You are on page 1of 13

MAKALAH UJIAN KASUS

FORENSIK PATOLOGI

Disusun Oleh:
Leonardo Alexandra
406151043

Penguji:
dr. Tjetjep Dwija Siswaja, Sp.F

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL CIPTO MANGUNKUSUMO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JANUARI 2015

ILUSTRASI KASUS

No. Registrasi Forensik

: B/79/VER/X/2015/Sek SB

Pemeriksaan Luar

: 10 Oktober 2015 pukul 16.20 WIB

Identitas Jenazah
Nama

: Tn. TS

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 52 tahun

Warga Negara

: Indonesia

Pekerjaan

: Pengangguran

Alamat

: Jln. Kartini IV no.15 A RT 07/05, Sawah Besar Jakart

PEMBAHASAN UMUM

Prosedur Medikolegal
Ilmu kedokteran forensik adalah cabang spesialistik dari ilmu kedokteran yang
dimanfaatkan untuk penegakan hukum serta keadilan. Ilmu kedokteran forensik muncul
karena di tengah masyarakat dapat terjadi pelanggaran hukum terkait tubuh manusia dan
untuk memperjelas perkara tersebut diperlukan pengetahuan yang lebih dalam dari bidang
kedokteran. Selain di dalam lingkup pengadilan, ilmu kedokteran forensik juga berperan
dalam membantu penyelesaian klaim asuransi, masalah paternitas, dan membantu usaha
peningkatan keamanan dan keselamatan kerja melalui database yang dimilikinya tentang
jumlah korban kecelakaan lalu lintas atau kecelekaan kerja.

Saat terjadi suatu peristiwa yang diduga adalah suatu tindak pidana, pada awalnya
dilakukan proses penyelidikan oleh polisi untuk menentukan apakah peristiwa tersebut dapat
dianggap sebagai suatu tindak pidana. Jika diputuskan bahwa peristiwa tersebut merupakan
tindak pidana, selanjutnya dilakukan penyidikan dengan maksud mengumpulkan berbagai
bukti supaya perkara semakin jelas dan tersangka dapat ditemukan. KUHAP pasal 6 dan
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 menyebutkan bahwa penyidik adalah polisi yang
minimal berpangkat Inspektur Polisi Dua atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang minimal
golongan III/a. Bila dalam satu sektor tidak ada Inspektur Polisi Dua, maka bintara dengan
tingkatan di bawahnya (Ajun Inspektur Polisi) yang menjadi penyidik. Sementara itu,
penyidik pembantu adalah polisi yang minimal berpangkat BrigadirPolisi Dua. Penyidikan
kemudian dilanjutkan dengan penuntutan dan pengadilan. Dalam proses pengadilan, hakim
baru dapat menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila memiliki sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah (KUHAP pasal 183).

KUHAP pasal 133 ayat 1 berbunyi dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada
ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.KUHAP Pasal 179 ayat 1

berbunyi setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan pasal 28 juga menyebutkan bahwa tenaga kesehatan wajib
melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak hukum, Di sinilah terlihat
pentingnya ilmu kedokteran forensik dalam bidang peradilan. Berbeda halnya dengan peran
sebagai klinisi, untuk kepentingan peradilan, dokter tidak berhadapan dengan pasien
melainkan dengan korban,baik korban hidup maupun korban mati, yang statusnya adalah
barang bukti. Dalam penegakan hukum, dokter bertindak sebagai ahli lalu memberikan
bantuan pemeriksaan kedokteran forensik terhadap korban hidup, korban mati, bagian tubuh
manusia, atau benda yang diduga berasal dari tubuh manusia. Tindak pidana yang bisa terjadi
di mana saja membuat setiap dokter secara praktis harus mampu melakukan pemeriksaan
forensik. Dari hasil pemeriksaannya, dokter memberikan keterangan ahli,baik secara lisan di
pengadilan atau secara tertulis dalam bentuk surat. Keduanya dapat menjadi alat bukti yang
sah untuk membuat terang suatu perkara, dengan syarat dokter yang menyampaikan telah
mengambil sumpah jabatan dan memiliki Surat Izin Praktik yang valid. Apabila seorang
dokter menolak untuk membantu, kepadanya dapat dijatuhkan hukuman penjara paling lama
9 bulan.

Untuk bisa mendapatkan keterangan ahli, KUHAP pasal 133 ayat 2 menyebutkan
bahwa penyidik harus memberikan permintaan tertulis yang mencantumkan jenis
pemeriksaan yang dibutuhkan; apakah itu pemeriksaan luka, pemeriksaan luar mayat,
dan/atau pemeriksaan bedah mayat/autopsi. Permintaan tertulis ini dikenal dengan Surat
Permintaan Visum yang diajukan kepada instansi kesehatan tempat seorang dokter bekerja.
Yang berwenang mengajukannya adalah penyidik atau penyidik pembantu.Adapun penyidik
dan penyidik pembantu yang dimaksud dalam hal ini adalah polisi, bukan PNS. Dalam hal
korban mati dan diperlukan adanya autopsi, penyidik wajib memberitahukan kepada pihak
keluarga korban dan menerangkan hingga sejelas-jelasnya tentang tujuan dilakukannya
autopsi. Autopsi baru dilakukan setelah mendapat persetujuan keluarga korban atau bila
dalam waktu 2 x 24 jam tidak ada jawaban dari keluarga korban. Jenazah sebagai barang
bukti juga diberi label identitas yang dilak, diberi cap jabatan, dan diikatkan pada ibu jari
kaki atau bagian tubuh lain (KUHAP pasal 133 ayat 3). Apabila jenazah sampai kepada
dokter pemeriksa dalam keadaan belum teridentifikasi, maka dokter harus membantu proses
identifikasi sebagaimana tertulis dalam UU Kesehatan pasal 118. Setelah seluruh

pemeriksaan yang diminta penyidik selesai dilakukan, jenazah dapat dibawa keluar dari
institusi kesehatan. Namun bila jenazah dibawa pulang paksa, dokter tidak akan
mengeluarkan keterangan tertulis hasil pemeriksaan dan mereka yang menghalangi
pemeriksaan dapat dikenakan sanksi sesuai KUHP pasal 222.

Produk tertulis yang dikeluarkan seorang dokter sebagai ahli setelah melakukan
pemeriksaan forensik disebut sebagai visum et repertum yang tergolong dalam alat bukti
berupa surat. Dikarenakan Surat Permintaan Visum diajukan oleh penyidik, maka visum et
repertum hanya boleh diberikan kepada polisi yang bertindak sebagai penyidik.Secara umum,
visum et repertum terdiri dari 5 bagian, yakni:
1. Kata Pro Justitia yang menunjukkan bahwa visum et repertum dibuat khusus untuk tujuan
peradilan
2. Bagian pendahuluan yang memuat nama dokter pembuat visum et repertum dan institusi
kesehatan tempat ia bekerja, instansi penyidik yang mengajukan permintaan berikut
nomor dan tanggal surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas
korban yang diperiksa
3. Bagian pemberitaan yang memuat hasil pemeriksaan berkaitan dengan kasus
4. Bagian kesimpulan yang dalam hal visum et repertum jenazah memuat luka-luka yang
ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya serta pendapat dokter tentang sebab
kematian dan perkiraan saat kematian. Sebab kematian baru dapat ditentukan apabila
sudah dilakukan autopsi.
5. Bagian penutup

Tanatologi
Dalam ilmu kedokteran forensik, dikenal cabang ilmu tanatologi yang mempelajari kematian,
perubahan setelah kematian, dan faktor yang memengaruhinya. Terdapat beberapa macam
istilah mati dalam tanatologi, yakni mati somatis (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati
serebral, dan mati batang otak

Mati somatis adalah terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan, yakni susunan
saraf pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem pernapasan, secara menetap.

Mati suri adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan jika dinilai dengan alat
kedokteran sederhana. Namun, jika digunakan alat yang lebih canggih dapat dibuktikan

bahwa ketiga sistem masih berfungsi.


Mati seluler adalah kematian organ atau jaringan beberapa saat setelah kematian somatis.
Waktu yang dibutuhkan tiap organ atau jaringan untuk mengalami mati seluler berbedabeda. Sistem saraf pusat dapat mengalaminya dalam waktu 4 menit sedangkan otot

mengalaminya setelah 4 jam.


Mati serebral adalah rusaknya kedua hemisfer otak besar secara menetap namun otak
kecil dan batang otak masih berfungsi sehingga sistem pernapasan dan sistem

kardiovaskular dapat berjalan dengan alat bantu.


Mati batang otak adalah rusaknya seluruh isi neuronal intrakranial, termasuk otak kecil
dan batang otak, secara menetap.
Mati somatis dan mati batang otak digunakan sebagai definisi kematian sebagaimana

yang dimaksud dalam UU Kesehatan pasal 126.

Setelah seseorang meninggal, terjadi berbagai perubahan yang dapat digunakan


sebagai tanda-tanda untuk mengenali kematian. Tanda-tanda kematian dibagi menjadi tandatanda dini dan tanda-tanda lanjut. Kematian dapat dikatakan secara pasti setelah timbulnya
tanda-tanda lanjut.

Tanda dini kematian


1.
2.
3.
4.

Pernapasan berhenti yang dinilai selama lebih dari 10 menit


Sirkulasi berhenti yang dinilai selama 15 menit
Kulit pucat
Tonus otot menghilang akibat relaksasi primer sehingga terjadi pendataran daerah tubuh

yang tertekan dan wajah terkadang tampak lebih muda


5. Segmentasi pembuluh darah retina
6. Selaput bening mata mongering sehingga terjadi kekeruhan yang jika baru terjadi 10
menit masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air

Tanda lanjut kematian


a. Lebam mayat/livor mortis

Lebam mayat adalah perubahan warna kulit pasca kematian akibat terkumpulnya darah di
pembuluh darah pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian yang tertekan, karena
pengaruh gaya gravitasi. Lebam mayat biasanya berwarna merah keunguan (livid) dan
muncul 20-30 menit pasca kematian. Pada mulanya, lebam mayat hilang jika dilakukan
penekanan. Semakin lama, intensitas lebam mayat meningkat dan setelah 8-12 jam lebam
mayat akan menetap/tidak hilang pada penekanan. Hal ini dikarenakan sel darah merah
sudah tertimbun dalam jumlah yang cukup banyak sehingga tidak dapat berpindah lagi, di
samping karena otot-otot dinding pembuluh darah menjadi kaku. Apabila mayat diubah
posisinya sebelum 8-12 jam pasca kematian, lebam mayat dapat berubah posisi.
Untuk membedakan lebam mayat dengan resapan darah akibat trauma, dapat dilakukan
pengirisan pada suatu daerah yang mengalami perubahan warna kemudian dilakukan
penyiraman dengan air. Apabila warna merah pudar atau menghilang, perubahan warna
tersebut adalah lebam mayat.
b. Kaku mayat/rigor mortis
Kaku mayat terjadi karena cadangan glikogen habis sehingga tidak dapat dibuat ATP baru
yang berakibat pada menggumpalnya aktin dan miosin. Kaku mayat muncul sekitar 2-4
jam pasca kematian, dimulai dari otot-otot kecil ke otot-otot besar, kemudian menjadi
lengkap di seluruh tubuh sekitar 8-10 jam pasca kematian. Setelah lengkap, kaku mayat
dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama karena
degradasi jaringan. Pemeriksaan kaku mayat dilakukan di sendi-sendi pada tubuh. Faktor
yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik sebelum kematian, suhu
tubuh yang tinggi, tubuh yang kurus, dan suhu lingkungan yang tinggi. Terdapat beberapa
kondisi kekakuan otot pasca kematian yang menyerupai kaku mayat, yakni cadaveric
spasm, heat stiffening, dan cold stiffening.
Cadaveric spasm adalah kekakuan otot yang langsung terjadi pada saat kematian
tanpa didahului relaksasi primer dan menetap. Penyebab cadaveric spasm adalah
habisnya cadangan glikogen lokal pada saat mati klnis karena kelelahan atau emosi

yang hebat sesaat sebelum meninggal.


Heat stiffening adalah kekakuan otot akibat koagulasi protein otot karena panas.
Koagulasi protein otot menyebabkan otot memendek dan memberi gambaran seperti

petinju (pugilistic attitude) akibat fleksi pada sendi-sendi.


Cold stiffening adalah kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin sehingga cairan

dalam rongga sendi mengeras dan jaringan subkutan serta otot memadat.
c. Penurunan suhu tubuh mayat/algor mortis
Penurunan suhu tubuh mayat terjadi karena pemindahan panas dari tubuh mayat ke
lingkungan sekitarnya melalui proses konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi.

Penurunan suhu tubuh membentuk kurva sigmoid jika digambarkan dalam grafik. Faktor
yang mempercepat penurunan suhu tubuh adalah suhu lingkungan yang rendah,
kelembaban rendah dan lingkungan berangin, tubuh yang kurus, posisi telentang, serta
tidak berpakaian atau berpakaian tipis.
d. Pembusukan/dekomposisi
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan akibat autolisis oleh enzim yang dilepaskan
sel pasca kematian dan akibat kerja bakteri. Bakteri yang dimaksud adalah bakteri yang
semasa hidup mendiami usus besar, terutama dari genus Clostridium. Oleh karena itu,
pembusukan pertama-tama ditandai dengan munculnya warna kehijauan di kuadran kanan
bawah perut (daerah sekum) 18-24 jam pasca kematian karena terbentuknya
sulfmethemoglobin dari kerja bakteri. Setelah mati, bakteri mendapat akses ke sirkulasi
tubuh dan berproliferasi dengan baik dalam medium berupa darah. Hal ini menyebabkan
warna hijau perlahan menyebar ke daerah tubuh lainnya.
Bakteri menghasilkan gas-gas pembusukan berupa alkana, hidrogen sulfida, dan gas
lainnya yang berbau busuk. Darah mengalami degenerasi (hemolisis), bereaksi dengan
hidrogen sulfida dari kerja bakteri, kemudian menempel pada dinding pembuluh darah
sehingga menciptakan pola reticulated warna kehitaman pada pembuluh darah yang dekat
dengan permukaan kulit. Gambaran ini disebut marbling dan muncul 24-48 jam pasca
kematian. Pada kulit, terbentuk gelembung berisi cairan pembusukan warna kemerahan
yang muncul dalam 24-48 jam pasca kematian. Gas yang terbentuk di pembuluh darah
paru dan jalan napas memberi tekanan yang cukup kuat sehingga dari mulut dan hidung
keluar cairan berwarna kemerahan yang merupakan darah yang telah mengalami
pembusukan. Gambaran ini disebut blood purge dan terjadi 24-48 jam pasca kematian.
Pada akhirnya, dalam waktu 48-72 jam seluruh tubuh akan tampak menggembung,
terutama di wajah, dada, dan alat genitalia. Dalam waktu 48-72 jam pula kulit ari tampak
mengelupas akibat pecahnya gelembung pembusukan dan melonggarnya jaringan
epidermis. Organ dalam juga mengalami pembusukan dengan kecepatan berbeda. Prostat
dan uterus nongravida adalah organ yang paling tahan terhadap pembusukan.
Pada mayat dapat pula dijumpai larva lalat yang dapat membantu perkiraan saat kematian
dengan asumsi setelah seseorang meninggal lalat segera meletakkan telurnya terutama di
bagian bermukosa. Kecepatan pertambahan panjang larva berbeda-beda untuk tiap
spesies. Di Indonesia, spesies yang paling sering dijumpai adalah Chrysomya
megacephala (lalat hijau) yang larvanya menetas setelah satu hari dan setiap hari
bertambah panjang 1 cm.

Kecepatan pembusukan dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Lingkungan yang lebiih


hangat mempercepat pertumbuhan bakteri sehingga pembusukan berjalan lebih cepat.
Mayat juga lebih cepat membusuk bila diletakkan di udara dibanding apabila diletakkan
di air dan dalam tanah (udara : air : tanah = 8 : 2 : 1)
e. Adiposera/lilin mayat
Adiposera adalah bahan berwarna keputihan, lunak atau berminyak, dan berbau tengik
yang terbentuk dalam jaringan lunak tubuh pasca kematian. Bahan pembentuk adiposera
terutama asam-asam lemak tidak jenuh hasil hidrolisis lemak yang mengalami
hidrogenisasi dan bercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat, jaringan saraf yang
termumifikasi, dan kristal-kristal sferis. Adiposera mulai terbentuk dalam waktu 4 minggu
pasca kematian dan menjadi jelas terlihat secara makroskopik setelah 12 minggu atau
lebih. Adiposera dapat dijumpai di berbagai tempat, terutama di pipi, payudara, bokong,
dan ekstremitas. Keberadaan adiposera membuat jaringan dan organ di bawahnya tetap
berada dalam kondisi baik hingga bertahun-tahun karena derajat keasaman dan dehidrasi
jaringan bertambah. Faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah
kelembaban dan lemak tubuh yang cukup.
f. Mumifikasi
Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang terjadi dengan
cukup cepat sehingga jaringan mongering dan pembusukan terhenti. Mayat yang
mengalami mumifikasi berubah menjadi keras dan kering, warna gelap, berkeriput, dan
tidak membusuk. Mumifikasi terjadi dalam waktu 12-14 minggu bila suhu lingkungan
hangat dan kelembaban rendah.
Pembahasan Kasus
Mayat laki-laki berusia 60 tahun ini diterima pada tanggal 4 Januari 2015 dengan
pengantar surat permintaan visum et repertum dari polsek Cakung tanggal 4 Januari 2015,
didalam surat tersebut didapati adanya kepala surat/kop surat instansi penyidik, nomor surat,
tanggal surat, identitas yang diperiksa, waktu ditemukan korban, tanda tangan, nama lengkap
dan NRP petugas yang menandatangani disertai stempel jabatan. Dalam surat permintaan
visum tersebut juga disebutkan bahwa kematian korban akibat gantung diri.
Kewenangan penyidik untuk meminta visum et repertum pada kasus yang diduga
merupakan akibat dari tindak pidana, berdasarkan KUHAP Pasal 133 ayat 1 dan 2 yang
berbunyi :

(1)

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang untuk mengajukan permintaan keterangan ahli pada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.

(2)

Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat ini disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka,
pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah jenasah.

Dalam pelaksanaan pengiriman jenazah tersebut ke RSCM, penyidik telah memenuhi suatu
kewajiban yang seharusnya, yaitu memberikan label mayat yang diikat pada ibu jari kaki
kanan sehingga sesuai dengan ketentuan pada pasal 133 ayat 3 KUHAP yang berbunyi :
(3)

Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut
dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh badan mayat.

Pemeriksaan Mayat
Pemeriksaan pada kasus gantung diri atau penjeratan, sekalipun telah

dilakukan

dengan teliti dan lengkap sehingga membuat perkara menjadi jelas, kadangkala masih dapat
menimbulkan keraguan karena tanda yang didapat pada jenazah hampir sama, maka dalam
hal ini untuk lebih membantu pemeriksaan benda bukti dan pemeriksaan tempat kejadian
perkara perlu dilakukan. Untuk membedakan tanda-tanda yang didapat pada pemeriksaan
jenazah gantung diri (hanging) dan tanda yang didapat pada jenazah dengan penjeratan
(strangulasi).
Keadaan mayat belum membusuk, lebam mayat jelas dan kaku mayat mudah dilawan.
Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada perut
kanan bawah yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh dengan bakteri.
Selanjutnya akan menyebar ke seluruh tubuh, kulit ari terkelupas, pembuluh darah bawah
kulit tampak seperti melebar dan berwarna hijau kehitaman.
Pada leher ditemukan luka lecet tekan berwarna coklat, perabaan keras seperti kertas
perkamen, berjalan melingkari leher arah dari depan bawah ke belakang atas.

Pada kasus ini sudah tidak ditemukan tali penjerat, bila pada mayat masih terdapat jeratan,
maka harus digunting miring, dan ujungnya satu sama lain dihubungkan sehingga simpul
pada jerat tetap utuh. Bedanya dengan kasus penjeratan pada kasus gantung biasanya letak
jeratan lebih tinggi, yaitu lebih dekat dengan perbatasan dagu, arahya tidak horizontal, tetapi
pada suatu tempat menuju keatas pada suatu titik, titik pertemuan dari suatu garis ini adalah
tempat dimana terdapat simpul, jejak jerat tidak seluruhnya pada leher; pada umumnya
terdapat pada daerah yang ada simpul.
Bunuh diri dengan penggantungan digolongkan dalam asfiksia mekanik. Asfiksia
adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara
pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbon dioksida (hiperkapnia). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan
oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala sebagai akibat autointoksikasi
(keracunan) oleh karbondioksida yang terkumpul didalam tubuh karena terjadi sumbatan
pada saluran napas.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian umumnya berkisar antara 4-5
menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat
penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia
akan lebih jelas dan lengkap.
Pada pemeriksaan dalam ditemukan resapan darah pada otot samping kanan dan kiri
sesuai dengan jejas tali penjerat.
Perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga organ menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah. Edema paru
sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia. Pada mayat ini tampak
organ-organ dalam sudah mulai membusuk dan mengalami perbendungan.
Kematian orang ini akibat kekerasan tumpul pada daerah leher yang mengakibatkan halangan
pada jalan nafas sehingga terjadi mati lemas.

Penutup

Gantung diri adalah satu satu bentuk dari asfiksia mekanik yang dapat menimbulkan
kematian. Pada orang yang mati tergantung, maka seringkali timbul pertanyaan, apakah orang
ini mati gantung diri atau mati karena dijerat atau dapat juga orang ini sebelumnya dibunuh
lalu untuk menghilangkan jejaknya, orang ini digantung. Jadi seolah-olah orang ini bunuh
diri. Dalam situasi tersebut dibutuhkan suatu pemeriksaan secara kedokteran yang dapat
membantu menjawab pertanyaan secara jelas. Pemeriksaan pada kasus gantung diri atau
penjeratan, sekalipun telah dilakukan dengan teliti dan lengkap sehingga membuat perkara
menjadi jelas, kadangkala masih dapat menimbulkan keraguan karena tanda yang didapat
pada jenazah hampir sama, maka dalam hal ini untuk lebih membantu pemeriksaan benda
bukti dan pemeriksaan tempat kejadian perkara perlu dilakukan. Untuk membedakan tandatanda yang didapat pada pemeriksaan jenazah gantung diri (hanging) dan tanda yang didapat
pada jenazah dengan penjeratan (strangulasi).

DAFTAR PUSTAKA
1. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik, dalam Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik FKUI, Edisi pertama, Jakarta 1994: 55-64
2. Idries A.M., Penjeratan, dalam pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. PT. Bina Aksara,
Jakarta 1989: 150-152
3. Teknik Autopsi Forensik, Cetakan kedua, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI,
Jakarta, 2000: 51.

a Pusat

You might also like