You are on page 1of 27

DISFAGIA

1. PENDAHULUAN
Disfagia merupakan suatu gejala yang menunjukan kesulitan atau rasa
tidak nyaman selama proses pencernaan bolus dari mulut ke lambung ( rofes,
2010 )
Berdasarkan lokasi anatominya disfagia dapat di bagi atas orofaringeal
disfagia dan esofageal disfagia. Sedangkan berdasarkan penyebabnya disfagia di
bagi atas disfagia mekanik, disfagia motorik, dan disfagia akibat gangguan emosi.
( Rofes, 2010; merck manual 2007; Soepardi, 2012 )
Disfagia dapat menyebabkan batuk atau terdesak saat menelan, nutrisi dan
hidrasi yang tidak adekuat, kehilangan berat badan, dan bahkan dapat
menyebabkan kematian apabila terjadiaspirasi pneumonia. Disfagia banyak
dijumpai pada sekitar enam juta penduduk Amerika. Ini dapat disebabkan oleh
cedera otak, stroke, infeksi susunan saraf pusat, kanker kepala dan leher, serta
penyakit degeneratif pada usia muda maupun yang lebih tua ( Ashrord, 2015 )
Disfagia merupakan masalah yang sering di jumpai. Satu dari 17 orang
akan mengalami disfagia dalam hidupnya. Penelitian pada tahun 2011 di united
kingdom melaporkan prevalensi disfagia sekitar 11% pada masyarakat umum.
Disfagia mengenai 40-70% pasien dengan stroke, 60-80% pasien dengan penyakit
neurodegeneratif, lebih dari 13% pada usia di atas 65, serta 60-75% pada pasien
yang sedang menjalani radioterapi pada kanker kepala leher ( WGO, 2014 )
2. ANATOMI
2.1. Anatomi Orofaring
Orofaring merupakan bagian tengah dari faring yang tepat di bawah
palatum lunak terhubung pada bagian anterior dengan rongga mulut oleh ismus
pada tenggorokan yang juga di kenal sebagai ismus orofaringeal. Secara khusus,
ismus orofaring pada bagian superior berikatan dengan palatum lunak, pada lateral

dengan lengkungan palatoglossal, dam dengan sepertiga lidah pada bagian inferior
( Josho, 2003 ).
Batas-batas orofaring adalah ujung bawah dari palatum mole dan superior
tulang hyoid inferior. Batas anterior dibentuk oleh inlet orofaringeal dan pangkal
lidah, dan perbatasan anterior orofaring. Valekula, yang merupakan ruang antara
pangkal lidah dan epiglotis, membentuk perbatasan inferior dari orofaring. Ini
biasanya setentang dengan tulang hyoid ( Tjoa, 2013 )

Gambar 1. Anatomi Rongga Mulut Dan Faring ( matsuo, 2006 )


Pada dinding-dinding lateral orofaringterdapat sepasang tonsil palatina di
fosa anterior yang dipisahkan oleh plika anterior dan bagian posterior oleh plika
posterior. Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terlibat dalam respon imun
lokal untuk patogen oral ( Tjoa, 2013 ).
Bagian yang paling menonjol dari orofaring adalah dua lipatan yang
bertugas sebagai pilar tenggorokan, yaitu lengkungan palatoglossal dan
lengkungan palatolaringeal. Lengkungan palatoglosal terdiri dari otot palatoglosus
dan berjalan secara anteroinferior dari palatum lunak ke lateral lidah ( Joshi, 2003)
Otot-otot yang membentuk dinding posterior orofaring adalah otot
konstriktor faring superior dan media dan membran mukosa di atasnya. Saraf

glossopharingeus dan otot faring stylopharingeus memasuki faring pada


perbatasan antara konstriktor superior dan media ( Tjoa, 2013 ).
2.2. Anatomi Hipofaring
Hipofaring, atau laringofaring, merupakan bagian terpanjang dan bagian
paling inferior dari tiga segmen faring dan menghubungkan orofaring dengan
esofagus. Ini terletak di bagian posterior dari stuktur kartilago laring. Bagian ini
luas pada superior dan menyempit sampai pada tingkatan otot krikofaringeal.
Hipofaring merupakan daerah yang menyambung, dimana orofaring berada di
atasnya dan esofagus servikal melalui spinkter krikofaringeal berada di bawahnya.
Regio ini di kenal dengan nama pharingoesophageal junction atau area post
krikoid ( Quon, 2015 )
Hipofaring dimulai dari dasar lidah dan meluas ke inferior hingga batas
inferior kartilago krikoid ( Thompson, 2006 )
Batas anterior hipofaring sebagian besar terdiri dari inlet laring, yang
meliputi epiglotis dan kedua lipatan aryepiglottic dan tulang rawan arytenoid.
Permukaan posterior dari kartilago arytenoiddan pelat posterior kartilago krikoid
merupakan perbatasan anteroinferior dari hipofaring. Lateral kartilago arytenoid,
hipofaring terdiri dari kedua sinus piriformis, yang dibatasi oleh tulang rawan
lateral tiroid (tjoa, 2013)
2.3. Anatomi Esofagus
Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan hipofaring
dengan lambung. Bagian proksimal disebut introitus esofagus yang terletak
setinggi batas bawah kartilago krikoid atau setinggi vertebra servikalis. Pada
orang dewasa ujung proksimal esofagus terletak pada tepi bawah tulang rawan
krikoid, kira-kira setinggi vertebra servikal VI, sedangkan ujung distalnya
bertemu kardia lambung kira-kira setinggi vertebra torakal XI (Liston, 1994;
wilson, 1997; postma, 2009; dhingra, 2010).

Gambar 2. Anatomi Esofagus ( WebMD, 2009 )


Panjang esofagus pada orang dewasa lebih kurang 24-28 cm dan pada
anak-anak biasanya setengah dari orang dewasa. Diameter esofagus dalam
keadaan istirahat pada dewasa lebih kurang 2 cm, berbentuk pipih, tetapi dalam
keadaan teregang dapat mencapai lebih kurang 3 cm. Dinding esofagus
mempunyai 4 lapisan yaitu lapisan mukosa, submukosa, otot, fibrosa (Liston,
1994; wilson, 1997; postma, 2009; dhingra, 2010)
Berdasarkan letak anatomisnya esofagus dibagi menjadi 4 segmen yaitu:
segmen servikal, torakal, diafragma dan abdominal (Liston, 1994; Wilson, 1997;
postma, 2009)
Pada orang dewasa panjang esofagus servikal 5-6 cm, mulai dari C6
sampai T1. Dinding anterior esofagus servikal melekat erat dengan jaringan ikat
serta otot dindidng posterior trakea. Dinding ini disebut dinding trakea esofagus
(trachea-oesophageal party wall) (wilson, 1997; postma, 2009).
Esofagus torakal pada orang dewasa panjangnya 16-18 cm. Dinding
anterior melekat pada dinding posterior trakea sampai setinggi T5, sehingga sering
terjadi fistula trakeo-esofagus. Di dalam rongga torak esofagus disilang oleh aorta
setinggi T4 dan bronkus kiri setinggi T5 ( Wilson, 1997; postma,2009)

Esofagus menembus diafragmatika di hiatus diafragmatika, panjang 1-1,5


cm ( Wilson, 1997; Postma, 2009 )
Bagian esofagus abdominal berada didalam rongga abdomen, panjang 2-3
cm. Batas distal merupakan garis Z dan di sebut sebagai gastro oesophageal
junction ( taut esogaus gaster ) Wilson, 1997; postma, 2009 ).

Gambar 3. Panjang Esofagus ( GUWS Medikal, 2013 )


Esofagus mempunyai 4 penyempitan yang sangat penting dari segi
endoskopi yaitu ( Liston, 1994; Wilson, 1997; Postma, 2009):
1.

Penyempitan krikofaringeal
Daerah ini merupakan daerah yang paling sempit dari esogafus, juga

merupakan tempat yang paling di takuti oleh ahli endoskopi karena sulit untuk
melewati esofagoskopi. Menurut Jackson tempat ini di sebut Bab el mandeb ( gate
of tear ), penyempitan ini kira-kira setinggi vertebra servikal VI dan diameter
melintang kira-kira 23 mm dari anteroposteriornya 17 mm.

2. Penyempitan aortik

Penyempitan ini berada pada tempat esofagus menyinggung arkus aorta,


tempat dimana penekanan pembuluh darah ini terhadap dinding esofagus. Daerah
ini terletak setinggi vertebra torakal IV, dengan diameter melintangnya rata-rata
23 mm anteroposterior 19 mm.
3. Penyempitan bronkial
Penyempitan terletak pada tempat bronkus utama kiri menyilang de depan
esofagus yang agak tertekan dibelakangnya. Penyempitan ini setinggi vertebra
torakal V dan diameter melintangnya rata-rata 23 mm dan anteroposteriornya 17
mm.
4. Penyempitan diafragmatika
Merupakan segmen yang sempit yang terletak pada tempat esofagus
menyilang diafragma dan terletak setinggi vertebra torakal X.
Bagian servikal esofagus mendapat pendarahan dari a. Tiroidea anterior,
bagian torakal esofagus dari a. Bronkial dan a. Interkularis, sedangkan bagian
abdominal mendapat pendarahan dari a. Gastrikus sinistra dan a. Frenikus inferior.
Aliran vena dari pleksus veba submukosa akan masuk ke v.tiroidea inferior dan
terus ke v.azigos dan v.hemiazigos serta bagian abdominal esofagus, darah masuk
kedalam v.gastrikus sinistra dan terus ke v.cava inferior ( Liston, 1994,1997 )
Persarafan motor esophagus didominasi melalui nervus vagus. Esophagus
menerima persarafan parasimpatis dan nukles smbiguus dan inti motorik dorsal
nervus vagus dan memberikan persarafan motor ke mentel otot esofagus dan
persyarafan sekretomotor ke kelenjar. Persarafan simpatis berasal dari servikal
dan rantai simpatis torakalis yang mengatur penyempitan pembuluh darah,
kontraksi sfingter esofagus, relaksasi dinding otot, dan meningkatkan aktivitas
kelenjar dan peristaltik ( Kuo, dan Urma, 2006 )
Pleksus auerbach, yaitu ganglia yang terletak antara lapisan longitudinal
dan melingkar dari tunika muskularis myentrik bekerja mengatur kontaksi lapisan
otot luar. Pleksus messner, yaitu ganglia yang terletak dalam submukosa bekerja

mengatur sekresi dan kontraksi peristaltik dari mukosa muskularis ( Kuo dan
Urma, 2006 ).
Proses menelan menggunakan otot dan saraf sebagai fungsi motorik dan
sensoriknya. Berikut ini beberapa komponen yang di gunakan dalam proses
menelan ( Smith, 2014 ).

Tabel 1. Komponen Sensorik Dan Motorik Proses Menelan ( Smith, 2014)

Gambar 4. Otot Otot Yang Berperan Dalam Proses Menelan


3. FISIOLOGI MENELAN
Terdapat empat fase yang di ketahui sebagai proses menelan. Menelan di
gambarkan dengan tiga tahapan utama yang dapat diklasifikasikan sebagai fase
oral, fase faringeal, dan fase esofageal bergantung pada lokasi lobus berada.

Namun fase oral dapat di bagi lagi menjadi tahap persiapan dan tahap
pendorongan, sehingga fase menelan di anggap sebagai empat tahapan. ( Matsuo,
2008 ).

Fase oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur

dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga
mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontaksi otot intrinsik
lidah. Kontaksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan
dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior
faring akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke
atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontaksi
m.levator veli palatini. Selanjutnya terjadi kontaksi m.palatoglosus yang
menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontaksi m.palatofaring,
sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut (Soepardi, 2012).

Fase esofageal
Fase esofageal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke

lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan


adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi
relaksasi m. Krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan
masuk ke dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat, makan sfingter akan
berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istrahat
sehingga makanan tidak akan kembali ke faring dengan demikian refklus dapat
dihindari. Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya
bolus makanan akan di dorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus
(Soepardi, 2012).
Dalam keadaan istirahat, sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung, sehingga
tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofagel, sfingter ini
akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk

mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat,


maka sfingter ini akan menutup kembali (Soepardi,2012).

Gambar 5. Fase Fase Menelan ( WGO,2007 )


5. DEFENISI
Disfagia merupakan suatu gejala yang menunjukkan kesulitan atau rasa
tidak nyaman selama proses pencernaan bolus dari mulut ke lambung (Rofes,
2010).
Berdasarkan lokasi anatominya disfagia dapat dibagi atas orofaringeal
disfagia dan esofageal disfagia. Orofaringeal disfagia merupakan kesulitan untuk
mengosongkan material dari orofaring ke esofagus akibat dari fungsi abnormal
bagian di atas esofagus. Sedangkan esofageal disfagia merupakan kesulitan untuk
melewatkan makanan menuruni esofagus, ini dapat disebabkan oleh gangguan
motilitas atau adanya obstruksi (Rofes, 2010; Merck Manual,2007).
Berdasarkan penyebabnya disfagia dibagi atas disfagia mekanik, disfagia
motorik, dan disfagia akibat gangguan emosi. Disfagia mekanik timbul akibat
penyempitan lumen esofagus. Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh karena
adanya kelainan neuromuskular yang berperan dalam proses menelan. Selain itu,

keluhan disfagia juga dapat timbul bila terdapat gangguan emosi atau tekanan jiwa
yang berat ( Soepardi,2012).

6. PREVALENSI
Disfagia merupakan masalah yang sering dijumpai. Satu dari 17 orang
akan mengalami disfagia dalam hidupnya. Penelitian pada tahun 2011 di United
Kingdom melaporkan prevalensi disfagia sekita 11% pada masyarakat umum.
Disfagia mengenai 40-70% pasien dengan stroke, 60-80% pasien dengan penyakit
neurodegeneratif, lebih dari 13% pada usia di atas 65, serta 60-75% pada pasien
yang sedang menjalani radioterapi pada kanker kepala leher (WGO,2014).
Prevalensi orofaringeal disfagia sangat tinggi, ini mengenai lebih dari 30%
pasien serebrovaskular, 52-82% pasien parkinson, lebih dari 40% dewasa di atas
65 tahun, dan lebih dari 60% pasien usia tua di tempat perawatan(Rofes,2010).
Data

saat

ini

menunjukkan

penyakit

pada

kelainan

fungsi

esofagus(termasuk tidak kompetennya LES) mengenai hampir 20% orang di atas


usia 60 tahun. Tetapi, kelainan motilitas yang paling dapat dipastikan adalah
akalasia. Beberapa penelitian mengatakan bahwa akalasia adalah kasus yang
jarang dijumpai. Tetapi, tidak ada penelitian pada suatu populasi yang berfokus
pada prevalensi penyakit mengenai fungsi esofagus, dan baisanya ini diperkirakan
berdasarkan nyeri dada dan disfagia. Epidemiologi dari ulasan terakhir mengenai
akalasia menunjukkan insidensi keadaan ini antara 0,03-1,1 pada 1.000.000 orang
per tahun. Prevalensi spasme esofagus difus serupa dengan akalasia, dimana
penyakit yang lain(penyakit kelainan motilitas esofagus yang non spesifik) lebih
sering dijumpai (Aroa,2001).
Data epidemiologi sulit untuk didapatkan secara global karena prevalensi
penyakit yang menyebabkan disfagia cenderung berbeda pada setiap daerah dan
benua. Prevalensi juga bergantung pada usia pasien dan juga harus diingat bahwa
disfagia pada anak-anak berbeda dari grup usia lebih tua. Pada pasien yang lebih
muda, disfagia sering terlibat dalam kasus cedera kepala leher dan juga kanker

tenggorokan dan mulut. Disfagia secara umum terjadi pada seluruh usia, namun
prevalensinya meningkat sesuai usia(WGO,2014).

7.

ETIOLOGI
Disfagia merupakan salah satu gejala kelainan atau penyakit di orofaring

dan esophagus. Keluhan ini timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-otot
menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung
(Paik,2014).
Disfagia adalah istilah nonspesifik untuk gangguan menelan. Etiologi yang
mendasarinya antara lain adalah anatomi, neurologis, muscular atau psikologis.
Mekanisme menelan yang terganggu mencegah pengiriman bolus secara komplit
dan beraturan menuju esophagus atau menyebabkan bolus tidak dicerna sesuai
alurnya, menyebabkan refluks ke nasal, meninggalkan residu, kebocoran sebelum
menelan, penetrasi, aspiration dan regurgitasi esofagofaringeal. Perawatan oral
yang buruk, kontraksi faring yang lemah, pembukaan UES (Upper Esophageal
Sphincter) dan tidak

terkordinasinya semua proses berkontribusi terhadap

disfungsi menelan (Hirst,2008).


Disfagia berhubungan dengan penyebab yang bervariasi, diantaranya yang
paling sering adalah gangguan neurologis yang mengganggu satu atau lebih fase
menelan. Disfagia juga dapat diakibatkan trauma pada fraktur aerodigestif atau
karena prosedur operasi seperti laringektomi atau faringolaringektomi (Kent,
2009).
Disfgagia dapat diderita akibat beragam jenis penyakit. Defisit fungsi
maupun struktur dari rongga mulut, faring, laring, esofagus, ataupun spinkter
esofagus dapat menyebabkan disfagia. Disfagia dapat menyebabkan komplikasi
serius termasuk dehidrasi, malnutrisi, dan pneumonia (Matsuo, 2008).
Disfagia orofaringeal terjadi ketika mekanisme orofaringeal dalam proses
menelan yang dalam keadaan normal menjamin perjalanan lengkap bolus dari
mulut ke kerongkongan dan secara bersamaan melindungi jalan nafas, menjadi

terganggu. Walaupun terdapat banyak penyebab orofaringeal disfagia, kecelakaan


serebrovaskular merupakan penyebab kasus terbanyak, dan aspirasi pneumonia
merupakan penyebab umum kematian pada pasien ini. Kondisi neurologis lain
seperti penyakit parkinson sering menyebabkan kasus-kasus orofaringeal disfagia,
dengan gangguan miopati dan lesi struktural yang menjadi sebagian besar
penyebab lainnya (Saeian, 2000).

TABEL 2.Penyebab Disfagia Orofaringeal ( Seian,2000 )

Terdapat tiga kondisi yang seringkali menyebabkan esofageal disfagia,


yaitu (WGO 2007) :
-

Penyakit pada mukosa (instrinsik), ini menyempitkan lumen akibat

inflamasi, fibrosis, atau neoplasma.


Penyakit mediastinal (ekstrinsik), ini menghambat esofagus melalui

invasi langsung atau melalui pembesaran kelenjar lymph.


Penyakit neuromuskular yang mempengaruhi otot polos esofagus dan
intervasinya, menggangu peristaltik maupun LES( lower esophageal
spincter).

Tabel 3. Penyebab Esofageal Disfagia ( WGO, 2014 )


Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas (Soepardi, 2012; NIDCD,2010):
a. Disfagia mekanik
Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esophagus.
Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esophagus oleh massa
tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibat peradangan mukosa
esophagus, struktur lumen esophagus, serta akibat penekanan lumen esophagus
dari luar, misalnya pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah
bening di mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta, keganasan kepala
dan leher (World Gastroenterology Organization, 2007).
b. Disfagia motorik
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuskular yang
berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelaina
saraf otak n, V, n, VII, n, IX, n, X, dan n, XII, kelumpuhan otot faring dan lidah
serta gangguan peristaltik esophagus dapat menyebabkan disfagia. Penyebab
utama dari disfagia motorik adalah akalasia, spasme difus esophagus, kelumpuhan
otot faring dan skleroderma esophagus.

Disfagia post stroke dijumpai pada 50% kasus. Tingkat keparahan


sepertinya berhubungan dengan tingkat keparahan stroke. Lebih dari 50% pasien
Parkinson bermanifestasi disfagia orofaring yang konsisten. Secara klinis, disfagia
pada Parkinson muncul pada tingkat akhir (World Gastroenterology Organization,
2007).
c. Disfagia oleh gangguan emosi
Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau
tekanan jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.

8.

PATOGENESIS
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang

berperan dalam proses menelan harusa bekerja secara terintegrasi dan


berkesinambungan. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses
menelan, yaitu(Soepardi, 2012):
1.
2.
3.
4.
5.

Ukuran bolus makanan


Diameter lumen esophagus yang dilalui bolus
Kontraksi peristaltik esophagus
Fungsi sfingter esophagus bagian atas dan bagian bawah
Kerja otrot-otot rongga mulut dan lidah
Proses menelan yang baik akan terjadi bila seluruh sistem
neuromuskular, yaitu susunan saraf pusat, batang otak,
persarafan sensorik dinding faring dan uvula, persafaran
esophagus serta instrinsik otot-otot esophagus , bekerja dengan
baik. Kerusakan pada saraf pusat yang mengatur proses
menelan

dapat

menyebabkan

kegagalan

aktivitas

pada

orofaring, otot-otot esophagus dan sfingter esophagus bagian


atas juga mendapat persarafan dari inti motor n. vagus, maka
apabila terjadi kelainan otak, aktivitas peristaltik esophagus
masih terlihat(Soepardi,2012).

9. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan

melalui anamnese, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Untuk menengakkan diagnosis diperlukan anamnesis


yang cermat untuk menentukan kelainan atau penyakit yang menyebabkan
disfagia( Soepardi,2012).Gejala dan tanda dari oral ataupun faringeal, yaitu (Paik,
2014; WGO,2014):
-

Batuk atau tersedak saat menelan


Sulit untuk mulai menelan
Makanan menetap di tenggorokan
Sialorea
Mengences
Kehilangan berat badan yang tidak diduga
Perubahan kebiasaan makan
Rekuren pneumonia
Perubahan suara, suara sengau
Halitosis
Berbicara disatria
Regurgitasi hidung

Gejala dan tanda disfagia esofagus, yaitu (Paik, 2014):


- Sensasi seperti makanan melekat pada dada atau tenggorokan
- Perubahan pola makan
- Rekuren pneumonia
- Gejala gastroesophageal reflux disease (GERD) termasuk rasa dada seperti
terbakar, dan regurgitasi.

Gejala lain untuk disfagia dapat sampai berupa lemah dan perubahan
status mental (Paik,2014).
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan di daerah leher dapat dilakukan
untuk melihat dan meraba adanya massa tumor atau pembesaran kelenjar limfa
yang dapat menekan esofagus. Daerah rongga mulut perlu diteliti, apakah ada
tanda-tanda peradangan orofaring dan tonsil selain adanya massa tumor yang
dapat mengganggu proses menelan. Selain itu dinilai apakah ada tanda
kelumpuhan otot-otot lidah dan arkus faring yang disebabkan oleh gangguan di
pusat menelan maupun pada saraf otak n. VII, n. IX, n. X, dan n. XII. Pembesaran

jantung sebelah kiri, elongasi aorta, tumor bronkus kiri, dan pembesaran limfa
mediastinum, dapat menyebabkan keluhan disfagia ( Soepardi, 2012).
Untuk diagnosa selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan disfagia fase
orofaringeal adalah:
A. Videofluoroskopi Swallow Assesment (VFSS)
Pemeriksaan ini dikenal sebagai Modified Barium Swallow(MBS) adalah
pemeriksaan yang sering dilakukan dalam mengevaluasi disfagia dan aspirasi.
Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan fisiologi menelan rongga mulut,
faring, laring dan esofagus bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan bolus kecil dengan berbagai konsistensi yang dicampur dengan
barium. VFSS dapat panduan dalam terapi menelan dengan memberikan
bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala dan melakukan beberapa
manuver untuk mencegah aspirasi untuk memperoleh kondisi optimal dalam
proses menelan (Soepardi, 2007; Kent,2009).
B. Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing (FEES)
Pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan

menggunakan

nasofaringoskop serat optik lentur. Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi


makanan dari jenis makanan cair sampai padat dan dinilai kemampuan pasien
dalam proses menelan.
Tahap pemeriksaan dibagi dalam tiga tahap :
- Pemeriksaan sebelum pasien menelan, untuk menilai fungsi muskular
-

dari oromotor dan mengetahui kelainan fase oral.


Pemeriksaan langsung dengan memberikan berbagai konsistensi
makanan, untuk mengetahui konsistensi apa yang paling baik bagi

pasien.
Pemeriksaan terapi dengan mengaplikasikan berbagai manuver dan
posisi kepala untuk menilah apakah terdapat peningkatan kemampuan
menelan.

Dengan pemeriksaan FEES dinilai lima proses fisiologi dasar seperti :


- Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat berperan
dalam terjadinya aspirasi.

Spillage (kebocoran sebelum menelan) : masuknya makanan ke dalam


hipofaring sebelum refleks menelan dimulai sehingga mudah terjadi

aspirasi.
Residu : menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus
piriformis kanan dan kiri, poskrikooid dan dinding faring posterior
sehingga makanan tersebut akan mudah masuk ke jalan nafas pada saat

proses menelan terjadi ataupun sesudah proses menelan.


Penetrasi : masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum
melewati pita suara, sehingga menyebabkan mudah masuknya

maknana ke jalan nafas saat inhalasi.


Aspirasi : masuknya makanan ke jalan nafas melewati pita suara yang
sangat berperan dalam terjadinya komplikasi paru ( Soepardi,2012).

C. Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan visual dari esofagus, ini dapat
menggunakan endoskopi rigid maupun fleksibel. Dikarenakan esofagoskopi rigid
membutuhkan anestesi dan lebih terasa tidak nyaman serta beresiko, makan
endoskopi fleksibel lebih sering digunakan untuk evaluasi menelan. Endoskopi
fleksibel dapat menilai lambung dan sedikit bagian awal intestine(duodenum)
sebaik esofagus. Endoskopi merupakan pemeriksaan terbaik untuk menilai
abnormalitas mukosa esofagus, seperti esofagitis. Ini juga baik untuk
mengevaluasi kondisi penyempitan esofagus ( seperti struktur esofagus),
walaupun kemungkinan sulit untuk menilai struktur yang masih ringan ataupun
sedang. Endoskopi buruk untuk menilai fungsi esofagus, tetapi ini cukup
membantu dalam menilai abnormalitas pergerakan esofagus.
Teknologi endoskopi fleksibel telah memulai evolusi penggunaan
endoskopi yang dapat dengan mudah dan aman melewati transnasal untuk
evaluasi bagian atas traktus aerodigestif pada pasien yang tidak di sedasi.
Indikasi transnasal esofagoskopi dapat untuk melihat esofageal, ekstraesofageal,
dan intervensi. Indikasi yang paling sering di jumpai untuk menggunakan
transnasal esofagoskopi adalah skrining evaluasi pasien dengan refluks, disfagia,
dan globus, pada 80% pemeriksaan( Kuhn,2012).
D. Manometri Resolusi Tinggi
Meskipun endoskopi mampu menunjukkan pandangan langsung ke traktus
aerodigestif dari vestibulum hidung ke lambung, namun alat ini terbatas pada

kemampuan objektif faring dan motilitas esofagus serta fungsi UES dan LES.
Manometri

resolusi

tinggi

menilai

fungsi

menelan

secara

signifikan,

meningkatkan kemampuan klinis mendiagnosa dan mengklasifikasikan penyakit


untuk pencernaan. Manometri resolusi tinggi terbukti bermanfaat dalam
membedakan kelemahan faring, lemahnya relaksasi faringeal dan UES, relaksasi
esofagus atas yang tidak sempurna, motilitas esofagus, dan fungsi LES (Kuhn,
2012).
10. DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding orofaringeal disfagia:
-

Penyakit pada sistem saraf pusat (masalah serebrovaskuler, Parkinson

disease, tumor batang otak)


Parkinson degeneratif (multipel sklerosis)
Post infeksi
Neuropati perifer
Maestenia gravis
Miopati (polimiositis, dermatomiositis, akalasia)
Tumor
Massa inflamasi
Trauma
Zenkers divertikulum
Kondisi yang paling sering dihubungkan dengan esofageal disfagia

adalah:
Struktur peptik, terjadi pada 10% pasien GERD namun insiden

menurun dengan penggunaan proton pump inhibitor


Neoplasma esofagus
Esofageal web
Akalasia
Skleroderma
Penyakit motilitas spastik
Disfagia fungsional
Cedera akibat radiasi (WGO, 2014).

11. TERAPI

Tujuan dari pengobatan disfagia adalah untuk mempertahankan intake


nutrisi secara adekuat untuk pasien dan memaksimalkan proteksi jalan
nafas( Paik,2014).
Diet pada pasien bergantung pada disfagia. Pasien dapat mendapatkan diet
makanan yang lembut karena sulit untuk mencerna bolus yang padat. Intervensi
sederhana

dapat

dilakukan

dengan

manipulasi

besar

dan

konsistensi

bolus(Saeian,2000).
Masalah menelan pada mulut dan faring biasanya dilakukan rehabilitasi
termasuk dengan modifikasi diet dan pelatihan teknik menelan serta manuver
untuk melatih meningkatkan transfer bolus dan keamanan saluran nafas. Operasi
jarang diindikasikan terhadap pasien ini meskipun dalam keadaan yang berat.
Salah satu pilihan adalah dengan precutaneus endoscopic gastrostomy dan
intermittent oroesophageal chateterization (Paik, 2014; Saeian,2000).

Tabel 4. Teknik Postur Dan Manuver Menelan ( Seian, 2000 )

12. KESIMPULAN
- Keluhan kesulitan menelan ( disfagia ) merupakan salah satu gejala kelainan
atau penyakit di orofaring dan esophagus. Keluhan ini timbul bila terdapat
gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan gerakan otot-otot
-

menelan dan gangguan tranportasi makanan dari rongga mulut ke lambung.


Berdasarkan penyebabnya, disfagia di bagi atas : disfagia mekanik disfagia

motorik dan disfagia oleh gangguan emosi.


Berdasarkan lokasinya, disfagia di bagi atas : disfagia orofaringeal dan

disfagia esophageal
Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan bahan dari orofaring
ke dalam kerongkongan, hal ini di akibatkan oleh fungsi abnormal dari

proksimal ke kerongkongan
Disfagia esophagus adalah

kesulitan

transportasi

makanan

ke

kerongkongan. Hal ini di akibatkan oleh gangguan motilitas baik atau


-

obstruksi mekanis
Untuk diagnosis selain anamnesis dan pemeriksaan yang di disfagia fase
oral dan fase faring adalah videofluoroskopi swallow assesment ( VFSS )

dan Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing ( FEES ).


Masalah menelan pada mulut dan faring biasanya dilakukan rehabilitasi
termasuk dengan modifikasi diet dan penelitian teknik menelan serta
manuver.

Lampiran

KEPUSTAKAAN

Arora Amindra, MB Bchir, Jeffrey L C, 2001. Pratical Approach To Dysphagia


Caused By Esophageal Motor Disorders. Current Science: USA. P.191-9
Ashford Jhon, Jeri A Logemann, Gary Mccullough. 2015. Swallowing Disorders
( Dyspgahia ). Amerika Speech Language Heraing Assosiation
Dimarino Michel C,2007. Esophageal And Swalloing Disorder. Merck Manual:
USA
Dhingra P.L. Dan Shruti Dhingra, 2010. Anatomy And Physiology Of
Oesophagus.Eds 17. In: Diseases Of Ear, Nose And Throat. Thomson
Press ( Limited ): New Delhi
GUWS Medical, 2013. Oesophageal Carsinoma.
Hirst Lisa J, 2008. Functional Investigation Of The Upper Gastrointestinal Tract.
Dalam : Scott-Browns Otorhinolaaryngology, Head And Neck Surgery
7th Eds. Hodder Arnold Education: Euston Road, London
Joshi Arjun S, Thomas R G. 2013. Pharynx Anatomy. Webmd: Washington.
Kent Raymond. Disorder Of Speech And Leaguage. Dalam : Ballagers
Otolaryngology Head And Neck Surgary 17 Eda. Peoples Medical
Publishing House ; Shelton, Connecticut.
Khun Maggie A, Peter C Belasfky.2014. Functional Assesment Of Swallowing. In
:
Baileys Head And Neck Surgery Otolaryngology. Wolters Kluwer :
Philadephia.P. 825-37
Kuo Braden Dan Daniela Urma, 2006. Arterial Blood Supplyof The Esophagus.

Nature.
Liston L S. 1994. Anatomi Dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus Dan
Leher.
Dalam : GL, Boies LR, Higler PA, Boies Buku Ajar Penyakit THT. Alih
Bahasa Wijaya C. Edisi 6. Jakarta : EGC
Matsuo Kochiro, Jeffey B Palmar. 2008. Anatomy And Physiologi Of Feeding
And
Swallowing, Normal And Abnormal. HHS Public Acess : USA.
NIDCD Health Information, 2010. Dysphagia. NIDCD
POSTMA, G N, Nekanie W Seybt, Catherin J Rees, 2009. Esophagology. Eds
17th. In : Ballenger Otorhinolaryngology Head And Neck Surgery, BC
Decker Inc, Peoples Medical Publishing House : Shelton, Connecticut
Quon Harry, 2015. Hypopharyngeal Cancer . Webmd.
Rofes Laila, Et Al, 2011. Diagnosis And Management Of Oropharingeal
Dysphagia
And Its Nutritional And Respiratory Complication In Elderly. Hindawi
Publishing Coorporation : Spain.P. 1-13
Saeian K, Shaker R,2000. Oropharyngeal Dysphagia. USA: Current Science.
USA.P.
1-11
Smith Libby J, Rixann Diez Gross, 2014. Upper Digestive Tract Anatomy And
Physiology. In : Baileys Head And Neck Surgery Otolaryngology.
Wolters Kluwer: Philadelphia.P. 817- 23
Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorokan Kepala Dan Leher. Editor : Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi Ke 6. Jakarta : FKUI. 2012.H. 276-302
Thompson, L.D.R. 2006. Pharyngitis. Eds 4. Dalam : Head And Neck Surgery
Otolaryngology. Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia.
Tjoa Tjoson, 2013. Troat Anatomy. Medscape.
Wilson J.A. 2009. The Oesophagus In Otolaryngology. Dalam : Scott-Browns
Otolaryngology, Kerr AG ( Ed ) Ed.6th Lomdon : Butthewort- Heineman.
World Gatroenterology Organization, 2007. Dysphagia.
World Gatroenterology Organization, 2014. Dysphagia.

You might also like