulit bumi cukup besar, pengolahannya relaif mudah dan
murah, serta besi mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan dan mudah
dimodifikasi [Diyanto dan Sulardjaka, 2012]
15
Nilai
4,5
1.946,7
13,73
Specific gravity
Densitas (kg/m3)
BET Surface Area (m2/g)
Sumber: Adeyanju dan Manohar, 2011.
b.
Natrium Oksida
Natrium oksida adalah senyawa kimia dengan rumus Na 2O.
penelitian
penambahan
H2O
ini,
pada
Na2O
terbentuk
senawa
NaNO3
karena
selama
proses
proses
2 HNO3 + Na2O
dilakukan
memodifikasinya
oleh
Martinez
menggunakan
dkk.,
zeolit
[2013]
NaX.
dengan
Senyawa
cara
Na 2O
Hasil
yang
didapatkan
menunjukkan
bahwa
Na 2O
kuat sehingga
Waktu Reaksi
16
Waktu reaksi berbanding lurus dengan konversi yaitu semakin lama waktu
reaksi maka kemungkinan kontak antar zat semakin besar sehingga akan
menghasilkan konversi yang besar [Helwani dkk., 2009]. Jika kesetimbangan
reaksi sudah tercapai maka dengan bertambahnya waktu reaksi tidak akan
menguntungkan karena tidak memperbesar hasil. Menurut Taufiq dkk., [2011]
konversi biodiesel dengan bahan baku CPO meningkat dalam selang waktu 1 3
jam. Hubungan waktu terhadap konversi CPO menjadi biodiesel ditampilkan pada
Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Konversi CPO menjadi Biodiesel
pada Proses Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]
Gambar 2.6 menampilkan pengaruh waktu reaksi terhadap konversi
biodiesel, dengan rentang waktu yang digunakan yaitu 1 hingga 7 jam. Pada jam
pertama hingga ketiga perolehan biodiesel terus meningkat namun setelah 4 jam,
konversi biodiesel mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena reaksi yang
terjadi merupakan reaksi bolak balik (reversible) sehingga setelah mencapai
waktu reaksi setimbang (3 jam reaksi) terjadi pergeseran kesetimbangan ke arah
reaktan [Taufiq dkk., 2011].
2.4.4
Suhu Reaksi
17
Gambar 2.7 Pengaruh Suhu Reaksi terhadap Konversi CPO menjadi Biodiesel
pada Proses Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]
2.4.5
18
Gambar 2.8 Pengaruh Rasio Mol Metanol : Minyak Sawit terhadap Konversi
CPO menjadi Biodiesel pada Proses Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]
Pada Gambar 2.8 dapat dilihat bahwa konsentrasi mol metanol optimal
terhadap sampel adalah 15:1 dengan konversi CPO menjadi biodiesel yang
diperoleh sebesar 99%. Bila konsentrasi metanol ditingkatkan, konversi menjadi
turun. Hal ini karena penambahan metanol berlebih melewati batas optimum akan
meningkatkan pembentukan gliserol dan emulsi [Taufiq dkk., 2011]
2.4.6
Laju Pengadukan
19
akan
lebih
cepat
mencapai
kesetimbangan.
Sesuai
dengan
20
Pada Gambar 2.9 dapat dilihat bahwa penurunan kadar ALB cukup
signifikan yaitu dari 23,2% hingga kurang dari 2% dan konversi tertinggi dicapai
pada kecepatan pengadukan 400 rpm yaitu sebesar 94,78%. Namun dengan
meningkatkan kecepatan pengadukan melebihi 400 rpm hanya akan memberikan
dampak negatif karena konversi menurun sedangkan konsumsi energi semakin
meningkat [Naluri dkk., 2015]