You are on page 1of 8

Bioteknologi 5 (1): 10-17, Mei 2008, ISSN: 0216-6887

2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Kandungan Kimia dan Uji Antiinflamasi


Ekstrak Etanol Lantana camara L. pada Tikus
Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan
Chemical constituents and antiinflammatory test of
ethanolic extracts of Lantana camara L. on white male
rats (Rattus norvegicus L.)
NUR ANNIS HIDAYATI, SHANTI LISTYAWATI,
AHMAD DWI SETYAWAN
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126.
Diterima: 1 Nopember 2005. Disetujui: 30 Nopember 2005.

ABSTRACT

Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126
Tel. & Fax.: +62-271-663375.
e-mail: biology@mipa.uns.ac.id

Lantana camara L. is a widely distributed plant on tropics region belonging


to the Family Verbenaceae. In Indonesia, the plant is used in traditional
medicines of edema and rheumatisms. The aims of this research were to
compare saponins, flavonoids, and essential oils constituents among the
roots, the leaves, and the fruits and to know about anti-inflammatory
effects of ethanolic extracts of L. camara on white male rats. The framework
of the research was that the saponins, flavonoids, and essential oils
constituents of L. camara have an anti-inflammatory effect. Organs with the
highest constituents of saponins, flavonoids and essential oils would expect
giving optimal anti-inflammatory effects. Complete Randomized Design
with five treatment groups, each of the treatment had five repetitions, was
used in this study. Each group have been treated: Group I CMC 0.5%
control (placebo), Group II positive control (Na-diclofenac), Group III, IV
and V giving ethanolic extracts of L. camara dose 720, 1080 and 1440 mg/kg
BW, respectively. The inflammation was produced by sub plantar injection
of carrageenan suspension in the right hind paw of the rats. The
quantitative data of Area under Curve of edema percentage were analyzed
statistically with SPSS program using One-Way ANOVA followed by LSD
test. The results showed that the highest constituents of saponins,
flavonoids, and essential oils were found in the leaves. Ethanolic extracts of
L. camaras leaves dose 720 mg/kg BW had given the highest antiinflammatory effects (38.1%).
Keywords: Lantana camara L., saponins, flavonoids, essential oils, antiinflammatory.

PENDAHULUAN
Inflamasi
merupakan
respon
terhadap
kerusakan jaringan akibat berbagai rangsangan
yang merugikan, baik rangsangan kimia maupun
mekanis (Saroni dan Dzulkarnain, 1989), infeksi
(Kee dan Hayes, 1993), serta benda asing seperti
bakteri (Ward, 1985) dan virus (Cleveland Clinic,
2003; Kee dan Hayes, 1993). Pada proses inflamasi

terjadi reaksi vaskular, sehingga cairan, elemenelemen darah, sel darah putih (leukosit), dan
mediator kimia terkumpul pada tempat yang
cedera untuk menetralkan dan menghilangkan
agen-agen berbahaya serta untuk memperbaiki
jaringan yang rusak (Kee dan Hayes, 1993). Tandatanda inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskuler,
peningkatan permeabilitas kapiler, dan migrasi
leukosit ke daerah inflamasi (Wilmana, 1995).

HIDAYATI dkk. Kandungan kimia dan uji antiinflamasi ekstrak Lantana camara

Obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (AINS)


umumnya mengacu pada obat yang menekan
inflamasi seperti steroid, namun tanpa efek
samping steroid. Berbeda dengan steroid yang
bekerja untuk mencegah pembentukan asam
arakhidonat pada membran sel, obat AINS secara
umum tidak menghambat biosintesis leukotrien,
yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi
(Wilmana,
1995).
Selain
efektif
untuk
mengurangi nyeri dan demam, AINS juga
digunakan
untuk mengatasi gejala-gejala
arthritis, encok, bursitis, nyeri haid, dan sakit
kepala
(Columbia
Encyclopedia,
2005).
Umumnya obat AINS yang digunakan untuk
terapi rheumatoid arthritis, bermanfaat untuk
menghilangkan rasa sakit, dan mencegah edema
akibat pengaruh prostaglandin (Wilmana, 1995).
Mekanisme kerja AINS yang berdasarkan atas
penghambatan biosintesis prostaglandin, mulai
dilaporkan oleh Vane dkk. (1971 dalam Wilmana,
1995) yang memperlihatkan secara in vitro
bahwa dosis rendah aspirin dan indomethacin
menghambat produksi enzimatik prostaglandin.
Penelitian lanjutan telah membuktikan bahwa
prostaglandin akan dibentuk ketika sel
mengalami kerusakan.
Di Indonesia, Lantana camara L. telah
digunakan secara tradisional sebagai obat
bengkak, rematik, keputihan, dan penurun panas
(Anonim, 2002). Perlu dilakukan penelitian
tentang khasiat L. camara sebagai obat dalam hal
ini obat antiinflamasi agar pemakaiannya dapat
dipertanggungjawabkan.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih
(Rattus norvegicus L.) jantan galur Wistar
sebanyak 25 ekor dengan umur dua bulan dan
berat badan 160-180 g. Bahan tanaman L. camara
diperoleh di Desa Kalisoro, Tawangmangu,
Karanganyar pada bulan Juni 2005. Bahan-bahan
kimia yang digunakan antara lain akuades,
etanol, saponin (Merck.), metanol, toluen, etil
asetat, dietilamin, amoniak, heksan, vanilin-asam
sulfat, CMC 0,5%, larutan fisiologis (NaCl 0,9%).
Digunakan pula karagenin tipe I sebagai
induktor peradangan dan Na-diklofenak sebagai
pembanding dalam uji antiinflamasi.
Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan
percobaan berupa Rancangan Acak Lengkap

11

pola searah dengan lima macam perlakuan,


masing-masing perlakuan lima ulangan.
Cara kerja
Persiapan hewan uji
Semua hewan uji dipelihara dalam kondisi
yang
sama.
Sebelum
digunakan
tikus
diadaptasikan dengan lingkungan penelitian
selama satu minggu dan sebelum pemberian
perlakuan, tikus dipuasakan 18 jam dengan tetap
diberi minum.
Analisis kandungan saponin, flavonoid, dan
minyak atsiri
Analisis kandungan saponin pada akar, daun
dan buah L. camara dilakukan dengan
menggunakan metode Spektrofotometri UV-Vis.
Sampel berupa serbuk halus kering dari akar,
daun dan buah yang akan dianalisis ditimbang
sebanyak 0,1 g dan masing-masing diekstraksi
dengan 1 mL etanol 70% di atas penangas air
pada suhu 80oC selama 15 menit. Hasil ekstraksi
lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada 365 nm, dengan
menggunakan saponin Merck sebagai larutan
standar (Stahl, 1985).
Perbandingan kandungan flavonoid dan
minyak atsiri pada organ akar, daun dan buah
dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT) metode densitometri. Untuk analisis
perbandingan kandungan flavonoid, sampel
berupa serbuk halus kering dari akar, daun dan
buah yang akan dianalisis masing-masing
ditimbang sebanyak 50 mg, dimasukkan ke
dalam
tabung
eppendorf,
kemudian
ditambahkan 2 mL metanol dan divortex selama
2 menit. Larutan yang diperoleh kemudian
disentrifus sehingga diperoleh fase cair dan
residu.
Fase
cair
dipekatkan
dengan
menguapkan pelarut kemudian ditambahkan
lagi 0,25 mL metanol dan divortex selama 2
menit. Filtrat sampel halus ditotolkan sebanyak 1
L pada lempeng silika gel GF254 dengan fase
gerak toluen : etil asetat : dietilamin ( 70:20:10 ).
Pereaksi warna yang digunakan adalah pereaksi
amoniak. Warna yang timbul diamati. Reaksi
positif apabila terjadi warna kuning (Wagner et
al., 1984). Hasil kromatografi ini kemudian
dianalisis kuantitatifnya dengan menggunakan
spektrodensitometer yaitu C 5-9-30 Scanner
(Shimadzu, Japan) pada panjang gelombang 255
nm. Hasil yang didapatkan berupa luas area
serapan yang menunjukkan besarnya kepekatan
flavonoid antara akar, daun, dan buah.

Bioteknologi 5 (1): 10-17, Mei 2008

12
Untuk analisis perbandingan kandungan
minyak atsiri, sampel berupa serbuk halus kering
dari akar, daun dan buah 50 mg yang akan
dianalisis diekstraksi secara perkolasi dengan
pelarut heksan sebanyak 2 mL kemudian
dipekatkan. Filtrat ditotolkan sebanyak 1 L
pada lempeng silika gel GF254 dengan fase gerak
toluen : etil asetat (93:7). Keberadaan spot
minyak atsiri dideteksi dengan pereaksi vanilin
asam sulfat yang akan memberikan warna merah
(Wagner et al., 1984). Spot minyak atsiri dianalisis
secara kuantitatif dengan spektrodensitometer C
5-9-30 Scanner (Shimadzu, Japan) pada panjang
gelombang 255 nm. Hasil yang didapatkan
berupa luas area serapan yang menunjukkan
besarnya kepekatan minyak atsiri antara akar,
daun, dan buah.
Pembuatan ekstrak
Bagian tanaman yang digunakan untuk
pembuatan ekstrak adalah yang menunjukkan
kandungan saponin, flavonoid dan minyak atsiri
yang tertinggi. Sampel dibersihkan dan
dikeringanginkan di bawah sinar matahari
dengan ditutup dengan kain hitam sampai
kering. Sampel yang telah kering dipotong kecilkecil dan dihaluskan dengan blender. Serbuk
yang telah halus tersebut lalu dimaserasi dalam
etanol 70% selama 3 hari, lalu difiltrasi dengan
corong Buchner dan diperoleh filtrat. Filtrat yang
diperoleh kemudian dipekatkan dengan rotary
evaporator pada suhu maksimal 60oC. Untuk
perlakuan, ekstrak lembek yang diperoleh dari
proses ini disuspensikan dalam larutan CMC
0,5%.
Perlakuan terhadap hewan uji
Metode uji yang digunakan adalah metode
Winter yang dimodifikasi (Turner, 1965). Edema
buatan ditimbulkan dengan menginjeksikan
karagenin 1% yang dilarutkan dalam larutan
fisiologis, sebanyak 0,1 mL pada telapak kaki
tikus secara subplantar. Rakhmawati (1997)
mengatakan bahwa pada dosis tersebut sudah
dapat menimbulkan edema yang dapat teramati
secara jelas. Penentuan dosis dan waktu
pemberian
ekstrak
mengacu
pada
uji
pendahuluan. Perlakuan yang diberikan pada
masing-masing kelompok adalah sebagai
berikut:
kontrol negatif CMC 0,5% (plasebo)
kontrol positif Na-diklofenak 13,5 mg/kg BB
ekstrak etanol L. camara 720 mg/kg BB
ekstrak etanol L. camara 1080 mg/kg BB
ekstrak etanol L. camara 1440 mg/kg BB

Volume awal kaki tikus diukur sebelum


diberi
perlakuan,
dengan
menggunakan
pletismometer, dengan cara telapak kaki tikus
yang telah ditandai sebatas mata kaki
dimasukkan (sampai tanda) pada pletismometer.
Setelah semua mendapat perlakuan, pengukuran
dilakukan lagi pada menit ke-0, 15, 30, 60, 90,
120, 150, 180, 210, 240, 270 dan 300. Volume
radang merupakan selisih volume kaki tikus
setelah disuntik larutan karagenin 1% dengan
volume kaki tikus sebelum disuntik larutan
karagenin. Persentase radang tiap waktu
ditentukan dengan rumus sebagai berikut
(Mansjoer, 1997):
% radang = (Ut Uo ) x100%
Uo
Ut = volume telapak kaki tikus pada waktu t
Uo = volume telapak kaki tikus sebelum
injeksi karagenin
Setelah diperoleh kurva persentase radang
terhadap waktu, dicari AUC(Area Under Curve/
luas daerah di bawah kurva)0-300 setiap individu
dengan rumus:
AUC0-300= U +U (t -t )+ U +U (t -t )+........+ U +U (t -t )
0

15

15

15

30

30

270

15

300

300

270

Dari harga AUC0-300 pada masing-masing


kelompok dapat dihitung nilai persentase daya
antiinflamasi dengan rumus:

Daya antiinflamasi = AUC -AUC x100%


K

AUC

AUCP = luas daerah di bawah kurva


persentase radang terhadap waktu kelompok
perlakuan rata-rata (Ayunin, 2004).
Analisis data
Untuk mengetahui variasi kandungan
metabolit sekunder pada L. camara, data berupa
kandungan saponin, flavonoid, dan minyak atsiri
pada akar, daun, dan buah L. camara dianalisis
dengan program pengolah data SPSS Versi 10.0
dengan
menggunakan
Analisis
Varians
(ANAVA) satu arah dan dilanjutkan dengan uji
LSD (Least Square Difference) pada taraf
signifikansi 95% (Gill, 1978). Untuk menentukan
organ yang memiliki kandungan saponin,
flavonoid, dan minyak atsiri tertinggi, data
berupa kandungan saponin, flavonoid, dan
minyak atsiri pada akar, daun, dan buah L.
camara dianalisis secara deskriptif. Organ yang
memiliki kandungan saponin, flavonoid, dan
minyak atsiri tertinggi selanjutnya digunakan
dalam uji antiinflamasi pada tikus. Untuk
menentukan kelompok perlakuan yang memiliki

HIDAYATI dkk. Kandungan kimia dan uji antiinflamasi ekstrak Lantana camara

daya antiinflamasi paling optimal, data


kuantitatif AUC antar kelompok perlakuan
dianalisis dengan program pengolah data SPSS
Versi 10.0 dengan menggunakan ANAVA satu
arah dan dilanjutkan dengan uji LSD pada taraf
signifikansi 95% (Gill, 1978).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan saponin, flavonoid, dan minyak atsiri
Saponin terakumulasi dalam dinding sel dan
vakuola. Adanya saponin pada tumbuhan
ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang
mantap pada waktu ekstraksi atau pada waktu
pemekatan ekstrak tumbuhan. Uji saponin yang
sederhana adalah dengan mengocok ekstrak
etanol daun L. camara dalam tabung reaksi dan
memperhatikan apakah terbentuk busa tahan
lama pada permukaan cairan (Harborne, 1996).
Uji
pendahuluan
kandungan
saponin
menunjukkan adanya busa stabil baik pada akar,
daun maupun buah. Analisis kandungan
saponin
selanjutnya
dilakukan
secara
spektofotometri (Tabel 1).
Tabel 1. Kandungan saponin (mg/g), persentase luas
area serapan flavonoid, dan persentase luas area
serapan minyak atsiri pada akar, daun, dan buah L.
camara.
Rerata kandungan
Saponin
Flavonoid Minyak
(mg/g)
(%)
atsiri (%)
Akar
12,57a
6,78%a
0,00%a
Daun
66,22b
12,76%b
14,49%b
Buah
6,95a
1,41%a
1,29%a
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang
sama menunjukkan perbedaan nyata dengan daun (p
0,05).
Organ

Secara umum seluruh bahan uji yang berupa


akar, daun, dan buah L. camara mengandung
saponin dengan kadar yang bervariasi. Setelah
dianalisis secara statistik menggunakan ANAVA
dan uji LSD diketahui bahwa kandungan
saponin pada daun berbeda nyata dengan akar
dan buah, yang masing-masing mengandung
saponin sebesar 12,57 dan 6,95 mg/g. Daun
memiliki kandungan saponin tertinggi yaitu
66,22 mg/g.
Adanya kandungan flavonoid dalam L.
camara dideteksi dengan kromatografi lapis tipis
(KLT) menggunakan pereaksi warna amoniak
karena flavonoid merupakan senyawa fenol yang
akan berubah warnanya jika ditambahkan

13

amoniak (Harborne, 1987). Metode densitometri


selanjutnya digunakan untuk membandingkan
luas area serapan pada ketiga organ karena tidak
tersedianya larutan standar untuk menentukan
kadar flavonoid dalam ekstrak secara akurat
(Tabel 1). Seluruh bahan yang diuji mengandung
flavonoid. Kandungan flavonoid L. camara dalam
akar, daun, dan buah berbeda-beda. Daun
memiliki kandungan flavonoid tertinggi yang
ditunjukkan oleh persentase luas area serapan
sebesar 12,76%. Berdasarkan hasil analisis
statistik menggunakan ANAVA dan uji LSD,
kandungan flavonoid pada daun berbeda nyata
dengan akar dan buah, masing-masing sebesar
1,41% dan 6,78%.
Untuk analisis minyak atsiri, akar, daun, dan
buah L. camara diekstraksi dengan pelarut atsiri
seperti heksana agar tidak terjadi pelebaran pita
(Hostettmann et al., 1995). Keberadaan minyak
atsiri pada akar, daun, dan buah L. camara
dideteksi menggunakan KLT dan dilanjutkan
dengan membandingkan luas area serapan
minyak atsiri pada masing-masing organ
tumbuhan menggunakan metode densitometri.
Spot dari akar, daun, dan buah memberikan
warna merah dengan pereaksi vanilin-asam
sulfat (Tabel 1). Seluruh bahan yang diuji
mengandung minyak atsiri namun area pada
akar tidak terbaca oleh spektrodensitometer. Hal
ini diduga karena kandungan minyak atsiri pada
akar sangat sedikit. Persentase luas area serapan
minyak atsiri yang tertinggi ditemukan pada
daun yaitu 14,49%, yang berdasarkan hasil
analisis secara statistik menggunakan ANAVA
dan uji LSD menunjukkan perbedaan secara
nyata jika dibandingkan dengan buah (1,29%)
dan akar (tidak terbaca). Adanya perbedaan
kandungan minyak atsiri pada akar, daun, dan
buah L. camara mendukung pernyataan
Setyawan (1996) yang mengatakan bahwa kadar
minyak atsiri pada tumbuhan ditentukan oleh
organ asalnya.
Penentuan organ tumbuhan untuk perlakuan
Berdasarkan hasil analisis secara statistik
menggunakan ANAVA dan dilanjutkan dengan
uji LSD, daun memiliki kandungan saponin,
flavonoid, dan minyak atsiri yang tertinggi dan
berbeda secara nyata dibandingkan dengan akar
dan buah. Jika dikaitkan dengan kandungan
metabolit sekunder tersebut, maka daun
memiliki kandungan kimia yang paling optimal
untuk aktivitas antiinflamasi dibandingkan
dengan akar dan buah, karena memiliki
kandungan saponin, flavonoid, dan minyak atsiri

Bioteknologi 5 (1): 10-17, Mei 2008

14
yang tertinggi. Pada penelitian ini daun dipilih
untuk pengujian selanjutnya.

90

80

70

60

50
% r adang

Uji antiinflamasi
Uji antiinflamasi ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh antiinflamasi ekstrak
etanol L. camara terhadap tikus putih jantan.
Edema pada kaki belakang yang diinduksi
karagenin adalah model standar percobaan
inflamasi akut (Chakraborty et al., 2004).
Sedgwick dan Willoughby (1994) mengatakan
bahwa keuntungan metode Winter ini adalah
mudah dan membutuhkan biaya yang sedikit.
Karagenin adalah polimer linear yang
tersusun dari sekitar 25.000 turunan galaktosa
yang strukturnya tergantung pada sumber dan
kondisi ekstraksi. Karagenin dikelompokkan
menjadi 3 kelompok utama yaitu kappa, iota, dan
lambda karagenin. Karagenin lambda (
karagenin) adalah karagenin yang diisolasi dari
ganggang Gigartina pistillata atau Chondrus
crispus, yang dapat larut dalam air dingin
(Chaplin, 2005). Karagenin dipilih untuk menguji
obat antiinflamasi karena tidak bersifat antigenik
dan
tidak
menimbulkan
efek
sistemik
(Chakraborty et al., 2004). Pengukuran daya
antiinflamasi dilakukan dengan cara melihat
kemampuan L. camara dalam mengurangi
pembengkakan kaki hewan percobaan akibat
penyuntikan larutan karagenin 1%. Setelah
disuntik karagenin, tikus-tikus memperlihatkan
adanya pembengkakan dan kemerahan pada
kaki serta tikus tidak dapat berjalan lincah
seperti sebelum injeksi (Gambar 1).
Gambar 1 menunjukkan bahwa kurva
tertinggi adalah plasebo (CMC 0,5%), volume
radang pada kelompok plasebo adalah yang
paling besar dibandingkan dengan kelompok
lainnya.
Hal
ini
dikarenakan
proses
penghilangan
mediator-mediator
inflamasi
dalam tubuh hanya terjadi secara alamiah. Kurva
terendah yang menunjukkan volume radang
terkecil tampak pada kurva kontrol positif Nadiklofenak. Kurva kelompok III, IV, dan V yang
berturut-turut adalah dosis 720, 1080, dan 1440
mg/kg BB berada di antara kurva kelompok
plasebo dan kontrol positif. Hal ini menunjukkan
bahwa volume radang lebih kecil dibandingkan
plasebo namun masih lebih besar dibandingkan
perlakuan Na-diklofenak. Hal ini mungkin
karena tidak semua senyawa yang terdapat
dalam ekstrak etanol daun L. camara memberikan
aktivitas yang dapat menghambat senyawa yang
menginduksi inflamasi.

40

KONTROL CMC
30

KONTROL Na-DIKLOFENAK
DOSIS 720 mg/kg BB

20

DOSIS 1080 mg/kg BB


10

DOSIS 1440 mg/kg BB


0
0

15

30

60

90

120

150

180

210

240

270

300

m enit ke-

Gambar 1. Kurva persentase radang pada kaki hewan


uji akibat injeksi karagenin terhadap waktu.

Pada kelompok plasebo, injeksi karagenin


subplantar menghasilkan edema lokal, yang
meningkat cepat pada menit ke-15 dan terus
meningkat sampai menit ke-240 dan belum
menunjukkan tanda-tanda penurunan sampai
pada menit ke-300 (persentase radang=76,3%).
Karagenin akan menginduksi cedera sel sehingga
sel yang cedera melepaskan mediator yang
mengawali proses inflamasi. Setelah pelepasan
mediator inflamasi, terjadi edema yang mampu
bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur
berkurang dalam waktu 24 jam setelah injeksi
(Baghdikian et al., 1997). Edema oleh karagenin
tergantung
pada
peran
kinin,
leukosit
polimorfonuklear,
dan
mediator-mediator
inflamasi yang dilepaskan seperti PGE1, PGE2,
dan PGA2 (Amanlou et al., 2005; Ward, 1985).
Setelah injeksi karagenin, terjadi respon yang
menyebabkan edema yang terbagi dalam dua
fase. Fase awal berhubungan dengan pelepasan
histamin dan serotonin. Antara fase I dan II,
edema dipertahankan oleh kinin. Fase kedua
berhubungan dengan pelepasan prostaglandin
(PG) dan Slow Reacting Substances yang mencapai
puncak pada 3 jam (Vinegar et al., 1969 dalam
Ammar et al., 2005; Chakraborty et al., 2004).
Turnbach et al., (2002) mengatakan bahwa
pemberian
karagenin
subplantar
akan
meningkatkan kadar COX-2.
Pada
kontrol
positif
(Na-diklofenak),
persentase radang meningkat perlahan dan terus
berlangsung sampai pada menit ke-300.
Persentase radang kelompok perlakuan dengan
Na-diklofenak lebih kecil jika dibandingkan
dengan plasebo. AINS seperti Na-diklofenak
diduga dapat menekan respon pada fase akhir,
yang juga disebut fase PG, karena kemampuan

HIDAYATI dkk. Kandungan kimia dan uji antiinflamasi ekstrak Lantana camara

menekan migrasi leukosit mononuklear ke


jaringan radang (DiRosa dan Willoughby, 1971
dalam Ammar et al., 2005).
Persentase radang kelompok perlakuan dosis
720 mg/kg BB lebih kecil apabila dibandingkan
dengan plasebo. Persentase radang ini terus
meningkat dan mencapai maksimal pada menit
ke-270 (sebesar 54,1%). Persentase radang
kelompok perlakuan dosis 1080 mg/kg BB lebih
kecil dibandingkan plasebo dan persentase
radang maksimal dicapai pada menit ke-240.
Pada dosis 1440 mg/kg BB, persentase radang
juga lebih kecil dibandingkan plasebo dan
persentase radang maksimal dicapai pada menit
ke-210.
Tabel 2. Persentase daya antiinflamasi ekstrak etanol
daun L. camara pada edema yang diinduksi karagenan.

Kelompok Perlakuan

Dosis
(mg/kg)

AUC

% Daya
Antiinflamasi

Kontrol CMC 1%
74,326a
Kontrol Na-diklofenak 13,5
41,808b 43,8
Ekstrak daun L.camara 720
45,976b 38,1
Ekstrak daun L.camara 1080
59,224a 20,3
Ekstrak daun L.camara 1440
62,912a 15,4
Keterangan: N=5 dalam setiap kelompok; p0,05;
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan nyata dengan plasebo
(kontrol CMC 0,5%); AUC=Area Under Curve (luas
daerah di bawah kurva).

Kemampuan suatu bahan dalam mengurangi


radang pada kaki hewan uji akibat injeksi
karagenin dinyatakan sebagai daya antiinflamasi.
Nilai daya antiinflamasi diperoleh dengan
membandingkan luas daerah bawah kurva
volume radang L. camara dan kontrol positif
dengan luas daerah bawah kurva plasebo. Luas
daerah bawah kurva memberikan informasi
tentang potensi L. camara untuk menurunkan
radang apabila dibandingkan dengan plasebo.
Semakin besar luas daerah bawah kurva berarti
semakin besar volume radang yang ditimbulkan.
Berdasarkan Tabel 2, luas daerah bawah kurva
pada kelompok perlakuan ekstrak etanol daun L.
camara masih lebih besar dibandingkan dengan
Na-diklofenak. Hal ini menjelaskan bahwa daun
L. camara memiliki potensi dalam mengurangi
inflamasi namun masih kurang efektif apabila
dibandingkan dengan Na-diklofenak.
Nilai AUC percobaan ini terdistribusi normal
dan berasal dari populasi yang sama karena
harga signifikansinya pada taraf signifikansi 95%
adalah lebih besar dari 0,05. Dengan demikian

15

data kuantitatif AUC antar kelompok perlakuan


dianalisis secara statistik dengan menggunakan
ANAVA satu arah dan dengan uji LSD pada
taraf signifikansi 95% untuk membedakan antar
kelompok (Gill, 1978).
Daya antiinflamasi yang dimiliki oleh
kelompok Na-diklofenak dan ekstrak etanol
daun L. camara dosis 720 mg/kg BB
menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan
dengan plasebo. Sementara ekstrak etanol daun
L. camara dosis 1080 dan 1440 mg/kg BB secara
statistik tidak berbeda nyata dengan plasebo
sehingga kurang efektif dalam menurunkan
radang. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa dosis 720 mg/kg BB adalah dosis yang
paling optimal dalam menurunkan radang.
Na-diklofenak adalah salah satu AINS yang
biasa dijadikan pembanding dalam uji
antiinflamasi. Na-diklofenak adalah derivat
sederhana dari asam fenil asetat yang
merupakan penghambat COX yang relatif non
selektif. Na-diklofenak juga menghambat jalur
lipooksigenase
sehingga
mengurangi
pembentukan leukotrien (Wilkipedia, 2005).
Dari Tabel 4 terlihat bahwa peningkatan dosis
ekstrak etanol daun L. camara menunjukkan
adanya
kecenderungan
penurunan
daya
antiinflamasi. Hal ini diduga berhubungan
dengan efek toksik yang dimiliki L. camara
seperti halnya yang dimiliki bahan-bahan lain
yang berfungsi sebagai obat. Setiap bahan dapat
berfungsi sebagai obat jika diberikan dalam dosis
tertentu namun bisa menjadi racun yang
membahayakan apabila diberikan dalam dosis
yang melebihi batas yang diperbolehkan. Batasan
dosis yang diperbolehkan untuk L. camara atau
yang biasa diistilahkan dengan ADI (Allowance
Dosage Intake) sejauh ini masih belum diketahui
sehubungan dengan belum adanya penelitian
khusus tentang ADI untuk L. camara.
Ekstrak etanol daun L. camara dosis 720
mg/kg BB memiliki daya antiinflamasi yang
paling baik apabila dibandingkan dengan
kelompok dosis lain dan secara statistik tidak
berbeda
nyata
dengan
Na-diklofenak.
Mekanisme antiinflamasinya disebabkan adanya
penghambatan pelepasan PG dan mediatormediator serupa. Hal ini juga mungkin
berhubungan dengan kehadiran saponin,
flavonoid, dan minyak atsiri yang terdapat di
dalam ekstrak etanol daun L. camara.
Kandungan saponin
Aktivitas antiinflamasi saponin dari berbagai
tumbuhan sudah banyak dilaporkan namun

Bioteknologi 5 (1): 10-17, Mei 2008

16
belum banyak yang diketahui tentang mekanisme antiinflamasi yang dilakukan oleh saponin
secara pasti. Saponin terdiri dari steroid atau
gugus triterpen (aglikon) yang mempunyai aksi
seperti detergen. Mekanisme antiinflamasi yang
paling mungkin adalah diduga saponin mampu
berinteraksi dengan banyak membran lipid
(Nutritional Therapeutics, 2003) seperti fosfolipid
yang merupakan prekursor prostaglandin dan
mediator-mediator inflamasi lainnya.
Kandungan flavonoid
Mekanisme antiinflamasi yang dilakukan oleh
flavonoid dapat melalui beberapa jalur yaitu:
Penghambatan
aktivitas
enzim
COX
dan/atau lipooksigenase. Aktivitas antiinflamasi
flavonoid dilaporkan oleh Pearson (2005),
Landolfi et al., (1984) dalam Nijveldt et al., (2001),
dan Robak dan Gryglewski (1996) karena penghambatan COX atau lipoooksigenase. Penghambatan jalur COX dan lipooksigenase ini secara
langsung juga menyebabkan penghambatan
biosintesis eikosanoid (Damas et al., 1985 dalam
Nijveldt et al., 2001) dan leukotrien (Mueller,
2005), yang merupakan produk akhir dari jalur
COX dan lipooksigenase.
Penghambatan akumulasi leukosit. Ferrandiz
dan Alcaraz (1991) mengemukakan bahwa efek
antiinflamasi flavonoid dapat disebabkan oleh
aksinya dalam menghambat akumulasi leukosit
di daerah inflamasi. Menurut Frieseneker et al.,
(1994) dalam Nijveldt et al., (2001), pada kondisi
normal leukosit bergerak bebas sepanjang
dinding endotel. Selama inflamasi, berbagai
mediator turunan endotel dan faktor komplemen
mungkin menyebabkan adhesi leukosit ke
dinding endotel sehingga menyebab-kan leukosit
menjadi immobil dan menstimulasi degranulasi
netrofil. Frieseneker et al., (1994 dalam Nijveldt et
al., (2001) menyebutkan bahwa pemberian
flavonoid dapat menurunkan jumlah leukosit
immobil dan mengurangi aktivasi komplemen
sehingga menurunkan adhesi leukosit ke endotel
dan mengakibatkan penurunan respon inflamasi
tubuh.
Penghambatan degranulasi netrofil. Tordera
et al., (1994) dalam Nijveldt et al., (2001) menduga
bahwa flavonoid dapat menghambat degranulasi
netrofil, sehingga secara langsung mengurangi
pelepasan asam arakhidonat oleh netrofil.
Penghambatan pelepasan histamin. Efek
antiinflamasi flavonoid didukung oleh aksinya
sebagai antihistamin. Histamin adalah salah satu
mediator
inflamasi
yang
pelepasannya
distimulasi oleh pemompaan kalsium ke dalam

sel. Amella et al., (1985) dalam Nijveldt et al.,


(2001) melaporkan bahwa flavonoid dapat
menghambat pelepasan histamin dari sel mast.
Mekanisme yang tepat belum diketahui, namun
Mueller (2005) menduga bahwa flavonoid dapat
menghambat enzim c-AMP fosfodiesterase
sehingga kadar c-AMP dalam sel mast
meningkat, dengan demikian kalsium dicegah
masuk ke dalam sel yang berarti juga mencegah
pelepasan histamin (Gomperts et al., 1983).
Penstabil Reactive Oxygen Species (ROS).
Efek flavonoid sebagai antioksidan secara tidak
langsung juga mendukung efek antiinflamasi
flavonoid. Adanya radikal bebas dapat menarik
berbagai mediator inflamasi (Halliwell, 1995
dalam Nijveldt et al., 2001). Korkina (1997) dalam
Nijveldt et al., (2001) menambahkan bahwa
flavonoid dapat menstabilkan Reactive Oxygen
Species (ROS) dengan bereaksi dengan senyawa
reaktif dari radikal sehingga radikal menjadi
inaktif.
Kandungan minyak atsiri
Minyak atsiri daun L. camara mengandung
eugenol dan beberapa senyawa terpen yang
diduga memiliki efek antiinflamasi. Eugenol
yang merupakan penyusun minyak atsiri L.
camara dilaporkan dapat menghambat agregasi
platelet dengan cara menghambat pembentukan
tromboksan sehingga juga berperan dalam efek
antiinflamasi (Srivastava, 1993). Eugenol juga
dapat menghambat aktivitas PGH sintase karena
berkompetisi dengan asam arakhidonat pada sisi
aktif PGH sintase sehingga menghambat
pembentukan PG (Thompson dan Eling, 1989).
Seskuiterpen dilaporkan Heras et al., (1999) dapat
menghambat inflamasi dengan menghambat
beberapa faktor transkripsi yang berperan dalam
pengaturan ekspresi gen yang terlibat dalam
respon inflamasi. Mekanisme yang pasti tentang
aktivitas antiinflamasi minyak atsiri juga belum
banyak diketahui.
KESIMPULAN
Kandungan saponin dan flavonoid ekstrak
etanol L. camara tertinggi berturut-turut dapat
dijumpai pada organ daun, akar, dan buah.
Kandungan minyak atsiri ekstrak etanol L.
camara tertinggi berturut-turut dapat dijumpai
pada organ daun, buah, dan akar. Ekstrak etanol
L. camara dosis 720 mg/kg BB mempunyai
aktivitas antiinflamasi yang paling efektif pada

HIDAYATI dkk. Kandungan kimia dan uji antiinflamasi ekstrak Lantana camara

tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan


dibandingkan dosis lainnya yaitu sebesar 38,1%.
DAFTAR PUSTAKA
Ayunin, Q. 2004. Efek Antiinflamasi Infusa Daun Tapak Liman
(Elephantophus scaber L) terhadap Tikus Putih Jantan.
[Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Amanlou, M., F. Dadkhah, A. Salehnia, H. Farsam, and A.R.
Dehpour. 2005. An antiinflammatory and anti nociceptive
effects of hydroalcoholic extract of Satureja khuzistanica
Jamzad extract. Journal Pharmacology and Pharmaceutical
Science 8 (1): 102-106.
Ammar, N.M., S.Y. Al-Okbi, and D.A. Muhamed. 2005. Study
of the anti-inflammatory activity of some medical edible
plants growing in Egypt. Journal of Islamic Academy of
Sciences
10
(4).
www.
medicaljournalias.org/10_4/Ammar.htm [12 Desember 2005].
Anonim. 2002. Tanaman Obat Indonesia. www.iptek.net.id/
ind/cakra_ obat/tanamanobat.php?id=65 [30 April 2005].
Baghdikian, B., M. C. Lanhers, J. Fleurentin, E. Olivier, C.
Maillard, G. Balansard, and F. Mortier. 1997. An
analytical study, anti-inflammatory and analgesic effects
of Hapagophytum procumbens and Harpagophytum
zeyheri. Planta Medica 63: 171-176.
Chakraborty, A., R.K.B. Devi, S. Rita, Kh. Sharatchandra, and
Th. I. Singh. 2004. Preliminary studies on antiinflammatory and analgesic activities of Spilanthes
acmella in experimental animal models. Indian Journal
Pharmacology 36 (3) : 148-150.
Chaplin,
M.
2005.
Carrageenan.
www.lsbu.ac.uk/water/hycar.html [31 Mei 2005].
Cleveland Clinic. 2003. What You Need to Know About
Inflammation. www.clevelandclinic.org/healthinfo/docs/
0200/0217.asp?index= 4857 [13 Maret 2005].
Columbia Encyclopedia. 2005. Antiinflammatory Drugs www.
encyclopedia.com/html/n1/nonster.asp [13 Maret 2005].
Ferrandiz, M. L. and M. J. Alcaraz. 1991. Anti-inflammatory
activity and inhibition of arachidonic acid metabolism by
flavonoids. Agents Actions 32 (3): 283-288.
Gill, B. D. 1978. Design and Analysis of Experiment in The
Animals and Medical Sciences. 1st edition. Ames: Iowa
States University Press.
Gomperts, B.D., J.M. Baldwin, and K.J. Micklem. 1983. Rat
mast cells permeabilized with sendai virus secrete
histamine in response to Ca2+ buffered in the micromolar
range. Biochemistry Journal 210 (3): 737-745.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan. Terbitan kedua. Bandung:
Penerbit ITB.
Heras, B., A. Navarro, M.J.D. Guerra, P. Bermejo, A. Castrillo,
L. Bosca, and A. Villar. 1999. Inhibition of NOS-2
expression in macrophages through the inactivation of
NF-KB by andalusol. British Journal of Pharmacology 128:
605-612.
Hostettmann, K., M. Hostettmann, and A. Marston. 1995. Cara
Kromatografi Preparatif. Penerjemah: Padmawinata, K.
Bandung: Penerbit ITB.
Kee, J. L. dan E. R. Hayes. 1993. Farmakologi: Pendekatan Proses
Keperawatan. Penerjemah: Anugrah, P. Jakarta: Penerbit EGC.

17

Mansjoer, S. 1997. Efek anti radang minyak atsiri temu putih


(Curcuma zedoria Rosc.) terhadap udem buatan pada
tikus putih jantan galur wistar. Majalah Farmasi Indonesia
8: 35-41.
Mueller, J. 2005. Bioflavonoids: Natural Relief for Allergies and
Asthma.
www.worldwidehealthcenter.net/articles336.html [1 Desember 2005].
Nijveldt, R. J., E. van Nood, D.E.C. van Hoorn, P.G. Boelens,
K. van Norren, P.A.M. van Leeuwen. 2001. Flavonoids: a
review of probable mechanisms of action and potential
applications. American Journal of Clinical and Nutrition 74:
418-425.
Nutritional Therapeutics. 2003. NT Factor: PhosphoglycolipidsHigh
Energy
Potential.
www.propax.com/FAQ/
soy_high_energy.html [2 Desember 2005].
Pearson, W. 2005. Bioflavonoids. www.equinecentre.com.au/
health_ nutraceuticals_bioflavonoids.shtml [12 Desember
2005].
Rakhmawati, D. 1997. Efek Antiinflamasi Lempuyang Emprit
pada Tikus Putih Jantan. [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada.
Robak, J. and R.J. Gryglewski. 1996. Bioactivity of flavonoids.
Polish Journal of Pharmacology 48(6): 555-564.
Saroni dan B. Dzulkarnain. 1989. Penelitian efek
antiinflamasi batang brotowali, daun kejibeling dan
rimpang kunyit pada tikus putih. Majalah Farmakologi dan
Terapi Indonesia 6 (3): 63-65.
Sedgwick, A.D. and D.A. Willoughby. 1994. Animal models
for testing drugs on inflammmatory and hipersensitivity
reactions. In: Dale, M.M. and J.C. Foreman. Textbook of
Immunopharmacology. 3rd edition. Oxford: Blackwell
Scientific Publication.
Setyawan, A.D. 1996. Kekerabatan Berdasarkan Sifat-Sifat
Morfologi, Anatomi dan Kandungan Kimia Minyak Atsiri
pada Anggota Familia Zingiberaceae. [Skripsi]. Yogyakarta:
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.
Srivastava, K. C. 1993. Antiplatelet principles from a food
spice clove (Syzygium aromaticum L.). Prostaglandins
Leukotrienes Essential Fatty Acids 48 (5): 363-372.
Stahl, E. 1985. Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi.
Penerjemah: Padmawinata, K. dan I. Sudiro. Bandung:
Penerbit ITB.
Thompson, D. and T. Eling. 1989. Mechanism of inhibition of
prostaglandin H syntase by eugenol and other phenolic
peroxidase substrates. Molecular Pharmacology 36(5): 809817.
Turnbach, M.E., D.S. Spraggins, and A. Randich. 2002. Spinal
administration of prostaglandin E2 or prostaglandin F2
primarily produces mechanical hyperalgesia that is
mediated by nociceptive specific spinal dorsal horn
neuron. Pain 97: 33-45.
Turner, R. A. 1965. Screening Methods in Pharmacology. New
York: Academic Press.
Wagner, H., S. Bladt, and E.M. Zgainski. 1984. Plant Drug
Analysis: A Thin Layer Chromatography Atlas. London: Springer.
Ward, P.A. 1985. Inflamasi. Dalam: Imunologi III. Penerjemah:
Wahab, S. Yogyakarta: GMUPress.
Wilkipedia. 2005. Diclofenac. http://en.wikipedia.org/wiki/
diclofenac [26 Desember 2005]
Wilmana, P. F. 1995. Analgesik antipiretik antiinflamasi
nonsteroid dan obat pirai. Dalam: Ganiswara, S. G.(ed.).
Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Gaya
Baru.

You might also like