You are on page 1of 18

STEP 7

1. jelaskan anatomi, fisiologi pada hidung?


ANATOMI

Anatomi hidung luar


- Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam.
- Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan
bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian
yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di
bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang
mudah digerakkan.
- Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya
dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4) ala nasi,5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
- Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ;
sedangkan
-kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor
dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
Anatomi hidung dalam
Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh
septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan
konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media
dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007;
Hilger PA,1997)

FISIOLOGI:
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional,
maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :
1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal
2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu
3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang
4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas
5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
FISIOLOGI HIDUNG
Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius,
alat penghidu dan rongga-suara untuk berbicara.
Dalam sistem pernapasan
o Inspirasi :
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).
Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar
minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera).
Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat
saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal

yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara.


Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang
berfungsi menghangatkan udara yang masuk.
o Ekspirasi :
udara dari koana akan naik setinggi konka media selanjutnya di depan
memecah sebagian ke nares anterior dan sebagian kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring
o Untuk mekanisme pernapasan dapat di baca disini
Resonansi suara
Sumbatan hidung menyebabkan rinolalia (suara sengau) dan Membantu
proses bicara dimana konsonan nasal (m, n, ng) sehingga rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara
Refleks nasal
Pada mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhubungan dengan sal
cerna, kardiovaskuler, pernafasan : mis : iritasi mukosa hidung
menyebabkan bersin dan nafas berhenti, bau tertentu menyebabkan
sekresi kel liur, lambung dan pankreas.
Rangsang Bau (pada makanan Sekresi Liur)
Cephalica
Gastrica
Intestinal
Nafas berhenti saat menelan
Bersin
Refleks Bersin

Mekanisme penciuman
Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel-

sel pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau


atau saraf kranial (nervus alfaktorius), yang selanjutnya akan
bergabung membentuk serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin
dengan serabut-serabut otak (bulbus olfaktorius).
Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara
inspirasi mencapai reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir
hidung, sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada
dendrit.

Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu

akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak


(olfaktori).
Saraf otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke
rongga hidung kemudian bersinaps dengan neuron-neuron tractus
olfactorius dan impuls dijalarkan ke daerah pembau primer pada korteks
otak untuk diinterpretasikan.

Fisiologi sinus paranasal

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal


antara lain adalah :
1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini
ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus
dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000
volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa
jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus
tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa
hidung. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di
antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E.,
Soetjipto D. 2007)
3) Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya
akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. (Mangunkusumo E.,
Soetjipto D. 2007)
4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat ,
posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi
suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
6) Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
*apa saja refleks pada hidung?

2. mengapa anak sering mimisan tanpa sebab yang pasti? (patofisiologi


mimisan)

Etiologi

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.


1) penyebab local :
Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan
berulang pada anak dan remaja.
Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya
mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau
sebagai akibat trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh,
kecelakaan lalu lintas.
Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang,
zat kimia, udara panas pada mukosa hidung.
Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi,
tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan
unilateral disertai ingus yang berbau busuk.
Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta
vestibulitis.
Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus
paranasal maupun nasofaring.
Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung
steroid jangka lama.
2) penyebab sistemik :
Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh
darah, seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis,
sirosis hepatic, sifilis dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat
terjadi akibat peninggian tekanan vena seperti pada emfisema,
bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung.
Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat anti
koagulan (aspirin, walfarin, dll).
Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza,
morbili, demam tifoid.
Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.
Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis
adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit OslerWeber-Rendu.

Patofisiologi
Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada
epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang
paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan
anastomosis cabang arteri ethmoidakis anterior, arteri sfeno-palatina,
arteri palatine ascendens dan arteri labialis superior.
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan
arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien
usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit
kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.

Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya


dapat timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard,
sehingga dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse
dan tranfusi darah harus cepat dilakukan.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum
penderita, sehingga pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi
lengkap, fungsi hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal.
Jika diperlukan pemeriksaan radiologik hidung, sinus paranasal dan
nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat diatasi.

Penatalaksanaan
Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis
singkat sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah
perdarahan berhenti untuk membantu menentukan sebab perdarahan.
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu
anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :
1. riwayat perdarahan sebelumnya
2. lokasi perdarahan
3. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke
posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien
duduk tegak
4. lama perdarahan dan frekuensinya
5. kecenderungan perdarahan
6. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. hipertensi
8. diabetes mellitus
9. penyakit hati
10.

gangguan anti koagulan

11.

trauma hidung yang belum lama

12.
obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin).
Tiga
prinsip
utama
dalam menanggulangi epistaksis, yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah
berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum
pasien.
Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum
melakukan usaha mencari sumber perdarahan dan menghentikannya.
Walaupun sudah dihentikan, kemungkinan fatal untuk beberapa jam
kemudian untuk seorang pasien tua yang mengalami perdarahan banyak
akibat efek kehilangan darahnya adalah lebih besar jika dibanding dengan

akibat perdarahan (yang terus berlangsung) itu sendiri. Penilaian klinis


termasuk pengukuran nadi dan tekanan darah akan menunjukkan apakah
pasien berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-tanda syok segera
infuse plasma expander.
Menghentikan perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan
pemasangan tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik
sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya.
Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan
perdarahan hidung harus dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena
turun. Sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan
meletakkan bantal di belakang punggungnya, kecuali sudah dalam
keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang
telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2 %
dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan perdarahan
dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya.
Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah
ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau
posterior.
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan.
Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan
Nitras Argenti 20-30%, atau dengan larutan Asam Trikloroasetat 10%, atau
dapat juga dengan elektrokauter.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka
diperlukan pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa
yang diberi vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian vaselin atau salep
pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari
berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan
melalui nares anterior dan harus dapat menekan tempat asal perdarahan.
Tampon ini dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya
gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat
jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari,
serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan
kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk
menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior, yang disebut tampon Bellocq.
Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus
berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang,
yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus
dapat menutupi koana (nares posterior).
Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan
melalui kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik
keluar melalui mulut. Kedua ujung kateter kemudian dikaitkan masingmasing pada 2 buah benang pada tampon Bellocq, kemudian kateter itu

ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah keluar
melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk,
tampon ini didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak
perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan
tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari
anres anterior itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di
depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak
bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat pada sisi lain dari
tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk
menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat hemostatik
diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.
Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri.
Arteri tersebut antara lain arteri karotis interna, arteri maksilaris interna,
arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan anterior.
Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis
sendiri atau sebagai akibat usaha penanggulangan epistaksis.
Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan
anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemia
serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat
menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infusi atau transfusi
darah harus dilakukan secepatnya.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan
bahkan septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan
pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon
harus dicabut, meskipun akan dipasang tampon baru, bila masih ada
perdarahan.
Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat
mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah
(bloody tears), sebagai akbat mengalirnya darah secara retrograde
melalui duktus nasolakrimalis.
Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan
tampon posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut
terlalu ketat dilakatkan di pipi.
Mencegah epistaksis minor berulang
Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan
perdarahan aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam
beberapa minggu terakhir. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan
yang berulang beberapa kali.
Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya
pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan
sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia
atau listrik. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor,
misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan
lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50%
pada pembuluh tersebut.

Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat


diatasi dengan meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan
jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas
septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan
lokasi tegangan mukosa.
Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang
tidak diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus
paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan
penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari
gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia,
atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak
berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.
(Soetjipto D & Wardani RS,2007)

3. Mengapa hidung anak keluar ingus dan berbau pada sisi kiri sejak 5 hari
yll?
4. bagaimana sistem pertahanan dari hidung untuk melawan benda asing?
5. apa saja yang dinilai rhinoscopy anterior? pemeriksaan hidung lainnya?
6. mengapa dokter memberikan obat pilek tapi setelah habis berbau lagi?
(patofisiologi hidung berbau) jawaban di DD
7. bagaimana pentalaksanaan pada pasien tersebut? (perdarahan dan benda
asing)
jawaban di no 2 & 8
8. DD!
HIDUNG BERBAU (foetor ex nasi)
Definisi
Berarti bau busuk dari dalam hidung, merupakan suatu gejala
(simptom), bukan diagnosis, sering disertai gejala hidung lainnya :

hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, yang kadang-kadang


disertai dengan darah.
Etiologi
Beberapa penyakit yang memberikan gejala foetor ex nasi :
Korpus Alineum
Rinolit
Difteri hidung
Sinusitis
Rinitis Atrofi (Ozaena)
Nasofaringitis kronis
Rinitis Kaseosa
Radang kronis spesifik
Neoplasma maligna
Patogenesis
- Menurut BOIES, Foetor dalam hidung
adanya nekrosis mukosa & adanya organisme saprofit
pus yang kronis & berbau dalam sinus maksilaris mungkin
juga berasal dari gigi
- Menurut BOYD, nekrosis dapat disebabkan oleh :
Berkurangnya aliran darah
Toksin bakteri
Iritasi secara fisik / kimiawi
Sel-sel yg mati mengalami pembusukan oleh organisme
saprofit
- Kesimpulan, foetor ex nasi dpt disebabkan oleh :
1. Pembusukan sel-sel mati (benda-benda organik) / korpus
alineum oleh kuman saprofit
2. Pembusukan sel-sel jaringan yg nekrotik akibat dari :
a. Trauma kerusakan sampai kematian jaringan krn
tdk mendpt suplai darah nekrosis & infeksi
sekunder foetor ex nasi
b. Radang oleh iritasi fisik/kimiawi
c. Toksin bakteri
d. Neoplasma maligna dg bagian-bagian nekrotik
PF & PP
Anamnesis perlu disesuaikan dg pemeriksaan, salah satu px yg
perlu dilakukan adalah : menentukan apakah discharge purulent /
sanguinous, dan apakah discharge sgt banyak (profuse.
Diagnosis
1) Korpus Alineum
o Kebanyakan benda-benda kecil : biji buah, manik-manik,
kancing, karet penghapus, kelereng, kacang polong, batu &
kacang tanah.
o Sering ditemukan pd anak-anak & biasanya unilateral
umumnya ditemukan pd bagian anterior vestibulum/ pd
meatus nasi inferior sepanjang dasar hidung.
o Gejala : obstruksi (unilateral) & sekret yang berbau
2) Rinolit
o Juga dianggap sbg benda asing tipe khusus yg biasanya tdpt
pd org dewasa : berupa garam-garam tak larut dlm sekret

hidung membentuk suatu massa berkapur sebesar benda


asing yg tertahan lama/bekuan darah.
Warna sedikit abu2, agak coklat/hitam kehijau-hijauan

3) Difteri hidung
o Ada 2 tipe :
1. Primer :
- terbatas pd hidung
- bersifat benigna
2. Sekunder :
- berasal/bersama2 dg difteri faring
- bersifat maligna (krn biasanya disertai gejala
konstitusional)
o Discharge biasanya bilateral, sanguionus, srg disertai
ekskoriasi vestibulum nasi
4) Sinusitis
o Dpt terjadi pd
Anak-anak (unilateral/bilateral):
- Discharge banyak & bilateral
- Srg disertai infeksi pd adenoid & alergi hidung
- Gejala : nasal obstuksi, persisten mukopurulen
discharge, frequent colds
- Pd anak2 diragukan apakah penderita sendiri
membau/tdk, namun org lain membau
Dewasa (unilateral/bilateral)
srg menyadari adanya bau yg tdk enak dlm
hidungnya tp kadang2 hiposmia bila ada obstruksi
& bersifat temporer

5) Rinitis Atrofi (Ozaena)


o Disebut jg rhinitis chronica atrophicans cum foetida
( wanita pubertas >> pria)
o Karakteristiknya :
- Atrofi mukosa & jar pengikat submukosa struktur
fossa nasalis
- Disertai adanya krusta yg berbau khas
- Penderita mengalami anosmia, sdgkn org lain tdk
tahan baunya
o Dx :
- Discharge yg berbau
- Bersifat bilateral
- Terdpt krusta kuning kehijau2an
6) Nasofaringitis kronis
o infeksi virus virulen meluas kesegala arah
o daya tahan tubuh baik self limiting disease
o atau bisa mjd kronis & discharge nasofaring (bilateral)
mjd purulen serta mulai timbul bau
7) Rinitis Kaseosa
o Adl perubahan kronis inflamatoar dlm hidung dg
adanya pembentukan jar granulasi & akumulasi massa
spt keju yg menyerupai kolesteatoma
o Etiologi :
- Akibat radang kronis & nasal stenosis sekunder yg
menyumbat nasal discharge perubahan mekanis,
kimiawi & deskuamasi scr trs menerus
penumpukan
massa
(spt
keju
menyerupai
kolesteatoma)
o Bersifat unilateral ( penderita & org lain membau), tjd
pd semua umur (30-40th)
8) Radang kronis spesifik
a) Sifilis tertier
- Berupa gumma yg srg mengenai septum bagian
tulang, yaitu pd vomer & srg mencapai palatum
durum
- Jk nekrosis mengenai tulang & meluas ke kartilago
perforasi septum

- Foetor bersifat bilateral


b) Tuberkulosis
- Dlm hidung, tuberkuloma yg byk mengenai septum
bagian kartilago jk mengalami nekrosis tjd
perforasi septum
- Foetor bersifat bilateral
9) Neoplasma maligna
o Gejala : nasal obstruction (unilateral) & nassal bleeding
o Penegakkan dx : biopsi (diambil pd bagian yg tdk
nekrosis)

(Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, 2001)
DD hidung berbau :polip hidung, sinusitis

POLIP HIDUNG

Karena polip bisa terjadi akibat peradangan kronis pada mukosa hidung
yang berturbulensi, terutama didaerah sempit terutama didaerah
osteomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan
pembentukan kelenjar baru.juga terjadi penyerapan natrium oleh
permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Cara mendiagnosis :
Anamnesis : keluhan utama hidung tersumbat, rinore mulai jernih
sampai purulen, disertai bersin-bersin, nyeri kepala, bila ada infeksi
disertai post nasal drip dan rinore purulen.
Pemeriksaan fisik : menyebakan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada rinoskopi
anterior tampak masa yang pucat yang berasal dari meatus medius dan
mudah digerakan.
Stadium polip mackay dan lund (1997) : stadium 1 polip terbatas di
meatus medius; stadium 2 keluar dari meatus medius, tampak di rongga
hidung tapi belum memenuhi rongga hidung; stadium 3 polip yang massif.
Etiologi
Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus
Adanya gangguan keseimbangan vasomotor
Adanya peningkatan cairan intersitial dan edema mukosa hidung
Fenomema bernoulli menjelaskan bahwa udara yang mengalir melalui
tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah
sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini
sehingga mengakibatkan edema mukosa danpembentukan polip.

Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area


yang sempit di komplek ostiomeatal (KOM) di meatus medius.
Patogenesis
Edema mukosa di daerah meatus medius stroma akan terisi oleh cairan
interseluler mukosa yang sembab menjadi polipoid Mukosa yang
sembab makin membesar turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai polip
Mikroskopis
Tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu
epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang lembab. Selselnya terdiri dari limfosit, plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag,
mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah sangat sedikit dan
tidak mempunyai serabut saraf. Polip yang sudah lama dapat mengalami
metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel
transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.
Diagnosis
Pada anamnesis kasus polip keluhan utama biasanya ialah hidung
tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang-timbul dan semakin lama
semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam
hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain ialah gangguan penciuman
(anosmia atau hiposmia). Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah disertai
kelainan organ di dekatnya berupa: adanya post nasal drip, sakit kepala,
nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh, mendengkur,
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Dengan pemeriksaan rinoskopi anterior biasanya polip sudah dapat dilihat.
Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Kalau
ada fasilitas endoskopi untuk pemeriksaan hidung, polip yang masih
sangat kecil dan belum keluar KOM dapat terlihat. Pemeriksaan penunjang
berupa foto Rontgen polos atau CT scan dibuat untuk mendeteksi adanya
sinusitis. Pemeriksaan biopsi dapat diindikasikan jika ada massa unilateral
pada pasien usia lanjut, jika penampakan makroskopis menyerupai
keganasan atau bila pada foto, Rontgen ada gambaran erosi tulang.
Terapi
Pengobatannya berupa terapi medikamentosa dan operasi. Terapi
medikamentosa ditujukan untuk polip yang masih kecil (belum memenuhi
rongga hidung) yaitu pemberian kortikosteroid sistemik yang diberikan
dengan dosis tinggi dalam jangka waktu singkat. Dapat juga berupa
kortikosteroid intranasal atau kombinasi keduanya. Pada pengobatan kortikosteroid sistemik harus perhatikan kontraindikasi dan efek samping. Bila
ada tanda infeksi perlu diberikan antibiotika.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan
menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar
tetapi belum memadati rongga hidung. Operasi pengangkatan polip dan
operasi sinus pada polip hidung biasanya diindikasikan pada polip yang
sudah sangat besar atau kasus polip berulang atau bila jelas ada kelainan
di KOM. Jenis operasinya ialah etmoidektomi atau Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional (BSEF). Dapat juga dilakukan terapi kombinasi, yaitu
pemberian medikamentosa sebelum dan setelah tindakan operasi.

Antibiotika diberikan bila ada tanda infeksi dan sebagai profilaksis pasca
operasi. Perlu juga diperhatikan pengobatan alergi bila merupakan faktor
penyebab timbulnya polip.
DD perdarahan
DD benda asing
9. Komplikasi dari penanganan ekstraksi benda asing?

You might also like