You are on page 1of 21

KAJIAN KONFIGURASI ESCAPE BUILDING UNTUK

EVAKUASI TERHADAP BENCANA TSUNAMI


DI KOTA BANDA ACEH

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang terletak diantara tiga lempeng utama
dunia yaitu lempeng Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Hal
tersebut mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat rawan
dengan bencana alam khususnya Gempa Bumi dan Tsunami dengan intensitas dan
kekuatan yang berbeda. Tsunami adalah serangkaian gelombang yang sangat
besar yang dihasilkan oleh gangguan bawah air seperti longsor, gempa bumi,
letusan gunung berapi, atau meteorit. Serangan tsunami dikategorikan sebagai
salah satu bencana alam yang tidak dapat diprediksi dimana dan kapan akan
terjadi. Tsunami telah memberi dampak yang merusak cukup banyak di
masyarakat kita, seperti manusia korban jiwa, cedera, dan kerusakan properti.
Mengantisipasi tsunami tidak hanya sekedar mengetahui akan terjadinya
bencana ini. Hal yang paling penting adalah mengupayakan bagaimana
meminimalkan jumlah korban jiwa dan kerugian lainnya. Salah satu caranya
adalah dengan mengevakuasi penduduk sekitar ke daerah yang aman dari dampak
tsunami tersebut, dan menentukan daerah yang aman sebagai tempat perlindungan
(escape building) dari bahaya tsunami. Di Indonesia, alternatif perencanaan
escape building evakuasi dengan menggunakan kearifan lokal seperti mesjid,
sekolah, rumah sakit, gedung tinggi, ataupun mendirikan bangunan evakuasi
(escape building) yang sangat mudah dijangkau masyarakat untuk menyelamatkan
diri ketika terjadi tsunami. yaitu dengan mengusulkan bangunan publik sebagai
escape building yang utama.
Diperlukan penanganan secara sistematis dan terencana untuk membuat
suatu sistem evakuasi penduduk. Untuk perencanaan evakuasi diperlukan
infrastruktur penunjang, seperti bangunan escape building dan jaringan jalan

untuk jalur evakuasi. Perencanaan penempatan bangunan evakuasi dan pemilihan


jalur evakuasi memerlukan analisis secara rasional. Salah satu aplikasi yang
umum digunakan dalam analisis tersebut adalah ArcGis. Evaluasi escape building
existing dapat menggunakan beberapa tools yang terdapat pada ArcGIS seperti
editing, network analyst dan spatial statistics tools. Dengan menggunakan tools
yang ada pada ArcGIS ini akan didapat servis area, yaitu daerah dimana
penduduk yang berada di area tersebut
1 mempunyai waktu yang cukup untuk
berevakuasi sebelum terjadinya tsunami.
Kota Banda Aceh adalah salah satu kota di Indonesia yang pernah
mengalami salah satu bencana tsunami yang paling parah, yang pernah tercatat.
26 Desember 2004, terjadi gempa bumi dengan episentrum di lepas pesisir barat
Sumatera, Indonesia. Gempa ini dikenal di kalangan ilmuwan dengan nama
Gempa bumi SumateraAndaman. Gempa bumi tersebut mengakibatkan
gelombang tsunami yang menghantam sebagian pantai barat Sumatra, dan
Provinsi Aceh merupakan daerah paling parah terkena tsunami.
Masih

minimnya

berbagai

macam

penelitian

tentang

evaluasi

penanggulangan bencana maupun mitigasi bencana tsunami, khususnya untuk


wilayah kota Banda Aceh. Sehingga, penelitian ini mengambil studi kasus di Kota
Banda Aceh, Provinsi Aceh. Kota Banda Aceh terletak di utara pulau sumatera
yang berhadapan langsung dengan samudra Hindia yang dilintasi lempeng
tektonik Indo-Australia. Akibat dari aktivitas sesar di bawah Samudera Hindia,
kota ini pernah mengalami bencana tsunami yang sangat besar dan masih
memiliki kemungkinan mengalami tsunami dan bencana gempa bumi pada waktu
yang bersamaan.
B. PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah mengevaluasi konfigurasi
bangunan tempat berlindung (escape building) untuk evakuasi bahaya tsunami di
kota Banda Aceh. Penentuan-penentuan daerah ini berdasarkan data-data yang ada
dilapangan yang akan diolah atau dianalisa dengan menggunakan aplikasi analisa
jaringan SIG.
C. TUJUAN & MANFAAT

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi konfigurasi


escape building eksisting dan alternatif untuk evakuasi tsunami berdasarkan
sistem informasi geografis (SIG). Analisis perencanaan alternatif escape building
dengan menggunakan kearifan lokal, yaitu dengan mengusulkan bangunanbangunan yang sudah ada agar bisa difungsikan sebagai escape building ataupun
penambahan escape building yang baru yang didasarkan pada peristiwa gempa
dan tsunami Aceh, 26 Desember 2004.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai salah satu
alternatif acuan pemilihan lokasi escape building sebagai upaya perencanaan
evakuasi tsunami dan menjadi bahan referensi pada penelitian yang akan
menganalisis masalah serupa ataupun lebih lanjut dalam mengatasi masalah
hidrologi lainnya.
D. BATASAN MASALAH
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini tidak membahas proses terjadinya gelombang tsunami,
2. Peta rendaman tsunami yang digunakan untuk analisis adalah peta yang
didapatkan dari UPT-GIS Bappeda Kota Banda Aceh, dan khusus untuk kota
Banda Aceh,
3. Penelitian ini tidak menghitung kapasitas tampungan escape building,
4. Dalam memperkirakan jumlah penduduk dihitung dengan menggunakan
kepadatan penduduk (distribusi penduduk dianggap merata),
5. Lebar jalan untuk evakuasi tidak memperhitungkan kapasitas lalulintas dalam
kondisi darurat, sehingga kemungkinan adanya kemacetan lalulintas
diabaikan.
E. TINJAUAN PUSTAKA
E.1 Gelombang Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang tsu yang berarti gelombang dan
nami yang berarti pelabuhan, sehingga tsunami memiliki arti gelombang pasang
besar laut yang sering terjadi di wilayah pelabuhan ataupun garis pantai. Tsunami
juga merupakan perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan
permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba, dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Awal terbentuknya tsunami


Sumber : Subandono & Budiman 2005

Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang


dikandung dalam gelombang tsunami tetap terhadap fungsi ketinggian dan
kelajuannya. Di dalam laut, gelombang tsunami dapat merambat dengan
kecepatan 500-1000 km per jam, setara dengan kecepatan pesawat terbang.
Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter, dengan demikian laju
gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada ditengah laut. Ketika
mendekati panytai kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km
per jam, namun ketinggian sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter.
Hantaman gelombang tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir
pantai. Saat terjadi tsunami, kerusakan dan korban jiwa dapat terjadi karena
hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami.
Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan
perpindahan sejumlah besar air. Secara umum tsunami lebih sering disebabkan
terjadinya gempa bawah laut. Gerakan vertikal pada kerak bumi dapat
mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba, yang mengakibatkan
gangguan keseimbangan air yang berada diatasnya. Hal ini mengakibatkan
terjadinya aliran energi air laut, yang ketika sampai didaerah pantai menjadi
gelombang besar yang disebut tsunami. Tahapan terjadinya tsunami dapat dilihat
pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Tahapan terjadinya Tsunami


Sumber : Nature/USGS

Secara umum terdapat beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya


perubahan permukaan laut, yang kemudian dapat mengakibatkan tsunami, antara
lain :
1. Gempa bumi tektonik,
2. Erupsi vulkanik (gempa vulkanik),
3. Longsoran (land-slide),
4. Benda kosmis atau meteor yang jatuh dari atas,
5. Kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km,
6. Magnitudo gempa lebih besar dari 6,0 SR, dan
7. Jenis pensesaran : sesar naik/sesar turun.
Selain itu, terdapat beberapa faktor geologi yang dapat menyebabkan
atau menentukan kuatnya gelombang tsunami yang terjadi. Faktor-faktor tersebut
antara lain :
1. Morologi pantai,

2. Terdapatnya teluk,
3. Batimetri (topografi) kelautan oleh pembentukan gunung bawah laut,
4. Terletak di dekat pinggiran pertemuan subduksi Lempeng BenuaSamudera, dan
5. Adanya struktur geologi kompleks khususnya sesar naik / sesar turun.

E.2 Cepat Rambat Gelombang Tsunami dan Hubungannya dengan Proses


Evakuasi Tsunami
Kecepatan evakuasi para pengungsi adalah masukan yang sangat penting
untuk model evakuasi mikroskopis. Kecepatan evakuasi sangat bergantung pada
waktu terjadinya tsunami setelah terjadinya gempa hingga gelombang menyentuh
garis pantai. Sebagai ilustrasi, ketika waktu sampainya gelombang tsunami 20
menit, maka waktu maksimal masyarakat yang mengungsi atau mencari tempat
berlindung adalah kurang dari 20 menit, sehingga sebaiknya tempat berlindung
atau escape building tsunami yang tersedia harus mampu dijangkau dalam waktu
20 menit oleh masyarakat yang berada paling jauh dari escape building. tersebut
dalam wilayah layanan evakuasi tertentu. Dengan demikian, perencanaan lokasi
escape building tsunami harus meninjau waktu berjalan saat evakuasi, jarak
terjauh evakuasi dan juga waktu rambat gelombang tsunami yang terjadi.
Sampai saat ini, belum ada standar internasional yang dapat digunakan
sebagai panduan untuk menentukan kecepatan berjalan pengungsi, karena
kecepatan berjalan selama evakuasi berbeda-beda tergantung sebagian besar pada
usia, kekuatan fisik, keadaan kesehatan dan tingkat cacat. Namun, sulit untuk
mempertimbangkan semua kemungkinan perbedaan dalam penyelidikan saat ini.
Banyak upaya penelitian telah membahas masalah kecepatan berjalan orang, tapi
kebanyakan dari mereka mengukur kecepatan pejalan kaki saat mereka berjalan di
penyeberangan atau di persimpangan di perkotaan.

Potangaroa (2008)

menyelidiki gerakan berjalan orang berdasarkan video yang diambil saat tsunami

Aceh tahun 2004, dan menyarankan tiga kategori pengungsi berdasarkan


kecepatan mereka berjalan.

Tabel 1. Kategori kecepatan orang berjalan selama evakuasi tsunami


Kecepatan
Kondisi Berjalan
Seseorang dengan anak (A person with a child)
Orang tua bergerak bebas ( An independent elder person)
Orang tua sudah ketergantungan ( A dependent elderly

Evakuasi
Meter/detik
1.5
1.0-1.5
1.0

person)
Sumber : Potangaroa (2008)

Selain Potangaroa (2008), ada banyak yang meneliti tentang hubungan


orang berjalan dengan proses evakuasi tsunami. Menurut Diposaptono dan
Budiman (2005), ancaman tsunami dapat dikelompokkan menjadi dua macam,
yaitu jarak dekat (local field atau near field tsunami) dan jarak jauh (far field
tsunami). Kejadian tsunami di Indonesia umumnya berupa tsunami jarak dekat
dengan lama waktu antara 10 s/d 20 menit setelah kejadian gempa. Menurut
Edward (1992) bila beberapa orang berjalan bergerombol, maka kecepatan rataratanya adalah 1,14 meter/detik (68,4 m/menit). Ahli joging, Dr.George Sheehan
dalam bukunya mendefinisikan bahwa joging adalah aktifitas berlari dengan
kecepatan dibawah 6 mil/jam (9.7 km/jam) atau sama dengan 1 km membutuhkan
waktu 6.2 menit. Jika kecepatan gelombang tsunami ini dihubungkan dengan
kecepatan berjalan ataupun berlarinya manusia, tentu saja akan dapat ditentukan
berapa lama waktu dan jarak yang dibutuhkan untuk korban bencana tsunami bisa
menyelamatkan diri menuju daerah evakuasi dan tempat/gedung tinggi.
Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa penduduk melakukan evakuasi
hanya dengan berjalan kaki dan penyebaran penduduk dianggap merata. Artinya,
evaluasi yang dilakukan berdasarkan jarak terjauh dalam wilayah layanan tertentu,
sehingga jarak antara pusat aktivitas perduduk seperti sekolah, pasar, ataupun
tempat kerja, menuju escape building tidak diperhitungkan.

E.3 Escape building Evakuasi Tsunami


Mengantisipasi tsunami tidak hanya sekedar mengetahui akan terjadinya
bencana ini. Hal yang paling penting adalah mengupayakan bagaimana cara untuk
meminimalkan jumlah korban jiwa dan kerugian lainnya. Salah satu cara adalah
dengan mengevakuasi penduduk sekitar ke daerah yang aman dari dampak
tsunami tersebut, dan menentukan daerah yang aman sebagai tempat perlindungan
(escape building) dari bahaya tsunami. Menurut Khalifatullah (2013) dalam
jurnalnya menyebutkan, ada tiga jenis zona aman dalam rencana pencegahan
bencana antara lain :
1. Tempat tinggal permanen
Penampungan permanen dibangun sebagai gedung baru harus berlokasi dekat
konsentrasi orang banyak sehingga orang di daerah mana pun mereka dapat
hidup berlindung dan aman dari gelombang tsunami.
2. Tempat penampungan sementara
Penampungan sementara adalah bangunan yang ada di kota namun jumlah
masih mungkin dan cukup kuat untuk menerima dari orang di dalamnya
3. Zona Evakuasi
Zona evakuasi dapat berupa lapangan ataupun daerah outdoor. Zona evakuasi
merupakan tempat pengungsian setelah terjadi tsunami dan juga biasanya
zona ini merupakan zona yang paling aman terhadap bahaya gelombang
tsunami.
Bangunan yang dapat digunakan sebagai tempat penampungan
sementara seperti rumah dengan dua lantai tingkat, sekolah, gedung-gedung
pemerintah, masjid, dan banyak lagi, tetapi bangunan yang harus diperhatikan
dalam kekuatan bangunan untuk menerima beban sebagai tempat penampungan.
Analisis bangunan escape building adalah mengidentifikasi bangunan yang
berpotensi sebagai escape building (tempat aman sementara) dengan ketentuan
selain tahan terhadap gempa, bangunan tersebut memiliki ketinggian yang aman
dari rayapan gelombang tsunami, misalnya saja bangunan yang memiliki lantai

lebih dari satu. Escape building bisa berupa bangunan penting ataupun bangunan
tidak penting. Bangunan penting bisa berupa sarana publik seperti bangunan
sekolah, kantor pemerintahan, sarana kesehatan, pasar, sarana peribadatan dan
lain-lain. Sedangkan bangunan tidak penting dapat berupa rumah penduduk yang
memiliki lantai lebih dari satu. Namun bangunan rumah bersifat pribadi sehingga
bangunan yang lebih diutamakan menjadi escape building berupa bangunan
sarana publik. Bangunan yang berpotensi menjadi escape building selanjutnya
akan dinilai kelayakannya. Tingkat kelayakan bangunan escape building dinilai
berdasarkan kearifan lokal seperti variabel lokasi bangunan yang strategis,
ketinggian bangunan yang akan dinilai berdasarkan jumlah lantai, volume
bangunan yang akan dinilai berdasarkan daya tampung/luas bangunan, dan jenis
bangunan.
Selain menggunakan nilai kearifan lokal seperti menggunakan
bangunan yang sudah ada sebagai escape building tsunami, juga dapat
membangun bangunan yang berfungsi khusus untuk evakuasi sementara korban
tsunami atau biasa disebut dengan Escape Building.
Merencanakan pembangunan escape building juga tidak bisa terlepas
dari berbagai macam syarat dan kriteria agar bangunan dapat berfungsi seperti
yang telah direncanakan. Salah satu contoh escape building yang telah dibangun
pemerintah yang bekerjasama dengan pemerintah Jepang adalah escape building
yang terletak di Gampong Lambung, Kota Banda Aceh, dan dapat dilihat pada
Gambar 3.
Pada escape building ini, hanya lantai 3, 4 dan seterusnya yang
difungsikan atau dapat menampung masyarakat untuk menyelamatkan diri. Pada
lantai 1 dan 2 dipersiapkan sebagai tempat lewatnya aliran tsunami yang melanda
deaerah tersebut.

Gambar 3 Escape building Gampong Lambung, Banda Aceh


Sumber : Survey lapangan, 26 September 2014

E.3 Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia


Sebagai langkah awal upaya menimalkan korban jiwa akibat bencana
tsunami, pemerintah bersama berbagai institusi dalam negeri dan juga
bekerjasama dengan beberapa negara membuat sebuah system peringatan dini
terhadap bahaya bencana tsunami yang sering disebut dengan InaTEWS
(Indonesia Tsunami Early Warning System).
Konsep dasar yang dianut dalam pembangunan InaTEWS berasal dari
International Tsunami Information Center (ITIC) yakni bahwa untuk membangun
dari ujung sampai ke ujung Tsunami Early Warning System digunakan pola
segitiga yang mana titik-titik sudutnya adalah komponen dari system tersebut.
Komponen dalam system yang dimaksud, meliputi :
1. Komponen operasional
Menangani kegiatan-kegiatan pemantauan, pengolahan, analisa, penyiapan
dan disiminasi warning tsunami.
2. Komponen mitigasi dan tanggap darurat
Melaksanakan tanggap darurat terhadap kejadian bencana dan mitigiasi
melalui: pendidikan dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat, penyiapan
tempat perlindungan, jalur penyelamatan, peta, logistik, pelatihan lapangan
dan lain-lain.

10

3. Komponen pembangunan dan kapasitas


Memberikan dukungan melalui kajian, penelitian, uji coba terhadap komponen
1 dan 2 beserta peningkatan kapasitas SDM.
Pada dasarnya system peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS)
memiliki beberapa instrument penting, mulai dari peralatan deteksi, jalur
komunikasi sebagai media pengiriman informasi, dan peralatan penerima
informasi.
Sebagai ilustrasi system peringatan dini tsunami Indosesia dapat dilihat
pada gambar 4. Sumber gempa besar umumnya terletak di daerah subduksi yang
merupakan pertemuan antara lempeng tektonik Samudera dan lempeng daratan.
Untuk mendeteksi gempa bumi diperlukan jaringan pengataman darat yakni
seismik dan jaringan GPS, yang dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6, untuk
mendeteksi tsunami diperlukan jaringan pengamatan laut, yakni pasang surut (tide
gauges) dan buoys, yang dapat dilihat pada gambar 7 dan 8. Data rekaman
pengamatan darat dan laut dikirimkan ke Pusat Monitoring Nasional melalui
komunikasi Satelit. Pada saat gempa bumi terjadi, gelombang gempa bumi
menjalar melalui lapisan dalam bumi dan direkam oleh jaringan Seismograph.
Rekaman gempa bumi digunakan untuk menentukan lokasi dan kekuatan sumber
gempa bumi. Apabila hasil analisa menunjukan bahwa parameter gempa bumi
yang terjadi memenuhi kriteria berpotensi menimbulkan tsunami (lokasi dilaut,
magnitude > 7,0SR dan kedalaman < 70 km) maka National/ Regional Tsunami
Warning Center (NTWC / RTWC) akan mengeluarkan dan menyebarkan
peringantan potensi tsunami terutama ke institusi interface yang selanjutnya akan
menindaklanjuti dengan penyebaran melalui berbagai media termasuk aktivasi
sirine. Warning potensi tsunami ditindaklanjuti dengan konfirmasi terjadinya
tsunami berdasarkan data hasil deteksi tsunami oleh sensor Buoys ataupun Tide
Gauge.

11

Gambar 4. Desain kinerja InaTEWS


Sumber : InaTEWS - BMKG

Gambar 5. Stasiun seismik


Sumber : InaTEWS BMKG

12

Gambar 6. Stasiun GPS


Sumber : InaTEWS BMKG

Gambar 7. Stasiun Tide Gauge Sadeng


Sumber : InaTEWS - BMKG

Gambar 8. Buoy
Sumber : InaTEWS - BMKG

E.4 Sistem Informasi Geografis SIG

13

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem informasi berbasis


komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi
geografis (Aronoff, 1989). Dan secara umum, pengertian SIG adalah Suatu
komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan
sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan,
menyimpan,

memperbaiki,

memperbaharui,

mengelola,

memanipulasi,

mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi


berbasis geografis (GIS Konsorsium Aceh-Nias 2007)
SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada
suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya
memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial
yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang
memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi
SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan
pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi
lainnya. Beberapar tools ArcGIS yang dipakai dalam penelitian ini yaitu clip,
calculate area, servis area analysis.
a. Clip
Clip terdapat dalam extract extension merupakan sebuah tool untuk
memisahkan / memotong polygon berdasarkan bentuk dari polygon lainnya.
b. Calculate Area
Calculate area terdapat dalam spatial statistics extension merupakan sebuah
tool untuk menghitung luas area dari suatu polygon.
c. Service Area Analysis
Network analisys adalah metode yang bisa digunakan untuk pemecahan
masalah jaringan seperti transversability, laju aliran atau kapasitas. Salah satu
hasil pengembangan yang paling dikenal adalah ditemukannya network analyst
yang dirilis oleh ESRI (Environmental Systems Research Institute). Penelitian ini
akan memanfaatkan ESRI ArcGIS sebagai tool untuk pemodelannya dalam basis
desktop. Network analyst extension pada ArcGIS adalah perangkat lunak yang
sangat handal yang menyediakan fasilitas analisis spasial yang berbasis analisis

14

jaringan, diantaranya adalah analisis routing, travel directions, closest facility, dan
analisis service area. ArcGIS Network Analyst bisa digunakan untuk pemodelan
lalu lintas pada kondisi darurat dalam situasi yang dinamis diantaranya adalah
pembatasan kecepatan, pengaturan arah, pembatasan ketinggian dan kondisi lalu
lintas pada setiap waktu yang berbeda. Network Analyst juga bisa digunakan
untuk analisis jaringan untuk berbagai jenis aplikasi diantaranya perencanaan
transportasi, pemilihan rute terbaik, pemilihan fasilitas terdekat pada kondisi
darurat dan identifikasi service area di sekitar lokasi fasilitas (ESRI, 2008).
Dalam network analysis ArcGIS terdapat tools service area. Studi ini
mendefinisikan service area sebagai area minimal dimana penduduk dapat
mencapai escape building evakuasi yang terdekat dari tempat tinggalnya dengan
berjalan kaki dalam durasi waktu evakuasi (clearance time). Waktu evakuasi
dalam

studi

ini

didefinisikan

sebagai

waktu

minimal

dimulai

sejak

dikumandangkannya peringatan dini akan adanya tsunami secara resmi oleh


pemerintah hingga sampainya gelombang tsunami yang pertama di garis pantai.
Service area digunakan untuk menentukan wilayah yang mencakup semua jalan
dapat diakses (jalan-jalan yang terletak dalam impedansi yang ditentukan).
Dengan menggunakan ArcGIS network analyst, service area di setiap
lokasi di dalam jaringan bisa dianalisis. Service area dalam suatu jaringan adalah
suatu daerah yang meliputi seluruh jalan yang bisa diakses yang berada di dalam
batas area yang dispesifikkan.
F. METODOLOGI
F.1 Prosedur penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, ada beberapa tahapan yang dilakukan
untuk mempermudah dalam pelaksanaan pengkajian dan analisa, diantaranya
dimulai dengan studi literatur, pencarian data (UPTB-GIS Bappeda Banda Aceh),
persiapan data, proses analisis dengan program ArcGIS, menarik kesimpulan, dan
memberikan rekomendasi.

15

F.2 Data yang diperlukan


Studi penelitian ini memerlukan data yang didapat dari survey lapangan
dan bantuan data dari instansi terkait. Proses pengambilan data adalah dengan
meminta data langsung ke instansi terkait di wilayah tinjauan penelitian. Adapun
data umum yang diperlukan data spasial dan non spasial.
Untuk data spasial yang diperlukan Antara lain :
1. Data Inundation Tsunami atau Peta Resiko Rendaman Tsunami
2. Data jaringan jalan kota Banda Aceh yang telah berformat shape file (.shp)
3. Data eksisting escape building evakuasi tsunami atau tempat evakuasi
sementara (TES) tsunami kota Banda Aceh format shape file (.shp)
Sedangkan data non-spasial yang diperlukan anatara lain :
1. Data kepadatan penduduk kota Banda Aceh
2. Data luas wilayah kota Banda Aceh
F.3 Pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Pengumpulan data spasial dan non-spasial


Penyiapan data spasial dan non-spasial
Melakukan analisis data dengan menggunakan aplikasi ArsGIS
Menarik kesimpulan dan membuat rekomendasi

F.4 Analisis data


Setelah didapatkan data-data yang diperlukan, dilanjutkan dengan
menganalisa data. Analisa dalam penelitian ini meliputi persiapan data dan analisa
waktu evakuasi.
1. Persiapan data
Persiapan data merupakan tahapan dalam analisis escape building evakuasi
tsunami menggunakan ArcGIS. Persiapan data meliputi memasukkan datadata yang telah berformat shape file, seperti data jaringan jalan dan peta resiko
tsunami kota Banda Aceh. Setelah data sudah berada dalam aplikasi ArcGIS,
dilanjutkan dengan melakukan analisis terhadap data tersebut, seperti
melakukan analisis service area melalui tools network analyst dan kemudian
dilanjutkan dengan melakukan calculate area. Dalam proses tersebut juga

16

dilakukan input data seperti data jarak terjauh untuk evakuasi, baik pada
kondisi escape building eksisting, maupun juga skenario
2. Analisa waktu evakuasi
Proses evakuasi tsunami merupakan suatu proses yang kompleks, dimana
proses ini bertujuan untuk menyelamatkan seluruh warga pada saat keadaan
darurat, dalam hal ini adalah saat peristiwa tsunami. Analisa waktu evakuasi
dilakukan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan dalam proses evakuasi
tsunami hingga ke escape building yang telah di tetapkan.
a. Waktu datang gelombang
Waktu datang gelombang tsunami berbeda-beda di setiap titik. Menurut
Murat Saatcioglu, dkk, (2005), menyebutkan bahwa waktu datangnya
gelombang hingga ke Banda Aceh adalah 15 menit, dengan ketinggian di
laut dalam sebesar 60 cm dan kecepatan 500-600 km/hr, dan ketinggian di
laut dangkal mencapai hingga 20-30 m dengan kecepatan 10 km/hr.
berdasarkan penelitian tersebut, penelitian ini mengasumsikan waktu
datang gelombang tsunami adalah 15 menit.
b. Asusmsi waktu Publikasi EWS tersebar di media local
Ina-TEWS mampu memberikan peringatan dini tsunami dalam waktu 5
menit setelah kejadian gempa bumi yang berpotensi membangkitkan
tsunami.
c. Asumsi kecepatan berjalan saat evakuasi
Dari teori cepat rambat gelombangtsunami dan hubungannya dengan
proses evakuasi tsunami sebelumnya, dapat diasumsikan bahwa kecepatan
berjalan saat evakuasi diambil 1.0 m/detik atau 3.6 km/jam.
d. Jarak terjauh evakuasi
Waktu yang tersedia untuk evakuasi tsunami bergantung pada kemampuan
BMKG dalam memprediksi terjadinya tsunami setelah terjadinya gempa.
Semakin lama waktu prediksi tsunami, maka semakin kecil waktu yang
tersedia untuk evakuasi. Waktu yang tersedia untuk evakuasi tsunami
adalah waktu datang gelombang tsunami dikurangi dengan waktu
publikasi EWS (Khalifatullah, 2013).
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa waktu datang gelombang
tsunami sampai garis pantai kota Banda Aceh sangat kecil, yaitu 15 menit
(berdasarkan kejadian tsunami Aceh 26 Desember 2004). Penelitian ini

17

mengasumsikan 4 skenario waktu respon penduduk seperti yang dapat dilihat


pada Tabel 2.
Tabel 2. Skenario waktu respon penduduk saat terjadinya tsunami
Skenario

Waktu datang
Gelombang Tsunami

Waktu Publikasi
EWS

Waktu Respon
Evakuasi Penduduk

Skenario 1

15 menit

0 menit

15 menit

Skenario 2

15 menit

3 menit

12 menit

Skenario 3

15 menit

6 menit

9 menit

Skenario 4

15 menit

9 menit

6 menit

Pada skenario 1, diasumsikan bahwa penduduk melakukan evakuasi sesaat


setelah terjadinya tsunami, dan tidak memperhitungkan waktu publikasi EWS.
Artinya pada saat terjadinya tsunami penduduk langsung mengevakuasikan
diri menuju escape building. Asumsi tersebut dapat terjadi karena faktor
pengalaman penduduk saat terjadi gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Pada skenario 2, diasumsikan sistem EWS sudah berfungsi sangat baik dan
hanya memerlukan 3 menit untuk mengeluarkan peringatan mengungsi,
sehingga penduduk melakukan evakuasi sesaat setelah menerima peringatan
untuk evakuasi dan memiliki waktu selama 12 menit untuk evakuasi.
Pada skenario 3, diasumsikan sistem EWS belum bekerja secara optimal
sehingga EWS memerlukan waktu 6 menit untuk mengeluarkan peringatan
mengungsi. Dengan demikian, penduduk melakukan evakuasi sesaat setelah
menerima peringatan evakuasi dan hanya memiliki waktu 9 menit untuk
evakuasi
Pada skenario 4, diasumsikan sistem EWS tidak bekerja dengan baik sehingga
memerlukan waktu yang lama, yaitu selama 9 menit untuk mengeluarkan
peringatan mengungsi. Dengan demikian, waktu yang tersisa bagi penduduk
untuk melakukan evakuasi adalah 6 menit. Berdasarkan asumsi tersebut,
skenario 4 merupakan skenario terburuk dengan asumsi waktu evakuasi yang
sangat kecil dibandingkan dengan skenario 1, 2 dan 3.

18

F.5 Bagan alir Metodologi

Mulai

Pengumpulan Data

Data Spasial

Data Non-Spasial

Analisis Data

Digitasi Peta

Prediksi Waktu
Evakuasi

Database jaringan
jalan

Analisa Jaringan
(Network Analysis)

Evaluasi Escape
building Eksisting

Alternatif Perencanaan
Escape building

Kesimpulan dan Saran

Selesai

19

Gambar. 9 Bagan alir

G. JADWAL RENCANA PELAKSANAAN PENELITIAN


Pelaksanaan penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan selama 6 (enam)
bulan atau lebih cepat, dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 2. Jadwal Rencana Pelaksanaan Tugas Akhir

H. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2013, Banda Aceh Dalam Angka (Banda Aceh In
Figure) 2013, Banda Aceh: BPS.
BMKG, 2010, InaTEWS; Konsep dan Implementasi, Jakarta, BMKG
Fauzi.A, et al., 2013, Tsunami, Yogyakarta, Universitas Jogjakarta.

20

Geospasial BNPB. (2009). Peta Ancaman Bencana Tsunami di Indonesia.


http://geospasial.bnpb.go.id/2010/02/19/peta-indeks-ancaman-bencanatsunami-di-indonesia, diakses pada 12 September 2014.
GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007, Modul Pelatihan ArcGIS Tingkat Dasar,
Banda Aceh, Staf Pemerintahan Kota Banda Aceh
Khalifatullah. E, et al, 2013, Kajian Konfigurasi Escape building Untuk
Evakuasi Terhadap Bencana Tsunami Di Kota Pacitan,Tesis Program
Sarjana [online], Available at:
Potangaroa, R. (2008). Development of seismic strengthing options for
housing - lessons from 2004,CARE (Canada) Banda Aceh
Reconstruction Programme Seminar
Saatcioglu.M, et al, 2005, Effects Of The December 26, 2004 Sumatra
Earthquake And Tsunami On Physical Infrastructure [online], Available
at; http://home.iitk.ac.in/~vinaykg/Iset457.pdf [accesed in 9 November
2014]
Sutikno, Sigit. (2012). Evacuation Risk Analysis against Tsunami Hazard
Based on Spatial and Network analysis on GIS.
Sarwidi, 2012, Peran Teknik Sipil Dalam Penanggulangan Bencana Alam,
Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia.
Winarno.J, Mitigasi Bencana Tsunami Di Wilayah Pesisir Lampung, Bandar
Lampung, Universitas Lampung.

21

You might also like