Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia,
hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan
ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapatkan terapi insulin.
2.1.1.2 Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang
dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal, keadaan ini disebut resietensi insulin.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul
gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.
Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel langerhans secara autoimun
sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin
pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.
Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin,
merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian
besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan
kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar
dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu
defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel terhadap
glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua
kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang
mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
puasa
setelah makan
Normal
<100 mg/dl
<140 mg/dl
Diabetes
126 mg/dl
200 mg/dl
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
2.1.3.2 Terapi farmakologi
1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam
merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino
tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri
dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa
dari darah ke dalam sel.
Macam-macam sediaan insulin:
1. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di
cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah.
Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng
atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh:
Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose
(Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2 Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami kenaikan
tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yamg lama). Menurut
WHO, tidak bergantung pada usia, pada keadaan istirahat batas normal teratas
untuk tekanan sistolik 140 mmHg, sedangkan tekan diastolik 90 mmHg. Daerah
batas yang harus diamati bila sistolik 140-149 mmHg dan diastolik 90-94 mmHg
(Anonim, 2008).
2.2.1 Jenis-jenis hipertensi
2.2.1.1 Hipertensi primer (essensial)
Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari seluruh pasien
hipertensi dan 10% lainnya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Oleh karena itu,
upaya penanganan hipertensi primer lebih mendapatkan prioritas. Peninggian
tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda pada hipertensi primer.
Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda,
kadang-kadang hipertensi primer berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala
setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung.
2.2.1.2 Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau renovaskular
adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara
langsung atupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2006).
2.2.2 Klasifikasi tekanan darah
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2 dapat dilihat pada Tabel
2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC
KlsifikasiTekanan
Darah
Normal
TDS (mmHg)
TDD (mmHg)
< 120
< 80
Prehipertensi
120 139
80 89
Hipertensi derajat 1
140 159
90 99
Hipertensi derajat 2
160
100
yang teratur, semua ini terbukti dapat merendahkan tekanan darah dapat
menurunkan penggunaan obat-obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
2.2.3.2 Terapi farmakologi
Selain cara non farmakologi, penatalaksanaan utama hipertensi adalah
obat. Keputusan untuk memulai memberikan obat antihipertensi berdasarkan
beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya kerusakan
organ target, dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskular atau
faktor risiko lain.
Adapun obat-obat yang digunakan adalah: Diuretics, Angiostensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACE Inhibitor), Angiostensin Reseptor Blocker
(ARB), Beta Blocker (BBs), Calcium Chanel Blocker (CCB) (Ditjen Bina Farmasi
dan Alkes, 2006).
2.3 Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi
Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada
populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan
memperberat penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner,
stroke, nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat
diabetes, yang meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi
merupakan faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes
dan menentukan evaluasi dari nefropati dan retinopati penderita diabetes
khususnya.
Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi
insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah
diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin
farmakologi
dilakukan
secara
individual
dengan
penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan
antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter,
2005).
ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi
arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat
mengurangi proteinuria juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek
pada lipid atau asam urat dalam serum (Saseen dan Carter, 2005).
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril, Ramipril,
Enalapril, Tanapres (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
2. Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)
ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung
reseptor angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstrisi,
pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan
konstriksi arteriol efferent dari glomelurus ( Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2006).
ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat
pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan diabetes. ARB lebih disukai
sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi dengan diabetes. Secara
farmakologis, ARB akan memberikan nepropoteksi pada vasodilasi dalam efferent
arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensifitas insulin (Gray,
dkk., 2006).
ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati,
diabetes mellitus tipe 2 dengan protenuria dan kejadian penyakit ginjal. ARB
7. Kepatuhan
a. Pasien tidak