You are on page 1of 46

JENIS-JENIS STANDAR DALAM

PRAKTIK KEDOKTERAN
(Masukan untuk pembuatan Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Standar
Pelayanan Kesehatan)

A. PENDAHULUAN
1. Peningkatan pelayanan merupakan upaya
berkelanjutan
Upaya

peningkatan

kualitas

pelayanan

kesehatan

senantiasa

dilakukan dari waktu ke waktu oleh institusi pelayanan kesehatan,


yang terutama dilaksanakan oleh para pemberi pelayanan yang
langsung berhadapan dengan pengguna jasa pelayanan yakni
pasien (dan keluarganya). Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran
berlangsung dengan amat cepat, sehingga pemanfaatan kemajuan
tersebut tidak serta merta dilakukan secara seragam dan dengan
konsistensi yang nyata. Pemanfaatan kemajuan ilmu dan teknologi
kesehatan yang dilakukan oleh orang per orang dengan melakukan
pendekatan evidence-based medicine (dengan langkah-langkah
memformulasi

pertanyaan

klinis,

mencari

evidence

mutakhir,

melakukan telaah kritis evidence yang sahih, penting, dan dapat


diterapkan) merupakan hal yang amat baik. Namun untuk hal-hal
yang mencakup keperluan banyak pasien, atau mengandung risiko
tinggi, atau cenderung menggunakan sumber daya yang besar,
apalagi bila terdapat variasi yang luas dalam praktik seyogianya
dilakukan upaya standardisasi, yang banyak manfaatnya baik bagi

pasien, keluarga, pemberi jasa pelayanan, serta fasilitas pelayanan.

2. Hierarki ilmu kedokteran klinis


Dalam jenjang kedokteran klinis, bila terdapat masalah yang belum
terpecahkan, maka terdapat alur pemecahan masalah sebagai
berikut:
1 Kelompok yang paling awal berupaya memecahkan masalah
adalah para peneliti. Mereka menawarkan apa yang dapat
dilakukan untuk memecahkan masalah, tidak jarang tanpa
memperhitungkan apakah cara tersebut murah atau mahal,
memerlukan alat sederhana atau canggih, dapat diterapkan
atau tidak.
2 Proses yang kemudian berupaya untuk menyaring apakah opsi
yang ditawarkan oleh para peneliti tersebut dapat diterapkan
atau tidak adalah health technology assessment (HTA). HTA
mengkaji hasil penelitian yang ditawarkan oleh para peneliti
dikaitkan dengan aspek-aspek lain seperti masalah sumber
daya dalam arti kata yang luas, aspek sosial, budaya, bahkan
agama.
3 Hasil kajian HTA kemudian diadopsi dengan penyesuaian
dengan kondisi setempat, baik secara nasional maupun lokal,
untuk dijadikan pedoman nasional pelayanan Kedokteran
(PNPK)

yang

berlaku

secara

nasional

dan

panduan

pelayanan Kedokteran (PPK) yang berlaku lokal. Dalam


tataran

pelaksanaan,

PPK

yang

berlaku

lokal

dapat

memerlukan satu atau lebih perangkat untuk merinci panduan


agar dapat dilakukan secara unik. Format-format perangkat
yang dikenal termasuk alur klinis (clinical pathway), algoritme,
protokol, prosedur, atau standing orders.
4 Para dokter melakukan praktik dengan merujuk pada PPK
tersebut

untuk

menegakkan

diagnosis,

memberikan

pengobatan, serta memberikan penjelasan kepada pasien dan


2

keluarganya tentang kemungkinan hasil pengobatan.


5 Pihak fasilitas pelayanan secara terus-menerus membuat
audit klinis untuk menjamin bahwa apa yang dilakukan
kepada pasien memang benar telah sesuai dengan apa yang
harus dilakukan seperti yang tercantum pada PPK.
Uraian tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
1 Para peneliti menawarkan apa yang dapat dilakukan (what
we can do)
2 HTA melakukan kajian manakah dari opsi yang ditawarkan
peneliti yang layak diterapkan (which we can do)
3 Panduan

pelayanan

Kedokteran

menetapkan

apa

yang

seharusnya dilakukan (what we should do)


4 Para praktisi menerapkan apa yang harus dilakukan (doing
what we should do)
5 Penjamin mutu audit klinis (did we do what we should
do)

B. PELBAGAI JENIS STANDAR DALAM


PELAYANAN KESEHATAN
Jenis-jenis standar dalam pelayanan kesehatan sangat bervariasi,
demikian pula istilah yang digunakan. Variasi istilah dan makna
tersebut ada dalam pustaka maupun dalam pelbagai undangundang serta peraturan dalam semua tingkat. Istilah-istilah seperti
standar

pelayanan,

standar

pelayanan

Kedokteran,

standar

pelayanan kedokteran, standar pelayanan kesehatan, panduan


pelayanan

Kedokteran,

standar

profesi,

prosedur

operasional

standar, standar kompetensi, dan masih banyak lagi mungkin dapat


berarti lain untuk orang yang berbeda. Ada istilah yang sama untuk
menyatakan hal yang berbeda, atau sebaliknya istilah yang berbeda

untuk menyatakan hal yang sama.


Untuk menyamakan persepsi tentang pelbagai istilah tersebut,
dokumen ini terutama mengacu pada artikel Ashton (2002), dengan
sedikit modifikasi sebagai berikut:
1 Pedoman nasional pelayanan Kedokteran
2 Panduan pelayanan Kedokteran
3 Alur klinis (clinical pathway)
4 Algoritme
5 Protokol
6 Prosedur
7 Standing orders.

1.

Pedoman

Nasional

Pelayanan

Kedokteran
1.1. Uraian umum
Pedoman nasional pelayanan Kedokteran (PNPK)

adalah

penyataan yang dibuat secara sistematis yang didasarkan pada


bukti ilmiah (scientific evidence), untuk membantu dokter dan
pembuat keputusan klinis tentang tata laksana penyakit atau
kondisi klinis yang spesifik. Sinonim: clinical guidelines, clinical
practice guidelines, practice parameters.
PNPK ini pada prinsipnya merupakan rekomendasi, dan dibuat
berdasarkan evidence mutakhir. Berbeda dengan format lain dalam
standar pelayanan yang merupakan pendekatan langkah demi
langkah dalam pelayanan terhadap pasien, PNPK berisi informasi
tentang tata laksana pasien yang dianggap paling efektif. Dokter
menggunakan

informasi

pada

PNPK

ini

bersama

dengan

pengetahuan dan pengalamannya untuk menentukan rencana tata

laksana yang paling sesuai terhadap pasien secara individual


dengan memperhitungkan keadaan lokal.
Dalam pustaka istilah Clinical Practice Guidelines (atau Clinical
Guidelines) digunakan baik untuk pedoman yang dibuat oleh
kelompok pakar dan bersifat nasional/global, maupun yang telah
diadaptasi

sesuai

dengan

kondisi

fasilitas

setempat.

Dalam

dokumen ini, untuk mengakomodasi pelbagai istilah yang tumpang


tindih dalam banyak undang-undang serta peraturan tentang
kedokteran dan kesehatan, dokumen lengkap yang dibuat oleh
kelompok pakar profesi dengan koordinasi Kementerian Kesehatan
disebut sebagai Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK), sedangkan yang telah diadaptasi sesuai dengan fasilitas
setempat disebut sebagai

Panduan

Pelayanan

Kedokteran

(PPK).

1.2. Siapa yang berhak membuat PNPK?


Pedoman pelayanan Kedokteran teoritis dapat dibuat oleh siapa saja
yang

berminat,

profesi,

fakultas

termasuk

Kementerian

kedokteran,

rumah

Kesehatan,

sakit,

organisasi

lembaga

swadaya

masyarakat, kelompok pakar, dan seterusnya. Namun yang lazim


pedoman pelayanan Kedokteran yang bersifat ideal dibuat oleh
kelompok pakar dari organisasi profesi, baik secara mandiri atau di
bawah koordinasi Kementerian Kesehatan. Di Amerika Serikat
terdapat kecenderungan pedoman pelayanan Kedokteran dibuat
oleh

pakar-pakar

organisasi

profesi

tanpa

koordinasi

dengan

Kementerian Kesehatan, sedangkan di Inggris dan negara-negara


persemakmuran

terdapat

kecenderungan

koordinasi

oleh

Kementerian Kesehatan. Di Indonesia model Inggris dianggap lebih


sesuai;

dengan

demikian

PNPK

dibuat

oleh

kelompok

pakar

organisasi profesi dengan koordinasi serta pengesahan Kementerian


Kesehatan.

1.3. Bilakah perlu dibuat PNPK?


PNPK diperlukan bila suatu penyakit atau kondisi kesehatan tertentu
memiliki satu atau lebih karakteristik berikut:

jumlah kasusnya banyak (high volume)

mempunyai risiko tinggi (high risk)

cenderung memerlukan biaya tinggi/banyak sumber daya


(high cost)

terutama bila terdapat variasi yang luas di antara para praktisi


untuk penanganan kasus yang sama.
PNPK harus dibuat oleh pakar-pakar dalam organisasi profesi di
bawah koordinasi Kementerian Kesehatan RI, seringkali bersifat
multidisiplin, dan mempunyai karakeristik sebagai berikut:

Sahih / valid

Reproducible

Cost-effective

Representatif, sering harus multidisiplin

Dapat diterapkan dalam praktik

Fleksibel

Jelas

Terjadwal untuk dilakukan revisi

Dapat digunakan sebagai kriteria untuk audit klinis

1.4. Apakah semua penyakit perlu dibuat


PNPK?
Tidak semua penyakit atau kondisi kesehatan perlu dibuat PNPK.
Hanya penyakit atau kondisi kesehatan yang memenuhi persyaratan
tersebut di atas (high volume, high risk, high cost, high variability)
perlu dibuat pedoman nasionalnya. Sebagai contoh tata laksana
6

demam berdarah dengue, unstable angina, penyakit Kawasaki,


kejang demam kompleks, hiperbilirubinemia pada neonatus, stroke,
trauma kepala, terapi gen pada penyakit tertentu memerlukan
PNPK. Namun bronkopneumonia, defek septum ventrikel, leukemia,
diare akut, diabetes melitus, demam tifoid, luka bakar, dan
penyakit-penyakit

lain

laksananya

memerlukan

tidak

yang

diangap
PNPK.

sudah
Untuk

mapan

tata

penyakit-penyakit

tersebut diperlukan Panduan Pelayanan Kedokteran (PPK) yang


berlaku untuk institusi pelayanan setempat (lihat bawah).

1.5. Bagaimana proses pembuatan PNPK


PNPK yang dimaksud dalam dokumen ini dibuat oleh sekelompok
pakar profesional yang dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan
(dalam hal ini Konsorsium Pelayanan Kedokteran, KPM). Langkahlangkah yang diperlukan adalah sebagai berikut:

A. Pemilihan dan penentuan topik


a. Konsorsium

Pelayanan

Kedokteran

(KPM)

menulis

surat

kepada organisasi profesi, rumah sakit pendidikan, rumah


sakit besar, untuk memberikan masukan apa yang ingin
dibuat PNPK, dengan alasan mengapa diperlukan PNPK.
b. Terhadap usulan yang masuk dilakukan seleksi awal.
c. Topik-topik

yang terseleksi dikirimkan kepada organisasi

profesi untuk dilengkapi secara lebih rinci alasan topik


tersebut dipilih, pakar-pakar yang diusulkan untuk terlibat,
perkiraan proyek akan selesai, dan informasi lain yang
relevan.
d. Formulir yang kembali diseleksi akhir untuk ditentukan
prioritas sesuai dengan waktu dan anggaran yang tersedia.

B. Pembentukan Panel Pakar PNPK


7

KPM membentuk panel pakar dengan personalia seperti yang


diusulkan oleh pengusul, ditambah dengan pakar lain yang
dipandang perlu dan relevan dengan topik yang dibahas.
Dalam rapat pertama dengan panel pakar, KPM menjelaskan:
1 Maksud pembuatan PNPK
2 Format PNPK (lihat Lampiran xx)
3 Cara kerja, termasuk time-table
4 Penentuan Ketua, Wakil Ketua, serta 1 atau 2 Sekretaris. Panel
dapat mengusulkan 1 atau 2 dokter yang bertugas untuk
mengelola masukan dari para pakar, mencatat notulen setiap
rapat, serta bila dipandang perlu membuat draft awal PPK.

C. Pembuatan draft dan Rapat-rapat


1 Draft awal PNPK dapat dibuat bersama oleh Ketua, Sekretaris,
serta anggota panel yang ditunjuk, dengan pelaksana teknis
petugas KPM yang tersedia.
2 Draft awal tersebut dikembangkan bersama oleh seluruh
anggota panel dengan mekanisme yang disepakati, termasuk
di dalamnya komunikasi melalui email.
3 Setiap bulan dilakukan rapat Panel yang dihadiri oleh wakil
KPM untuk membahas perkembangan pembuatan draft PNPK,
menyunting, melakukan revisi, dan lain-lain yang relevan. Bila
dipandang perlu dapat diundang nara sumber yan tidak
masuk dalam panel untuk memperoleh masukan dalam halhal yang khusus.
4 Dalam waktu 3 atau 4 kali pertemuan draft harus sudah
selesai dan diajukan dalam rapat pleno KPM.
5 Draft akhir yang sudah disepakati oleh Panel dan KPM
diajukan kepada Dirjen Pelayanan Kedokteran untuk dibahas
dan dimintakan pengesahannya oleh Menteri Kesehatan.

D. Tampilan PNPK
1 Tampilan PNPK dibakukan, dengan sampul yang menunjukkan
pengesahan dari Kementerian Kesehatan serta organisasi
profesi yang terlibat dalam pembuatan PNPK.
2 Para pakar yang langsung terlibat dalam pembuatan PNPK
dicantumkan sebagai kontributor.

E. Disclaimer / Penyangkalan / Wewanti


Dalam setiap edisi PNPK harus disertakan hal tentang disclaimer
/ penyangkalan / wewanti (lihat uraian di bawah).

2. Panduan Pelayanan Kedokteran


(PPK)
2.1. Uraian umum
PNPK dibuat berdasarkan pada evidence mutakhir, sehingga bersifat
ideal dan tidak selalu dapat diterapkan di dalam praktik di semua
tingkat pelayanan. Sesuai dengan asas umum bahwa tidak ada
panduan pelayanan yang dapat dilakukan untuk semua tingkat
fasilitas, maka PNPK harus diterjemahkan sesuai dengan kondisi dan
fasilitas setempat menjadi Panduan Pelayanan Kedokteran
(PPK). Berikut adalah contoh-contoh mengapa PPK dapat sama
atau berbeda di fasilitas pelayanan yang berbeda:
1 PPK untuk pasien demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok,
karena tidak memerlukan peralatan dan keahlian canggih
mungkin bersifat sama, baik di rumah sakit tipe, A, B, C,
maupun D.
2 Di suatu rumah sakit tipe A, PPK untuk penyakit jantung
bawaan biru mencakup pemberian prostaglandin, tindakan
balloon atrial septosomy (BAS), dilanjutkan dengan bedah

korektif, karena semua sumber daya yang diperlukan tersedia.


Di rumah sakit tipe A yang lain fasilitas bedah jantung anak
tidak tersedia, sehingga setelah pasien didagnosis, diberikan
prostaglandin dan dilakukan BAS, pasien harus dirujuk.
3 Di rumah sakit tipe A dan rumah sakit tipe B tertentu alur
klinis pasien stroke non-hemoragik memerlukan pendekatan
multidisiplin yang antara lain melibatkan ahli bedah saraf.
Namun di rumah sakit tipe B yang lain ahli bedah saraf tidak
tersedia, sehingga PPK-nya berbeda.
Dengan demikian maka PPK bersifat hospital specific.

2.2. Tujuan
Tujuan PPK mencakup:
1 Meningatkan kualitas pelayanan pada keadaan klinis dan
lingkungan tertentu
2 Mengurangi

jumlah

intervensi

yang

tidak

perlu

atau

berbahaya
3 Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan
maksimal
4 Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
5 Memberikan tata laksana dengan biaya yang memadai

2.3.

PPK

untuk

penyakit

atau

kondisi

kesehatan yang umum


Untuk kebanyakan penyakit atau kondisi kesehatan yang tidak
memenuhi syarat untuk dibuat PNPK, atau yang PNPK-nya belum
ada, maka para staf Kedokteran di rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan harus membuat PPK dengan memperhatikan
sumber daya yang tersedia dan dengan:

10

1. mengacu pada pustaka mutakhir, termasuk PNPK dari negara


lain
2. kesepakatan para staf Kedokteran
Di rumah sakit umum PPK harus dibuat untuk penyakit-penyakit
terbanyak untuk setiap departemen, sedangkan untuk rumah sakit
tipe A dan tipe B yang memiliki pelayanan subdisiplin harus dibuat
PPK untuk penyakit-penyakit terbanyak sesuai dengan subdisiplin
masing-masing.

Pembuatan

PPK

dikoordinasi

oleh

Komite

Kedokteran setempat dan berlaku setelah disahkan oleh Direksi.

2.4. Perangkat untuk pelaksanaan PPK


Dalam PPK mungkin terdapat hal-hal yang memerlukan rincian
langkah demi langkah. Untuk ini, sesuai dengan karakteristik
permasalahan serta kebutuhan, dapat dibuat clinical pathway (alur
klinis), algoritme, protokol, prosedur, maupun standing order.
Contoh:
1 Dalam PPK disebutkan bahwa tata laksana stroke nonhemoragik harus dilakukan secara multidisiplin dan dengan
pemeriksaan

serta

intervensi

dengan

urutan

tertentu.

Karakteristik penyakit stroke non-hemoragik sesuai untuk


dibuat alur klinis (clinical pathway); sehingga perlu dibuat
CP untuk stroke non-hemoragik.
2 Dalam PPK disebutkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronik
perlu dilakukan hemodialisis. Uraian rinci tentang hemodialisis
dimuat

dalam

protokol

hemodialisis

pada

dokumen

terpisah.
3 Dalam PPK disebutkan bahwa pada anak dengan kejang
demam kompleks perlu dilakukan pungsi lumbal. Uraian
pelaksanaan pungsi lumbal tidak dimuat dalam PPK melainkan
dalam prosedur pungsi lumbal dalam dokumen terpisah.
11

4 Dalam tata laksana kejang demam diperlukan pemberian


diazepam rektal dengan dosis tertentu yang harus diberikan
oleh

perawat

bila

dokter

tidak

ada;

ini

diatur

dalam

standing order.
Uraian tentang pelbagai jenis perangkat teknis standar pelayanan
yang diperlukan dalam implementasi PPK diuraikan berikut.

3. Clinical Pathway (CP)


3.1. Batasan umum
Clinical pathway (CP, alur klinis) memiliki banyak sinonim, yakni
care

pathway,

multidisciplinary

care

map,

pathways

integrated
of

care,

care

pathways,

pathways

of

care,

collaborative care pathways. CP dibuat untuk memberikan


rincian apa yang harus dilakukan pada kondisi klinis tertentu. CP
memberikan rencana tata laksana hari demi hari dengan standar
pelayanan yang dianggap sesuai. Pelayanan dalam CP bersifat
multidisiplin sehingga semua pihak yang terlibat dalam pelayanan
(dokter/dokter gigi, perawat, fisioterapist, dll) dapat menggunakan
format yang sama. Kelebihan format ini adalah perkembangan
pasien

dapat

dimonitor

setiap

hari,

baik

intervensi

maupun

outcome-nya. Oleh karenanya CP paling layak dibuat untuk penyakit


atau kondisi klinis yang bersifat multidisiplin, dan perjalanan
klinisnya dapat diprediksi (pada setidaknya 70% kasus). Bila
dalam perjalanan klinis ditemukan hal-hal yang menyimpang, ini
harus dicatat sebagai varian yang harus dinilai lebih lanjut.
Perjalanan klinis dan outcome penyakit yang dibuat dalam CP dapat
tidak sesuai dengan harapan karena:
a memang sifat penyakit pada individu tertentu,
b terapi tidak diberikan sesuai dengan ketentuan,

12

c pasien tidak mentoleransi obat, atau


d terdapat ko-morbiditas.
Apa

pun

yang

terjadi

harus

dilakukan

evaluasi

dan

dokter

memberikan intervensi sesuai dengan keadaan pasien.

3.2. Apakah untuk semua jenis penyakit perlu


dibuat CP?
Jawabnya adalah tidak. Pada umumnya di suatu rumah sakit umum
hanya 30 persen pasien yang dirawat dengan menggunakan CP.
Selebihnya pasien dirawat dengan prosedur biasa (usual care). CP
hanya efektif dan efisien apabila dilaksanakan untuk penyakit atau
kondisi kesehatan yang perjalanannya predictable, khususnya bila
memerlukan perawatan multidisiplin.

3.3. Apakah CP dibuat untuk memperoleh


rincian biaya?
Tidak. CP mungkin dapat menjadikan biaya perawatan menjadi lebih
murah untuk kualitas yang sama atau lebih baik dibanding dengan
perawatan standar.

Data CP juga dapat menjadi masukan untuk

program lain yang menyangkut pembiayaan, misalnya diagnostic


related group (DRG). Namun CP tidak dibuat untuk memperoleh
rincian biaya perawatan, dengan konsekuensi dibuatnya secara
dipaksakan CP untuk semua jenis penyakit.

3.4. Dapatkah CP dibuat untuk kelainan atau


penyakit lain?
Ide pembuatan CP adalah membuat standardisasi pemeriksaan dan
perawatan pasien yang memililiki pola tertentu. Bila perjalanan
klinis suatu penyakit sangat bervariasi, tentu sulit untuk membuat
standar pemeriksaan dan tindakan yang diperlukan hari demi hari.
13

Namun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk membuat CP


bagi penyakit apa pun, namun dengan catatan:
a

ditetapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang jelas,

b bila pasien sudah dirawat dengan CP namun ternyata


mengalami

komplikasi

atau

terdapat

ko-morbiditas

tertentu, maka pasien tersebut harus dikeluarkan dari


CP dan dirawat dengan perawatan biasa.
Berikut adalah contoh CP untuk diare pada bayi dan anak, yang
secara

keseluruhan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi;

namun dengan kriteria tertentu yang ketat dapat dibuat CP-nya.


Keputusan untuk membuat CP pada kasus-kasus seperti ini harus
mempertimbangkan efektivitas, sumber daya, dan waktu yang
diperlukan.

Contoh: CP untuk diare akut pada bayi dan anak


Kriteria inklusi (pasien harus memenuhi semua yang tersebut di
bawah ini)
i

Usia lebih 1 bulan dan kurang dari 5 tahun

ii Menderita diare akut tanpa komplikasi


iii Perkiraan derajat dehidrasi <10%
iv Tidak ada penyakit penyerta atau riwayat penyakit berbahaya
v Tidak ada indikasi akut abdomen
Kriteria eksklusi (pasien dengan satu atau lebih keadaan ini):
i

Terdapat

ko-morbiditas

bermakna

(neurologis,

metabolik,

penyakit jantung bawaan, inflammatory bowel disease, etc)


ii Pasien dengan imunokompromais
iii Muntah, atau nyeri perut tanpa diare
iv Diare >5 hari

14

Pasien harus dikeluarkan dari CP (dan dirawat dengan perawatan


biasa) bila selama perawatan salah satu dari hal-hal berikut terjadi:
i

Tidak terdapat perbaikan klinis dalam waktu 48 jam

ii Terdapat muntah empedu dengan nyeri perut


iii Diagnosis awal diragukan
iv Tinja berdarah

3.5.

Format

CP

untuk

pemberi

jasa

dan

pasien
CP adalah dokumen tertulis. Terdapat pelbagai jenis format CP yang
tergantung pada jenis penyakit atau masalah serta kesepakatan
para profesional. Namun pada umumnya format CP berupa tabel
yang kolomnya merupakan waktu (hari, jam), sedangkan barisnya
merupakan obervasi / pemeriksaan / tindakan / intervensi yang
diperlukan. Format CP dapat amat rumit dan rinci (misalnya
pemberian obat setiap 6 jam dengan dosis tertentu; bila ini
melibatkan banyak obat maka menjadi amat rumit). Ruang yang
tersedia untuk mencatat hal-hal yang diperlukan juga dapat amat
terbatas, lebih-lebih format yang sama diisi oleh semua profesi yang
terlbat dalam perawatan, karena sifat multidisiplin CP.
CP yang baik juga seyogianya dilengkapi dengan format untuk
pasien dan keluarga, sehingga pihak pasien dan keluarga dapat
melakukan kontrol terhadap apa yang seharusnya diperoleh dan apa
yang tidak. Versi untuk pasien ini mencakup:

Penyakit atau keadaan yang dihadapi

Dokter dan petugas lain yang terlibat dalam pelayanan

Perawatan yang seharusnya diperoleh dan kapan harus


diperoleh

15

Rencana lama perawatan

Rencana pemulangan
dilakukan di rumah)

pasien

(kriteria,

apa

yang

harus

Contoh CP dapat dilihat pada Lampiran xx.

4. Algoritme
Algoritme merupakan format tertulis berupa flowchart dari pohon
pengambilan keputusan. Dengan format ini dapat dilihat secara
cepat apa yang harus dilakukan pada situasi tertentu. Algoritme
merupakan panduan yang efektif dalam beberapa keadaan klinis
tertentu misalnya di ruang gawat darurat atau instalasi gawat
darurat. Bila staf dihadapkan pada situasi yang darurat, dengan
menggunakan algoritme ia dapat melakukan tindakan yang cepat
untuk memberikan pertolongan.
Contoh algoritme dapat dilihat dalam Lampiran xx.

5. Protokol
Protokol merupakan panduan tata laksana untuk kondisi atau situasi
tertentu. Misalnya dalam PPK disebutkan bila pasien mengalami
atau terancam mengalami gagal napas dengan kriteria tertentu
perlu dilakukan pemasangan ventilasi mekanik. Untuk ini diperlukan
panduan berupa protokol, bagaimana melakukan pemasangan
ventilasi mekanik, dari pemasangan endotracheal tube, mengatur
konsetrasi oksigen, kecepatan pernapasan, bagaimana pemantauan,
apa yang harus diperhatikan, pemeriksaan berkala apa yang harus
dilakukan, dan seterusnya. Dalam protokol harus termasuk siapa
yang dapat melaksanakan, komplikasi yang mungkin timbul dan
cara pencegahan atau mengatasinya, kapan suatu intervensi harus
dihentikan, dan seterusnya.
Contoh protokol dapat dilihat pada Lampiran xx.

16

6. Prosedur
Prosedur

merupakan

uraian

langkah-demi-langkah

untuk

melaksanakan tugas teknis tertentu. Prosedur dapat dilakukan oleh


perawat (misalnya cara memotong dan mengikat talipusat bayi baru
lahir, merawat luka, suctioning, pemasangan pipa nasogastrik), atau
oleh dokter (misalnya pungsi lumbal atau biopsi sumsum tulang).
Contoh prosedur dapat dilihat pada Lampiran xx

7. Standing orders
Standing orders adalah suatu set instruksi dokter kepada perawat
atau profesional kesehatan lain untuk melaksanakan tugas pada
saat dokter tidak ada di tempat. Standing orders dapat diberikan
oleh dokter pada pasien tertentu, atau secara umum dengan
persetujuan komite Kedokteran. Contoh: perawatan pascabedah
tertentu, pemberian antipiretik untuk demam, pemberian antikejang
per rektal untuk pasien kejang, defibrilasi untuk aritmia tertentu.
Contoh standing order dapat dilihat pada Lampiran XX

C. BAGAIMANA DOKTER
MENERAPKAN
STANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN
1. PPK harus diterapkan pada pasien secara
individual
Panduan Pelayanan Kedokteran (termasuk turunan-turunannya:
clinical pathway, algoritme, protokol, prosedur, standing orders)

17

merupakan panduan yang harus diterapkan sesuai dengan keadaan


pasien. Oleh karenanya dikatakan bahwa semua PPK bersifat
rekomendasi atau advis. Apa yang tertulis dalam PPK tidak
harus diterapkan pada semua pasien tanpa kecuali.
Berikut

alasan

mengapa

PPK

harus

diterapkan

dengan

memperhatikan kondisi pasien secara individual.


1 PPK dibuat untuk average patients. Ambil contoh pasien
dengan demam tifoid; ada orang yang sakit demam tifoid
namun masih bekerja seperti biasa, di sisi lain ada pasien
demam tifoid berat yang hampir meninggal. PPK dibuat bukan
untuk kedua ekstrem tersebut, melainkan untuk pasien ratarata demam tifoid: demam 5 hari atau lebih, lidah kotor, tidak
mau makan minum, mengigau, dan seterusnya.
2 PPK dibuat untuk penyakit atau kondisi kesehatan
tunggal. Kembali pada pasien demam tifoid. Pada PPK
demam tifoid seolah-olah pasien tersebut hanya menderita
demam tifoid; dia tidak menderita hipertensi, tidak ada asma,
tidak obes atau malnutrisi, tidak alergi kloramfenikol, dan
seterusnya. Padahal dalam praktik seorang pasien datang
dengan keluhan utama yang sesuai dengan demam tifoid,
namun

mungkin

kloramfenikol,

ia

juga

hipertensi

menderita

dan

diabetes,

sebagainya.

Contoh

alergi
lain,

seorang yang menderita kardiomiopati obstruktif menurut PPK


harus diberikan propranolol; namun bila ternyata ia menderita
asma berat, maka propranolol tidak boleh diberikan. Demikian
pula pasien gonore yang harusnya diberikan penisilin namun
tidak boleh diberikan karena ia alergi penisilin. Atau seorang
anak yang menderita diare berdarah; menurut PPK misalnya
harus diberikan ko-trimoksazol sebagai obat awal; namun bila
ia menderita penyakit jantung bawaan biru dan memperoleh
warfarin maka ko-trimoksasol tidak dapat diberikan.
3 Respons pasien terhadap prosedur diagnostik dan

18

terapeutik sangat bervariasi. Ada pasien yang disuntik


penisilin jutaan unit tidak apa-apa, namun ada pasien lain
yang

baru

disuntik

beberapa

unit

sudah

kolaps

atau

manifestasi anafilaksis lain. Hal yang sama juga terjadi pada


prosedur diagnostik, misal penggunaan zat kontras untuk
pemeriksaan pencitraan.
4 PPK

dianggap

valid

pada

saat

dicetak.

Kemajuan

teknologi kesehatan berlangsung amat cepat. Bila suatu obat


yang semula dianggap efektif dan aman, namun setahun
kemudian terbukti memiliki efek samping yang jarang namun
fatal, misalnya disritmia berat, maka obat tersebuit tidak
boleh diberikan. Di lain sisi, bila ada obat lain yang lebih
efektif, tersedia, dapat dijangkau, lebih aman, lebih sedikit
efek sampingnya, maka obat tersebut harus diberikan sebagai
pengganti obat yang ada dalam PPK.
5 Praktik

kedokteran

modern

mengharuskan

kita

mengakomodasi apa yang dikehendaki oleh keluarga


dan

pasien.

practice,

Sesuai dengan paradigma

yakni

dalam

tata

laksana

evidence-based

pasien

diperlukan

kompetensi dokter, bukti ilmiah mutakhir, serta preferensi


pasien (dan keluarga), maka clinical decision making process
harus menyertakan persetujuan pasien. Bila menurut ilmu
kedokteran ada obat atau prosedur yang sebaiknya diberikan,
namun pasien atau keluarganya tidak setuju, maka dokter
harus mematuhi kehendak pasien.
Orang yang paling berwenang menilai secara komprehensif keadaan
pasien adalah dokter yang bertugas merawat. Dialah yang akhirnya
menentukan untuk memberikan atau tidak memberikan obat atau
prosedur sesuai dengan PPK. Dalam hal ia tidak melaksanakan apa
yang ada dalam PPK, maka ia harus menuliskan alasannya dengan
jelas

dalam

rekam

Kedokteran,

dan

ia

harus

siap

untuk

mempertanggungjawabkannya. Bila ini tidak dilakukan maka dokter

19

tersebut dianggap lalai melakukan kewajibannya kepada pasien.

2. Disclaimer (penyangkalan, wewanti)


Sejalan dengan uraian dalam butir 1 di atas, maka dalam setiap
dokumen tertulis PPK serta perangkat implementasinya mutlak
harus dituliskan disclaimer (wewanti, penyangkalan). Hal ini amat
diperlukan untuk: (1) menghilangkan kesalahpahaman atau salah
persepsi tentang arti kata standar, yang bagi sebagian orang
dimaknai sebagai sesuatu yang harus dilakukan tanpa kecuali; (2)
menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan
wewenangnya sebagai orang yang dipercaya oleh pasien untuk
memberikan pertolongan Kedokteran.
Dalam disclaimer (yang harus dicantumkan pada setiap dokumen
PPK) harus tercakup butir-butir yang telah dikemukakan di atas,
sebagai berikut:
1 PPK dibuat untuk average patients
2 PPK dibuat untuk penyakit / kondisi patologis tunggal
3 Reaksi individual terhadap prosedur diagnosis dan terapi
bervariasi
4 PPK dianggap valid pada saat dicetak
5 Praktik

kedokteran

modern

harus

lebih

mengakomodasi

preferensi pasien dan keluarganya


Dapat pula ditambahkan beberapa hal yang lazim dilakukan di
rumah-rumah sakit besar di luar negeri, seperti:
1. PPK dimaksudkan untuk tata laksana pasien sehingga tidak
berisi

informasi

lengkap

tentang

penyakit

atau

kondisi

kesehatan tertentu
2. PPK bukan merupakan hal terbaik untuk semua pasien
3. Dokter yang memeriksa harus melakukan konsultasi bila
merasa tidak menguasai atau ragu dalam menegakkan
20

diagnosis dan memberikan terapi


4. Penyusun PPK tidak bertanggung jawab atas hasil apa pun
yang terjadi akibat penggunaan PPK dalam tata laksana
pasien.

3. Revisi PPK
PPK

merupakan

panduan

terkini

untuk

tata

laksana

pasien,

karenanya harus selalu mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi


kedokteran. Untuk itu PPK secara periodik perlu dilakukan revisi,
biasanya setiap 2 tahun. Idealnya meskipun tidak ada perbaikan
dalam sebagian besar PPK yang ada, peninjauan tetap harus
dilakukan setiap 2 tahun. Masukan untuk revisi diperoleh dari PNPK
yang baru (bila ada), pustaka mutakhir, serta pemantauan rutin
apakah PPK selama ini dapat dan sudah dikerjakan dengan baik.
Proses formal audit klinis dapat merupakan sumber yang berharga
untuk revisi PPK; namun bila audit klinis belum dilaksanakan,
pemantauan rutin merupakan sumber yang penting pula.
Untuk menghemat anggaran, di rumah-rumah sakit yang sudah
mempunyai intranet, PPK dan panduan lain dapat di-upload yang
dapat diakses setiap saat oleh para dokter dan profesional lainnya,
dan bila perlu dicetak.

KAMUS ISTILAH
Administrasi kebijakan: Suatu pernyataan yang ditulis oleh
manajemen lembaga yang dirancang untuk memengaruhi dan
menentukan

keputusan

dan

tindakan.

Algoritme: manajemen pasien yang direkomendasikan, dirancang


untuk mengarahkan keputusan yang akan diambil, seperti flowchart
yang terstruktur, decision tree, ataupun decision grid. Algoritme
21

digunakan pada kasus yang membutuhkan keputusan cepat, seperti


bagian gawat darurat.
Clinical

pathway

perawatan

pasien

(alur

klinis):

yang

Sebuah

mengatur,

alat

manajemen

mengurutkan,

dan

menggabungkan intervensi yang dilakukan oleh perawat, dokter,


dan lain-lain, untuk jenis kasus tertentu (misalnya, persalinan
normal), subset (misalnya, histerektomi), atau kondisi kondisi
tertentu seperti, kegagalan untuk menyapih. Sinonim: critical path,
care map.
Pedoman nasional pelayanan Kedokteran (PNPK)
Panduan

pelayanan

Kedokteran,

(Clinical

practice

guidelines, Panduan praktik klinis): Satu kumpulan laporan


yang sistematis yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific
evidence), untuk membantu dokter dan pembuat keputusan klinis
tentang tata laksana penyakit atau kondisi klinis yang spesifik.
Sinonim: practice guidelines, guidelines, practice parameters
Input: Sumber daya yang dibutuhkan oleh sebuah organisasi untuk
memberikan

suatu

pelayanan.

Input

yang

diperlukan

dalam

perawatan kesehatan antara lain keuangan, struktur fisik seperti


bangunan, perlengkapan dan peralatan, personil, dan banyak lagi.
Sinonim: struktur.
Uraian pekerjaan: Sebuah dokumen yang menjelaskan peran dan
tanggung jawab posisi pada tertentu akan tujuan tujuan dan
kualifikasi yang diperlukan untuk posisi tersebut.
Outcome: Efek dari kinerja dari satu atau lebih proses atau
kegiatan yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan.
Prosedur: Langkah demi langkah instruksi tentang cara melakukan
tugas berdasarkan teknis dan teoritis pengetahuan.
Proses: Serangkaian kegiatan dan tugas yang menggunakan input
untuk menghasilkan suatu produk atau hasil yang diinginkan.

22

Protokol: Rencana, atau serangkaian langkah, yang harus diikuti


dalam studi, investigasi, atau intervensi, seperti dalam pengelolaan
kondisi pasien tertentu (misalnya, perawatan seorang pasien
dengan diare).
Kualifikasi: Karakteristik seperti pendidikan, latar belakang, dan
pengalaman bahwa seseorang mampu mengemban posisi atau
tugas tertentu.
Aturan dan peraturan: satu kumpulan dari pernyataan atau
pengarahan yang menentukan keputusan dan tindakan yang selalu
harus

diikuti.

Biasanya

disertakan

sanksi

bagi

yang

tidak

melaksanakannya.
Spesifikasi: suatu pernyataan eksplisit tentang karateristik yang
dibutuhkan pada suatu sistim pelayanan kesehatan. Kebutuhannya
biasanya melingkupi supply, peralatan, dan struktur fisik yang
digunakan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan.
Standar: pernyataan eksplisit dari suatu kualitas yang diharapkan.
Standard

operating

procedures

(Prosedur

Operasional

Standar): suatu langkah kronologis untuk diikuti, dan keputusankeputusan untuk menjalankan tugas atau fungsi. Sinonim: prosedur
manajemen.
Standing orders: suatu set instruksi dokter yang ditujukan kepada
perawat

atau

profesional

kesehatan

lain

untuk

memberikan

intervensi kepada pasien selama dokter tidak ada di tempat.


Contoh: pasien dengan demam tinggi berikan parasetamol, anak
dengan kejang berikan diazepam rektal.

23

Lampiran 1
Contoh Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran
Catatan: Clinical Practice Guidelines yang bersifat nasional dibuat
oleh organisasi profesi tanpa pengesahan Pemerintah (model
Amerika) dan yang dikoordinasikan atau disahkan oleh Pemerintah
(model

Inggris).

Mengingat

panjangnya

dokumen-dokumen

tersebut, untuk melihat isi lengkapnya dapat diakses melalui alamat


internet yang disertakan.
American Association of Clincal Endocrinologists. Medical Guideline
for Clinical Practice for the Management of Diabetes Mellitus. 67
halaman, ratusan rujukan (dibuat terpisah per topik bahasan).
http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/DMGuidelines2007.pdf
American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline:
Diagnosis and Evaluation of the Child With AttentionDeficit/Hyperactivity Disorder. 13 halaman, 60 rujukan.
http://aappolicy.aappublications.org/cgi/reprint/pediatrics;105/5/115
8.pdf
Guideline for Alzheimers Disease Management. Final Report 2008.
Supported by the State of California, Department of Public Health.
California Version April 2008. 57 halaman plus apendiks, total 122
halaman, lebih dari 300 rujukan.
http://www.caalz.org/PDF_files/Guideline-FullReport-CA.pdf
ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adults With
Congenital Heart Disease: Executive Summary. 49 halaman, 202
rujukan. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/118/23/2395
[Dokumen lengkap edisi sebelumnya: Americal College of
Cardiology / American Heart Association (2002): Guideline update
for the management of chronic stable angina. 136 halaman, 1053
rujukan]

24

MOH Malaysia. CLINICAL PRACTICE GUIDELINES MANAGEMENT OF


DENGUE FEVER IN CHILDREN, 2005. 22 halaman, 33 rujukan.
http://www.acadmed.org.my
Malaysian Society of Neurosciences, Academy of Medicine Malaysia,
Ministry of Health Malaysia. Clinical practice guidline. Management
of stroke. 37 halaman, 150 rujukan.
http://www.acadmed.org.my
Singapore MOH Clinical Prctice Guideline 2004. Management of
atrial fibrillation. 70 halaman total, 83 rujukan.
http://www.moh.gov.sg/cpg
Indeks untuk pelbagai jenis CPG di Malaysia dapat diakses melalui
http://www.acadmed.org.my/index.cfm?&menuid=67

Lampiran 2
Contoh Panduan Pelayanan Kedokteran
Panduan Pelayanan Kedokteran (PPK) dibuat untuk setiap rumah
sakit / fasilitas pelayanan kesehatan, dengan mengacu pada
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) atau pustaka
mutakhir dan dengan menyesuaikan dengan kondisi setempat. PPK
dibuat oleh Staf Kedokteran setiap departemen / divisi di bawah
koordinasi Komite Kedokteran, dan baru dapat dilaksanakan setelah
diresmikan oleh Direksi.
Format PPK dapat sangat bervariasi. PPK dapat dibuat atas dasar
penyakit

(stroke,

demam

tifoid),

atau

masalah

(perdarahan,

penurunan kesadaran), atau compuran keduanya. Urutan topik


dapat berdasarkan departemen / divisi atau menurut abjad. Di
rumah sakit besar PPK perlu dibuat per departemen. Berikut dua
contoh dari Departemen Kedokteran dan 2 dari departemen bedah.

25

PPK: Demam tifoid pada anak


Batasan dan uraian umum
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan
oleh infeksi sistemik Salmonella; 96% kasus demam tifoid disebabkan S.
typhi, sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Sembilan puluh persen kasus
demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah
umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis
diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.

Patogenesis
Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung
kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus
sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kuman ikut
aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakteremia primer)
mencapai jaringan RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi).
Setelah mengalami bakteriemi kedua, kuman mencapai sirkulasi
darah untuk menyerang organ lain (intra dan ekstra-intestinal). Masa
inkubasi adalah 10-14 hari.

Manifestasi klinis
Anamnesis
Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi
akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi.
sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala,
perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam
berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.

pada
Anak
nyeri
tifoid

26

Pemeriksaan fisis
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah
tifoid, yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis,
meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali.
Kadang dapat terdengar ronki pada pemeriksaan paru.

Pemeriksaan laboratorium
Darah tepi
Anemia, pada umumnya terjadi karena karena supresi sumsum
tulang, defisiensi besi, atau perdarahan usus.
Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul
Limfositosis relatif
Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat

Pemeriksaan serologi
Serologi Widal: kenaikan titer S. typhi titer O 1:200 atau kenaikan
4 kali titer fase akut ke fase konvalesens.
Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
Biakan Salmonela
Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit
Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
Pemeriksaan radiologis
Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
Foto abdomen, digunakan apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna.
Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air
-fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas
pada abdomen.

Penyulit
Perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu menurun,
nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus
menurun sampai menghilang, defence musculaire positif, pekak hati
hilang
Ekstraintestinal: ensefalopati tifoid, hepatitis tifosa, meningitis,
pneumonia, syok septik, pielonefritis, endokarditis, osteomielitis, dll.

Diagnosis banding

27

Stadium dini: influenza, gastroenteritis, bronkitis, bronkopneumonia,


Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, malaria.
Demam tifoid berat: sepsis, leukemia, limfoma.

Tata laksana
Medikamentosa
Antipiretik bila suhu tubuh >38,5C. Kortikosteroid dianjurkan
pada demam tifoid berat.
Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan)
1. Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari, oral atau
IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10 14 hari, tidak dianjurkan
pada leukosit <2000/l , dosis maksimal 2g/hari atau
2. Amoksisilin 150-200 mg/kg/hari, oral atau IV selama 14 hari
3. Seftriakson 20-80 mg/kg/hari selama 5-10 hari

Tindakan bedah
Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus.
Konsultasi Bedah Anak bila dicurigai komplikasi perforasi usus.

Pencegahan dan pendidikan


Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro-fekal, maka
pencegahan
utama
memutuskan
rantai
tersebut
dengan
meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci
tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan
pembuangan limbah feses.
Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien
demam tifoid, terjadi kejadian luar biasa, dan untuk turis yang
bepergian ke daerah endemik.
4. Vaksin polisakarida (capsular Vi polysaccharide), pada usia 2
tahun atau lebih diberikan secara intramuskular dan diulang
setiap 3 tahun.
5. Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia >6 tahun
dengan interval selang sehari (hari 1, 3, dan 5), ulangan
setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di Indonesia,
terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke
daerah endemik.

Daftar pustaka
1.

Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric
infectious diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004.

2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric
infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.

28

3.

Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugmans infectious disease of children.
11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004.

4. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB


Saunders: Philadelphia; 2002.

PPK: Hipoglikemia
Batasan dan Uraian
Kadar glukosa darah < 60 mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dL
dengan gejala klinis.
Hipoglikemia pada DM terjadi karena:

Kelebihan obat / dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik


oral.
Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik,
pasca persalinan.

29

Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak
tepat.
Kegiatan jasmani berlebihan.

Diagnosis
Gejala dan tanda klinis :

Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun


Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan
menghitung sementara.
Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan
gemetar
Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang

Anamnesis:

Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis


terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis.
Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi.
Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya.
Lama menderita DM, komplikasi DM.
Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.
Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik , dll.

Pemeriksaan fisik:

Pucat, diaphoresis,
Tekanan darah
Frekuensi denyut jantung
Penurunan kesadaran
Defisit neurologik fokal transien

Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum:


1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma rendah
Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
Diagnosis banding
Hipoglikemia karena

Obat:
(sering): insulin, sulfonilurea, alkohol,
(kadang): kinin, pentamidine
(jarang): salisilat, sulfonamid
Hiperinsulinisme endogen:
Insulinoma
Kelainan sel jenis lain
Sekretagogue: sulfonilurea

30

Autoimun
Sekresi insulin ektopik
Penyakit kritis:
Gagal hati
Gagal ginjal
Gagal jantung
Sepsis
Starvasi dan inanisi
Defisiensi endokrin:
Kortisol, growth hormone
Glukagon, epinefrin
Tumor non-sel :
Sarkoma
Tumor adrenokortikal, hepatoma
Leukemia, limfoma, melanoma
Pasca-prandial:
Reaktif (setelah operasi gaster)
Diinduksi alkohol

Pemeriksaan penunjang

Tes fungsi ginjal.


Tes fungsi hati.
C-peptide

Stadium permulaan (sadar )

Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula


murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes)
dan makanan yang mengandung karbohidrat
Stop obat hipoglikemik sementara,
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab

Stadium lanjut
hipoglikemia):

(koma

hipoglikemia

atau

tidak

sadar

curiga

6. Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (= 50 mL) bolus


intra vena,
7. Diberikan cairan Dekstrosa 10 % per infus, 6 jam per kolf,
8. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer:
Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
9. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 %:
Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
Bila GDs 100 - 200 mg/dL tanpa bolus Dekstrosa 40 %

31

Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan menurunkan kecepatan


drip Dekstrosa 10 %
10.
Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan
GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200
mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau
NaCl 0,9 %.
11.
Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan
GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200
mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau
NaCl 0,9 %.
12.
Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale
setiap 6 jam:
GD

RI

(mg/dL)
< 200

(Unit, subkutan)
0

200 250

250 300

10

300 350

15

> 350

20

Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian


antagonis insulin, seperti: adrenalin, kortison dosis tinggi, atau
glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya insulin)
Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dL: Hidrokortison 100 mg per
4 jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg
tiap 6 jam dan Manitol 1,5 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Dicari penyebab
lain kesadaran menurun

Komplikasi
Daftar Pustaka
1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2002.
2. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Melitus. Dalam Prosiding Simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 1516 April 2000:83-8.
3. Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principles of Internal Medicine.15th ed.
New York: McGraw-Hill, 2001:2138-43.

32

PPK: Luka Bakar


Kriteria diagnosis
Kerusakan kulit akibat trauma, panas, listrik, kimia, radiasi.
1. Derajat kedalaman
I : kerusakan hanya mengenai epidermis.
II : kerusakan sampai sebagian dermis.
III : kerusakan seluruh dermis atau lebih dalam.
2. Luas luka bakar dalam % dari luas permukaan tubuh
3. Lokasi luka bakar.

Konsultasi
Disiplin ilmu lain sesuai dengan penyakit yang menyertai atau
komplikasi yang timbul.

Perawatan RS
Rawat inap diberlakukan untuk luka derajat II atau III:
- Luka bakar derajat II seluas >10 % pada anak-anak, >15 % pada
dewasa.
- Derajat III > 2 %.
- Luka bakar disertai trauma berat lain, trauma inhalasi.
- Luka bakar listrik.
- Luka bakar mengenai wajah, tangan, kaki, kemaluan, perineum.

Terapi
Didahulukan penanggulangan terhadap gangguan jalan napas dan
sirkulasi.
Perkiraan jumlah cairan dengan menggunakan rumus Baxter: Hari I
diperkirakan memerlukan:
(berat badan dalam kg x % luas luka bakar x 4) cc ringer laktat.

Terapi pada luka:

- Derajat II, obat topikal untuk luka.


- Derajat III, obat topikal yang dapat menembus skar
(silversulfadiazin).
Antibiotik bila luka kotor.
Toksoid tetanus 1 cc setiap 2 minggu, 3 x berturut-turut. ATS
diberikan pada semua yang belum pernah mendapat toksoid.
Sukralfat sebagai protektor mukosa lambung pada luka bakar luas.
Dipuasakan sementara bila ada gangguan saluran cerna.

33

Diberikan nutrisi enteral dini (sedapatnya dalam 8 jam pertama


pasca cedera); diperlukan asupan kalori dan protein tinggi.
Fisioterapi.
Untuk trauma karena bahan kimia, perlu dibilas secara tuntas dengan
air.
Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang kulit yang mati
(skar). Jika mungkin dilanjutkan dengan skin graft (SISG).
Pembedahan ini dapat dilakukan setelah diyakini sirkulasi stabil.

Penyulit
Gangguan saluran napas.

Gangguan sirkulasi bila berlanjut dapat menyebabkan kegagalan

organ multipel.
Kelebihan atau kekurangan cairan maupun elektrolit.
Infeksi pada kulit, saluran napas, saluran kemih.
Ulkus stres.
Parut hipertrofi dan kontraktur, untuk jangka panjang.
Deformitas penampilan yang hebat.
SIRS (systemic inflammatory response syndrome).

Informed consent
Perlu tertulis (derajat luka nakar, persentase luka bakar dari total luas
permukaan tubuh, area tubuh yang terkena, penyebab).
Bila dilakukan tindakan debridemen/pembersihan luka bakar atau
penutupan luka kulit untuk penyelamatan atau perbaikan kondisi
dengan
risiko
kegagalan
umum
atau
kegagalan
penutupan/penambalan skin graft

Standar tenaga
Dokter Umum untuk luka bakar ringan.
Dokter Spesialis Bedah yang berkecimpung pada luka bakar berat.
ParaKedokteran yang berkecimpung pada perawatan luka bakar.
Dokter spesilais bedah plastik.

Lama perawatan
Sangat dipengaruhi oleh kedalaman dan luas luka. Dirawat sampai
luka lebih kecil

dari indikasi perawatan.

Masa pemulihan
Sangat bervariasi, mungkin 2 tahun atau lebih bergantung pada
parut yang terjadi.

Luaran
Sembuh dengan kecacatan warna kulit saja sampai kecacatan berat,
tidak dapat menggerakkan sendi.
Kematian.

Autopsi/risalah rapat
34

Mungkin diperlukan bila terjadi kematian. Luas dan beratnya luka


bakar dapat menjadi penyebab langsung kematian. Penyebab lain
beragntung pada kegagalan fungsi organ yang ditemukan.

PPK: Mola hidatidosa


Batasan dan uraian umum
Definisi.
Suatu kelainan berupa proliferasi sel tropoblas kehamilan yang abnormal.
Patologi
Dapat berupa mola hidatidosa komplit atau parsial. Mola Hidatidosa
komplet mempunyai kariotipe 46,XX yang semua berasal dari paternal.
Secara klinik tidak dijumpai embrio atau fetus kecuali pada kehamilan
ganda. Secara mikoskopis dijumpai degenerasi hidropik villi chorialis dan
hyperplasia sel tropoblas yang difus.
Pada mola hidatidosa partial terdapat jaringan embrio atau fetal,
degenerasi hidopik villi dan hiperplasia bersifat fokal dengan ukuran
bervariasi.

Epidemiologi
10-20% dari kehamilan

Manifestasi klinis
Berdasarkan gejala klinik seperti pada tabel diatas.
Gambaran sarang tawon pada ultra sonografi menunjukkan mola
hidatidosa komplit, sedang pada mola parsial akan dijumpai gambaran
multikistik pada plasenta.Pada mola komplit umumnya dijumpai kista
lutein yang menetap. Keluarnya gelembung mola dari ostium.

35

Diagnosis Diferensial

Gejala klinik

Mola komplit

Mola parsial

N=307 (%)

N=83 (%)

Perdarahan pervaginam

97

73

Pembesaran uterus yang cepat

51

Kista lutein yang menetap

50

Toxemia

27

Hiperemesis

26

Hipertiroid

Emboli sel tropoblast

Kriteria diagnosis
Berdasarkan gejala klinik seperti pada tabel diatas.
Gambaran sarang tawon pada ultra sonografi menunjukkan mola
hidatidosa komplit, sedang pada mola parsial akan dijumpai gambaran
multikistik pada plasenta.Pada mola komplit umumnya dijumpai kista
lutein yang menetap. Keluarnya gelembung mola dari ostium.

Diagnosis Diferensial
Hamil biasa, Mioma dengan kehamilan

Pemeriksaan penunjang
Beta hCG serum
Thorak photo
T3, T4 dan TSH bila terdapat gejala hipertiroid

Terapi
Kuret hisap
Kuret manual dengan sendok kuret. (Selama tindakan kuret diberikan
oxytocin drip).

Penyulit

36

Pemulihan tergantung beberapa factor antara lain factor keadaan umum


pasien, factor pilihan pengobatan, factor stadium penyakit, factor adanya
penyulit infeksi, factor penyembuhan luka.

Informed consent
Penjelasan tentang stadium penyakit, rencana terapi, hasil pengobatan
dan kemungkinan komplikasi pengobatan.

Lama perawatan
Lama perawatan tergantung beberapa factor antara lain factor keadaan
umum pasien, factor pilihan pengobatan, factor stadium penyakit, factor
adanya penyulit infeksi, factor penyembuhan luka.
Pemulihan tergantung beberapa factor antara lain factor keadaan umum
pasien, factor pilihan pengobatan, factor stadium penyakit, factor adanya
penyulit infeksi, factor penyembuhan luka.

Out put
Sembuh dengan beta hCG normal

Patologi anatomi
Pemeriksaan histologi hasil kuretase

Indikator

Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan beta hCG serum setiap dua minggu sampai 3 kali hasil
pemeriksaan yang normal dan setiap bulan sampai 6 bulan
berikutnya

Daftar pustaka

1. Berkowitz RS, Goldstein DP in: Berek JS, Hacker NF. Practical

Gynecologic Oncology. Williams&Wilkins 3rd ed. Baltimore 2002;


457-80.
2. Benedet JL, Nga HYS, Hacker NF. Staging classifications and clinical
practice guidelines of gynecologic cancer. FIGO committee on
Gynecologic Oncology and IGCS Guidelines Committee. 2 nd Ed.
Elsevier, 2003: 122-4

37

Lampiran 3
Contoh Clinical Pathway

38

39

Lampiran 4
Contoh Protokol

Uji tempel pada dermatitis kontak


Indikasi
-

dermatitis kontak alergi (pembuktian dan mencari etiologi)


dermatitis kontak iritan dengan DD/DKA
dermatitis kronis yang belum diketahui penyebabnya

Persiapan
-

lesi kulit dalam keadaan tidak aktif

40

sebaiknya dilakukan setelah 2 minggu lesi tenang


tidak mengkonsumsi imunosupresan atau kortikosteroid sistemik
(prednison > 10mg) minimal selama 3 hari sebelum uji atau sesuai
waktu paruh obat
dapat digunakan alergen standar (Eropa) atau non-standar dengan
pengenceran dan vehikulum yang sesuai

Pelaksanaan
-

bahan uji tempel diisikan pada unit uji tempel


Uji tempel dilaksanakan dengan posisi pasien dalam keadaan duduk
atau tidur
Pasien diminta untuk membuka pakainan sehingga daerah
punggung atau lengan atas bagian lateral dapat terlihat
Dilakukan pembersihan lokasi uji dengan kapas alkohol 70%
Unit uji tempel yang telah diisi, ditempelkan pada lokasi uji dan
ditambahkan plester hipoalergenik di luarnya ( untuk fiksasi )
Unit uji tempel dibiarkan menempel selama 48 jam. Untuk
menghindari terlepasnya unit uji tempel, selama waktu tersebut
lokasi uji tidak boleh basah dan pasien dianjurkan untuk membatasi
aktivitasnya
Setelah 28 jam unit dibuka, diberi tanda dengan larutan gentian
violet
Setelah ditunggu 15-30 menit untuk menghilangkan efek tekanan,
hasil uji tempel dibaca sesuai metode ICDRG yaitu :
?
ertema
+

eritema, infiltrat, papul

++

eritema, infiltrat, papul, vesikel

+++ eritema, infiltrat, papul, vesikel berkonfluesi


atau bula

negatif

IR

reaksi iritan

NT

tidak dilakukan uji

Pasien diizinkan pulang namun lokasi uji tetap dianjurkan untuk


tidak basah / kena air
Pada hari ke-3 (72 jam) dan hari ke-4 (96 jam) dilakukan pembacaan
ulang dengan cara yang sama
Dari hasil pembacaan disimpulkan reaksi yang timbul bersifat
alergik atau iritan
Hasil uji tempel yang positif bermakna (minimal +) dinilai
relevansinya melalui anamnesis dan gambaran klinis. Hasil dengan
relevansi positif ditetapkan sebagai penyebab kelainan kulit saat ini
Pasien diberi catatan tentang hasil uji tempel yang positif bermakna
(+,++,+++) dan daftar benda yang mengandung zat tersebut
Hasil uji tempel yang positif bermakna namun relevansi negatif
tetap dianjurkan untuk dihindari.

41

Daftar pustaka
1. Lachapelle JM, Maibach HI. The methodology of patch testing. In:
Lachapelle JM, Maibach HI ed. Patch testing / Prick testing a practical guide.
Berlin: Springer-Verlag 2003: 27-66
2. Wahlberg LE, Elsner P, Kanerva L, Maibach HI. Management of positive
patch test reactions. Berlin: Springer-Verlag 2003.

Lampiran 5
Contoh Prosedur

Pemasangan sonde lambung


42

Indikasi
o Pemberian makanan enternal pada:
a. Pasien dengan refleks isap/telan yang tidak baik, misalnya
bayi prematur atau pasien kelainan neurologis
b. Pasien-pasien yang tidak dapat makan peroral
o Pemberian obat-obatan secara langsung
o Pemeriksaan analisis getah lambung (biokimia, kultur)
o Dekompresi dan pengososngan lambung
Kontraindikasi
o Pasca-esofagoplatis
o Perforasi esophagus
Alat yang dibutuhkan
o Alat pengisap listrik/manual
o Sonde lambung (feeding tube): untuk bayi ukuran 5 Fr-8 Fr,
untuk anak ukuran 9 Fr-12 Fr
o Plester, pinset
o Air steril atau NaCL 0,9%
o Semprit 5 ml dan 20 m
o Stetoskop
o Monitor jantung (bila ada)
Cara
o Pasien ditidurkan telentang dengan kepala lebih tinggi
o Lubang hidung dan orafaring dibersihkan dengan pengisap
secara hati-hati
o Panjang bagian sonde lambung yanga akan dimasukkan
diperkirakan dengan jalan mengukur jarak dari lobang hidung
ke orofaring terus ke esophagus, sampai batas plester barada
di lobang hidung
o Sambil memasukkan sonde, denyut jantung dipantau (awas
bradikardia)
o Semprit dipasang pada pangkal sonde
Bila diisap, cairan lambung akan mengalir keluar, ini
ditampung sesuai dengan kebutuhan
Bila sonde lambung akan dipergunakan untuk
pemberian makanan atau obat. Diperiksa sekali lagi
apakah ujung sonde tersebut betul berada di lambung
(bukan di paru) yaitu dengan memasukkan udara
melalui semprit 5-10 ml dan didengarkan di daerah
lambung dengan stetoskop
Bila sonde lambung akan dipergunakan untuk
dekompresi udara maka pangkal sonde dimasukkan ke
dalam bejana berisis air steril atau air bersih
Sonde difiksasi dengan plester
Catatan

43

o Pada anak/bayi dengan distress pernapasan sebaiknya sonde


lambung dimasukkan melalui mulut. Caranya sama hanya
sambil mendorong perlahan-lahan anak dimintakan untuk
melakukan gerakan menelan.
o Bila terdapat tahanan sewaktu pemasukan sonde, hendaknya
jangan terus dipaksakan (bahaya perforasi).

44

Lampiran 6
Contoh Algoritme

45

Lampiran 7
Contoh Standing order

46

You might also like