You are on page 1of 14

Novianti Hansha Ludin

4111131165
Mandiri Terstuktur Blok 14
Kamis, 26 Nopember 2015, pkl. 14.00 16.00WIB
NS: dr.Apen Afgani Ridwan, Sp.PD., M.Kes

SKENARIO
Seorang laki-laki 45 tahun datang ke poliklinik penyakit dalam dibawa sama
keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran. Keluhan disertai sesak napas.
Enam jam sebelum dibawa ke poliklinik penderita berobat ke poliklinik 24 jam
dengan keluhan batuk, pilek. Penderita diberi obat parasetamol, amoksisilin dan
pseudoefedrin.
Penderita diketahui seorang perokok, sehari merokok 2 bungkus.
Riwayat keluarga: Bapak penderita meninggal setelah mendapat serangan jantung.
Pemeriksaan fisik:
KU: Somnolen , sakit berat
T: 80/60 mmHg; N: 110 x/m, irregular, anequal, isi kurang; R: 32 x/m;
Paru-paru: ronki-/-, wheezing +/+
Ekstremitas: pucat, dingin,
Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.

S:37,8 C

Pemeriksaan penunjang:
Hb :12gr/dl, Leukosit:8600/mm; Hematokrit; 36; Trombosit; 200.000/mm3
EKG:Irama atrial fibrilasi
Thorak: Dalam batas normal
TUGAS
1. Buatlah overview case berdasarkan skenario di atas
2. Bagaimana patofisiologi penyakit dan kemungkinan komplikasi di atas
dikaitkan dengan ilmu kedokteran dasar
3. Bagaimana penegakkan diagnosis dan klarifikasinya
4. Bagaimana penatalaksanaan kasus di atas sesuai kompetensi dokter umum
5. Bagaimana prognosis, pencegahan dan edukasi kasus di atas
6. Bagaimana penatalaksanaan kasus di atas.

Overview case

Data
Laki-laki 45 tahun
Keluhan penurunan kesadaran
Disertai sesak nafas
6 jam sebelum dibawa ke klini, pasien
dibawa ke berobat dengan keluhan :
Batuk dan pilek
Diberi obat parasetamol, amoksisilin dan
pseudoefedrin
Penderita seorang perokok, sehari 2
bungkus
Riwayat keluarga: bapa penderita
meninggal setelah serangan jantung
Pemeriksaan fisik
KU : somnolen
T: 80/60 mmHg
N: 110x/menit, iregular, anequal,
isi kurang
R: 32x/menit
S : 37,80C
Paru-paru : ronki-/- wheezing +/+
Ekstremitas : pucat, dingin
Pemeriksaan fisik lain dbn
Pemeriksaan penunjang
Hb: 12gr/dl
Leukosit : 8600/mm3
Hematokrit : 36%
Trombosit: 200.000/mm3
Ekg : irama atrial fibrilasi
Thoraks : dalam batas normal
DD
1.
2.
3.
DK
Syok anafilaktik

keterangan

Faktor pencetus
Faktor resiko

Penuruna tekanan darah


Takikardi
Takipnea
Subfebris
Obstruksi saluran nafas

Menurun (N: 13-17 gr/dl)


Normal (N:4100-11.000/mm3)
Normal (N: 40-50%)
Normal (N:150.000-400.000/mm3)
Dalam batas normal

Konsep map

Definisi
Sindrom klinis syok yang terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I (alergi)
sistemik.
Syok anafilaktik adalah suatu respon hipersensitivitas yang diperantarai oleh IgE
yang ditandai dengan curah jantung dan tekana arteri yang menurun hebat.
Tanda dan Gejala klinis
Tanda dan gejala syok anafilaktik turut mencakup gejala syok pada umumnya:
hipotensi, takikardi, akral dingin, serta oliguria. Namun dapat juga disertai oleh
gejala klinis akibat reaksi sitemik anafilaktik beikut:
1. Reaksi sitemik ringan : rasa gatal serta hangat, rasa penuh dimulut dan
tenggorokan, hidung tersumbat dan terjadi edema disekitar mata, kulit
gatal, mata berair, bersin. Biasanya gejala terjadi dua jam setelah paparan
antigen.
2. Reaksi sistemik sedang : gejala sistemik ringan ditambah spasme bronkus
dan/atau edema saluran napas sehingga muncul keluhan sesak, batuk atau
mengi. Dapat pula berupa urtikaria menyeluruh, mual, muntah, gatal,
gelisah. Biasanya awitan muncul seperti reaksi anafilaktik ringan.
3. Reaksi sistemik berat : gejala sistemik ringan dan sedang yang lebih berat.
Spasme bronkus, edema laring, suara serak, stridor, sianosis, hingga terjadi
henti napas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna sehingga nyeri
menelan, spasme otot perut, diare dan muntah. Dapat pula terjadi spasme
otot uterus, hingga kejang umum. Gangguan kardiovaskular, aritmia,
hingga koma.
Gejala dan Tanda Anafilaksis berdasarkan organ sasaran
Sistem
Umum
Prodormal
Pernapasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus
Kardiovaskular

Gejala dan Tanda


Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar
dilukiskan, rasa tak enak dii dada dan
perut, rasa gatal dihidung dan palatum.
Hidung gatal, brsin dan tersumbat.
Rasa tercekik, suara serak, sesak napas,
stridor, edema, spasme.
Edema
Batuk, sesak, mengi, spasme
Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi,
hipotensi sampai syok, aritmia.

Gastro intestinal

Kulit
Mata
Susunan saraf pusat

Kelainan EKG: gelombang T datar,


terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard
Disfagia, mual, muntah, kolik, diare
yang kadang disertai darah, peristaltik
usus meninggi
Urtika, angiodema, dibibir, muka atau
ekstremitas
Gatal, lakrimasi
Gelisah, kejang

Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik yang
muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor
pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau utikaria sampai
kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Karena itu mengenal
tanda-tanda dini sangat diperlukan agar pengobatan dapat segera dilakukan. Tetapi
kadang-kadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal
napas dapat berlangsung muncul tanpa tanda-tanda awal. Gejala-gejala tersebut
dapat timbul pada satu organ saja, tetapi pula muncul gejala pada beberapa organ
secara serentak atau hampir serentak. Kombinasi gejala yang sering dijumpai
adalah urtikaria atau angiodema yang disertai gangguan pernapasan baik karena
edema laring atau spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi utikaria
dengan gangguan kardiovaskular, pernapasan atau kulit juga bisa disertai mual,
muntah, kolik, usus, diare yang berdarah, kejang uterus atau perdarahan vagina.
Etiologi dan Faktor resiko
Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh bereaksi dengan
antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah
putih kemudian memproduksi antibodi dalam hal ini adalah igE yang bersirkulasi
pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perletakan
antigen-antibodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin
dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis
adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga,dan lateks. Udang, kepiting,
kerang, ikan, kacang-kacang, biji-bijian, buah beri,putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyababkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menybabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan
anafilaksis

Ilmu Kedokteran Dasar


Anatomi jantung
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di rongga
dada dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum. Ukuran
jantung lebih kurang sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250300 gram.

Jantung mempunyai empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan,
dan ventrikel kiri. Atrium adalah ruangan sebelah atas jantung dan berdinding
tipis, sedangkan ventrikel adalah ruangan sebelah bawah jantung. dan mempunyai
dinding lebih tebal karena harus memompa darah ke seluruh tubuh.
Atrium kanan berfungsi sebagai penampung darah rendah oksigen dari seluruh
tubuh. Atrium kiri berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru
dan mengalirkan darah tersebut ke paru-paru. Ventrikel kanan berfungsi menerima
darah dari atrium kanan dan memompakannya ke paru-paru.ventrikel kiri
berfungsi untuk memompakan darah yang kaya oksigen keseluruh tubuh. Jantung

juga terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan terluar yang merupakan selaput
pembungkus disebut epikardium, lapisan tengah merupakan lapisan inti dari
jantung terdiri dari otot-otot jantung disebut miokardium dan lapisan terluar yang
terdiri jaringan endotel disebut endokardium.
Ruang-ruang jantung
Jantung terdiri dari empat ruang yaitu:
1. Atrium dekstra: Terdiri dari rongga utama dan aurikula di luar, bagian
dalamnya membentuk suatu rigi atau Krista terminalis.
a. Muara atrium kanan terdiri dari:
a) Vena cava superior
b) Vena cava inferior
c) Sinus koronarius
d) Osteum atrioventrikuler dekstra
b. Sisa fetal atrium kanan: fossa ovalis dan annulus ovalis
2. Ventrikel dekstra: berhubungan dengan atrium kanan melalui osteum
atrioventrikel dekstrum dan dengan traktus pulmonalis melalui osteum
pulmonalis. Dinding ventrikel kanan jauh lebih tebal dari atrium kanan terdiri
dari:
a. Valvula triskuspidal
b. Valvula pulmonalis
3. Atrium sinistra: Terdiri dari rongga utama dan aurikula
4. Ventrikel sinistra: Berhubungan dengan atrium sinistra melalui osteum
atrioventrikuler sinistra dan dengan aorta melalui osteum aorta terdiri dari:
a. Valvula mitralis
b. Valvula semilunaris aorta
Peredaran darah jantung
Vena kava superior dan vena kava inferior mengalirkan darah ke atrium
dekstra yang datang dari seluruh tubuh. Arteri pulmonalis membawa darah dari
ventrikel dekstra masuk ke paru-paru(pulmo). Antara ventrikel sinistra dan arteri
pulmonalis terdapat katup vlavula semilunaris arteri pulmonalis. Vena pulmonalis
membawa darah dari paru-paru masuk ke atrium sinitra. Aorta (pembuluh darah
terbesar) membawa darah dari ventrikel sinistra dan aorta terdapat sebuah katup
valvulasemilunaris aorta.

Peredaran darah jantung terdiri dari 3 yaitu:


1. Arteri koronaria kanan: berasal dari sinus anterior aorta berjalan kedepan
antara trunkus pulmonalis dan aurikula memberikan cabang-cabangke
atrium dekstra dan ventrikel kanan.
2. Arteri koronaria kiri: lebih besar dari arteri koronaria dekstra
3. Aliran vena jantung: sebagian darah dari dinding jantung mengalir ke
atrium kanan melalui sinus koronarius yang terletak dibagian belakang
sulkus atrioventrikularis merupakan lanjutan dari vena.
Fisiologi jantung
Fungsi umum otot jantung yaitu:
1. Sifat ritmisitas/otomatis: secara potensial berkontraksi tanpa adanya
rangsangan dari luar.
2. Mengikuti hukum gagal atau tuntas: impuls dilepas mencapai ambang
rangsang otot jantung maka seluruh jantung akan berkontraksi maksimal.
3. Tidak dapat berkontraksi tetanik.
4. Kekuatan kontraksi dipengaruhi panjang awal otot.
Hipersensitivitas
I.

Hipesensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi


Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2
jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast
menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi
cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang
dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun
imunoglobulin G dan kerusakan jaringan melalui aktivasi
komplemen atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet
dapat berupa:
i.
Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia
hemolitik autoimun.
ii. Reaksi arthus lokal dan reaksi sitemik seperti serum
sicknes, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis
reumatoid dan LES.
Reaksi lambat

II.

Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan


dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH,
sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah
dermatitis kontak, reaksi M.tuberkulosis dan reaksi penolakan
tandur.
Reaksi hipersensitifitas tipe I atau reaksi alergi

reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Pada
tipe reaksi I alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons
imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma
dan dermatitis atopik. Urutan kejadian reaksi tipe satu adalah sebagai
berikut :
1. Fase sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikat
silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mst atau basofil.
2. Fase aktivasi
Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast atau basofil melepas isinya
yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi, hal ini terjadi
oleh ikatan silang anatar antigen dan IgE.
3. Fase efektor
Yaitu waktu terjadi responsyang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast atau basofil dengan
aktivitas farmakologi.

Patofisiologi
Syok anafilaktik terjadi akibat respons hipersensitivitas tipe I, yakni reaksi antigen
dengan antibodi IgE. Namun, adapula istilah reaksi antigen dengan anafilaktoid,
untuk gejala dan tanda anafilaksis tanpa melibatkan IgE, misla pada agen
radiokontras, kodein, aspirin atau OAINS lainnya, yang turut menginduksi
degranulasi sel mast. Alergen yang masuk ke dalam darah akan dikenali oleh
antigen presenting cell (APC) du mukosa maupun darah. APC selanjutnya akan
mempresentasikan antigen ke sel limfosit Th2. Sel Th2 akan mengeluarkan
sitokin-sitokin (seperti IL-4 dan IL-13) yang akan memicu sel memori (limfosit
B) menghasilkan IgE. Apabila alergen kembali muncul, maka alergen akan
langsung berikatan dengan IgE tersebut. Ikatan antigen antibodi IgE itu akan
mengaktivasi sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator anafilaksis
(peristiwa ini disebut juga degranulasi sel mast), seperti histamin, eikosanoid,
prostaglandin D2, trombosit activating factor, bradikinin, leukotrien C4, D4 dan
E4, dan mendasari gejala pada kulit, saluran napas, sistem vaskular dan traktus
gastrontestinal.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboraturium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,
memantau keadaan awal, dan beberapa pemeiksaan untuk digunakan memonitor hasil
pengobatan serta mendeteksi komplikasi lebih lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat
normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai
normal. Pemeriksaan yang lain lebih bermakna yaitu Ige spesifik dengan RAST.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kuliy untuk mencari allergen penyebab yaitu
dengan uji cukit ( prick test), uji gores(starch test), dan uji intrakutan atau intradermal
yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Pemeriksaan lainnya antara lain
adalah analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses
lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.

Epidemiologi
Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari 500
kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam,
khususnya penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002%
pemakaian. Selanjutnya pemakaian anafilaktoid yang tersering adalah pemakaian
media kontras untuk pemeriksan radiologi. Media kontras menyebabkan reaksi
yang mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi ntara 1:10.000
dan 1:50.000 prosedur intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya
media kontras yang hipoosmolar. Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga
pernah dilaporkan. Enam kasus kematian karena uji kulit dan 24 kasus
imunoterapi terjadi selama tahun 1959 sampai 1984. Penelitian lain melaporkan
17 kematian karena imunoterapi selama periode 1985 sampai 1989.

Penatalaksanaan
I.

Pencegahan
1. sebelum memberikan obat :
dilihat dulu indikasi obat,
adanya riwayat alergi obat sebelumnya
apakah mempunyai alergi obat
apakah obat tersebut perlu diuji kulit dulu
2. sewaktu minum obat

menggunakan obat oral dan hindarkan pemakaian intermiten


sesudah memberikan suntikan pasien selalu harus diobservasi
beritahu pasien kemungkina yang terjadi

3. sesudah meminum obat

II.

kenali tanda dini reaksi alergi obat


hentikan obat bila terjadi reaksi
indakan imunisasi sangat dianjurkan
bila terjadi reaksi berikan penjelasan dasar kepada pasien agar
kejadian tersebut tidak terulang kembali

Farmakologi
a. Tata laksana inisial
Pastikan airway dan breathing dalam kondisi baik. Bila
pasie tampak sesak, mengi, atau sianosis, berikan oksigen
3-6 L/menit dengan sungkupatau nasal kanul.
Pasang akses vena untuk resusitasi cairan atau pemberian
obat-obatan.
Berikan epinefrin 1:1000 sebanyak 0,3-0,5 mg IM pada
sepertiga medial anterolateral paha. Rute pemberian
alternatif ialah subkutan. Lokasi alternatif ialah lengan atas.
Tinggikan posisi tungkai / lengan bila memungkinkan.
Dosis diulang 5-15 menit berikut apabila belum ada
perbaikan klinis.
Bila anafilaksis disebabkan oleh sengatan serangga, berikan
injeksi epinefrin kedua 0.1-0.3 mg(1:1000) pada lokasi
sengatan ( untuk memberikan efek vasokontriksi), kecuali
pada daerah kepala, leher, tangan dan kaki.
Pasang torniket proksimal dari suntikan atau sengatan
serangga (untuk mengurangi absorpsi sistemik), namun
dilonggarkan 1-2 menit setiap 10 menit agar perfusi perifer
tetap terjaga.
Monitor ketat tanda vital dan hemodinamik setiap 15 menit,
terutama pada orangtua.

b. Apabila tekanan darah semakin turun (hipotensi)


Posisikan pasien dalam posisi trendelenburg
Berikan resusitasi cairan secara agresif: bolus 100ml cairan
isotonis salin normal (dapat lebih agresif pada syok
vasogenik), yang dititrasi hingga tekanan sistolik
>90mmHg
Apabila gejala klinis belum membaik atau hipotensi
berulang, berikan epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0.3-0.5
ml IV perlahan, atau pertimbangkan pemberian infus
epinefrin 0,0025-0,1 mg/KgBB/menit. Pertimbangkan
pemberian efek samping epinefrin.
Apabila hipotensi belum juga teratasi, berikan infus
norepinefrin 0,05-0,5 mg/menit atau dopamin HCL 210mg/KgBB/ menit. Injeksi dititrasi untuk menjaga tekanan
darah tetap stabil (seperti sebelum anafilaksis).
Pada pasien yang mengkonsumsi beta blocker non-selektif,
berikan injeksi:
Glukagon 1mg/vial dengan dosis bolus 1-5 mgIV
dalam 5 menit, dilanjutkan infus 5-15mg/menit
Atropin sulfat 1mg/ml dengan dosis 0.3-0.5 mg IV
Isoproterenol HCl 0.2 mg/mL dengan dosis diatas
2mg/ menit IV
c. Pada paisen dengan sesak hebat
Curigai adanya spasme bronkus atau edema saluran napas
Bila disertai spasme bronkus, berikan tambahan inhalasi
beta 2 agonis, seperti albuterol 0.5 ml dalam Nacl 0.9% 2.5
mL selama 15-30 menit.
Bila spasme menetap, berikan aminofilin 5.5mg/KgBB
yang dilarutkan dalam Nacl 0.9% 10mL: diberikan
perlahan-lahan dalam 20 menit (bila pasien sedang tidak
menggunakan teofilin rutin). Bila perlu, lanjutkan dengan
rumatan infus aminofilin 0.2-1.2mg/KgBB/jam
Pemberian kortikosteroid intravena (seperti
metilprednisolon 1-2mg/KgBB atau maksimum
250mgdalam 4-6jam) dapat membantu apabila gejala belum
membaik dalam 1-2 jam terapi.
Bila disertai edema hebat saluran napas atas,
pertimbangkan untuk intubasi endotrakeal.
d. Pada pasien dengan utikaria dan angiodema
Dapat ditambahkan antihistamin , seperti:
Difenhidramin HCl 50mg/mL dengan dosis 25-50 mg IV
atau IM

Hidroksizin 25g/mL dengan dosis 25-50 mg IM atau


peroral setiap 6-8 jam

Komplikasi

Henti jantung (cardiac arrest) dan henti napas


Bronkospasme persisten
Oedema larynx (dapat mengakibatkan kematian)
Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler)
Kerusakan otak permanen akibat syok
Urtikaria dan angioedema menetap sampai beberapa bulan
Kemungkinan rekurensi dimasa mendatang dan kematian

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad Functionam : dubia ad malam
Bioetik humaniora

Medical indication
Beneficence : dokter mampu menegakan diagnosis pasien yaitu syok anafilaktik
berdasarkan anamnesis didapatkan penurunan kesadaran, disertai sesak napas dan
pada pemeriksaan fisik terdapat penurunan tekanan darah, peningkatan frekuensi
nadi dan terdapat wheezing.
Quality of life
Nonmaleficence : dokter mampu mencegah komplikasi yang dapat terjadi dari
syok anafilaktik
Patient preference
Autonomy : dokter menjelaskan informed concent kepada keluarga pasien
mengenai diagnosis pasien dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga
keluarga pasien dapat mengerti.
Contextual feature
Justice : dokter memberikan penatalaksanaan yang seusai pada pasien dengan
melihan dari segi sosial ekonomi dan budaya pasien.

Daftar pustaka

1. Barnard JH. Studies of Hymenoptera sting death in the United States, J


Allergy Clin Immunol 1973;52;525-9
2. Belleau j, lieberman PL. Anaphylaxis. Dalam : Milgrom EC, Usatine RP,
Tan RA, spector SL (Eds). Practical Allergy, Mosby, China. 2004:97-109
3. Bochner BS, Lichenstein LM. Anaphylaxis. N. Engl J med.
1991;321:1785-90
4. Busse WW. Anaphylaxis in patients receiving beta blocker drugs. J Allergy
Clin Immunol 1986;78:76-83
5. De Swarte RD, Patterson R. Drug Allergy : In Roy Patterson R, Grammer
LC, Greenberger PA, editors. Allergic Diseases Diagnosis and
Management 5th ed. Philadelphia: Lippincot Raven Publishers. 1997:317412
6. Doctor J. Anaphylaxis: focus an early diagnosis and treatment. Can J
CME. 1996;March:41-56
7. Ewan PW,. Anaphylaxis : Diagnosis and management in : Holgate S,
Boushey HA, Fabril LM, editor. Diffuclt asthma. London: Martin Dunitz
Ltd. 1999; 521-534
8. Gilmore NJ, yang WH, Del Carplo J. Penicillin allergy. A simple, rapid
intravenous methode of desensitization (abstrac) J Allergy Clin Imunnol
1984;63:185.
9. Soar J, Pumphrey R, Cant A, Clarke S, Corbett A, Dawson P, dkk.
Emergency treatmen of anaphylactic reactions, guidelines of healthcare
providers. Resuscitation. 2008;77(2):157-69
10. Soar J. Guideline Development Group. Emergency Treatment of
Anaphylaxis in adults: concice guidance, Clin Med. 2009;9(2):181-5
11. Hoek TV, Morrison LJ, Shuster M, Donnino M, Sinz E, Lavonas EJ, dkk.
Cardiac arest in special situation: 2010 Ame3rican Heart Association
Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care, Circulation 2010;122:S829-61
12. Lieberman PL, Anaphylaxis, Dalam: Adkinson NF, Bochnes BS, Busse
WW, Holgate St, Lemanske Rf, Simons Fe, Middletons allergy: Principles
and practice. Edisi ke 8. Elseiver Saunders; 2013.

You might also like