You are on page 1of 13

quetiapine, Seroquel, Seroquel XR (cont.

)
Pharmacy Author:
Omudhome Ogbru, PharmD
Medical and Pharmacy Editor:
Jay W. Marks, MD
WARNING: Quetiapine can cause orthostatic hypotension (a drop in blood
pressure upon standing that can lead to dizziness or fainting) especially during the
first 3-5 day period of treatment, when it is restarted after temporary
discontinuation, and after an increase in the dose. The risk of orthostatic
hypotension is about 1 in 100 (one of every hundred patients who take
quetiapine). Quetiapine frequently causes tiredness (1 in 5 patients), especially
during the first 3-5 days of treatment. Because of this tiredness, care should be
exercised in any activity requiring mental alertness such as operating a motor
vehicle or hazardous machinery. Less common side effects include seizures (1 in
125 patients) and hypothyroidism (1 in 250 patients).
As with other antipsychotics, long-term use of quetiapine may lead to irreversible
tardive dyskinesia, a neurologic disease which consists of involuntary movements
of the jaw, lips, and tongue.
In animals, quetiapine has been associated with the development of cataracts, and
cataracts have been reported in patients using quetiapine for prolonged periods.
Although it is not clear if quetiapine was responsible for the cataracts seen in
humans, eye examinations by slit-lamp (to identify cataracts before they impair
vision) are recommended at the beginning of treatment and every six months
during treatment. If cataracts form, treatment should be discontinued. Quetiapine
may increase blood concentrations of cholesterol and triglycerides by 11% and
17%, respectively.
http://www.medicinenet.com/quetiapine/page2.htm

could Ezetimibe cause Cataract?


Summary: Cataract is reported only by a few people who take Ezetimibe.
We study 3,414 people who have side effects while taking Ezetimibe from FDA and
social media. Among them, 3 have Cataract. Find out below who they are, when they
have Cataract and more.

You are not alone: join a mobile support group for people who take Ezetimibe and
have Cataract >>>

Ezetimibe
Ezetimibe has active ingredients of ezetimibe. It is often used in high blood cholesterol.
(latest outcomes from Ezetimibe 3,478 users)
Cataract
Cataract (clouding of the lens inside the eye) has been reported by people with
osteoporosis, high blood pressure, rheumatoid arthritis, osteopenia, diabetes.(latest
reports from Cataract 17,647 patients)

On Jan, 21, 2015: 3,414 people reported to have side effects when
taking Ezetimibe. Among them, 3 people (0.09%) have Cataract.

http://www.ehealthme.com/ds/ezetimibe/cataract

Efek samping penggunaan kortikosteroid pada


mata
3:13 AM | Posted by Jessy Londok |
Bahan ini neh, susah banget gw bikinnya. sembari gw bertanya pada
pembimbing gw, eh banyak juga yang gk diketahui.
alasannya sih karena bahannya susah... woooyyy,, residen aja susah
mikirnya apalagi gw seorang koass???
tega bener dah ni supervisor ngasih gw bahan ini buat dibikin refarat.
tapi Puji Tuhan, 2 minggu *kuranglebih* gw bikin ini bisa jadi.. hehhe..
gw kasih judul

EFEK SAMPING PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA


MATA

BAB
I
PENDAHULUAN
Banyak orang yang terkena alergi pada mata mengobati sakit mereka
dan sangat efektif dengan menggunakan produk-produk yang beredar
di pasaran. Jika obat-obatan tersebut tidak bekerja atau jika terdapat
nyeri pada mata mereka, mata merah yang sangat hebat, terdapat lebih
banyak lagi kotoran pada mata, kita harus memberikan saran-saran
yang
berhubungan
dengan
kesehatan
mata
yang
benar.
Kortikosteroid sering digunakan dalam beberapa bentuk, untuk
menyembuhkan beberapa kondisi yang berbeda. Karena kortikosteroid
mengurangi rasa gatal, bengkak, merah, dan reaksi alergi,
kortikosteroid sering digunakan pada penyembuhan masalah kulit,
alergi yang hebat, asma, dan arthritis. Obat-obatan jenis kortikosteroid
juga menekan respon imun dalam tubuh, jadi kortikosteroid digunakan
pada pasien yang menerima transplantasi organ, untuk mengurangi
kesempatan penolakan organ yang di transplantasi. Pada beberapa
pasien yang tidak memproduksi cukup kortikosteroid alami, obat
kortikosteroid dapat meningkatkan level dari hormon-hormon tersebut.
Kortikosteroid juga digunakan untuk penyembuhan kanker (bersama
dengan obat-obatan yang lain), dan untuk mengurangi inflamasi pada
obat-obatan
yang
lain.
BAB
TINJAUAN
A.KORTIKOSTEROID
1.Definisi

II
PUSTAKA

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan


dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis,
atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem
fisiologis tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat,
pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.1
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas
biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya
kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara
menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja
eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid
(contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan
air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid
menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat,
dan
lainnya
hanya
mengeluarkan
satu
jenis
efek.
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar
adrenal yang terletak diatas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis
oleh
enzim
golongan
sitokrom
P450.
Dalam bidang farmasi, obat-obatan disintesis sehingga memiliki efek
seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup
penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid,
sedangkan prednisone dan turunannya memiliki kerja mineralokotikoid.
Obat-obat golongan kortikosteroid seperti prednisone, dexamethason
dan hidrokortison memiliki potensi efek terapi yang cukup ampuh dalam
pengobatan berbagai penyakit seperti asma, lupus, rheumatoid arthritis
dan berbagai kasus inflamasi lainnya. Tapi kortikosteroid juga memiliki
berbagai
efek
samping
yang
tidak
menyenangkan.2
2.Mekanisme Kerja3
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis
protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma
secara difusi pasif. Hanya jaringan target hormon ini bereaksi dengan
reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk
kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan
kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek
fisiologik
steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel
limfoid dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang
sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini
menimbulkan
efek
katabolik.
3.Efek

Kortikosteroid3,4

Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan


timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik
atau alergen. Gejala ini umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan
panas, pembengkakan di tempat radang. Secara mikroskopik obat ini
menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin,
dilatasi perifer, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas
fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi
yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan
kolagen
dan
pembentukan
sikatriks.
Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai antiinflamasi merupakan
terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan
penyebab penyakit tetap ada. Sebebarnya hal inilah yang menyebabkan
obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan sering
disebut life saving drug, tetapi hal ini juga yang menimbulkan reaksi
yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan
sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan
glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit
nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di dalam masih terus menjalar.
Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan
antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi
kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan
mekanisme protektif. Banyak mediator reaksi imun yang terkait dengan
reaksi inflamasi sesungguhnya akan menyebabkan kolapsnya sistem
kardiovaskuler bila tidak ada kortikosteroid yang melawannya.
Hipotesis ini ditunjang oleh tingginya produksi kortikosteroid dalam
keadaan stress yaitu bisa sampai 10 kali lipat. Juga ternyata semua efek
farmakologi didapat melalui mekanisme kerja di reseptor yang sama
dengan
yang
terjadi
secara
fisiologis.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-respetor
glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut :
kortikosteroid berdifusi ke dalam sel melewati membran sel dan
selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks kortikosteroidreseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan
mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA).
Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru.
Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan
penghambatan
uptake
glukosa.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah
penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang.
Selain itu kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktivitas
makrofag, baik yang beredar dalam darah (monosit) maupun yang
terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan
akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh
sel-T sensitif pada makrofag. Penghambatan akumulasi netrofil di
tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi daya
lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat
penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh

kortikosteroid

pada

kadar

suprafarmakologik.

4.Indikasi3
Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang
perlu
diperhatikan
sebelum
obat
ini
digunakan
:
a.Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan
dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai
dengan
perubahan
penyakit.
b.Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
c.Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya
kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis
sangat
besar.
d.Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga
dosis melebihi dosis substitusi, insiden efek samping dan efek letal
potensial akan bertambah; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg/hari
lebih dari 2 minggu hampir selalu menimbulkan iatrogenic chusing
syndrome. Bila terpaksa pasien harus juga diberi diet tinggi protein dan
kalium.
e.Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kasual ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif
karena
efek
anti-inflamasinya.
f.Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan
dosis yang besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan
dapat
mengancam
jiwa
pasien.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan
digunakan untuk jangaka panjang, harus diberikan dalam dosis
minimal yang masih efektif. Dosis ini ditentukan secara trial and error.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis
besar dapat diberikan untuk waktu yang singkat selama tidak ada
kontraindikasi
spesifik.
5.Penggunaan
Klinis
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai
dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid.
Glukokortikoid sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi,
arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis, SLE,
inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral.
Terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit,
mata, dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga
digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual,
dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya ondansentron).5
Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis
dan pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering
digunakan dalam dosis yang lebih besar untuk pengobatan berbagai
kelainan
peradangan
dan
imunologi.6
Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal

biasanya dberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari


adrenokortikal. Keadaan insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut
maupun kronis (penyakit Addison) yang ditandai dengan
hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan
tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama
puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada
hiperplasia adrenal kongenital, chusing sindrome atau aldosteronisme.6
Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai
kelompok penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi
adrenal. Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini merupakan
kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon imun.
Pada keadaan yang respons peradangan atau respon imunnya penting
untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid
mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya
kerusakan yang tidak dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika
digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses penyakitnya.2
6.Kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut
kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu
dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan
kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang
mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari
atau beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu diabetes mellitus,
tukak peptic/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem
kardiovaskuler lain patut diperhatikan. Dalam hal yang terakhir ini
dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntungan
sebelum
obat
diberikan.
7.Efek
Samping
Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada penggunaan
kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian
pemberian secara tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama
dengan
dosis
besar.
Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat
menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia,
artralgia, dan malaise. Insufisiensi terjadi akibat kurang berfungsinya
kelenjar adrenal yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid
endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid
eksogen.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan
dan elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi
terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami
perdarahan atau perforasi, osteoporosis, miopati yang karakteristik,
psikosis, habitus pasien Chusing (antara lain moon face, buffalo hump,
timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral, ekstremitas kurus,
striae,
ekimosis,
akne,
dan
hirsutisme).

Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus


peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan
lain, terutama infeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh
kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan teliti untuk
menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa
penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi
terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan
triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon
berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat
badan
pada
beberapa
penderita.7
Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat
dosis besar kortikosteroid. Tetapi jangka lama dapat menimbulkan
perkembangan katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan
dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada penderita. Biasa terjadi
peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin saja bisa menyebabkan
glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45
mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada
anak-anak.8,9
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid
seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek
mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, dapat menyebabkan
retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita
dengan fungsi kardiovaskuler dan ginjal normal, hal ini dapat
menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya
peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit
ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit
jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan
gagal
jantung
kongestif.9
8.Penanganan
efek
samping
kortikosteroid.
Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang
mendapatkan efek samping kortikosteroid adalah dengan melakukan
penurunan konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan lahan
(tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin.
Sering pendertita yang resisten dengan insulin, namun jarang
berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang
diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan
peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya
digunakan
apabila
diperlukan.9,10
9.Penghambat
Kortikosteroid3
Telah ditemukan beberapa zat yang dapat menghambat sekresi
kortikosteroid, antara lain metirapon dan aminoglutetimid.
Ketokonazol, suatu antifungal, menghambat steroidogenesis karena
menghambat enzim CYP17 (17 alfa hidroksilase), hal ini dapat
berdampak interaksi obat. Ketokonazol belum diketahui manfaat
kliniknya untuk menghambat produksi steroid. Mifepriston menghambat

mekanisme umpan balik sehingga meningkatkan ACTH dan kortisol.


Karena kemampuannya menghambat kerja kortikosteroid obat ini
sedang diteliti kemungkinan kegunaannya untuk kasus hiperkortisisme.
Saat ini digunakan hanya bila obat lain tidak berhasil.
B.PENGGUNAAN
KORTIKOSTEROID
PADA
MATA
Kortikosteroid biasanya digunakan untuk mengobati bengkak dan gatal
pada mata yang disebabkan karna alergi, trauma, atau infeksi.
Inflamasi yang terjadi pada mata dapat diterapi dengan pengobatan
topikal
dengan
injeksi
lokal
atau
sistemik.11
1.Glukokortikoid
Steroid digunakan secara topikal untuk mencegah atau menekan proses
inflamasi yang terjadi pada mata akibat trauma dan uveitis. Pada
injeksi subkonjungtiva dan injeksi retrobulbar, steroid digunakan untuk
terapi kasus seperti ini yang tergolong berat akibat terjadi inflamasi
pada mata. Terapi sistemik steroid digunakan untuk terapi penyakit
sistem imun seperti inflamasi pada mata yang berat yang sudah resisten
dengan terapi topikal. Metilprednisolon intravena menjadi pilihan pada
terapi demielinisasi saraf optik yang terinfeksi dan trauma pada saraf
optik.
Glukokortikoid menginduksi efek sel spesifik dalam limfosit, makrofag,
polimorfonuklear leukosit, sel endotel vaskuler, fibroblast, dan sel-sel
lainnya.
2.Farmakologi
kortikosteroid
topical9
Kortikosteroid topikal digunakan pada aksi anti inflamasi. Aspek dari
proses inflamasi seperti hiperemia, infiltrasi seluler, vaskularisasi dan
proliferasi fibroblastik ditekan. Steroid menghambat respons inflamasi
untuk merangsang agen-agen mekanis, kimia atau imunologi alami.
Kortikosteroid topikal efektif digunakan pada kondisi inflamasi akut
pada konjungtiva, sklera, kornea, kelopak mata, iris, badan siliar, dan
segmen anterior dari bola mata, dan dalam kondisi alergi bola mata.
Mekanisme dari aksi anti inflamasi dipirkan untuk menjadi potensi dari
vasokonstriksi epinefrin, stabilisasi dari membran lisosom, retardasi
pergerakan makrofag, pencegahan dari pelepasan kinin, inhibisi dari
limfosit dan fungsi neutrofil, inhibisi dari sintesis prostaglandin dan
pada penggunaan jangka panjang menurunkan produksi antibodi.
Hambatan proliferasi fibroblast dapat mencegah terjadinya formasi
simblefaron pada trauma kimia dan trauma panas. Pengurangan scar
(bekas luka dalam bentuk jaringan ikat) dengan kornea yang lebih
jernih setelah pemberian kortikosteroid topikal adalah hasil dari inhibisi
proliferasi
fibroblast
dan
vaskularisasi.
3.Indikasi
Pada keadaan inflamasi : kondisi pengobatan dengan menggunakan
steroid responsif inflamasi pada palpebra dan konjungtiva bulbar,

kelopak mata, kornea, dan segmen anterior bolamata seperti :


konjungtivitis alergi, keratitis superficial nonspesifik, keratitis superficial
punctata, keratitis herpes zoster, iritis, siklitis, konjungtivitis akibat
infeksi bakteri ketika penggunaan steroid dengan resiko yang tidak bisa
dipisahkan diterima untuk mengurangi terjadinya edema dan inflamasi.
Rimexolone juga diindikasikan jika terjadi inflamasi post operasi yang
mengikuti
pada
operasi
bola
mata.
Cedera kornea : juga digunakan pada cedera kornea akibat bahan
kimia, radiasi atau trauma panas atau trauma benda asing.
Reaksi penolakan transplantasi : dapat digunakan untuk menekan
reaksi
penolakan
transplantasi
setelah
keratopati.
4.Kontraindikasi
Keratitis herpes simpleks superficial akut; penyakit yang disebabkan
oleh jamur pada struktur bola mata; vaksinasi, varisela dan banyak lagi
penyakit yang disebabkan oleh virus pada kornea dan konjungtiva,
infeksi mikobakterium pada mata (contoh tuberculosis mata), penyakit
yang disebabkan oleh mikroorganisme, hipersensitivitas, setelah
pemindahan yang tidak utuh pada badan asing superficial kornea.
Medrysone tidak digunakan pada iritis dan uveitis; hasilnya belum di uji
coba.
5.Peringatan
Jika seseorang dengan glaukoma, operasi katarak, infeksi mata, dan
alergi pada mata perlu diperhatikan lebih teliti lagi. Pengobatan dengan
kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk digunakan jika pada
pasien terdapat infeksi pada mata yang disebabkan oleh virus (misalnya
herpes simpleks), infeksi mata yang disebabkan oleh jamur, pengeluaran
benda asing yang belum terlalu lama dilakukan. Obat ini dapat
menyebabkan
penglihatan
kabur
setelah
terapi.
Inflamasi yang sedang sampai berat : menggunakan dosis tinggi untuk
inflamasi yang sedang sampai berat. Pada kasus-kasus yang sulit dari
penyakit segmen anterior pada mata, terapi sistemik dapat diperlukan.
Ketika struktur bola mata yang lebih dalam lagi dilibatkan,
menggunakan
terapi
sistemik.
Kerusakan bola mata : penggunaan kortikosteroid jangka panjang
dapat menyebabkan terjadinya glaukoma, peningkatan tekanan intra
okular, kerusakan saraf optik, defek pada ketajaman penglihatan dan
lapangan pandang, katarak subkapsular posterior, atau infeksi mata
sekunder dari pelepasan benda-benda patogen dari jaringan ikat pada
mata. Periksa tekanan bola mata dan lensa terus-menerus. Pada
penyakit yang menyebabkan pengenceran dari sklera atau kornea,
dapat terjadi perforasi dengan pengobatan steroid topikal.
Infeksi : akut, purulen, infeksi mata yang tidak diobati dapat
disembunyikan atau aktivitasnya ditingkatkan oleh steroid. Infeksi
jamur pada kornea dapat disembuhkan dengan aplikasi pengobatan
steroid
jangka
panjang.

6.Efek
Samping9,10,11
Kortikosteroid bisa menyebabkan terjadinya glaukoma. Pada glaukoma
terjadi peningkatan tekanan intra okuler (TIO) dengan kerusakan saraf
optik. Kortikosteroid juga bisa menyebabkan terjadi kehilangan tajam
penglihatan (visus) dan tajam penglihatan, katarak subkapsular
posterior, termasuk herpes simpleks dari jaringan mata, adanya
perforasi dari bola mata, eksaserbasi infeksi mata akibat virus dan
jamur, rasa nyeri yang sementara akibat dari trauma, penglihatan yang
kabur, rasa tidak nyaman dan perih pada mata, adanya benda asing
pada
mata,
hiperemia,
dan
pruritus.
Reaksi merugikan lain yang bisa terjadi pada mata akibat pemberian
kortikosteroid yakni pada <1% pasien mengalami rasa lengket pada
mata, peningkatan fibrin, mata kering, edema konjungtiva, kornea
menjadi kotor, keratitis, fotofobia, iritasi, ulserasi kornea, edema kornea,
infiltrat,
erosi
kornea.
Macam-macam reaksi yang lain yakni nyeri kepala, hipertensi yang
sangat mengganggu atau bisa menjadi lebih buruk, rhinitis, faringitis,
dan
gangguan
rasa.
Secara garis besar, kortikosteroid (glukokortikoid) dapat menyebabkan
efek yang merugikan pada mata. Efek samping dan komplikasi yang
bisa
terjadi
antara
lain
:
a.Glaukoma
b.Katarak
posterior
sub
kapsular
c.Eksaserbasi bakteri dan virus (khususnya herpes) melalui mekanisme
penekanan
atau
perlindungan
sistem
imun
d.Ptosis
e.Midriasis
f.Atrofi
kulit
pada
kelopak
mata
Steroid menginduksi peningkatan tekanan intra okular dapat terjadi
pada pemberian topikal, periokular, nasal dan terapi sistemik
glukokortikoid. Perbedaan respons tiap individu : pada beberapa
individu bisa terdapat peningkatan TIO hingga 4% - diatas 31 mmHg
setelah 6 minggu terapi dengan topical kortikosteroid (dexamethasone).
Mekanisme dari steroid yang menurunkan fasilitas akuos humor melalui
trabecular meshwork belum bisa dipastikan dengan jelas.
Respons individual dari steroid sangat tinggi tergantung dari durasi,
kekuatan, dan frekuensi dari terapi dan potensi dari agen yang
digunakan. Steroid menginduksi peningkatan TIO hampir tidak
pernah terjadi pada kurang dari 5 hari dan bahkan kurang dari 2
minggu.
BAB
III
PENUTUP
Kortikosteriod adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan
dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis atau

atas
angiotensin
II.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok besar berdasarkan atas
aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid
(mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga
bersifat anti inflamasi). Kelompok lain yaitu mineralokortikoid
(mengatur
kadar
elektrolit
dan
air).
Efek kortikosteroid secara umum yaitu kortisol dan analog sintetiknya
dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat
radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Penggunaan klinik
kortikosteroid sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu
hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap
ada.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah
penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang juga
menyebabkan berkurangnya aktivitas makrofag. Akibatnya terjadi
penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T
sensitif
pada
makrofag.
Pada mata, kortikosteroid biasanya digunakan untuk mengobati
bengkak dan gatal pada mata yang disebabkan karena alergi, trauma,
atau
infeksi.
Kontraindikasi penggunaan kortikosteroid pada mata, yaitu pada
pasien dengan keratitis herpes simpleks superfisial akut, penyakit yang
disebabkan oleh jamur pada struktur bola mata, vaksinasi, varisela dan
banyak lagi penyakit yang disebabkan oleh virus pada kornea dan
konjungtiva, infeksi mikobakterium pada mata, penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme, hipersensitivitas, setelah pemindahan
yang
tidak utuh
pada
badan asing
superficial kornea.
Secara khusus, efek samping penggunaan kortikosteroid pada mata
paling sering terjadi pada pemberian dalam jangka waktu lama yaitu
glaukoma dan katarak. Pada glaukoma, terjadi peningkatan tekanan
intra okuler yang disertai dengan kerusakan saraf optik. Jenis glaukoma
yang biasa terjadi yaitu glaukoma sudut terbuka. Secara teori,
kortikosteroid menginduksi protein (miosilin) yang berada di daerah
trabekulum sehingga menyebabkan terjadinya edema di daerah
tersebut. Edema tersebut yang menginduksi terjadinya glaukoma sudut
terbuka.
Efek samping yang lain yaitu kortikosteroid bisa menyebabkan
terjadinya katarak. Jenis katarak yang bisa terjadi yaitu katarak
posterior sub kapsular. Biasanya pada penggunaan kortikosteroid
dalam jangka waktu yang lama bisa menyebabkan katarak posterior
sub kapsular. Patofisiologi terjadinya katarak akibat pemberian
kortikosteroid dalam jangka waktu lama belum bisa dipastikan dengan
jelas. Namun yang pasti jenis kortikosteroid yang bisa menyebabkan
terjadinya katarak yaitu jenis glukokortikoid. Ini semua berhubungan
dengan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, dan berhubungan
dengan anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid.

You might also like