Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi dalam dunia veteriner dari tahun ke tahun
terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hampir setiap saat,
para ahli menemukan suatu metode baru yang berkaitan dengan sistem imun
baik pada hewan maupun manusia (inflamasi). Kemajuan IPTEK tersebut
juga berpengaruh terhadap kemajuan teknologi di subsektor kedokteran
hewan. Perkembangan
IPTEK
di bidang imunologi
misalnya
telah
dalam
Bila semua itu sudah tidak mampu menahan serangan dari luar maka
terjadilah inflamasi atau peradangan. Peradangan itu sendiri dapat dibedakan
menjadi dua yaitu regional dan sistemik. Peradangan regional misalnya
pembengkakan yang terjadi pada pangkal femur ketika kaki mengalami bisul
atau luka yang terinfeksi kuman.
menyerang seluruh tubuh atau sistemik maka manusia atau hewan tersebut
suhu tubuhnya akan meningkat dan mengalami demam kalau pada manusia.
Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk meninjau lebih dalam
mengenai ilmu imunologi khususnya tentang inflamasi. Karena dengan
mengetahui suatu hewan mengalami peradangan, kita sebagai calon dokter
hewan dapat mendiagnosa lebih jauh lagi mengenai penyakit yang menyerang
pada hewan tersebut. Inflamasi menjadi indikator utama suat hewan tersebut
dalam keadaan tidak sehat, mengingat inflamasi ini berkaitan dengan sistem
kekebalan tubuh. Jika terjadi inflamasi pastilah tubuh sudah terpapar beda
asing( virus dan bakteri) sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan inflamasi atau peradangan?
1.2.2 Bagaimana tahapan terjadinya inflamasi ?
1.2.3 Bagaimana penangan yang dilakukan ketika menemukan pasien
terkena inflamasi?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui apa itu inflamasi atau peradangan.
1.3.2 Untuk mengetahui tahapan terjadinya inflamasi.
1.3.3 Untuk dapat mengetahui penanganan bila mengemuka pasien terkena
inflamasi.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Melalui paper ini diharapkan
1.4.2 Hasil tugas ini dapat menjadi arsip yang dapat membantu untuk
mengerjakan tugas yang berhubungan dengan imunologi khususnya
mengenai inflamasi atau peradangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Infamasi
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh
cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu
(Dorland, 2002).
Inflamasi merupakan respon terhadap cedera. Arti khususnya, inflamasi
adalah reaksi vascular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang
terlarut dan sel-sel dari sirklasi darah ke jaringan interstitial pada daerah cedera
atau nekrosis. Inflamasi sebenarnya adalah gejala yang menguntungkan dan
pertahanan, hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen-agen penyerang,
penghancur jaringan nekrosis, dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk
perbaikan dan pemulihan.
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan
agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas.
Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki
atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut inflamasi
(Rukmono, 1973).
Inflamasi atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin,
bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang
berperan sebagai mediator inflamasi di dalam sistem kekebalan untuk melindungi
jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
Inflamasi akut
Inflamasi akut akan terjadi secara cepat (menit hari) dengan ciri khas
Hyperaemia
Jejas yang terbentuk pertama-tama akan menyebabkan dilatasi arteri lokal
di
dalam
inflamasi
berhubungan
dengan
perubahan
Exudating
Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas endotel disertai keluarnya
protein plasma dan sel-sel leukosit ke daerah extravaskular yang disebut eksudasi.
Hal ini menyebabkan sel darah merah dalam darah terkonsentrasi, viskositas
meningkat, sirkulasi menurun, terutama pada pembuluh darah-pembuluh darah
kecil yang sisebut stasis.
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan
keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini
berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan
osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal
kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam
jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik.
Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis
10.000 dalton.
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di
atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih
yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan
permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar
dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat
aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit
yang menyebabkan emigrasinya
3.
Emigration of leucocyte
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi
jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu
memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis,
dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan
beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi
radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti.
Baik neutrofil, maupun sel berinti tunggal dapat melewati celah antar sel
endhotelial dengan menggunakan pergerakan amoeboid menuju jaringan target.
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan
sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar
daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan
terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke
bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung
pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi
kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel.
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar
dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel
endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit,
tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang
tampak tertutup tanpa perubahan nyata
4.
Kemotaksi
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah
utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh
pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua
jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang
berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis.
Sebaliknya
limfosit
bereaksi
lemah.
Beberapa
faktor
kemotaksis
dapat
Fagositosis
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis.
Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului
oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang
apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum
(misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada
2.2.2.
Inflamasi kronis
Inflamasi kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi
toksisitas
rendah
dibandingkan
dengan
penyebab
yang
10
kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika),
penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6
minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif
tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya.
Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola
morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Inflamasi kronis telah dihubungkan dengan berbagai tahapan yang
terlibat dalam karsinogenesis termasuk transformasi seluler, promosi,
surivival, proliferasi, invasi, angiogenesis, dan metastasis. Inflamasi tersebut
menjadi faktor risiko pada kebanyakan tipe kanker. Misal induser asap
rokok, menyebabkan inflamasi bronkitis, ada pada kanker paru, %
predisposisi pada progres kanker adalah sebesar 11-24%, dll. Inflamasi dan
karsinogenesis ada kemiripan, bedanya pada kanker proses inflamasi tidak
untuk peroses perbaikan namun untuk pertumbuhan kanker itu sendiri.
11
12
sel disekitarnya.
Eusinofi
Eusinofil berlimpah dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh
IgE dan infeksi parasit. Salah satu kemokin yang terutama penting bagi
perekrutan eusinofil adalah eotaxin, Eusinofil memiliki granula yang
mengandung protein dasar utama, yang sangat kationik protein yang beracun
bagi parasit tetapi juga menyebabkan lisis sel epitel mamalis. Itulah
sebabnya ia sangat berperan dalam memerangi infeksi parasit tetapi juga
d.
13
otot
polos
vaskular
dan
14
antipiretika,
dan
anti-inflamasi.9
OAINS
merupakan
15
1. Salisilat
dan
salisilamid,
derivatnya
yaitu
asetosal
(aspirin),
salisilamid, diflunisal
2. Para aminofenol, derivatnya yaitu asetaminofen dan fenasetin
3. Pirazolon,
derivatnya
yaitu
antipirin
(fenazon),
aminopirin
16
2.3.2.
Efek Anti-inflamasi
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik
17
dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah,
bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Kebanyakan OAINS lebih
dimanfaatkan pada pengobatan muskuloskeletal seperti artritis rheumatoid,
osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Namun, OAINS hanya meringankan
gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara
simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki, atau mencegah kerusakan
jaringan pada kelainan muskuloskeletal.
Meskipun semua OAINS memiliki sifat analgesik, antipiretik dan
anti-inflamasi, namun terdapat perbedaan aktivitas di antara obat-obat
tersebut. Salisilat khususnya aspirin adalah analgesik, antipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan. Selain sebagai prototip OAINS,
obat ini merupakan standar dalam menilai OAINS lain. OAINS golongan
para aminofenol efek analgesik dan antipiretiknya sama dengan golongan
salisilat, namun efek anti-inflamasinya sangat lemah sehingga tidak
digunakan untuk anti rematik seperti salisilat. Golongan pirazolon
memiliki sifat analgesik dan antipiretik yang lemah, namun efek antiinflamasinya sama dengan salisilat.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Radang atau inflamasi adalah reaksi jaringan hidup terhadap semua bentuk
jejas yang berupa reaksi vascular yang hasilnya merupakan pengiriman
cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan
interstitial pada daerah cedera atau nekrosis. Tujuan inflamasi yaitu untuk
memperbaiki jaringan yang rusak serta mempertahankan diri terhadap
18
Inflamasi akut
Inflamasi akut adalah inflamasi yang terjadi segera setelah adanya
rangsang iritan. Pada tahap ini terjadi pelepasan plasma dan komponen
seluler darah ke dalam ruang-ruang jaringan ekstraseluler. Termasuk
didalamnya granulosit neutrofil yang melakukan pelahapan (fagositosis)
untuk membersihkan debris jaringan dan mikroba.
2. Inflamasi kronis
Inflamasi kronis terjadi jika respon inflamasi tidak berhasil
memperbaiki seluruh jaringan yang rusak kembali ke keadaan aslinya atau
jika perbaikan tidak dapat dilakukan sempurna.
Penanagan yang dapat diberikan ketika mendapati pasian mengalamai
radang atau inflamasi yakni dapat dilakukan dengan cra pemberian obat anti
inflamasi. Karena obat anti inflamasi memiliki sifat analgesik, antipiretik
dan anti-inflamasi,
3.2 Saran
Meskipun perkembangan teknologi dalam bidang Imunologi sudah
berkembang pesat, akan tetapi sebagai manusia kita tidak boleh lengah
dalam kemudahan. Kita, khususnya sebagai mahasiswa harus menyikapi
suatu fenomena, kepentingan, dan permasalahan dengan bijaksana. Hal ini
berdasarkan pada tujuan dari imun itu sendiri yaitu melindungi dari
gangguan benda asing dari luar, kita sebagai mahasiswa haru bisa
menyesuaikan diri seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M.
Wilson, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.3561)(Anugerah, P., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
Albini A, Sporn MB. The tumour microenvironment as a target for
chemoprevention. Nat Rev Cancer. 2007 Feb;7(2):139-47.
Anas, Khairul.2011. Penertian Inflamasi. Khairul-anas.blogspot.com. Diakses Tanggal 20
November 2013.
Bratawidjaja KG dan Rengganis I, 2010, Imunologi Dasar Edisi ke-9, FKUI Jakarta
20
Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P.,
Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta:
EGC. (Buku asli diterbitkan 2000).
Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I.,
Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan
1996).
Idaman, Rumah. 2010. Inflamasi. Bersamainok.Blogspot.com. Diakses Tanggal 29
November 2013.
Jeramai, Gubug.2009. Bagaimana Proses Terjadinya Inflamasi. Word Press.com. Diakses
Tanggal 29 Novemeber 2013.
Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L.
Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Moco.2013.Inflamasi dan Kanker.Word Press. com. Diakses Tangagal 29 November
2013.
Rukmono (1973). Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK
UI.
Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar
laboratorium patologi anatomik
Sunato.2010. Proses Inflamasi. Nato 14 Blogspot.com. Diakses Tanggal 29 November
2013.
21