You are on page 1of 31

Chrons Disease

Pendahuluan
Chrons disease (CD) merupakan kelainan inflamasi kronis yang dapat mengenai usus
halus dan usus besar. Inflamasi berlangsung diseluruh lapisan dinding usus dan melibatkan nodus
limfatik dan mesentrikus. 1
Epidemiologi
CD ditemukan diberbagai belahan dunia, dengan prevalensi 10 hingga 100 kasus per
100.000 orang. Gangguan ini sering ditemukan pada orang Eropa, dan 3 hingga 8 kali lebih
sering pada etnis Yahudi. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada negara maju. 1
Patogenesis
Berbagai penelitian mendukung teori berlebihnya sel Th1 dan Th17 serta sitokin yang
berhubungan dengannya memiliki peran penting dalam perkembangan penyakit ini. Model
hewan dan manusia menunjukkan peningkatan faktor transkripsi sel T berperan penting dalam
respon sitokin. Bukti terkini dari peran penting sel Th1 dan Th17 menyebabkan CD adalah
efektivitas terapi biologis yang ditujukan pada interferon gamma, IL-2 dan IL-23 dalam terapi
CD. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa TNF merupakan mediator sentral dari CD yang
diturunkan dari Th1, dan merupakan target terapi yang penting. Berbagai terapi yang ditujukan
pada TNF menunjukkan hasil yang baik seperti pemberian infliximab, adalimumab dan
certolizumab pegol.2
Distribusi Anatomis
Chrons disease dapat mengenai traktus gastrointestinal dari mlut hingga anus. Biasanya
dapat dibagi berdasarkan keterlibatan usus halus (30%), usus halus dan usus besar (50%) dan
hanya usus besar (20%). Jika mengenai usus halus, 80% ileum terminalis akan terlibat, hanya
pada 20% kasus area lain ikut terlibat. Pada keterlibatan kolon (Chrons colitis), sering terjadi
pankolitis dengan rektum normal, dengan 30% diantaranya segmental. Sebagian kecil penyakit
melibatkan bagian proksimal traktus gastrointestinal seperti mulut, lidah, esofagus dan
duodenum.1
1

Gejala Klinis
Onset penyakit Chron biasanya perlahan dengan perjalanan klinis yang beragam.
Kebanyakan pasien mengalami episode simptomatik berulang diikuti dengan periode remisi.
Nyeri perut dan diare merupakan gejala klinis tersering. Berbeda dengan kolitis ulseratif, Chrons
disease memiliki karakteristik diare sering kali tanpa berdarah. Demam dan penurunan berat
badan sering ditemukan. Secara umum lokasi dan fenotipe penyakit (inflamatori, striktur atau
perforatif) serta beratnya inflamasi menentukan gejala klinis yang akan dialami. Sering
ditemukan komplikasi fistula. Fistula dapat menyebabkan berbagai gejala tergantung lokasi dan
organ yang terlibat. Striktura dapat menyebabkan gejala obstruktif. Wasting dan kakeksia
mengindikasikan malnutrisi yang signifikan.2
Illeokolitis
Lokasi tersering CD adalah ileum terminalis dengan gejala tersering ileokolitis riwayat
kronis dari episode berulang nyeri perut kanan bagian bawah dan diare. Terkadang menyerupai
apendisitis akut dengan teraba massa, demam dan leukositosis. Nyeri umumnya kolik dan
berkurang setelah defekasi. Demam tinggi mengindikasikan abses intraabdominal. Massa pada
perut kanan bawah terdiri atas usus yang meradang, mesentrium dan pembesaran nodus
limfatikus. Terjadi edema, penebalan usus serta fibrosis dinding usus disekitar massa
memberikan gambaran radiografis string sign.3
Penyakit inflamatori ekstensif akan menyebabkan malabsorpsi dan steatorea. Defisiensi
nutrisi dapat disebabkan intake kurang dan kehilangan protein dan nutrisi lainnya. Malabsorbsi
dapat menyeabkan hipoalbuminemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, koagulopati dan
hiperoksalouria. Pellagra akibat defisiensi niacin dapat ditemukan pada usus halus. Diare
merupakan karakteristik peyakit aktif yang disebabkan (1) pertumbuhan bakteri pada stasis
obstruktif atau fistula. (2) Malabsorpsi asam empedu akibat reseksi ileum terminal dan (3)
inflamasi intestinal dengan penurunan absorpsi air dan peningkatan sekresi elektrolit.3
Kolitis dan Gangguan Perianal
Pasien kolitis tampil dengan demam, diare, nyeri perut dan terkadang hematoschezia.
Nyeri disebabkan pergerakan feses melewati segmen usus yang meradang atau menyempit.
2

Megakolon toksis jarang ditemukan dan dapat terjadi pada pasien dengan inflamasi berat.
Striktur kolon dapat terjadi pada 4-16% pasien dengan gejala obstruksi. Dapat terjadi fistula
kolon menuju lambung atau duodenum dan mengakibatkan muntah berfeses, atau menuju usus
halus proksimal menyebabkan malabsorbsi dan pertumbuhan bakterial. Fistula perinal ditemukan
pada sepertiga pasien dengan manifestasi inkontinensia, striktura anal, fistula anorektal dan abses
perirektal. Tidak semua pasien dengan fistula perianal akan ditemukan inflamasi kolon pada
endoskopinya.3
Pemeriksaan Endoskopis
Tahap awal
Berbeda dengan kolitis ulseratif dimana perubahan yang terjadi difus, lesi awal penyakit
Crohn tidak terlalu jelas dan seringkali tampak normal. Perubahan endoskopis awal
memperlihatkan area edema kecil yang menghalangi pola vaskuler normal. Sering nampak noda
hiperemis kecil tanpa ulkus. Ulkus aptoid dapat ditemukan. Diagnosis diferensial pada tahap ini
adalah NSAID, amubiasis, herpes, Bechets disease, infeksi Yersina dan tuberkulosis.4
Tahap lanjutan
Terjadi ulserasi superfisial ekstensif, yang merupakan tampilan endoskopis khas pada
Crohns disease. Ulkus longitudinal dan lebih dalam dari ulkus aptoid dengan tepian menimbul.
Tampilan cobble stone hampir merupakan diagnostik Crohns disease, cobble stone berkaitan
dengan ulserasi persisten.4
Pemeriksaan Histologis
Lesi awal berupa ulkus aphtoid dan abses kripta fokal dengan agregasi jarang dari
makrofag yang membentuk granuloma non kaseosa pada seluruh lapisan dinding usus.
Granuloma dapat ditemukan pada nodus limfatikus, mesentrium, peritoneum, hati dan pankreas.
Meskipun granuloma merupakan patognomonik untuk CD namun jarang ditemukan pada biopsi
mukosal. Reseksi bedah akan mendapatkan granuloma pada setengah kasus. Tampilan histologis
lain adalah agregasi limfoid submukosal atau subserosal, skip area mikroskopik dan inflamasi
transmural yang disertai fisura yang dalam menuju dinding usus dan terkadang membentu traktus
fistula atau abses lokal. 3
3

Penatalaksanan
1.Proton Pump Inhibitor
Umumnya disarankan untuk mencoba PPI pada terapi awal karena asam lambung dapat
memperberat ulkus Crohn.5
2.Sulfasalazin
Sulfalazin membentuk ikatan pada ileum distal kolon dan kemungkinan tidak bermanfaat pada
Crohns disease proksimal.5
3.Mesalamin
Mesalamin merupakan obat pH dependen. Mesalamin lepas lambat berikatan pada granula
metilselulosa dan sebagian dilepaskan pada usus halus proksimal oleh sebab itu bermanfaat pada
penyakit di gastroduodenal.5
4.Steroid
Pemberian steroid menunjukkan respon klinis yang baik.5
5.Azatriopin, 6-merkaptopurin
Pasien yang tetap simptomatik dengan steroid , steroid dependen atau membutuhkan terapi
pemeliharaan obat ini direkomendasikan.5
6.Dilatasi Balon
Keadaan stenosis dengan obstruksi memerlukan terapi agresif dengan dilatasi balon untk
mengatasi obstruksi.5
7.Operatif
Strikturoplasti bermanfaat dalam mengatasi stenosis yeyenum dan ileum.5

Gangguan Elektrolit dan Albumin pada Diare


Sekresi dan absorpsi elektrolit berlangsung disepanjang saluran cerna setiap harinya.
Dalam keadaan normal 7 hingga 8 L cairan disekresikan dan hampir seluruh sekresi dan cairan
yang ditelan akan kembali diserap. Saluran cerna terbagi atas berbagai segmen dengan transpor
ion berbeda dan channel yang berinteraksi untuk mengatur volume dan kandungan elektrolit
saluran cerna. Di sepanjang saluran cerna, transpor cairan dan elektrolit diatur terutama oleh
Na/K ATPase pada membran basolateral dari sel epitel. Beberapa transporter elektrolit membrane
yang berperan diantaranya ion exchanger Cl/HCO-3 dan Na/H serta saluran cystic fibrosis
transmembrane conductance regulator (CFTR) Cl yang seluruhnya didapatkan pada berbagai
segmen saluran cerna, dan H/K-ATPase yang berkumpul pada lambung dan kolon. Gangguan
fungsi dan stimulus abnormal transporter ion ini menyebabkan berbagai gangguan elektrolit dan
asam basa.6,7
Gangguan Elektroit pada Diare
Jika kehilangan cairan cukup besar maka akan terjadi gangguan asam basa dan elektrolit,
gangguan yang terjadi bergantung pada jenis elektrolit terbanyak yang hilang. Pada diare
inflamasi (seperti kolitis ulseratif, Chrons disease) volume tinja biasanya mencapai 3 L/hari
dengan kehilangan air dan elektrolit yang dapat disesuaikan. Penyesuaian mekanisme intake dan
regulasi ginjal mempertahankan asam-basa normal dan keseimbangan volume. Pada kehilangan
yang besar, akan terjadi penurunan cairan ekstraseluler, penurunan LFG dan ketidakmampuan
ginjal mengkoreksi abnormalitas. Hal ini sering terjadi pada diare sekretorik dengan gejala yg
sering yaitu hipotensi, gagal ginjal akut, asidosis metabolik hiperkloremik dan hipokalemia.7
Gangguan Albumin pada Diare
Hubungan antara diare dan albumin sering menjadi kontroversi, Brison & Kolts (1987)
mempelajari pasien ICU dengan diare dan mendapatkan bahwa pasien dengan kadar albumin
kurang dari 2,6 g/dL menderita diare, sedangkan pasien dengan albumin diatasnya tidak. Namun
Patterson dkk (1990) menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan insidensi diare pada pasien
hipoalbuminemia dan normoalbuminemia. Pesola dkk (1990) justru mendapatkan bahwa pada

pasien rawatan ICU dengan diare memiliki kadar albumin serum rerata yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan yang tidak mengalami diare.8,9,10
Hipoalbuminemia yang berakibat penurunan tekanan onkotik dapat menimbulkan diare
akibat penurunan tekanan Sterling yang diperlukan untuk menahan cairan. Beberapa peneliti
berpendapat bahwa pemberian nutrisi dan koreksi defisit albumin dengan Albumin intravena
dapat menormalisasi kadar albumin dan meningkatkan toleransi enteral feeding dan mengatasi
diare. Namun pada pasien dengan hipoalbuminemia akibat sirosis atau sindroma nefrotik tidak
selalu mengalami diare.11

Congestive Heart Failure

Pendahuluan
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat
memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa
penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik,
gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat
menyebabkan kematian pada pasien. Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan
gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung
kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis. 12
Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan
penanganan gagal jantung. klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu : 12

Klasifikasi Killip
Stevenson
NYHA.

Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan
pembagian: 12
6

Derajat I : tanpa gagal jantung


Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan

peningkatan tekanan vena pulmonalis


Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik _ 90 mmHg) dan
vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis) kongesti paru, dan perbaikan
oksigenasi jaringan.

Klasifikasi Stevenson membagi penderita menjadi empat kelas, yaitu: 12

Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm)


Kelas II (B) : basah dan hangat (wet warm)
Kelas III (L) : kering dan dingin (dry cold)
Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet cold).

Menurut New York Heart Association ( NYHA ), gagal jantung di klasifikasikan berdasarkan
pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari : 2

Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV

: sesak nafas ketika aktivitas berat


: sesak nafas ketika aktivitas sedang
: sesak nafas ketika aktivitas ringan
: sesak nafas ketika istirahat

Etiologi
Secara epidemiologi cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di
negara berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak
sedangkan di negara berkemban yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung
katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk
menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada
penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal
jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan
merokok merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. 13
Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga
dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah
dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi
dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel
kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
7

meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik
itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi
ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. 13
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan
oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit
pada perikardial. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi
abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain
miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan
poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal
dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan pada
serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan
dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati
restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk,
tidak

membesar

dan

dihubungkan

dengan

kelainan

fungsi

diastolik

(relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.13,14


Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,
walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan
stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta
menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload).

14

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan


gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial
fibrilasi).

Konsumsi

kardiomiopati

alkohol

dilatasi

yang

(penyakit

berlebihan
otot

jantung

dapat

menyebabkan

alkoholik).

Alkohol

menyebabkan gagal jantung 2 3% dari kasus. Alkohol juga dapat


menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat obatan juga
dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan
obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung
akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.14

Penyebab lain yang dapat meningkatkan resiko gagal jantung seperti anemia,
tirotoksikosis, sespsis gram negatif, arteriovenous fistula dan paget's disease. Pada anemia terjadi
pengiriman oksigen yang tidak memadai ke bagian tubuh yang penting sehingga jantung harus
bekerja lebih keras dan memompa lebih banyak oksigen ke seluruh tubuh. Pada anemia suplai
oksigen sendiri ke otot jantung juga berkurang sehingga dapat menyebabkan iskemik atau infark.
Penyakit otot jantung seperti amiloidosis atau kardiomiopati juga merusak otot jantung dan
dapat menyebabkan gagal jantung. 15
Diagnosis
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara luas.
Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal 2 kriteria mayor atau satu kriteria
mayor disertai 2 kriteria minor. Kriteria minor tersebut dapat diterima jika kriteria minor tersebut
tidak berhubungan dengan penyakit seperti hipertensi pulmonal, ppok, sirosis hati atau sindroma
nefrotik.
Kriteria Framingham
Kriteria mayor
Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea
Edema malleolus bilateral
Distensi vena leher
Dyspnea pada exersise biasa
Krepitasi
Takikardia(.120/min)
S3 gallop
Batuk nocturnal
Kardiomegali (rasio kardiotorak .
Hepatomegali
50% pada rontgen torak)
Edema pulmonal akut
Efusi pleura
Reflux hepatojugular
Penurunan dalam kapasitas vital
dalam 1/3 dari maksimal
Peningkatan tekanan vena sentral
(.16cmH2O pada atrium kanan)
Penurunan berat badan .4,5kg
dalam 5 hari sebagai respon
terhadap pengobatan
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal
jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi
jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah semua pasien dengan tanda gagal
jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan
fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior,
9

hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi
sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.16
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab
susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal
jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul
hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung
yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya
gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan
serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis
tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada
pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul
pada gagal jantung dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat
potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya dapat abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum
fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. 16,17
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara non
farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi
untuk penatalaksaan paripurna penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu
akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan progosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita
mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya.12,18
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan
menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat
dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan
pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta
pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung
kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang
positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap
sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelangsungan hidup belum dapat
dibuktikan..18
10

Obat-obatan pada penanganan gagal jantung kronis:


1.Diuretik
Bilamana digunakan sebagai monoterapi, tingkat keefektifan mencapai kira- kira 30-40%
dari pasien- pasien dan paling membantu untuk menurunkan tekanan darah sistolik. Harga murah
dan berdasarkan hasil meta- analisa menunjukkan terapi diuretic mampu menurunkan kadar
mortalitas kardiak dan juga stroke. Juga merupakan terapi antihipertensi efektif pada golongan
tua.
2. Angiotensin- converting enzyme inhibitor
ACE-I bertindak sebagai agen pemblokir konversi angiotensin I inaktif menjadi
angiotensin II. Agen ini mempunyai kadar sukses 50% sebagaimonoterapi dan bila digunakan
sebagai terapi kombinasi dengan diuretic dosis rendah, beta bloker atau calcium channel blocker.
ACE-I amatlah berkesan dalam mengontrol tekanan darah pada hamper 80% pasien.
3. Beta- bloker
Penggunaan monoterapi beta- bloker efektif terhadap 50-60% pasien, terutama di
kalangan yang dengan system renin- angiotensin yang teraktivasi. Obat ini menurunkan tekanan
darah dengan menurunkan denyut jantung serta menurunkan kontraktilitas jantung serta curah
jantung.
4. Mineralokortokoid/ aldosterone receptor antagonist
Spironolactone dan eplerenone menblok reseptor yang berikatan dengan aldosterone dan
kortikosteroid yang lain.

5. Angiotensin receptor blocker


Agen ini secara selektif memblokir reseptor angiotensin II, memberikan efek vasodilatasi
yang mirip dengan ACE-I. agen ini sering digunakan jika pasien tidak toleran terhadap ACE-I.
6. Ivabradine

11

Ivabradine adalah obat yang meninhibisi kanal If di nodus sinus. Obat in hanya
menurukan denyut jantung pada pasien dengan ritme sinus (tidak menurunkan denyut ventrikel
pada fibrilasi atrial.
7. Digoxin dan glikosida digitalis lainnya
Pada pasien dengan simptomatik gagal jantung dan fibrilasi atrial, digoxin dapat
membantu menurunkan kecepatan ventrikel. Digoxin juga dapat digunakan pada pasien dengan
gagal jantung dan ejeksi fraksi jantung kiri <40%. 18
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2 l/hari) dan
pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat membantu
perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. 18

Akut Tubular Nekrosis


Pendahuluan
Gagal ginjal akut adalah penurunan mendadak dari fungsi ginjal dalam 48 jam yaitu
berupa kenaikan kadar kreatinin serum 0,3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum 50%
( 1,5 x dari kenaikan dari nilai dasar ), atau pengurangan produksi urin ( oliguria yang tercatat
0,5 ml/kgbb/jam dalam waktu lebih dari 6 jam. Acut tubular necrosis ( ATN ) adalah penyebab
gagal ginjal akut yang paling umum pada pasien yang sakit kritis. Dan penyakit ini ada sekitar
75% kasus gagal ginjal akut. ATN mencederai segmen tubular nefron, sehingga menyebabkan
gagal ginjal dan sindrom uremik. Mortalitasnya bisa sebesar 70% tergantung pada komplikasi
akibat penyakit mendasar. Penderita ATN non oligurik mempunyai prognosis yang lebih baik.
19,20

Etiologi
Penyebab utama dari akut tubular nekrosis yaitu adanya iskemia ginjal ( yang disebabkan
oleh hipoperfusi yang berkepanjangan ) dan cedera nefrotoksik ( terdapatnya material-material
12

yang beracun pada ginjal ). Keadaan hipoperfusi pada ginjal dapat disebabkan oleh hipovolemia
atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Segala unsur yang dapat menyebabkan
terjadinya iskemi dapat berakibat pada ATN, seperti perdarahan hebat yang sulit ditangani, shock
sepsis, luka bakar yang parah dan dalam, dehidrasi, diare berkepanjangan, gagal jantung
kongestif, dan volume redistribution (seperti pada pankreatitis, dan peritonitis). Setiap gangguan
hemodinamik dapat menyebabkan iskemia ATN. 19,20
ATN iskemi dapat terjadi karena berkurangnya perfusi (distribusi darah dan oksigen)
pada ginjal (hipotensi). Sel epitel tubulus merupakan sel yang selalu membutuhkan energi kuat
untuk aktivitas metabolismenya dan organel yang jumlahnya banyak. Jika sel-sel ini kekurangan
energi (dalam hal ini nutrisi dan oksigen), maka sel-sel epitel tubulus ini akan mengalami
kerusakan. Apalagi sel-sel ini sangat sensitif terhadap keadaan hipoksia dan anoksia sehingga
dapat terjadi kekurangan tenaga dengan sangat cepat. Akibatnya sel-sel ini akan mengalami
pemipihan (flattened) dan kadang-kadang terjadi nekrosis, akan tetapi hanya bersifat lokal
sehingga dikatakan sifatnya reversibel. 19,20
Nefrotoksin merupakan zat-zat kimia yang dapat meyebabkan efek toksik pada ginjal,
seperti antibiotik (golongan aminoglikosida, dan amphotericin B), agen kontras radiografi, heavy
metal seperti merkuri, dan cisplatin yang biasa digunakan untuk kemoterapi, zat organik (seperti
etilen glikol, dan karbon tetraklorida), dan racun-racun lainnya (contoh: paraquat yang
merupakan antibakteri pada tanaman). Nefrotoksik berarti bersifat toksik pada ginjal. Kenapa
yang sering terkena adalah sel epitel tubulus? Karena sel-sel epitel tubulus berhubungan
langsung dengan toksin-toksin, dan mereka akan menyerap dan mengkonsentrasikan toksintoksin tersebut. Seperti yang telah disebutkan tadi, myoglobin dan hemoglobin merupakan
nefrotoksin endogen. 19,20
Manifestasi klinik
Gagal ginjal akut merupakan manifestasi tersering, meningkatnya level kreatinin serum,
oliguria, pada urinalisis, terdapat sel epitel yang berdegenerasi dan adanya casts granular yang
berwarna coklat kotor (pada acute glomerulonefritis terdapat sel darah merah, pada acute tubule
interstitial terdapat pyuria dan sel darah putih). 19,20
Pada ATN juga didapatkan manifestasi klinik seperti penurunan volume output urin,
sindroma uremik yang disertai oliguria ( anuria jarang terjadi ), lesu dan selaput lender dan kulit
yang kering. Pada pemeriksaan darah didapatkan hiperkalemia, asidosis metabolik dan kenaikan
kadar ureum dan kreatinin darah. Urinalisis memperlihatkan sedimen kencing yang mengandung
sel darah merah dan struktur silinder dan urin cair yang memiliki gravitasi spesifik rendah
13

(1,010), osmolalitas rendah (kurang dari 400 m0sm/kg) dan kadar natrium tinggi (40 sampai 60
mEq/L). Elektrokardiografi bisa menunjukkan aritmia (akibat ketidakseimbangan elektrolit) dan,
jika terjadi hiperkalemia, elektrokardiografi menunjukkan pelebaran kompleks QRS, gelombang
P hilang dan gelombang T yang tinggi dan berpuncak. 19,20
Penatalaksanaan
1.Diuretik
Pemberian diuretik dan infusi cairan dalam volume besar akan membilas tubula struktur silinder
seluler (cellular casts) dan debris yang menggantikan cairan yang hilang. Untuk manajemen
jangka panjang, kehilangan cairan yang terlihat dan terhitung (termasuk kehilangan yang tidak
dapat dirasakan) harus digantikan setiap hari.
2.Transfusi
Transfusi darah kemasan diberikan jika penderita mengalami anemia. Keadaan anemia dapat
menyebabkan keadaan hipovolemia.
3. Natrium polistiren sulfonat dengan sorbitol
Natrium polistiren sulfonat dengan sorbitol bisa diberikan secara oral atau dengan enema untuk
menurunkan kadar kalium ekstra selular.
4. Dialisis peritoneal atau hemodialisis
Dialisis peritoneal atau hemodialisis bisa diperlukan jika pasien berada dalam keadaan katabolic.
19,20

ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat pasien perempuan 30 tahun di bangsal penyakit dalam RSUP dr. M. Djamil
Padang, sejak tanggal 25 Maret 2015 dengan :
Keluhan utama saat masuk : Mencret meningkat sejak 2 hari yang lalu.

14

Riwayat Penyakit Sekarang ( Alloanamnesa):


o Mencret meningkat sejak 2 hari yang lalu, frekuensi 4-6 x/hari, volume - 1 gelas/ kali
mencret, konsistensi encer, cairan lebih banyak dari ampas, bercampur darah, berlendir tidak
ada, BAB berlemak. Mencret sudah dialami sejak 2 tahun yang lalu dan selalu disertai darah.
Nyeri dirasakan setiap akan BAB.
o Nyeri perut dialami meningkat sejak 2 hari yang lalu, nyeri terasa seperti diremas, nyeri
sudah dialami sejak mencret-mencret dirasakan pasien, nyeri bersifat hilang timbul. Perut
juga terasa kembung.
o Pucat dialami pasien sejak 2 tahun yang lalu.
o Badan terasa lemah dan letih dirasakan sejak 1 tahun terakhir.
o Sesak nafas dirasakan pasien sejak 1 tahun yang lalu, sessak berhubungan dengan aktifitas
dan tidak berhubungan dengan cuaca. Riwayat terbangun tengah malam karena sesak ada,
riwayat tidur nyaman dengan bantal ditinggikan ada.
o Penurunan nafsu makan sejak 3 bulan yang lalu, makan hanya sedikit, 1 x/ hari, 1-2 sendok
per kali makan.
o Sembab pada kedua tungkai sejak 3 bulan yang lalu.
o Perut terasa membesar sejak 3 bulan yang lalu.
o Batuk dialami sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak ada tapi dahak susah
dikeluarkan, batuk berdarah dan berlendir tidak ada.
o Mual dan muntah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, muntah frekuensi 2-3 x/ hari,
volume gelas aqua /x muntah.
o Penurunan berat badan disangkal.
o Demam disangkal.
o Pasien sebelumnya sudah dirawat di Rumah sakit muaro bungo selama 3 hari dan sudah
ditransfusi sebanyak 2 kantong. Selama sakit pasien total sudah transfusi sebanyak 6 kantong
darah. Pasien juga sudah pernah dirawat 3 bulan yang lalu dan dikatakan menderita ginjal
bocor oleh dokter.
o BAK dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
15

Riwayat hipertensi disangkal.

Riwayat sakit gula disangkal.

Riwayat sakit jantung tidak ada.

Riwayat sakit batuk lama dan minum obat 6 bulan disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga pasien yang menderita sakit gula.


Tidak ada keluarga pasien yang menderita hipertensi.
Tidak ada keluarga pasien yang menderita sakit batuk lama.
Tidak ada keluarga pasien yang meminum obat 6 bulan.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi dan Status Perkawinan

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan memiliki 1 orang suami dan 2 orang anak.
Pasien bekerja sebagai petani.

Pemeriksaan Umum
Kesadaraan

: CMC

KeadaanUmum

: Sedang

Tekanan Darah

: 110/80 mmHg

Frekuensi Nadi

: 98 x/mnt, denyut teratur, pengisian cukup.

Frekuensi Nafas

: 22 x/mnt

Suhu

: 370C

BB

: 55 kg

TB

: 160 cm

BMI

: 21,48 ( normoweight )
16

Ikterus

: (-)

Edema

: (+)

Kulit

: Turgor baik, tampak pucat, ikterik (-)

Kelenjar Getah Bening

: Tidak membesar

Kepala

: Normocephal

Rambut

: Beruban, tidak mudah dicabut

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik

Telinga

: Aurikula menebal (-), tumor (-)

Hidung

: Deviasi septum (-), konka hiperemis (-)

Tenggorokan

: Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1

Gigi dan Mulut

: Caries (-), candida (-), atropi papil (-), hipertropi gusi (-)

Leher

: JVP 5+0 cmH2O


Kelenjar tiroid tidak membesar.

Dada
Paru depan
Inspeksi

: Simetris kanan = kiri, saat statis ataupun dinamis

Palpasi

: Fremitus kiri = kanan

Perkusi

: Sonor, batas pekak hepar RIC V.

Auskultasi

: Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

17

Paru belakang
Inspeksi

: Simetris kanan = kiri, statis dan dinamis

Palpasi

: Fremitus kiri = kanan

Perkusi

: Sonor, peranjakan paru hepar 2 jari.

Auskultasi

: Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-.

Inspeksi

: Iktus tidak terlihat

Palpasi

: Iktus teraba 2 jari lateral LMCS RIC VI

Perkusi

: Batas Jantung kanan : LSD, Atas : RIC II, kiri : iktus 2 jari lateral

Jantung

LMCS RIC VI, Thrill (-)


Auskultasi

: Irama teratur, M1 > M2, P2 < A2, Bising (-)

Inspeksi

: Tampak membesar.

Palpasi

: Hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi

: Shifting dullness (+)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal.

Abdomen

18

Punggung

: Nyeri tekan dan nyeri ketok CVA tidak ada .

Alat kelamin

: Tidak ada kelainan.

Anus

: Tidak ada kelainan.

Anggota Gerak

: Reflek fisiologis (+/+), Reflek Patologis (-/-), Edema +/+

Laboratorium
Hemoglobin

: 12,2 gr/dl

Leukosit

: 5.400 /mm3

Hematokrit

: 37 %

Trombosit

: 182.000/mm3

DC

: 0/0/3/88/8/1

Gambaran darah tepi : Anisositosis normokrom

Urinalisa :
Mikroskopik :

Makroskopik :

Leukosit : 6-7 / LPB

Warna : Kuning muda

Eritrosit : 3-4 / LPB

Kekeruhan : Negatif

Silinder granuler : negatif

BJ : 1.020

Protein urin : -

PH : 6,0

19

Urobilinogen : positif

Feses :
Makroskopis :

Mikroskopis :

Warna : kuning

Leukosit : 3-4

Konsistensi : encer

Eritrosit : 0-1

Darah : -

Amuba : tidak ditemukan

Lendir : +

Cacing : tidak ditemukan

EKG :
Irama : sinus

PR interval : 0,16 detik

QRS kompleks : 0,08 detik

SV1 + RV5 < 35

HR : 100 x/I, reguler

R/S V1 < 1

ST segmen : isoelektrik

Gelombang T : T tall

Axis : normal

Kesan : sinus rhtym

Daftar Masalah

Diare kronik
Hematoskezia
Kardiomegali
Edema tumgkai
Asites
Batuk
Leukosit uria

Diagnosis Kerja :
Kolitis Ulserativ
20

CHF fc II LVH RVH irama sinus ec anemia heart disease


Infeksi saluran kemih

Dianosis Banding :

Kolitis TB
Chron disease
CHF fc II LVH RVH irama sinus ec ASHD

Terapi :

Istirahat/ Diet rendah serat DJ II


Ceftriaxone 1 x 2 gr
Furosemide 1 x 20 mg
Ambroxol syr 3 x C1
Domperidon 3 x 1 tab
Paracetamol 3 x 500 mg
Lansoprazole 1 x 30 mg

Pemeriksaan anjuran :
Darah perifer lengkap ( retikulosit, MCV, MCH, MCHC )
Faal ginjal ( ureum, creatinin )
Albumin, globulin
Elektrolit ( Na, K, Cl, Kalsium )
BTA feces
Kultur urin
Rontgen thorax
Echocardiography
Kolonoskopi biopsi

Follow Up
Tanggal 25 Maret 2015

21

S/ Mencret (+) berdarah (-), nyeri perut (+), nyeri BAK (-), mual (+), sesak nafas (-), letih lesu
(+)
O/ KU : Sedang

Ksdrn : CMC

TD

Nafas : 22 x/ mnt
Laboratorium :

Nadi

Suhu : 370 C

: 90 x/ mnt

Retikulosit

: 0,9 %

MCV

: 86 fL

MCH

: 28 pg

MCHC

: 33 %

Ureum

: 134 mg/dl

Creatinin

: 1,7 mg/dl

Natrium

: 127 mmol/l

Kalium

: 7,5 mmol/l

Chlorida

: 110 mmol/l

Kalsium

: 6,5 mmol/l

TKK

: 42,01

Volume urin

: 300 cc/ 24 jam

Balance cairan

: -175 cc

Kesan

: 110/80 mmHg

AKI rifle R ec renal ec akut tubular nekrosis


Hiperkalemia
Hiponatremia
Hipokalsemia
22

Planning

Diet RP 44 gr
IVFD NaCl 0,9 % 12 jam/kolf
Inj Ca gluconas 1 x 1 ampul
Kalitake 3 x 1 sachet
USG ginjal
Cek ureum creatinin per 3 hari

Tanggal 28 Maret 2015


S/ Mencret (+) tidak berdarah, batuk (-), sesak nafas (-), nyeri perut (+)
O/ KU : Sedang
Nafas : 17 x/ mnt

Ksdrn : CMC
Nadi : 80 x/ mnt

TD
: 120/70 mmHg
Suhu : 36,70 C

Laboratorium :
Ureum

: 119 mg/dl

Kreatinin

: 1,6 mg/dl

Natrium

: 131 mmol/l

Kalium

: 5,7 mmol/l

Chlorida

: 113 mmo/l

Kalsium

: 6,1 mmol/l

BTA feses

: negatif

Foto rontgen thorax : Kardiomegali


Susp bronkopneumonia
Volume urine

: 500 cc
23

Balance cairan

Kesan :

: + 350 cc

CHF fc II LVH RVH irama sinus ec anemia heart disease


AKI rifle R ec renal ec akut tubular nekrosis perbaikan
Hipokalemia perbaikan
Hiponatremia perbaikan
Hipoklsemia

Planning :

Inj Ca gluconas 1 x 1 amp


Kalitake sachet 3 x 1
Kolonoskopi biopsy
Kultur sputum
Echocardiography

Tanggal 30 Maret 2015


S/ Mencret (+), nyeri perut berkurang, sesak nafas (-), batuk (-)
O/ KU : Sedang
Nafas : 23x/mnt
Kolonoskopi :

Ksdrn : CMC
Nadi : 90x/ mnt

Volume urine :
Balance cairan :

Susp kolitis TB DD/ Chrons disease


Hemorrhoid interna grade II
500 cc
+ 50 cc

Kesan
Planning

Susp kolitis TB
Histopatologi

:
:

TD
: 120/80 mmHg
Suhu : 36,90 C

Tanggal 1 Maret 2015


24

S/ Mencret (+), nyeri perut berkurang, sesak nafas (-), batuk (-)
O/ KU : Sedang
Nafas : 23x/mnt

Ksdrn : CMC
Nadi : 90x/ mnt

TD
: 120/80 mmHg
Suhu : 36,90 C

Laboratorium
:
Hb
: 11,8 gr/dl
Ht
: 36 %
Leukosit
: 6200/mm3
Trombosit
: 201.000/mm3
Ureum
: 119 mg/dl
Creatinin
: 1,3 mg/dl
Natrium
: 133 mmol/l
Kalium
: 5,5 mmol/l
Chlorida
: 116 mmol/l
Kalsium
: 7,7 mmol/l
Albumin
: 1,9 gr/dl
Globulin
: 2,8 gr/dl
Volume urin : 300 cc
Balance cairan : - 50 cc
USG ginjal :
Histopatologi :

Gambaran sonogram kedua ginjal sesuai dengan penyakit ginjal akut


Colitis kronis eksaserbasi akut

Kesan

Planning

Chrons disease
AKI rifle R ec renal ec akut tubular nekrosis perbaikan
Hipokalemia perbaikan
Hipokalsemia perbaikan
Hipoalbuminemia
Transfusi albumin 20 % 100 cc
Sulfasalazin 2 x 1000 mg ( 2 minggu )
Aff infus
Barium follow through ( barium meal )

Tanggal 6 Maret 2015


S/ Mencret (+) berdarah (-), nyeri perut (+), sesak nafas (+), batuk (+), nyeri saat BAK (+),
demam (+)
O/ KU : Sedang
Nafas : 25x/mnt

Laboratorium

Ksdrn : CMC
Nadi : 103x/ mnt

TD
: 130/90 mmHg
Suhu : 37,90 C

:
25

Kolesterol total

: 164 mg/dl

HDL

: 12 mg/dl

LDL

: 132 mg/dl

Trigliserida

: 90 mg/dl

Natrium

: 132 mmol/l

Kalium

: 5,5 mmol/l

Chlorida

: 116 mmol/l

Kalsium

: 7,9 mmol/l

Ureum

: 121 mg/dl

Kreatinin

: 1,6 mg/dl

Echocardiography

Dimensi ruang jantung normal


Kontraktilitas LV baik
EF : 68 %
Normokinetik global
Katup baik
Pericardial eff di apical 1,56 cm
RA kolaps saat diastolik
Kesan
Planning

:
:

Pericardial effusion
Awasi tanda tamponade jantung
Lasix 1 x 1 ampul
26

Konsul ke bagian cardiologi untuk perikardiosintesis

Diskusi

Telah dirawat seorang perempuan 30 tahun dengan diagnosis akhir :

Diare kronis ec Crohns disease


CHF fc II LVH RVH irama sinus ec anemia heart disease
Perikardial efusi
AKI rifle R ec renal ec akut tubular nekrosis
Hipoalbuminemia ec low intake
Bronkopneumonia duplex

Pada awal masuk pasien didiagnosa dengan kolitis ulserativ karena dari anamnesa didapatkan
adanya diare kronik yang disertai darah. Pada diare kronik yang disertai darah kecurigaan awal
jatuh kepada kolitis ulserativ, karena menurut literatur pada kolitis ulsertiv sering dijumpai diare
27

kronik yang disertai darah sedangkan pada chrons disease biasanya jarang disertai dengan darah.
Pada pasien ini juga di diagnosis banding dengan kolitis TB karena Indonesia merupakan negara
endemik untuk kejadian TB.
Dari pemeriksaan BTA feses didapatkan hasil negatif yang dapat menyingkirkan diagnosa
dari kolitis TB, sedangkan pada pemeriksaan kolonoskopi didapatkan gambaran mukosa yang
hiperemis dengan ulkus memanjang yang multiple dengan adanya perdarahan pada rectum
dengan kesan colitis TB yang didiagnosis banding dengan chrons disease. Untuk gambaran khas
cobble stone pada chrons disease tidak ditemukan tetapi adanya ulkus yang multiple
menunjukkan adanya lesi dari chrons disease. Pemeriksaan histopatologi dari jaringan kolon
menunjukkan kesan adanya kolitis kronis eksaserbasi akut. Gambaran kolonoskopi dari chrons
disease sendiri mirip dengan gambaran kolitis TB.
Suatu studi dari Chatzicostas pada tahun 2000 melaporkan adanya suatu kolitis TB yang
menyerupai chrons disease dimana terapi tuberculosis memberikan respon baik dan
menghentikan diare. Studi retrospektif Navaneethan dkk pada tahun 2009 di Saudi Arabia
melaporkan bahwa dari 102 pasien, 51% diantaranya tidak dapat dibedakan kolitis TB atau CD
meskipun sudah dilakukan pemeriksaan histologis. Hal ini menegaskan bahwaCD dan kolitis TB
memiliki tampilan yang overlapping dansekalipun biopsy mendapatkan hasil konsisten dengan
Crohns disease namun penyebab tuberculosis belum bisa disingkirkan.
Diperlukan pemantauan respon pengobatan dan pemberian terapi tuberkulosis jika diare
masih berlanjut.Pada pasien ini diberikan terapi sesuai Crohns disease yaitu Sulfasalazine 2 x
1000 mg dan akan dinilai respon klinis terhadap pasien selama 2 minggu. Jika tidak ada
perbaikan makadirencanakan pemberian regimen terapi tuberculosis pada pasien ini. Pada pasien
juga dijadwalkan pemeriksaan barium follow trough untuk melihat apakah terdapat penyempitan
pada illeocaecal.
Pada pasien ini juga didiagnosa dengan CHF dimana dari anamnesa didapatkan adanya
riwayat sesak nafas sejak 1 tahun ini, adanya riwayat paroxysmal nocturnal dyspnoe dan dyspnoe
deffort serta adanya asites dan edema pada kedua tungkai. Dari pemeriksaan fisik juga
didapatkan adanya peningkatan tekanan vena jugularis dan adanya iktus yang bergeser ke lateral
bawah. Dari foto rontgen didapatkan adanya suatu gambaran kardiomegali dimana CTR > 50 %.
28

Sesuai dengan criteria farmingham dimana diagnosis CHF ditegakkan dari didapatkannya 2
kriteria major atau 1 kriteria major dan 2 minor, pada pasien ini didapatkan adanya 4 kriteria
major dan 2 minor.
Dari pemeriksaan echocardiography didapatkan adanya kesan pericardial efusi. Keadaan
pericardial efusi dengan adanya asites dan edema tungkai pada pasien ini selain disebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik akibat CHF juga disebabkan adanya keadaan hipoalbuminemia.
Untuk penumpukan cairan tersebut pada pasien diberikan diuretik. Salah satu tindakan pada efusi
pericardial

adalah

perikardiosintesis

untuk

mengeluarkan

cairan.

Untuk

tindakan

perikardiosinstesis pada pasien ini harus dikonsulkan dulu kepada bagian kardiologi. Pada
echocardiography juga didapatkan gambaran kolapsnya atrium dextra akibat adanya pericardial
efusi.
Penyebab dari CHF pada pasien ini dicurigai akibat adanya anemia heart disease, dimana dari
pasien didapatkan adanya riwayat pucat-pucat sejak 2 tahun yang lalu. Penyebab anemia sendiri
dicurigai dari adanya perdarahan kronis, dimana pada pasien didapatkan adanya diare kronik
disertai darah sejak 2 tahun yang lalu. Pasien juga mempunyai riwayat transfusi sebanyak total 6
kantong selama 3 bulan terkhakhir. Pada saat masuk didapatkan Hb 12,2 gr/dl pada pasien,
dimana 3 hari sebelum masuk RSUP m.djamil pasien sudah ditransfusi sebanyak 2 kantong.
Kejadian anemia yang lama dapat menyebabkan suplai oksigen ke perifer menjadi terganggu,
hal ini menyebabkan ventrikel kiri jantung akan meningkatkan kontraksinya dalam memompa
darah ke seluruh tubuh, hal ini lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya dilatasi dan
hipertrofi dari ventrikel kiri sehingga terjadi peningkatan tekanan pada ventrikel kiri yang akan
mengakibatkan aliran arus balik ke atrium kiri sehingga akhirnya dapat menyebabkan CHF.
Pada pasien ini juga terjadi suatu akut kidney injuri ( AKI ). Adanya peningkatan nilai
kreatinin dan volume urin yang kurang menjadi suatu tanda telah terjadi kelainan fungsi ginjal.
Dari USG ginjal didapatkan adanya gambaran akut pada kedua ginjal. AKI pada pasien ini
menyebabkan adanya suatu inbalance elektrolit pada pasien ini akibat terjadinya gangguan
fungsi sekresi, ekresi dan reabsorpsi dari ginjal.
Keadaan akut kidney injuri pada pasien ini disebabkan terjadinya akut tubular nekrosis,
dimana terdapat tanda-tanda ATN yaitu adanya uremia, hiperkalemia, kulit yang kering dan
29

volume output urin yang kurang. ATN sendiri disebabkan karena adanya hipoperfusi ginjal yang
berkepanjangan sehingga menimbulkan iskemia ginjal. Hipoperfusi ginjal dapat disebabkan
adanya keadaan hipovolemia, pada pasien ini adanya diare kronik. Penanganan ATN pada pasien
ini yaitu dengan mempertahankan keseimbangan dan elektrolit. Setelah rehidrasi cairan terjadi
perbaikan nilai kreatinin dari 1,7 menjadi 1,3. Pada pasien ini juga terjadi hipoalbuminemia dan
CHF yang disertai dengan adanya efusi pericardial sehingga pembatasan pemberian cairan agar
penumpukan cairan semakin banyak perlu dikontrol ketat.

DaftarPustaka

1. G.R. Greenberg, R.N. Fedorak, A.B.R. Thomson in Inflammatory Bowel Diseases.


Shaffer EA, Thomson ABR (ed)First Principles of Gastroenterology The Basis of Disease
and an Approach to Management. 5th Ed. New York. Jansen Ortho; 307-31.
2. Blumberg RS in Inflammatory Bowel Disease: Immunologic Consideration. Greenberger
NJ, Blumberg RS, Burakoff R (ed) CURRENT Diagnosis and Treatment in
Gastroenterology Hepatology and Endoscopy. New York. 2009. McGraw-Hill; 11-9.
3. Friedman S, Blumber RS in Inflammatory Bowel Disease. Longo DL, Fauci AS (ed)
Harrison's Gastroenterology and Hepatology.New York. 2010. McGraw-Hill; 174-95.
4. Schiller KFR, Cockel R, Hunt RH. Atlas of Gastrointestinal Endoscopy and Related
Pathology. 2nd edition. Malden. 2002. Blackwell Science: 171-89.
5. Mottet C, Juillerat P, Gonvers JJ. In Treatment of GastroduodenalCrohns Disease.
Digestion 2005;71:3740.

30

6. Charney AN, Donowitz M: Gastrointestinal influences onhydrogen ion balance. In: AcidBase Disorders and Their Treatment, edited by Gennari FJ, Adrogue HJ, Galla JH,
Madias NE, Boca Raton, Taylor & Francis, 2005, pp 209240.
7. Gennari FJ, Weise WJ. Acid-base disturbances in gastrointestinal disease. Clin J Am
SocNephrol. 2008 Nov;3(6):1861-8.
8. Brinson RR, Kolts BE. Hypoalbuminemia as an indicator of diarrheal incidence in
critically ill patients. Crit Care Med. 1987 May;15(5):506-9.
9. Patterson ML, Dominguez JM, Lyman B, Cuddy PG, Pemberton LB. Enteral feeding in
the hypoalbuminemic patient. JPEN J Parenter Enteral Nutr. 1990 Jul-Aug;14(4):362-5
10. Pesola GR, Hogg JE, Eissa N, Matthews DE, Carlon GC. Hypertonic nasogastric tube
feedings: do they cause diarrhea?. Crit Care Med. 1990 Dec;18(12):1378-82.
11. Rippe JM, Irwin RS. Irwin and Rippes Intensive Care Medicine. 6 th Edition. 2008. New
York: McGraw-Hill.
12. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R. Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal
jantung akut. Jakarta. EGC; 2007.
13. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: A etiology. BMJ. 2000;
320:104-107.
14. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In:
Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New
York. Marcel Dekker. 2005;137-56.
15. Mandal A. Congestive heart failure: A pathophisiology. Reviewed by Robertson S. Newsmedical. 2014.
16. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: investigation. BMJ 2000;
320:297-300.
17. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors. Heart
failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker.
2005; 449-65.
18. Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. ABC of heart failure: non-drug management. BMJ.
2000; 320:366-9.
19. Markum H.M.S. Gangguan ginjal akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5.
Jakarta. Interna Publishing. 2014; 2166-75.
20. Chertow GM, Burdick E, Honour M, Bonventre JV, Bates DW. Acute Kidney Injury,
Mortality, Length of Stay, and Costs in Hospitalized Patients. J AM Soc Nephrol. 2005; 16:
3365-3370.

31

You might also like