You are on page 1of 17

REFLEKSI KASUS

HIPERPIREKSIA

Diajukan kepada:
dr. Agus, Sp.A
Disusun Oleh :
DEVY ISELLA LILYANI
H2A008011

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD TUGUREJO SEMARANG
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam (pireksi) yaitu peninggian suhu tubuh di atas 38,3 o C, sejak dahulu sudah
dikenal sebagai tanda penyakit. Penderita atau orang tua biasanya menyamakan tingginya
demam dengan beratnya penyakit. 30 35,8% alasan kunjungan ke dokter ialah demam.
Walaupun sebagian penderita dapat menahan suhu tubuh antara 39,4oC 40oC, demam dapat
menimbulkan efek yang merusak. Pada 3% anak yang berumur kurang daripada 5 tahun
terdapat kejang demam, yang merupakan separuh daripada seluruh kejang pada kelompok
umur ini. Orang tua biasanya cemas bila anaknya demam karena beranggapan bahwa
tingginya suhu sejajar dengan gawatnya penyakit yang diderita dan berusaha meminta
pertolongan untuk pengobatan demamnya.1
Keadaan demam yang lebih berat, yaitu hiperpireksi dimana suhu tubuh lebih
daripada 41,1oC atau 106oF, terdapat pada 0,476/ 1000 kasus demam. Kenaikan suhu di atas
41,1oC sebenarnya jarang terjadi, oleh karena adanya set point pengatur suhu yang diatur oleh
hipotalamus di otak. Kenaikan suhu di atas 41,1 oC ini umumnya masih dapat ditoleransi oleh
anak, kecuali anak yang memang peka terhadap timbulnya kejang. Dalam keadaan kejang,
hiperpireksia menyebabkan kebutuhan untuk metabolisme yang lebih tinggi dan
memperburuk keadaan. 1
Dari penderita yang datang ke ruang darurat terdapat 0,048% yang menderita
hiperpireksia, sedang dari 1761 penderita dengan infeksi berat, misalnya tifus abdominalis
dan pneumonia lobaris ternyata 5% di antaranya menderita hiperpireksia. Beberapa ilmuwan
berpendapat bahwa meningkatnya suhu disertai dengan meningkatnya kasus bakterimia. Hal
ini dibuktikan bahwa pada kasus dengan hiperpireksia terdapat 26% bakterimia (kultur positif
dibanding dengan hanya 13% penderita dengan demam di bawah 40oC.2
Baik hipertermia dan hipotermia dapat menyebabkan MOD (Multiorgan system
Dysfunction). Terapi untuk hipertermia meliputi mencari agen penyebab dan mendiagnosa
serta penanganan penyakit yang mendasari dengan perawatan keseluruhan secara simultan.
Pasien dengan hipertermia dapat mengalami myoglobinuria dan gagal ginjal.5
Hiperpireksi meningkatkan metabolisme tubuh dan kerja system kardiopulmoner
dan menyebabkan kerusakan jaringan sehingga harus ditanggulangi sebagai kasus emergensi.
Malignant hyperthermia pada anestesi dapat menyebabkan kematian pada 60 80% kasus. 1

Angka kematian penderita hiperpireksia cukup tinggi tetapi lebih daripada


separuhnya bukan disebabkan oleh tingginya suhu, melainkan disebabkan oleh penyebab
hiperpireksia. Pada percobaan penggunaan hipertermia sebagai pengobatan penderita
keganasan yang lanjut, meninggikan suhu tubuh sampai 42oC, tidak menyebabkan terjadinya
disfungsi otak. Kenaikan suhu di atas 41oC pada anak disertai frekuensi yang tinggi daripada
infeksi berat atau bakterimia, misalnya meningitis purulen, pneumonia lobaris, tifus
abdominalis dan lain-lain.2
Penyelidikan tentang demam telah banyak dilakukan, sungguhpun begitu belum
dapat ditentukan peranan demam terhadap penyakit. Buku teks pediatric yang terpenting
hampir tidak membicarakan sama sekali gejala demam dan pengobatannya. Selain
merupakan alat diagnostic yang penting, demam mungkin merupakan bagian pertahanan
tubuh yang dapat dipakai pada pengobatan. 1
Pengobatan hiperpireksi tidak selalu menyenangkan, efektif dan berguna, malahan
mungkin berbahaya. Pengobatan yang rasionil memerlukan pengertian yang baik tentang
mekanisme pengaturan suhu tubuh, patogenesis dan patofisiologi demam serta pengetahuan
tentang mekanisme pengobatan yang dapat menurunkan suhu tubuh. Pengobatan yang
ditujukan terhadap penyakit yang menyebabkan hiperpireksi tentu saja tetap merupakan hal
yang utama. 1
B. Tujuan Penulisan
Mengetahui

tentang

definisi,

penatalaksanaan dan prognosis hiperpireksia

etiologi,

patofisiologi,

gambaran

klinis,

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Definisi
Demam adalah salah satu gejala yang dapat membedakan apakah seorang itu sehat
atau sakit. Demam adalah kenaikan suhu badan di atas 38 oC. Hiperpireksia adalah suatu
keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF (suhu rectal).2

B.

Etiologi
29-59% demam berhubungan dengan infeksi, 11-20% dengan penyakit kolagen, 6-8%
dengan neoplasma, 4% dengan penyakit metabolik dan 11-12% dengan penyakit lain. 1
Penyebab hiperpireksi ialah : infeksi 39%, infeksi dengan kerusakan pusat pengatur
suhu 32%, kerusakan pusat pengatur suhu saja 18%, dan pada 11% kasus disebabkan
oleh Juvenille Rheumatoid Arthritis, infeksi virus dan reaksi obat. Dari 28 penderita
hiperpireksia terdapat 11 penderita (39%) disebabkan oleh infeksi diantaranya 7
penderita disebabkan oleh kuman gram negatif yang mengenai traktus urinaria 4
penderita, intraabdominal 2 penderita dan 1 penderita pada paru. Sedang 9 penderita
(32%) disebabkan oleh gabungan antara infeksi dan kerusakan pusat pengatur suhu.
Selain itu 5 penderita (18%) disebabkan oleh kerusakan pusat pengatur suhu. Tiga
penderita (11%) tidak diketahui penyebabnya. 1,2
Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan hiperpireksia
dapat dibagi sebagai berikut:
1. Set point hipotalamus meningkat
a. Pirogen endogen
- infeksi
- keganasan
- alergi
- panas karena steroid
- penyakit kolagen
b. Penyakit atau zat
- kerusakan susunan saraf pusat
- keracunan DDT
- racun kalajengking
- penyinaran
- keracunan epinefrin

2. Set point hipotalamus normal


a. Pembentukan panas melebihi pengeluaran panas
- hipertermia malignan
- hipertiroidisme
- hipernatremia
- keracunan aspirin
b. Lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas
- mandi sauna berlebihan
- panas di pabrik
- pakaian berlebihan
c. Pengeluaran panas tidak baik (rusak)
- displasia ektoderm
- kombusio (terbakar)
- keracunan phenothiazine
- heat stroke
3. Rusaknya pusat pengatur suhu
a. Penyakit yang langsung menyerang set point hipotalamus:
- ensefalitis/ meningitis
- trauma kepala
- perdarahan di kepala yang hebat
- penyinaran2
C.

Patofisiologi Pengaturan Suhu Tubuh


Manusia ialah makhluk yang homeotermal, artinya makhluk yang dapat
mempertahankan suhu tubuhnya walaupun suhu di sekitarnya berubah. Yang dimaksud
dengan suhu tubuh ialah suhu bagian dalam tubuh seperti viscera, hati, otak. Suhu rectal
merupakan penunjuk suhu yang baik. Suhu rectal diukur dengan meletakkan
thermometer sedalam 3 4 cm dalam anus selama 3 menit sebelum dibaca. Suhu mulut
hampir sama dengan suhu rectal. Suhu ketiak biasanya lebih rendah daripada suhu rectal.
Pengukuran suhu aural pada telinga bayi baru lahir lebih susah dilakukan dan tidak
praktis. Suhu tubuh manusia dalam keadaan istirahat berkisar antara 36 oC 37oC, yang
dapat dipertahankan karena tubuh mampu mengatur keseimbangan antara pembentukan
dan pengeluaran panas. 1
Panas dapat berasal dari luar tubuh seperti iklim atau suhu udara di sekitarnya yang
panas. Panas dapat berasal dari tubuh sendiri. Pembentukan panas oleh tubuh

(termogenesis) merupakan hasil metabolisme tubuh. Dalam keadaan basal tubuh


membentuk panas 1 kkal/ kg BB/ jam. Jumlah panas yang dibentuk alat tubuh, seperti
hati dan jantung relative tetap, sedangkan panas yang dibentuk otot rangka berubah-ubah
sesuai dengan aktifitas. Bila tidak ada mekanisme pengeluaran panas, dalam keadaan
basal suhu tubuh akan naik 1oC/ jam, sedang dalam aktivitas normal suhu tubuh akan
naik 2oC/ jam. 1
Pengeluaran panas terutama melalui paru dan kulit. Udara ekspirasi yang dikeluarkan
paru jenuh dengan uap air yang berasal dari selaput lendir jalan nafas. Untuk
menguapkan 1 ml air diperlukan panas sebanyak 0,58 kkal. Pengeluaran panas melalui
kulit dapat dengan dua cara yaitu:

Konduksi konveksi : pengeluaran panas melalui cara ini bergantung kepada

perbedaan suhu kulit dan suhu udara sekitarnya.


Penguapan air : air keluar dari kulit terutama melalui kelenjar keringat. Dapat juga
melalui perspirasi insensibilitas, difusi air melalui epidermis. 1
Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus melalui sistem umpan balik yang rumit.

Hipotalamus karena berhubungan dengan talamus akan menerima seluruh impuls eferen.
Saraf eferen hipotalamus terdiri atas saraf somatik dan saraf otonom. Karena itu
hipotalamus dapat mengatur kegiatan otot, kelenjar keringat, peredaran darah dan
ventilasi paru. Keterangan tentang suhu bagian dalam tubuh diterima oleh reseptor di
hipotalamus dari suhu darah yang memasuki otak. Keterangan tentang suhu dari bagian
luar tubuh diterima reseptor panas di kulit yang diteruskan melalui sistem aferen ke
hipotalamus. Keadaan suhu tubuh ini diolah oleh thermostat hipotalamus yang akan
mengatur set point hipotalamus untuk membentuk panas atau untuk mengeluarkan
panas. 1
Hipotalamus anterior merupakan pusat pengatur suhu yang bekerja bila terdapat
kenaikan suhu tubuh. Hipotalamus anterior akan mengeluarkan impuls eferen sehingga
akan terjadi vasodilatasi di kulit dan keringat akan dikeluarkan, selanjutnya panas lebih
banyak dapat dikeluarkan dari tubuh. Hipotalamus posterior merupakan pusat pengatur
suhu tubuh yang bekerja pada keadaan dimana terdapat penurunan suhu tubuh.
Hipotalamus posterior akan mengeluarkan impuls eferen sehingga pembentukan panas
ditingkatkan dengan meningkatnya metabolisme dan aktifitas otot rangka dengan
menggigil (shivering), serta pengeluaran panas akan dikurangi dengan cara
vasokonstriksi di kulit dan pengurangan keringat. 1
D.

Gambaran Klinis

Pada demam yang disebabkan oleh peningkatan set point hipothalamus, baik
yang berhubungan dengan endogenous pyrogen maupun non-EP, terdapat peninggian
pembentukan panas dan pengurangan pengeluaran panas. Penderita merasa dingin,
terdapat piloerection, menggigil (shivering), ekstremitas dingin, keringat tidak ada atau
sedikit sekali dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk mengurangi luas permukaan
tubuh. 1
Pada demam dimana set-point hipothalamus normal, pembentukan panas
meningkat melebihi pengeluaran panas dan mekanisme pengeluaran panas normal,
penderita merasa panas, tidak ada piloerection, ekstremitas panas, keringat banyak atau
berkurang dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk memperluas permukaan tubuh.
Pada feokromositoma, hiperpireksi timbul secara tiba-tiba disertai nyeri kepala dan
keringat banyak. Bila pembentukan panas normal, tapi mekanisme pengeluaran panas
tidak baik, penderita merasa panas, ekstremitas panas, keringat sedikit. 1
Pada penyakit tertentu misalnya dehidrasi dengan hipernatremia yang
disebabkan oleh diare terdapat gabungan mekanisme set point normal dan meningkat
yaitu demam disebabkan oleh infeksinya karena diare, yang mengakibatkan terjadinya
set point meningkat sedang oleh hipernatremia set point tetap normal.2
Pada demam disebabkan oleh displasia ektodermal, terbakar, kelebihan/
keracunan phenotiazine dan heat stroke terdapat pembentukan panas normal tetapi
mekanisme pengeluaran panas terganggu/ berkurang. Dalam hal ini penderita merasa
panas, gelisah, lemah, ekstremitas panas dan keringat berkurang sampai tidak ada.2
Pada penderita dimana pusat pengatur suhu rusak, penderita ini seperti mahkluk
poikilothermal, tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di
sekitarnya. Suhu tubuh akan menetap, tidak dapat naik turun. Resisten terhadap
antipiretik. Bila kerusakan hebat, keringat tidak ada. Sesudah tindakan penurunan suhu
secara fisik, misalnya surface colling, suhu tubuh akan tetap rendah. Terdapat juga
gangguan neurologik dan endokrin lainnya. 1
Pada rusaknya pusat pengatur suhu yang disebabkan oleh penyakit yang
langsung menyerang hipotalamus, misalnya ensefalitis dan perdarahan otak, pada tingkat
permulaan terdapat gejala klinis yang sama dengan set point hipotalamus yang
meningkat tetapi apabila kerusakan berlanjut terjadi keadaan dimana penderita tidak
dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di sekitarnya. Penderita
sangat bergantung pada suhu luar dan resisten terhadap antipiretik. Bila kerusakan hebat
terdapat gangguan neurologik dan endokrin seperti diabetes insipidus.2

Hubungan demam dengan infeksi, banyak diselidiki. Pada anak berobat jalan
dengan suhu tubuh 38,3 C, ditemukan bakterimia pada 3,2-4,4% kasus. Pada anak
berumur 7 bulan sampai dengan 1 tahun dengan suhu tubuh lebih dari 39,4 C dan jumlah
sel leukosit lebih dari 20.000/ml besar kemungkinan menderita infeksi. Pada anak
berumur kurang dari 2 tahun, dengan suhu tubuh 40 C atau lebih dengan leukositosis dan
laju endap darah lebih dari 30 mm/jam, risiko bakterimi tiga kali lebih besar bila tidak
ada leukositosis atau peningkatan laju enap darah. Pada anak berumur kurang dari 3
bulan dengan suhu tubuh lebih dari 40 C, infeksi berat ditemukan pada 31,4% kasus,
meningtis bakterial pada 13,63% kasus. Sedangkan bila suhu tubuh antara 37,7 39,9 C
infeksi berat hanya ditemukan pada 9,5% kasus, tidak dijumpai kasus meningitis
bakterial. 1
Pada anak dengan hiperpireksi dimana suhu tubuh lebih dari 41,1 C, ditemukan
bakterimia pada 26% kasus, meningitis bakterial pada 18% kasus dan kejang pada 18%
kasus. Bila suhu tubuh antara 40,5-41,0 C, bakterimi hanya ditemukan pada 13% kasus,
meningitis bakterial pada 9% kasus dan kejang pada pada 7,2% kasus. 1
Hipertermia pada pasien dengan penyakit yang mendasari di jantung dapat
menyebabkan terjadinya iskemia, aritmia hingga penyakit jantung kongestif. Kebutuhan
oksigen meningkat dan pengeluaran karbondioksida bertambah yang mengakibatkan
peningkatan metabolisme dan heart rate. Hipertermia dapat memperberat brain injury.
Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis, trombositosis, hemokonsentrasi
dan DIC. Azotemia dan peningkatan serum levels of muscle enzymes serta tanda-tanda
gagal ginjal dan rhabdomiolisis dan peningkatan enzim-enzim hati dengan gejala-gejala
gagal hepar bisa terjadi.5
Bila suhu badan meningkat terus dan pada pengukuran suhu rektal mencapai
41,1oC atau lebih terjadilah apa yang dinamakan hiperpireksia dan manifestasi klinis
akan bertambah dan bergantung pada keadaan. Gejala klinis yang penting dan harus
dikenal secepatnya supaya dapat ditanggulangi segera, yaitu:
- gejala serebral seperti disorientasi, delirium, halusinasi, ataksia, fotofobi,
kejang, koma dan deserebrasi
- kulit : merah, panas dan kering
- tekanan darah : mula-mula naik, normal dan kemudian turun
- jantung : takikardia dan aritmia
- pernafasan : tak teratur atau tipe Cheyne Stokes
- oliguria, dehidrasi, asidosis metabolik dan renjatan (shock)

- ekimosis, petekiae, perdarahan dan DIC (disseminated intravascular


coagulation).2
Hiperpireksi menyebabkan perubahan metabolisme, termasuk di dalamnya
peningkatan konsumsi oksigen dan metabolisme jaringan. Setiap kenaikan suhu tubuh
1oC, basal metabolik rate meningkat 10 -14%, kebutuhan oksigen meningkat 20% dan
basal tidal volume meningkat 9%. Sebagai akibatnya sistem kardiovaskuler bekerja lebih
berat. Hiperpireksia secara langsung dapat menyebabkan kerusakan jaringan. 1
Hiperpireksia dan gangguan sirkulasi berupa shock sering ditemukan pada anak
berumur kurang dari 1 tahun. Hiperpireksia menyebabkan vasokonstriksi umum dan
gangguan perfusi jaringan. Pengeluaran panas berkurang, sehingga suhu tubuh
meningkat lagi dan keadaan hipoksi lebih diperberat. 1
Sebagai kesimpulan, gambaran klinik yang dapat ditemukan pada hiperpireksia
ialah

dehidrasi,

gangguan

keseimbangan

asam-basa

dan

elektrolit,

aritmia,

decompensatio cordis, hipotensi, shock, gangguan fungsi ginjal, respiratory failure,


kejang, penurunan kesadaran sampai koma. 1
E.

Penatalaksaan Hiperpireksia
Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu
1. Menurunkan suhu tubuh secara simptomatis
Dalam menurunkan suhu tubuh secara simptomatik ada 2 hal tindakan yang perlu
dipisahkan, yaitu:
a) mengeluarkan panas tubuh secara fisik, ialah:
o Menempatkan penderita dalam ruangan yang dingin dengan aliran udara
yang baik, misalnya dengan kipas angin agar sirkulasi udara bertambah
o Membuka baju penderita
o Surface cooling yaitu kompres secara intensif pada seluruh bagian tubuh
dengan es, air es atau dengan selimut hipotermik
o Menggunakan alkohol untuk mendinginkan tubuh harus hati-hati karena gas
yang turut terisap dapat menyebabkan hipoglikemia dan koma.
o Memakai air es untuk membilas lambung atau enema atau infus sukar
dilakukan dan terdapat gejala sampingan yang tidak baik untuk penderita.2

Cara mengeluarkan panas tubuh secara fisik ini dapat digunakan untuk golongan
demam yang disebabkan oleh set point hipotalamus yang meningkat, set point
hipotalamus yang normal dan pada kerusakan pusat pengatur suhu. Tetapi bila hanya
cara ini saja yang dipergunakan untuk set point hipotalamus yang meningkat, terjadi
perangsangan pembentukan panas lebih banyak lagi dan akan mempertinggi
metabolisme, suhu hanya sebentar saja turun dan timbul gejala menggigil. Oleh sebab
itu pada keadaan set point hipotalamus yang meningkat dibutuhkan tambahan obat
yang dapat menurunkan set point di hipotalamus.2
Pengeluaran panas secara fisik dapat dilakukan dengan cara external cooling dan
internal cooling :
a. External Colling (Surface Cooling)
Dilakukan dengan mengompres seluruh tubuh dengan air, air es atau
dengan memakai hypothermic matress, yaitu suatu alat berupa selimut yang
suhunya dapat diatur dengan mesin. Bila memakai es, jangan meletakkan es pada
satu tempat lebih lama dari satu menit.
Pemakaian alkohol untuk mendinginkan kulit, harus dilakukan dengan
hati-hati, karena dapat menimbulkan koma, hipoglikemi dan hipothermi karena
inhalasi alkohol yang menguap, lebih-lebih bila ruangan perawatan sempit
dengan ventilasi tidak baik.
b. Internal cooling
Dilakukan dengan membilas lambung dan rektum dengan larutan garam
fisiologik yang dingin. Dapat juga dengan memakai cairan infus yang sedingin
es. Internal cooling sukar melakukannya dan masih merupakan cara yang
kontroversal. 1
b) menggunakan obat-obatan
Obat-obatan yang dipakai adalah antipretik yang tujuannya untuk menurunkan
set point hipotalamus. Obat ini bekerja melalui inhibisi biosintesis prostaglandin
E, sehingga mencegah atau menghambat pengaruh pirogen endogen. Bila set
point diturunkan, pembentukan panas dikurangi dan pengeluaran panas tubuh
akan meningkat, sehingga suhu tubuh akan menurun dan bahkan pada panas yang
tak terlalu tinggi kompres es/ selimut hipotermik tidak diperlukan. Untuk
mencegah menggigil karena vasodilatasi di kulit dan pengeluaran keringat,
penderita dapat diselimuti. Obat antipiretik yang dipakai misalnya aspirin. Dosis
aspirin adalah 60 mg/ tahun/ kali, sehari diberikan 3 kali atau untuk bayi di bawah

6 bulan diberikan 10 mg/ bulan/ kali, sehari diberikan 3 kali. Kadar maksimal
dalam darah tercapai dalam 2 jam pemberian oral, tetapi half life meningkat
dengan menaikkan dosis sehingga ada bahaya akumulasi sebagai akibat
pemberian yang sering unutk memberantas demam. Gejala sampingan aspirin
yang perlu diketahui adalah perdarahan saluran pencernaan, memberatkan asma
dan mengganggu fungsi sel-sel trombosit.2
Bila set point normal, pemberian aspirin untuk mengubah set point adalah
tindakan salah dan dapat menyebabkan keracunan.2
Kadang-kadang mekanisme patogenesis demam pada seorang penderita lebih
dari pada satu atau merupakan kombinasi, misalnya pada penyakit diare dan
hipernatremia. Diare mungkin disebabkan oleh infeksi, demam oleh karena
pirogen dapat diturunkan dengan antipiretik sedang hipernatremia yang
menyebabkan metabolisme panas yang meningkat, dapat dihilangkan dengan
mengeluarkan panas secara fisik.2
Penderita hiperpireksi sebaiknya dirawat di bangsal khusus dimana dapat
dilakukan pengawasan klinik dan laboratorik terus-menerus. Aliran udara diatur,
sehingga pertukaran udara menjadi lebih baik. Kalau dapat, suhu ruangan
perawatan diturunkan. Di bangsal emergensi, keadaan respirasi, sirkulasi dan
metabolik yang pertama sekali harus distabilkan. Ventilasi harus terjamin. Saluran
pernafasan harus terbuka. Bila banyak lendir harus dibersihkan dengan
menghisapnya dari hidung dan tenggorok. Untuk mencegah lidah terdorong ke
belakang, yang akan menyempitkan jalur nafas dipasang oropharyngeal airway.
Bila perlu dilakukan intubasi endotrakheal. Kadar oksigen udara pernafasan
diatur sehingga mencukupi kebutuhan. Oksigen dapat diberikan melalui kateter
nasofaring, oropharyngeal airway atau dengan masker. Bila terdapat kegagalan
pernafasan, dipergunakan respirator. 1
Pada setiap penderita hiperpireksi dilakukan intra-venous fluid drips untuk
memberikan cairan dan kalori serta untuk mengkoreksi setiap gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila terdapat asidosis diberikan natrium
bikarbonat atau cairan yang mengandung base-corrector seperti cairan Ringer
Laktat. 1
Bila penderita hiperpireksi merasa dingin, terdapat piloerection dan menggigil
sedangkan ekstremitas dingin dan keringat sedikit atau tidak ada sama sekali,
berarti hiperpireksi disebabkan oleh peninggian set point hipothalamus,

pembentukan panas meningkat, pengeluaran panas berkurang. Kepada penderita


ini diberikan obat yang dapat merendahkan set-point hipothalamus seperti aspirin
atau acetaminophen, yang bersifat antagonik terhadap endogenous pyrogen di
hipothalamus. Pembentukan panas akan dikurangi, pengeluaran panas akan
ditingkatkan dengan vasodilatasi di kulit dan pengeluaran keringat. Untuk
mencegah menggigil, penderita diselimuti. Largaktil dapat diberikan untuk
vasodilatasi di kulit dan untuk mencegah menggigil. Pengeluaran panas secara
fisik tanpa menurunkan set-point hipothalamus, akan merangsang pembentukan
panas lebih banyak lagi. Bila penderita gelisah dapat diberikan sedative. Aktivitas
penderita yang gelisah dapat menambah pembentukan panas. 1
Hiperpireksi dengan set-point hipothalamus normal, berarti pengeluaran panas
baik, penderita merasa ekstremitas panas tidak ada menggigil dan piloerection
serta keringat ada, diobati dengan pengeluaran panas secara fisik. Pemberian
antipiretik dalam hal ini tidak berguna, malah mungkin berbahaya. 1
Bila pada operasi timbul Malignant Hyperthermia, hentikan pemakaian
halothese. Anestesi dilanjutkan dengan N2O O2 50-50%, tiopental dan dtubokurarin. Berikan prokain-amid 1 mg/kg BB. Bila suhu tubuh lebih dari 40 C
dan operasi dilakukan pada rongga dada atau perut lakukan irigasi pada rongga
dada atau perut dengan larutan garam fisiologik yang steril dan dingin. Bila
rongga badan tidak dioperasi, sedangkan suhu tubuh lebih dari 42,2 C, buka
rongga perut dan lakukan irigasi seperti di atas. 1
Penanganan Heat Stroke:
1. Dinginkan pasien secepatnya dengan air es atau dingin, kipas angin atau agen
pendingin lainnya
2. Berikan oksigen 100%. Jika pasien unresponsive, awasi jalan nafasnya
3. Berikan infuse cairan isotonic cristaloid untuk hipotensi, dextrose 5% untuk tekanan
darah yang normal dan untuk maintenance. Monitor CVP (Central Venous
Pressure)
4. Tempatkan monitor, dan cek temperature per rectal berkelanjutan dan pasang kateter
Folley serta NGT
5. Pemeriksaan laboratorium meliputi: pemeriksaan darah rutin, elektrolit meliputi:
glukosa, kreatinin, protrombin time dan partial tromboplastin time (PT dan PTT),
keratin kinase, fungsi hati, AGD, urinalisis dan serum kalsium, magnesium dan
fosfat.

6. Rawat di ICU khusus untuk anak. 4


2. Pengobatan Penunjang
Pengobatan penunjang harus segra dan bersamaan dengan menurunkan suhu tubuh
secara simptomatis. Hal ini bergantung pada gejala yang timbul, tetapi meskipun
demikian kita harus waspada sebab sewaktu-waktu gejala yang memberatkan penderita
akan timbul. Penatalaksanaan terdiri atas:
-

Mengusahakan jalan napas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu

dilakukan intubasi atau trakeotomi


Pasanglah dan pertahankan infus untuk menjamin pemasukan cairan secara teratur

dan mempertahankan keseimbangan elektrolit.


Bila penderita gelisah dapat diberikan sedativa karena kegelisahan dapat

menambah pembentukan panas


Bila terjadi keadaan menggigil dapat diberikan klorpromazin dengan dosis 2 4
mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis. Pada heat stroke kecuali pengobatan penurunan
suhu secara fisik, dapat diberikan klorpromazin untuk mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah kulit akibat bendungan yang terlalu cepat karena tindakan secara

fisik tersebut.
Bila terdapat kejang segera hentikan kejangnya
Bila timbul DIC (disseminated intravascular coagulation) tanggulangi secepatnya.
Sebenarnya DIC tidak memerlukan pengobatan bila penyebabnya diobati dengan
tepat, tetapi pada anak bila terjadi perdarahan hebat dapat diberikan heparin dengan
dosis 25 unit per kg BB dalam 1 jam di dalam infuse secara kontinu atau 100 unit

per kg BB tiap 4 6 jam sekali secara intravena.


Bila terjadi hipoksia yang dapat mengakibatkan edema otak dapat diberikan
kortison dengan dosis 20 -30 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya
dexamethasone - 1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik. 2

3. Mencari dan mengobati penyebab


Untuk hal ini diperlukan pemeriksaan lengkap baik secara umum maupun neurologik.
Factor infeksi sangat penting dan perlu dikerjakan pemeriksaan darah lengkap termasuk
biakan dan pungsi lumbal.
Dengan penatalaksanaan yang baik mengeani hiperpireksia dan ditemukan
penyebabnya umumya penderita dapat sembuh. Misalnya pada hipertermia malignan
akibat anestesia bila tidak waspada dan tidak diketahui akan berakibat fatal. 2
F.

Prognosis

Prognosis hiperpireksi bergantung kepada penyakit yang menyebabkan hiperpireksi


itu. Bila penatalaksanaannya baik, kebanyakan kasus dapat sembuh daripada
hiperpireksinya dan fungsi basal kembali normal. Kematian karena hiperpireksi saja 37%, sedangkan kematian karena penyakit utamanya 20%. Jadi pengobatan yang
ditujukan terhadap penyakit yang menyebabkan hiperpireksi tetap merupakan hal yang
utama.1 Pada keadaan heat stroke yang mengalami komplikasi dan hipertermia malignan
prognosisnya buruk.1,2

BAB III
KESIMPULAN
Hiperpireksia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF
(suhu rectal).2 Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan
hiperpireksia disebabkan oleh set point hipotalamus meningkat (adanya EP dan non EP), set
point hipotalamus normal (pembentukan panas melebihi pengeluaran panas, lingkungan lebih
panas daripada pengeluaran panas, pengeluaran panas tidak baik) dan rusaknya pusat
pengatur suhu (ensefalitis/ meningitis, trauma kepala, perdarahan intrakranial).
Gejala klinis yang penting dan harus dikenal secepatnya supaya dapat ditanggulangi
segera, yaitu: gejala serebral seperti disorientasi, delirium, halusinasi, ataksia, fotofobi,
kejang, koma dan deserebrasi ; kulit : merah, panas dan kering ; tekanan darah : mula-mula
naik, normal dan kemudian turun ; jantung : takikardia dan aritmia ; pernafasan : tak teratur
atau tipe Cheyne Stokes ; oliguria, dehidrasi, asidosis metabolik dan renjatan (shock) ;
ekimosis, petekiae, perdarahan dan DIC (disseminated intravascular coagulation).2
Gambaran klinis hiperpireksia berbeda-beda, pada demam yang disebabkan oleh
peningkatan set point hipothalamus, Penderita merasa dingin, terdapat piloerection,
menggigil (shivering), ekstremitas dingin, keringat tidak ada atau sedikit sekali dan posisi
tubuh penderita dalam posisi untuk mengurangi luas permukaan tubuh. 1 Pada demam dimana
set-point hipothalamus normal, penderita merasa panas, tidak ada piloerection, ekstremitas
panas, keringat banyak atau berkurang dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk
memperluas permukaan tubuh. Pada penderita dimana pusat pengatur suhu rusak, penderita
ini seperti mahkluk poikilothermal, tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap
perubahan suhu di sekitarnya. Suhu tubuh akan menetap, tidak dapat naik turun. Resisten
terhadap antipiretik. Bila kerusakan hebat, keringat tidak ada. Terdapat juga gangguan
neurologik dan endokrin lainnya. 1 Pada rusaknya pusat pengatur suhu yang disebabkan oleh
penyakit yang langsung menyerang hipotalamus, misalnya ensefalitis dan perdarahan otak,
pada tingkat permulaan terdapat gejala klinis yang sama dengan set point hipotalamus yang
meningkat tetapi apabila kerusakan berlanjut terjadi keadaan dimana penderita tidak dapat
mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di sekitarnya. Penderita sangat
bergantung pada suhu luar dan resisten terhadap antipiretik. 2
Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu (1)
menurunkan suhu tubuh secara simptomatis, (2) pengobatan penunjang dan (3) mencari dan
mengobati penyebab.2 Prognosis hiperpireksi bergantung kepada penyakit yang menyebabkan

hiperpireksi itu. Bila penatalaksanaannya baik, kebanyakan kasus dapat sembuh daripada
hiperpireksinya dan fungsi basal kembali normal. Pada keadaan heat stroke yang mengalami
komplikasi dan hipertermia malignan prognosisnya buruk.1,2

DAFTAR PUSTAKA
1. Darlan Darwis. (1981). Penatalaksanaan Kegawatan Pediatrik, Beberapa Masalah dan
Penanggulangan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. H. Sofyan Ismail. (1981). Hiperpireksia. Kedaruratan dan Kegawatan Medik, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
3. Richard C. Dart, MD, PhD. (2007). Chapter 12: Poisoning. Current Pediatric Diagnosis
& Treatment, Eighteenth Edition, the McGraw-Hill Companies; by Appleton & Lange.
4. F. Keith Battan, MD, FAAP, Glenn Faries, MD. (2007). Chapter 11: Emergencies &
Injuries. Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth Edition, the McGrawHill Companies; by Appleton & Lange.
5. Todd J. Kilbaugh Jimmy W. Huh Mark A. Helfaer. (2006). Chapter 34: Disorders of
Temperature Control. Current Pediatric Therapy, 18th ed.Saunders, An Imprint of
Elsevier.
6. Rudolph, Colin D.; Rudolph, Abraham M.; Hostetter, Margaret K.; Lister, George;
Siegel, Norman J. (2003). Chapter 4: The Acutely Ill Infant and Child. Rudolph's
Pediatrics, 21st Edition, McGraw-Hill.

You might also like