Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Merchilliea Eso Navy Gyana 140070300011159
Kelompok 17 PSIK A 2011
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
KARSINOMA NASOFARING (KNF)
Oleh :
Tanggal :
Pembimbing Akademik
Pembimbing Lahan
(Kanker)
Nasofaring
(KNF)
atap
nasofaring.
Karsinoma
nasofaring
Keterangan
primer (T)
Tx
To
Tis
T1
T2
T3
T4
sinus paranasal
Tumor meluas ke intrakranial dan atau keterlibatan saraf kranial,
hipofaring, orbita, atau perluasan ke fossa infratemporal/ruang
mastikator
ditentukan
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional
Metastasis KGB unilateral ukuran terbesar kurang dari atau
sama dengan 6 cm, di atas klavikula, dan atau unilateral
bilateral, KGB retrofaring, ukuran kurang atau sama dengan 6
N2
N3
N3a
N3b
cm
metastasis KGB bilateral ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas supraklavikula
Metastasis KGB lebih dari 6 cm dan atau di atas fossa
supraklavikula
Ukuran lebih dari 6 cm
Perluasan ke fossa supraklavikula
T
T1s
T1
T2
T2
N
No
No
N1
No
M
Mo
Mo
Mo
Mo
T2
Stadium III
T1
T2
T3
T3
T3
T3
Stadium IVa
T4
T4
T4
Stadium IVb
Semua T
Stadium IVc
Semua T
(NCCN guideline, 2011)
N1
N2
N2
No
N1
N2
No
No
N1
N2
N3
Semua N
Mo
Mo
Mo
Mo
Mo
Mo
Mo
Mo
Mo
Mo
Mo
Mo
KNF merupakan kanker sel skuamus yang berasal dari epitel yang melapisi
nasofaring. Menurut WHO KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe yaitu :
1. Tipe 1.karsinoma sel skuamosa berkeratin,ditandai dengan:
Adanya stratifikasi dari sel, terutama pada sel yng terletak di permukaan atau
suatu rongga kistik.
Masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun
tertur/berjajar
Sering terlihat bentuk plekiform yang mungkin terihat sebagai sel tumor yang
jernih atau terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel.
Sel tumor berbentuk spindle dan beberapa sel mempunyai inti yang
hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan.
Tipe 2 dan 3 biasanya lebih radiosensitive dan memiliki hubungan yang kuat
dengan VEB (Pahala, 2009)
3. Etiologi
Karsinoma nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab
pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini
adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah
segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu
bakar dan asap dupa (kemenyan). Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya
karsinoma nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat
menyebabkan karsinoma nasofaring (Nasution,2007).
1.
Infeksi Virus Epstein-barr Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya
keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita
ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi
untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host
Infeksi Virus Epstein Barr (Brennan, 2006). Metode imunologi membuktikan virus EB
membawa antigen yang spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membran
(MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA), dll Konsumsi ikan asin Beberapa
peneliti epidemologi dan laboratorium menghubungkan ikan yang diasinkan yang
merupakan makanan kegemaraan penduduk cina selatan kemungkinan sebagai salah
satu faktor yang menyebabkan KNF. Hal ini didasari atas insiden KNF yang tinggi
pada masyarakat nelayan di hongkong yang makanannya banyak mengkonsumsi ikan
yang diasinkan dan sedikit mengandung sayur dan buah. Kebiasaan memakan makan
yang di asinkan juga di temukan pada penduduk keturunan cina yang bermigrasi ke
Negara lain seperti ke Malaysia timur dan Negara asia tenggara.
Penelitian lain sebelumnya di cina juga mendapatkan bahwa penduduk yang
mulai mengkonsumsi ikan asin setelah masa diasapi mempunyai resiko terjadi KNF
yang lebih tinggi. Tan tjin joe mengirim 12 jenis ikan asin yang berbeda dari Sumatra
utara dan dianalisa oleh prof.HO di hongkong, ternyata ke 12 ikan tersebut dijumpai
nitrosamine (Brennan,2006).
Selain ikan asin, uap nitrosamin tingkat tinggi juga ditemukan pada berbagai
makan yang di awetkan di china, Greenland dimana bahan makan tersebut
mengandung precursor nitrosamine yang tinggi setelah di cerna di lambung.
2.
Faktor genetik
Lingkungan dan kebiasaan hidup Faktor lingkungan lain yang mempunyai risiko
terhadap KNF adalah merokok, terpapar bahan dari industri seperti formaldehid, asap
kayu bakar, asap dupa, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF
belum dapat dijelaskan. Penelitian matching case control di Semarang dilaporkan
paparan formaldehid berbentuk uap dan asap yang terhirup berpeluang terbesar
terhadap terjadinya KNF (Nolodewo A, Yuslam, dan Muyassaroh, 2007). Perokok
berat berisiko 2-4 kali dibanding yang tidak merokok. Konsumsi alkohol yang tinggi
tidak menunjukkan risiko pada masyarakat Cina, walaupun di Amerika Serikat
menunjukkan adanya hubungan (Yi, dan Jhen,2009).
4.
Radang Kronis
Beberapa peneliti lain melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara
adanya infeksi kronis di hidung seperti rhinitis, sinusitis, atau polip nasi dan infeksi
kronis di telinga tengah dengan timbulnya KNF. Adanya peradangan menahun di
nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen
penyebab KNF (Zahara,2007).
4. Patofisiologi
Nasofaring
terletak
di
belakang
tabir
langit-langit
dan
di
bawah
dasartengkorak.letak yang demkian sulit untuk diperiksa oleh orang yang bukan ahli,
sehingga sering kali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastase ke leher.
Telah diketahui sejauh ini bahwa proses terjadinya penyakit kanker berlangsung dalam
tahapan tahapan yang disebut sebagai mekanisme karsinogenesis. Bermula dari
terjadinya defek atau kesalahan letak susunan DNA dalam sel manusia yang
mengakibatkan tidak terkontrolnya mekanisme pertumbuhan sel. Sel akan tumbuh tidak
normal dan berlebihan. Berbagai faktor telah diketahui atau dicurigai sebagai penyebab
terjadinya kekacauan struktur ini. Antara lain disebutkan faktor makanan, seperti
konsumsi lemak yang terlalu tinggi, pola hidup, seperti perokok berat, faktor eksternal
seperti sinar ultraviolet dan sinar radioaktif, pajanan pada bahan kimia atau oleh virus.
Berbagai kekacauan struktur ini telah dapat diidentifikasi oleh para pakar, misalnya
kelainan pada struktur gen BRCA1 dan BRCA2 selalu diasosiasikan dengan kanker
payudara atau indung telur (ovarium), atau gen HLA A2B46 pada pasien kanker
nasofaring. Perubahan genetik ini mengakibatkan proliferasi sel sel kanker secara tidak
terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya
kromosom (chromosome breaks) dan delesi pada sel sel somatik. Sebagian lagi bersifat
diturunkan Adakalanya manifestasi kanker ini memerlukan pula pemicu, terutama pada
kelainan struktur gen yang diturunkan.
5. Manifestasi
Gejala klinis KNF dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
Pertama,
gejala lokal yang disebabkan oleh tumor primernya. Gejala ini terdiri dari gejala hidung
dan gejala telinga, yang merupakan gejala dini KNF. Gejala pada hidung dapat berupa
pilek terus menerus dan buntu hidung satu atau dua lubang hidung, lendir dapat
bercampur darah atau nanah yang berbau. Gejala pada telinga berupa tinitus,
pendengaran berkurang atau otitis media yang berulang. Kedua, gejala karena
tumbuh dan meluasnya tumor, ini merupakan gejala lanjut KNF. Tumor dapat
meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak. Tumor yang tumbuh ke depan
mengisi nasofaring dan menutup koane sehingga timbul gejala buntu hidung, bila
tumbuh ke bawah menyebabkan palatum mole bomban (Roezin & Syafril, 2006).
Tumor yang tumbuh infiltratif ke atas melalui foramen laserum dapat
mengenai duramater sehingga menimbulkan sefalgia yang berat. Infiltrasi ke atas juga
bisa mengenai saraf kranialis, bila saraf VI terkena akan menimbulkan diplopia,
saraf V akan menimbulkan trigeminal neuralgia, saraf III dan IV menimbulkan
ptosis dan optalmoplegia. Tumor dapat tumbuh lebih lanjut melalui foramen jugulare
akan mengenai saraf IX, X, XI dan XII. Tumor yang mengenai saraf IX dan X terjadi
parese palatum mole, faring dan laring. Gangguan pada saraf ini akan menimbulkan
gangguan makan, minum dan suara parau. Gejala karena metastasis melalui aliran getah
bening, akan menimbulkan pembesaran kelenjar getah bening leher bisa unilateral atau
bilateral. Gejala karena metastasis jauh melalui darah bisa mengenai hati, tulang, paru,
ginjal, limfa dan lainnya (Chong & Ong, 2008).
Diagnosis KNF didasarkan pada umur penderita dan gejala klinis, melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Sebagai pedoman diagnosis KNF adalah
bila dijumpai salah satu dari TRIAS atau tiga kelompok gejala berikut ini yaitu:
pertama, adanya tumor leher, gejala telinga dan hidung. Kedua, adanya tumor leher,
gejala intrakranial (saraf kranialis), gejala telinga atau hidung. Ketiga, adanya gejala
intrakranial, gejala telinga dan hidung. Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan histopatologi biopsi jaringan nasofaring dan dari pemeriksaan ini
dapat ditentukan jenis histopatologinya (Roezin & Syafril, 2006).
Penderita KNF sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu
gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial, dan pembesaran kelenjar limfe leher.
1. Gejala Hidung
Epistaksis : Gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga iritasi
ringan dapat terjadi perdarahan.
Hidung sumbat : Gejala ini akibat pertumbuhan massa tumor yang menutup
koana, infiltrasi tumor dapat terjadi ke mukosa kavum nasi, dan massa tumor
dapat menonjol kedalam kavum nasi (Asroel,2002).
2. Gejala Telinga
Gejala ini disebabkan perluasan tumor ke latero-posterior sampai ruang para
nasofaringeal sehingga terjadi gangguan pada fungsi tuba Eustachius.
3. Gangguan pendengaran
Tinnitus : Sering dijumpai pada penderita KNF, dapat sangat mengganggu dan
sulit diobati. Gejala ini juga disebabkan akibat gangguan fungsi tuba
Nyeri telinga / Otalgia : Bila dijumpai gejala otalgia, maka tumor sudah
menginfiltrasi daerah parafaring dan mendestruksi basis kranii. Nyeri yang
hebat pada telinga dapat juga terjadi akibat infiltrasi tumor pada
glossofaringeus
4. Gejala Neurologis
Sindroma Parafaring : Gejala ini timbul akibat gangguan saraf kranial grup
posterior (n. IX, X, XI dan XII) karena penjalaran retroparotidean dimana
tumor tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis
nervus hipoglosus. Manifestasi kelumpuhan ialah : nervus IX : kesulitan
menelan karena hemiparese.konstriktor faringeus superior, nervus X : gangguan
motorik berupa afoni, disfoni, disfagia dan spasme esofagus. Gangguan
sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dyspnoe dan hipersalivasi.
nervus XI : kelumpuhan atau atrofi m. trapezius, sternokleidomastoideus serta
hemiparese palatum molle, nervus XII : hemiparese dan atrofi sebelah lidah,
nervus VII dan nervus VIII jarang terkena KNF karena letaknya agak tinggi
(Munir,2007)
5. Limfadenopati servikal
Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi dengan
dokter, sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar leher baik
unilateral atau bilateral. Pembesaran kelenjar leher ini merupakan penyebaran
terdekat secara limfogen dari KNF. Pembesaran kelenjar yang agak khas akibat
metastasis adalah lokasi pada ujung prosesus mastoideus di belakang angulus
mandibula yaitu kelenjar jugulodigastrik dan kelenjar servikal posterior (atas dan
tengah), kemudian diikuti kelenjar servikal tengah. Penelitian di Hongkong
mendapatkan sebagian besar penderita KNF (74.5%) datang berobat dengan
keluhan benjolan di leher, dan paling banyak bilateral sebesar 50% (Lee et al,
1997), sedangkan di Taiwan mendapatkan 64 dari 83 penderita KNF dengan
pembesaran kelenjar leher (Liu et al,2003). Dari enam sentra di Malaysia keluhan
utama adalah bengkak di leher (42%), hidung sumbat (30%), keluhan telinga
(11%), sakit kepala (5%), saraf kranial (6 %), dll (6%). Tumor biasa teraba keras,
tidak nyeri, dapat terfiksir atau mudah digerakkan (Siregar,2010).
6. Gejala Metastasis Jauh
Metastasis jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat
mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal dan limpa.
Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang, paru-paru, hepar dan
kelenjar getah bening supraklavikular. Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosa
yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah
diagnosis ditegakkan (Siregar,2010)
6. Pemeriksaan Penunjang
Pengetahuan mengenai epidemiologi dan gambaran klinis KNF sangat diperlukan
untuk meningkatkan kewaspadaan dokter terhadap pasien yang mempunyai resiko
tinggi untuk terjadinya keganasan ini. Setelah dicurigai kemungkinan adanya
KNF,pemeriksa yang menyeluruh dan teliti harus segera dilakukan untuk menegakkan
diagnosis yang pasti dan stadium penyakit ini.
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Gejalanya sangat
bervariasi antara satu pasien dengan pasien yang lain (Munir, 2009). Demikian pula
dengan keluhan yang ditimbulkannya. Pada stadium dini, keluhan yang ada erring
tidak menimbukan kecurigan atas keberadan tumor ini. Jika ada biasanya berupa
keluhan telinga, hidung atau keduannya.
2. Pemeriksaan
Pada kasus KNF pemeriksaan yang teliti keseluruhan kepala dan leher merupakan
bagian yang terpenting dala menegakkan diagnosis. Nasofaring merupakan daerah
yang tersembunyi atau daerah yang paling sulit diperiksa dengan cara konvensional
a. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter
Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif, dilakukan
dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah
agak besar akan tampak dengan mudah.
b. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter
Magnetic
Resonance
Imaging(MRI)
lebih
baik
dari
CT dalam
Sitologi
Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara
seperti melalui kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau
dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap.
Akan tetapi pemeriksaan ini hasilnya sering meragukan, sehingga
pemeriksaan sitologi ini belum dapat diterima untuk mendiagnosis KNF.
c. Pemeriksaan Imunohistokimia
Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi
substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi
terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan
dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuai. Sistem deteksi digunakan
untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat
dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat
fluororesens atau suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk
produk berwarna yang dapat dilihat.
d. Pemeriksaan Serologi
Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan
dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi
terhadap VEB baik Ig G dan Ig A penderita KNF meningkat sampai 8-10 kali
lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat. Titer
imunoglobulin A (Ig A) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus
(viral capsid antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi tingkat
spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan IgA VEB
anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi kurang sensitif, dan titernya akan
menurun mendekati normal pada KNF stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat
merupakan indikator KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut
penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif.
fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer
memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma
nasofaring (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran
selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau kambuh
(residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi (Roezin,
Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut
rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan
banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan
mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain
adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis
jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang
muntah atau rasa mual ( Roezin, Anida, 2007).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana
tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh
pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas
tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum
yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan
terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital
Guangzhou, 2002 dan Roezin, Anida, 2007).
Beberapa macam pengobatan untuk penderita nasopharing carsinoma, antara
lain:
a. Terapi Radiasi
Terapi ini dapat merusak dengan cepat sel-sel kanker yang tumbuh. Terapi ini
dilakukan selama 5-7 minggu. Terapi ini digunakan untuk kanker pada tingkatan
awal.
Efek samping dari terapi ini adalah: mulut terasa kering, kehilangan pendengaran
dan terapi ini memperbesar resiko timbulnya kanker pada lidah dan kanker tulang.
b. Kemoterapi
dengan
radioterapi
dan
kemoterapi,
mengurangi
reaksi
gangguan eliminasi.
4. Pola aktivas latihan
Kaji bagaimana klien menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya klien
mengalami kelemahan atau keletihan akibat progresivitas tumor.
Stadium pertama dan dua
: Sesak nafas,
Stadium tiga
Stadium empat
Kaji
tingkat
kesadaran
klien,
apakah
klien
mengalami
gangguan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d terdapat benda asing di jalan nafas.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d nyeri menelan
3. Nyeri akut b/d agen-agen penyebab cidera
4. Ansietas b/d ancaman kematian.
5. Defisiensi pengetahuan b/d keterbatasan kognitif.
6. Gangguan pertukan gas b/d perubahan membrane kapiler-alveolar
7. Ketidakefektifan pola nafas b/d hiperventilasi
8. Gangguan presepsi sensori pendengaran b/d perubahan resepsi, transmisi, dan/
integrasi sensori
9. Resiko infeksi b/d imunitas tubuh menurun
10. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskular.
11. Resiko kerusakan integritas kulit b/d factor mekanik (mis: terpotong, terkena tekanan
dan akibat restrain)
12. Resiko cedera b/d disfungsi sensori.
13. Hambatan komunikasi verbal b/d defek anatomis pita suara.
INTERVENSI
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d terdapat benda asing di jalan nafas.
Data subyektif:
- Menyatakan kesulitan untuk bernafas.
Data obyektif:
- Sesak nafas
- Frekwensi nafas > 20 x/menit
- Nampak kebiruan
- Suara serak
NOC: kepatenan jalan napas.
Intervensi
5. Kaji frekuensi, kedalamaan, dan upaya pernapasan.
6. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam.
7. Atur posisi pasien dengan bagian kepala tempat tidur dtitinggikan 450.
8. Penghisapan nasofaring untuk mengeluarkan sekret.
9. Berikan udara/oksigen yang telah dihumidifikasi sesuai dengan kebijakan institusi.
Data subyektif: Mengemukakan tidak nafsu makan, sakit saat mengunyah, Kadangkadang mual
Data obyektif:
- BB menurun
- Kulit kering
- Turgor kurang baik
- Tampak lemas.
NOC: asupan makanan dan cairan adekuat
Intervensi
Berikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein, tinggi kalori yang
siap dikonsumsi
Konsultasikan pada ahli gizi untuk memeberikan makanan yang mudah dicerna,
secara nutrisi seimbang.
3. Nyeri akut b/d agen-agen penyebab cidera
Data subyektif:
- Menyatakan nyeri kepala
Data obyektif:
Gelisah
Wajah tegang
NOC: menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas.
Intervensi
1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
2. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan
perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas.
3. Pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan tenang, dan berikan
ketenangan serta rasa nyaman.
4. Sediakan pengalihan melalui televisi, radio, permainan, serta okupasi.
5. Dampingi pasien (misalnya, selama prosedur) untuk meningkatkan keamanan
dan mengurangi rasa takut.
6. Berikan obat untuk menurunkan ansietas.
5. Defisiensi pengetahuan b/d keterbatasan kognitif.
DS:
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC.
Jakarta.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta
: EGC;1999
Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach. 2
nd Edition : WB Sauders.
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001
Lab. UPF Ilmu Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi
Lab/UPF Ilmu Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta : EGC ;
1997
Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC;
2001
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT.
Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.
Sri Herawati. (2000). Anatomi Fisiologi Cara Pemeriksaan Telinga, Hidung,
Tenggorokan.
Laboratorium
Ilmu
Penyakit
THT
Fakultas
Kedokteran
Patofisiologi
Infeksi virus
( Virus SV 4)
Gangguan
mekanisme
pengendalian
pertumbuhan
normal
Berfungsinya
onkogen
( Carsinogeni
c Agent)
Mutasi gen
pengendali
pertumbuhan
Lumen
distal
Ketakutan
(Kecemas
an)
Proksimal
Sumbatan
partial/tot
al
Penekanan
reseptor Pada
lobus paru,
prostalagnin,
serotonin,
bradikinin,
norefinefrin,
ion hidrogen,
ion kalium dan
subtance P
Brokiekta
sis
Ggn
pertukaran
gas
Ganas/kanker (Sel
kecil/oat cell)
Kurang kohesif
Pertumbuhan cepat
Pola tidak teratur
Tidak berkapsul
Kompetisi
Pemakaian
Nutrisi,
rangsangan
organ
viseral
melalui
transmitor
H1,
serotonin (5
HT3), Host
Cytokine
Pola
nafa
s
tida
Nyeri
Resiko infeksi
k
efek
Ggn Nutrisi
tif
Kelemahan
/Intoleransi aktivitas
Metastase
Hematogen/Limfogen/La
ngsung
Multiorgan
failure
Sepsis
Syok
Sepsis
Hipert
ermi