You are on page 1of 31

Menentukan Sel yang Mati Dan yang Bertahan

4.1.

Konsep klonogenik sel

Seperti yang dijelaskan dalam bab 13, bagian 13.2, maintenens jaringan
beserta fungsinya dalam jaringan baru yang normal di dalam tubuh bergantung
pada adanya sejumlah kecil sel stem primitif sel-sel yang memiliki kapasitas
untuk mempertahankan jumlahnya sementara dalam waktu yang bersamaan
memproduksi sel-sel yang dapat berdiferensiasi dan berproliferasi untuk
menggantikan populasi sel fungsional lainnya. Sel stem merupakan dasar hierarki
sel yang membentuk epitel dan jaringan hemopoetik.
Karsinoma berasal dari jaringan hierarki demikian, dan kemampuan kita untuk
mengenali karsinoma ini dalam potongan-potongan histologik berasal dari fakta
bahwa tumor-tumor ini seringkali masih mempertahankan banyak sifat
diferensiasi jaringan asalnya. Tumor yang berdiferensiasi dengan baik
mempertahankan sifat-sifat ini dengan sangat baik dibaning dengan tumor
anaplastik. Demikian pula bahwa tidak semua sel di dalam tumor merupakan sel
stem neoplastik; beberapa sel berasal dari proses diferensiasi ireversibel. Sebagai
tambahan, karsinoma mengandung banyak sel yang membentuk stroma (fibroblas,
sel-sel endotel, makrofag, dll). Dengan demikian, sel stem mungkin hanya
menyusun sebagaian kecil dari sel di dalam tumor.
Saat tumor kembali tumbuh setelah terapi non-kuratif, hal itu terjadi karena
sebagian sel stem neoplastik tidak ikut terbunuh. Ahli radiobiologi kemudian
mengerti

bahwa kunci untuk memahami respon tumor adalah dengan

mempertanyakan: Berapa banyak sel stem yang tersisa? (bila kita dapat
mengeradikasi sel stem neoplastik terakhir maka tumor tidak akan tumbuh
kembali). Hampir mustahil untuk mengidentifikasi sel stem tumor in situ, dan
dengan demikian tes-tes telah dikembangkan untuk memungkinkan sel-sel
tersebuh terdeteksi setelah dibuang dari tumor. Pemeriksaan ini secara umum
mendeteksi sel stem melalui kemampuannya untuk membentuk koloni di dalam
lingkungan tempatnya tumbuh. Kita kemudian mengenal sel-sel ini dengan

sebutan klonogenik atau sel-sel pembentuk koloni sel yang membentuk


koloni-koloni sekitar lebih dari 50 sel di dalam suatu lingkungan tumbuh tertentu.
Jumlah 50 mewakili lima atau enam generasi proliferasi. Jumlah ini dipilih untuk
menyingkirkan sel-sel yang memiliki potensi tumbuh terbatas sebagai hasil dari
diferensiasi, atau mengalami cedera subletal akibat terapi.
Setelah paparan terhadap radiasi, sel yang rusak tidak segera mati dan sel-sel
ini dapat menghasilkan sel-sel baru. Hal ini diilustrasikan dalam Gambar. 4.1.
Pertumbuhan sel-L tikus diamati di bawah mikroskop dan satu koloni dipilih
untuk diiradiasi dengan 200 rontgens sinar-X di empat tahap sel (Trott, 1972).
Rontgen adalah unit radiasi lama, kira-kira setara dengan 1 cGy. Pertumbuhan
selanjutnya dicatat dengan teliti dan di dalam gambar, setiap garis vertikal
mengindikasikan masa hudup sel mulai dari lahirnya pada saat mitosis sampai
dengan pembelahan selanjutnya. Kedua sel teriradiasi di sisi kiri dan kanan dari
gambar ini terus-menerus memproduksi koloni yang meluas, meskipun beberapa
sel anakan memiliki waktu antar mitotis yang lama. Dua sel lainnya yang
teriradiasi bernasib buruk: sel-sel ini mengalami sejumlah pembelahan yang tidak
teratur, termasuk mitosis tripolar. Tetapi perhatikan bahwa pada akhir eksperimen
terdapat sel-sel yang muncul/berasal dari masing-masing empat sel asli:
perbedaannya adalah bahwa dua sel menghasilkan koloni yang meluas dan dua
sel lainnya tidak. Dua sel pertama merupakan 'sel clonogenic yang bertahan hidup'
dan dua lainnya biasanya digambarkan sebagai sel yang 'terbunuh' oleh radiasi,
karena pertumbuhan kembali sel-sel ini mungkin tidak penting untuk hasil klinis.
Tetapi, akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa dua seltersebut kehilangan
kemampuan proliferasinya sebagai akibat dari iradiasi.
Beberapa sel bahkan gagal mengalami satu pembelahan setelah iradiasi.
Kematian fase antar sel terjadi pada banyak jenis sel dengan dosis radiasi yang
sangat tinggi, dan pada tingkat dosis terapi konvensional kematian ini merupakan
karakteristik dari sel limfoid dan beberapa sel dalam kripte-kripte usus. Meskipun
kematian fase antar sel dan apoptosis adalah konsep yang saling terkait (lihat Bab
3, Bagian 3.3) tetapi konsep ini tidaklah identik dengan proses yang sama. Tetapi

dalam pandangan radiobiologi konvensional kematian fase antar sel ini


merupakan hilangnya integritas reproduksi yang merupakan tanggapan kritis
terhadap iradiasi (baik dalam tumor atau sel jaringan normal): ini terjadi dalam
beberapa jam iradiasi melalui kerusakan genom, dan metabolisme selanjutnya dan
pada akhirnya kematian sel merupakan 'kelanjutan' dari proses ini.
4.2.

Tes klonogenik

Tes klonogenik telah membentuk dasar penelitian respon seluler di dalam


tumor, dan dalam beberapa jaringan normal. Ide dasarnya adalah untuk
mengangkat sel-sel dari tumor, menempatkan sel-sel tersebut dalam lingkungan
pertumbuhan

tertentu

dan

menguji

kemampuan

sel-sel

tersebut

untuk

menghasilkan sebuah koloni turunan yang cukup besar. Banyak jenis tes telah
ditemukan, kami mengilustrasikan prinsip tes dengan alat tes sederhana dalam
kultur jaringan yang analog dengan uji mikrobiologi.
Suspensi sel tunggal dari sel-sel tumor disiapkan dan dibagi menjadi dua
bagian. Salah satu bagian diradiasi, sedangkan yang lainnya disimpan sebagai
kontrol yang tidak diradiasi. Kedua suspensi kemudian dilaspiskan/plating di atas
plat dalam kultur jaringan di bawah kondisi yang sama, kecuali, karena kami
mengantisipasi bahwa radiasi telah membunuh sejumlah sel, maka kami harus
menempatkan sel dalam jumlah yang lebih besar untuk kelompok sel iradiasi.
Kami di sini mempertimbangkanplating 100 sel kontrol dan 400 sel teradiasi.
Setelah jangka waktu yang sesuai dengan masa inkubasi, koloni akan terbentuk
(Gambar 4.2). Ada 20 koloni kontrol, dan oleh karena itu kami mengatakan bahwa
efisiensi plating adalah 20/100 = 0.2. Efisiensi plating sel dengan perlakuan lebih
rendah: 8/400 = 0.02. Kami menghitung fraksi survival dalam rasio efisiensi
plating ini melalui rumus sebagai berikut:
Fraksi survival = PE perlakuan /PE kontrol = 0,02/0,2 = 0,1
sehingga memberikan koreksi efisiensi dimana sel-sel klonogenik baik terdeteksi
dan untuk jumlah sel plating yang berbeda. Fraksi survival sering ditampilkan
dalam nilai persen (dalam kasus ini 10 persen)

Deskripsi di atas dimulai dengan suspensi sel-sel tumor. Untuk mengukur


survival sel secara in vivo kita mengambil dua kelompok tumor eksperimental
(seringkali tumor subkutan yang ditanamkan pada tikus), meradiasi salah satunya
dan menjaga yang lainnya sebagai kontrol, kemudian, beberapa saat setelah
iradiasi, kami membuat suspensi sel dari kedua kelompok dan melakukan plating
dalam kondisi yang sama seperti sebelumnya. Perbedaannya di sini adalah bahwa
sel-sel yang diiradiasi di bawah kondisi in vivo.
Meskipun tes koloni telah membentuk suatu posisi sentral dalam biologi
penyinaran/radiobiologi tumor tetapi tes-tes ini bukanlah tanpa celah. Mengingat
bahwa jumlah sel berlapis akan sering berbeda antara kontrol dan kultur dengan
perlakuan, pertanyaan kunci adalah apakah jumlah koloni meningkat secara linear
dengan jumlah sel yang ter-plat. Jika tidak, maka ini akan mengarah pada
kesalahan dalam survival sel. Koloni pada Gambar. 4.2 telah digambar untuk
mengilustrasikan sifat-sifat tes koloni yang disebutkan dalam bagian sebelumnya.
Iradiasi tidak hanya mengurangi jumlah koloni, tetapi juga meningkatkan jumlah
koloni-koloni kecil. Beberapa dari koloni kecil mungkin mewakili klon yang pada
akhirnya akan mati; yang lainnya mungkin timbul dari sel-sel yang mengalami
cedera non-letal yang mengurangi tingkat pertumbuhan koloni. Kecuali bila
koloni-koloni ini mencapai batasan yang disepakati yaitu 50 sel, maka koloni
tidak akan dihitung, meskipun implikasinya/keterlibatannya untuk evaluasi efek
radiasi pada tumor mungkin layak mendapatkan perhatian yang lebih besar
(Seymour dan Mothersill, 1989).
4.3.

Kurva survival sel

Kurva survival sel merupakan plot/perpotongan antara fraksi survival terhadap


dosis (radiasi, obat sitotoksik atau agen membunuh sel lainnya). Gambar 4.3a
menunjukkan bahwa ketika diplotkan pada skala linear, kurva survival untuk selsel yang diradiasi dalam kultur jaringan seringkali berbentuk sigmoid:
terdapatpundak kurva yang diikuti dengan kurva yang asimtotik mendekati nilai
survival nol. Untuk menunjukkan sensitivitas sel terhadap radiasi kita bisa melihat

dari dosis yang membunuh sekitar 50 persen sel. Dosis ini terkadang disebut
dengan ED50 (yaitu efek dosis 50 persen). Terkadang digunakan ED90. Dengan
menggunakan dosis ini, kita perlu membuat perkiraan mengenai bentuk kurva
yang akan dihasilkan.
Terdapat dua alasan mengapa kurva survival sel lebih sering diplotkan dengan
skala logaritma survival:
1. Bila kematian sel terjadi random, maka survival akan menjadi fungsi
(rumus) exponensial dosis, dan hal ini akan membentuk garis lurus pada
plot semi-log. Bagian 4.8 menjelaskan hal ini secara detail.
2. Sebuah skala logaritma dengan lebih mudah memungkinkan kita untuk
melihat dan membandingkan penurunan sihnifikan ukuran tumor, atau
kontrol tumor lokal.
Plot yang demikian diilustrasikan pada gambar 4.3b. bentuk kurva survival
radiasi dan cara menggambarkan kecuramannya akan dijelaskan kemudian dalam
bab ini.
Perhatikan bahwa, untuk data yang ditunjukkan pada Gambar. 4.3, dosis
radiasi di atas 5 Gy mengurangi kelangsungan hidup sel klonogenik hingga di
bawah 10 persen. Pengukuran radiosensitivitas dalam parameter D 0 (lihat Bagian
4.8) dilakukan pada bagian eksponensial kurva survival, yang dalam hal ini adalah
di atas 5 Gy. Oleh karena itu, pengukuran ini dibuat dalam rentang dosis di mana
fraksi survival sangat rendah. Nilai D0demikian, relevan dengan persoalan
membasmi beberapa sel klonogenikterakhir, tetapi jika populasi sel mengandung
sel-sel dengan radiosensitivitas yang berbeda-beda, nilai-nilai ini mungkin
tidaklahbersifat khas untuk radiosensitivitas sebagian besar populasi sel tumor.
4.4.

Uji untuk survival sel-sel klonogenik

Banyak teknik yang telah dipaparkan untuk mendeteksi pembentukan koloni


oleh sel-sel tumor dan dengan demikian, untuk mengukur survival sel. Pertamatama, uji-uji ini hampir semuanya membutuhkan tersedianya suspensi sel tunggal.

Hal ini biasanya tidaklah mudah, karena jaringan tumor berbeda-beda dalam
kemudahannyauntuk

dapat

dipisah-pisahkankan/didisagregasi.

Enzim-enzim

seperti tripsin, kolagenase dan pronase seringkali digunakan dan beberapa


jaringan dapat dipisahkan secara mekanis.
Teknik-teknik tersebut juga dapat digunakan untuk uji sel pembentuk koloni
pada jaringan normal, terutama jaringan hemopoetik yang dapat dengan mudah
disampel dan dibuat menjadi suspensi sel. Selain itu, berbagai uji in situ untuk sel
stem jaringan normal juga telah ditemukan (Potten, 1983). Berikut ini merupakan
beberapa tes utama yang digunakan untuk sel-sel tumor.
Uji-uji koloni in vitro
Beberapa sel tumor tumbuh dengan baik bila dilekatkan pada piring atau
termos kultur jaringan plastik.Sedangkan untuk sel tumor lainnya hal tersebut
dapat dicapai dengan terlebih dahulu meletakkan lapisan pengumpan berupa
jaringan ikat atau sel tumor yang telah diradiasi dngan dosis letal. Untuk sel-sel
yang telah ditetapkan sebagai sel in vitro, hal ini seringkaliberjalan dengan baik,
tetapi untuk studi pada sampel tumor yang diambil langsung dari pasien atau
hewan, pada umumnya diamati bahwa fibroblas jaringan normal tumbuh dengan
lebih baik daripada sel-sel tumor dan tumbuh memenuhi bidang kultur.
Sebagai alternatifnya, adalah dengan mengentalkan media tumbuh dengan
agar-agar atau metilselulosa. Hal ini akan menghambat pertumbuhan jenis sel
yang membutuhkan tambatan, tetapi banyak sel epitel yang masih akan tumbuh.
Sebuah uji banyak digunakan dengan jenis ini adalah uji Courtenay dan Mills
(1978) untuk sel tumor manusia. Kultur-kultur agar ditumbuhkan di dalam tabung
plastik 15-mL yang dilapisi dengan medium cair yang dapat diisi ulang secara
teratur. Penambahan sel darah merah tikus pada agar,didapatkan mampu untuk
mempromosikan pertumbuhan beberapa jenis sel tumor manusia. Sebuah sifat
penting dari uji Courtenay-Mills adalah penggunaan oksigen tekanan rendah (fase
gas yang terdiri daari 90 persen nitrogen, 5 persen oksigen dan 5 persen karbon
dioksida), yang mampu meningkatkan efisiensi plating sel tumor manusia.

Uji koloni limpa


Till dan McCulloch (1961) menunjukkan bahwa, ketika sel-sel sumsum tulang
tikus yang disuntikkan secara intravena ke penerima syngeneic yang telah
menerima radiasi cukup di seluruh tubuh untuk menekan haemopoiesis endogen,
koloni diproduksi di limpa yang berasal dari sel-sel induk dalam graft/cangkok.
Koloni bervariasi dalam morfologi (erythroid, granulosit atau campuran) dan oleh
karena itu sel-sel induk ini disebut pluripoten. Identitas pastinya tidak diketahui
dan oleh karena itu seringkali disebut sebagai unit pembentuk koloni (colony
forming unit [CFUs]). Dengan menggunakan uji ini, Till dan McCulloch
memperoleh kurva survival pertama untuk sel sumsum tulang dan kurva tersebut
ditemukan untuk sangatlah curam. Uji koloni limpa juga telah digunakan untuk
beberapa jenis sel limfoma tikus.
Uji koloni paru
Uji ini analog dengan uji koloni limpa dan berlaku untuk setiap tumor tikus
yang ditransplantasikan yang siap membentuk koloni di paru-paru setelah injeksi
intravena suspensi sel tunggal. Efisiensi kloning sering dapat ditingkatkan dengan
mencampur sel uji dengan sel-sel tumor atau mikrosfer plastik pekat (c.10 6 per
injeksi) yang teradiasi dengan dosis letal, yang mungkin bekerja dengan
meningkatkan tangkapan sel tumor disuntikkan di paru-paru. Tidak semua sel-sel
tumor tumbuh: beberapa koloni per seribu sel tumor yang disuntikkan di paru
mungkin akan dianggap cukup. Meskipun koloni terbentuk di seluruh paru-paru,
koloni-koloni ini biasanya hanya tersebar pada permukaan paru-paru. Metode ini
dikembangkan oleh Hill dan Stanley (1975) terhadap dua tumor eksperimental
dan mereka memberikan rincian lebih lanjut mengenai detail eksperimen.
Uji batasan pengenceran (limiting dillution assay)
Uji ini merupakan tes non-kloning yang digunakan dalam penelitian awal
radiasi survival sel dan untuk beberapa tumor eksperimental memiliki keuntungan
berupa sensitivitasnya yang tinggi. Prinsip dari metode ini adalah dengan
mempersiapkan suspensi sel tumor dan untuk memberikan sejumlah besar implan

subkutan pada hewan syngeneic, yang mencakup berbagai ukuran inokulum, dan
jika mungkin mencakup tingkatan 50 persen ambilan tumor. Hewan yang
digunakan, biasanya tikus, kemudian diamati untuk jangka waktu cukup lama
untuk merekam hampir setiap tumor yang dapat tumbuh dari implan sel tunggal.
Tingkat-ambilan diplot terhadap ukuran inokulum dan titik ambilan 50 persen
ditambahkan, ini biasanya disebut jumlah sel 'TD 50'. Percobaan dilakukan secara
bersamaan pada sel perlakuan dan sel kontrol dan fraksi survival ditunjukkan
dengan rasio nilai TD50.
Penambahan secara belebihan sel-sel yang telah diradiasi dengan dosis letal
meningkatkan tingkat ambilan; dengan menggunakan manuver ini, Steel dan
Adams (1975) menemukan TD50 dari 1-3 sel tumor paru-paru Lewis dan dengan
demikian dapat mengukur kelangsungan hidup sel sampai dengan 10 -6. Metode ini
hanya akan berjalan dengan baik tanpa adanya respon imun terhadap tumor
cangkokan, yang secara relatif merupakan situasi yang jarang terjadi terutama
dengan tumor yang diinduksi secara kimiawi dan viral.
Uji in vitro jangka pendek
Kebutuhan untuk mengembangkan uji in vitro yang memberikan hasil lebih
cepat daripada alat tes klonogenik muncul dari ketertarikan dalam prediksi respon
tumor terhadap pengobatan (lihat Bab 23). Berbagai tes telah diusulkan tapi
reproduktifitas dan kemampuannya untuk dapat diandalkan telah sering menjadi
batasan dalam kegunaan klinis uji-uji ini. Tiga kendala umum antara lain:
1. Sampel biopsi tumor manusia mengandung baik sel tumor maupun
jaringan ikat normal; keduanya dapat tumbuh di bawah kondisi-kondisi uji
dan mungkin sulit untuk membedakan bentukan koloni dengan sel-sel
tumor.
2. Bila metode yang digunakan membutuhkan diproduksinya suspensi sel
tunggal, haruslah sangat berhati-hati dalam memisahkan kumpulan sel,
karena hal ini dapat khas dapat meningkatkan nilai hitung koloni nantinya.
3. Sel-sel yang dimatikan dengan menggunakan radiasi membutuhkan waktu
untuk mati (misalnya lihat gambar 4.1) dan dalam uji jangka pendek sel-

sel ini mungkin akan keliru sel-sel tumor yang bertahan; dengan demikian,
metode yang digunakan mungkin tidak dapat dengan mudah membedakan
antara sel-sel yang raiosensitif dan sel-sel yang mati dengan cepat setelah
iradiasi.
Banyak prinsip-prinsip dasar yang mendasari prediksi respon tumor
dibicarakan di dalam buku yang diedit oleh Chapman dkk (1989). Uji nonklonogenik untuk sel-sel tumor antara lain sebagai berikut:
Uji mikronukleus
Sel tumor yang dibudidayakan dengan adanya cytochalasin-B, yang
menghambat sitokinesis, menghasilkan sel binukleat, dan dengan demikian
memungkinkan inti sel yang telah mengalami satu kali pembelahan pasca
perlakuanakanteridentifikasi.
extranuclear

kecil.

Micronuclei

Frekuensinya

dapat

meningkat

dihitung

dengan

sebagai

dosis

radiasi

badan
dan

memnunjukkan ukuran sensitivitas radiasi (Streffer et al., 1986). Keandalan


metode ini dibatasi oleh fakta bahwa sel-sel diploid, polyploid dan aneuploid
mungkin berbeda dalam toleransinya akan kerusakan genetik dan dengan
demikian terhada pembentukan mikronukleus pula.
Uji pertumbuhan sel
Berbagai metode telah digunakan untuk mengukur pertumbuhan kultur yang
berasal dari spesimen tumor kontrol dan perlakuan, dan dengan demikian untuk
mendapatkan ukuran radiosensitivitas atau chemosensitivitas. Tergabungnya
radioisotop seperti 3H-timidin telah banyak digunakan. Suatu garam tetrazolium,
3-(4,5 Dimethylthiazol-2-il)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide (MTT), digunakan
untuk mewarnai kultur sel dan dengan demikian dengan menggunakan uji
kolorimetri, untuk memperkirakan tingkat pertumbuhan (Carmichael dkk., 1987;
Wasserman dan Twentyman, 1988). Uji ini dapat digunakan untuk mengevaluasi
pertumbuhan pada plat microtiter dan dengan ketelitian terhadap faktor
teknis,dapat mendapatkan ukuran nilai radiosensitivitas. Reagen 3-(4,5dimethylthia-Zol-2-il)-5-(3

carboxymethoxyphenyl)-2-(4-sulfofenil)-2H-

tetrazolium (MTS) merupakan pengembangan dari MTT dan membentuk


formazans yang larut melalui bioreduksi oleh sel. Hal ini memiliki keuntungan
yaiitu

menyingkirkan

kesalahan

yang

rawan

terjado

pada

langkah

solubilisasi/pelarutan yang diperlukan untuk microkulture tes tetra-zolium, yang


menggunakan MTT (Goodwin et al., 1995). Metode tersebut rentan terhadap
pertumbuhan berbagai fibroblast, dan untuk studi pada sel leukemia mungkin
akan lebih baik mewarnai sel secara berbeda-beda dan menganalisis kultur secara
mikroskopis (Bosanquet, 1991).
Uji kerusakan DNA
Kini dimungkinkan untuk mengukur kerusakan DNA secara langsung melalui
deteksi antibodi fokus-fokus histon terfosforilasi H2AX (H2AX) di dalam inti
sel, dengan menggunakan image cytometry atau flow cytometry. Ditemukan
bahwa tingkat kerusakan H2AX (ukuran perbaikan DNA) berkorelasi dengan
radiosensitivitas selular yang diukur dengan uji klonogenik, meskipun hubungan
itu tidaklah begitu sempurna (MacPhail et al., 2003). Selain itu, persentase sel
tumor yang mempertahankan fokus H2AX 24 jam setelah radiasi dosis tunggal
atau terbagi tampaknya menjadi indikator radiosensitivitas seluler yang mungkin
berguna di klinik (Klokov et al., 2006).
Metode-metode dengan menggunakan hitung sel pasti
Metode yang dijelaskan sejauh ini melibatkan plating suatualiquot (sebagian)
dari suspensi sel yang rata-rata akan berisi sel dengan jumlah yang diketahui.
Jumlah sebenarnya dari sel akan bervariasi menurut statistik Poisson. Untuk studi
tentang efek dosis-dosis radiasi rendah (di mana efeknya kecil) ketepatan statistik
yang lebih besar dapat dicapai dengan mengetahui persis berapa banyak sel yang
di-plat-kan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan dua metode utama (lihat
Bagian 4.14). Sebuah penyortir sel yang diaktifkan dengan fluoresensi
(fluorescence-activated cell sorter [FACS]) memungkinkan sejumlah tertentu sel
dilapisi ke dalam piringankultur (Durand, 1986). Sebuah alternatif adalah dengan
menggunakan sistem mikroskopis pengenalan sel hidup (Marples dan Joiner,

1993), yang memungkinkan koordinat spasial sel direkam, selanjutnya


pembentukan koloni oleh setiap sel individu dapat diperiksa. Kedua metode ini
memberikan presisi tinggi di wilayah awal kurva survival sel dan penggunaannya
mengarahkan pada identifikasi hiper-radiosensitivitas (HRS) bahkan terhadap
dosis rendah (lihat Bagian 4.14).
4.5.

Perbandingan tes/uji

Perbandingan dari hasil-hasil survival sel antar tes dapat memberikan


konfirmasi penting dalam validitasnya. Informasi ini dapat berharga baik pada
tingkatan praktis maupun fundamental. Pada tingkatan praktis, kiranya logis untuk
mengkonfirmasi uji jangka pendek yang cepat terhadap hasil tes klonogenik lebih
sulit tetapi lebih dapat diandalkan. Pertanyaan yang lebih umum adalah apakah uji
survival sel di dua lingkungan pertumbuhan yang berbeda benar-benar
mengidentifikasi populasi survival sel tumor (yang berhasil bertahan) yang sama.
Biasanya, sel survival in situ pada pasien atau pada hewan percobaan yang akan
ditentukan, dan untukmenargetkan sel-sel tumor sebagai subjek dalam prosedur
ekstraksi dan lingkungan pertumbuhan buatan mungkin juga akan menghasilkan
kesulitan/kesalahan. Oleh karena itu meyakinkan bahwa perbandingan yang teliti
antara tes klonogenik in vitro, di paru-paru tikus dan dengan transplantasi
subkutan telah menunjukkan kesepakatan temuan yang baik untuk studi tumor
tikus (Steel dan Stephens, 1983).
4.6.

Menggambarkan hubungan antara survival sel dan dosis


radiasi

Penelitian dalam biologi penyinaran eksperimental meliputi studi pada


tingkatan sel, hewan dan manusia. Penelitian ini berkutat di tingkat dasar, dengan
molekul, bio-kimia dan sifat biofisik cedera akibat radiasi. Model deskriptif
merupakan bagian penting dari penelitian biologi penyinaran: model-model ini
memberikan sebuah kerangka untuk menganalisis dan membandingkan data dan
akhirnya untuk membantu dalam membangun teori-teori yang konsisten dari
tindakan radiasi baik in vitro dan in vivo. Model dan perhitungan juga

terkadangdiperlukan untuk menghubungkan penelitian eksperimental terhadap


pengobatan klinis kanker dengan tujuan meningkatkan terapi. Pada bagian
berikut, kami akan menjelaskan model yang paling penting yang digunakan untuk
menggambarkan dan menganalisis hubungan antara kelangsungan hidup sel dan
dosis radiasi.
4.7.

Catatan mengenai respon radiasi pada tingkatan molekular.

Radiasi membunuh sel-sel dengan memproduksi partikel bermuatan sekunder


dan radikal bebas dalam inti yang pada akhirnya akan menghasilkan berbagai
jenis kerusakan pada DNA. Bukti bahwa kerusakan DNA adalah penyebab utama
kematian sel (cell kill) dan mutasi oleh radiasi dijelaskan dalam Bab 2, Bagian
2.1. Setiap radiasi dosis 1 Gy transfer linear energi rendah(low-linear energy
transfer [LET]) menghasilkan lebih dari 1000 kerusakan dasar, sekitar 1000
inisial untai tunggal putus dan sekitar 20-40 awal untai ganda putus (doublestrand breaks [DSBs]). Beberapa lesi yang lebih penting dibanding yang lainnya
dan letalitas radiasi berhubungan paling signifikan dengan jumlah residual, DSBs
yang tidak dapat diperbaiki beberapa jam setelah iradiasi. Jika kematian sel
berubah dengan mengubah LET, tingkat oksigen, konsentrasi thiol atau suhu,
maka untuk radiasi dosis tetap hanya jumlah DSBs yang betul-betul berkorelasi
dengan perubahan kematian sel. Terputusnya untai tunggal, kerusakan dasar dan
ikatan silang DNA-protein tidak mencerminkan perubahan dalam kematian sel
untuk semua faktor pengubah ini. Oleh karena itu putusnya untai ganda DNA
(DNA DSB) dianggap sebagai jenis dari kerusakan sel yang paling penting. Hanya
satu DSB residual (atau tembahan) di bagian penting DNA mungkin sudah
cukup untuk menghasilkan kelainan kromosom yang signifikan dan dengan
demikian mensterilkan (mandul) sel.
4.8.

Teori target

Sebuah cara sederhana untuk membayangkan bagaimana radiasi bisa


membunuh sel-sel adalah dengan gagasan bahwa mungkin ada daerah tertentu
dari DNA yang penting untuk mempertahankan kemampuan reproduksi sel.

Daerah sensitif ini dapat dianggap sebagai target spesifik terhadap cedera radiasi
sehingga kelangsungan hidup sel setelah paparan radiasi akan berhubungan
dengan jumlah target yang diinaktivasi . Ada dua versi dari gagasan ini yang
umumnya digunakan . Versi pertama dari teori ini mengusulkan bahwa hanya satu
tembakan radiasi pada target tunggal sensitif akan mengakibatkan kematian sel .
Teori ini disebut inaktivasi target-tunggal tembakan-tunggal, dan teori ini
mengarah pada bentuk kurva survival seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 4.4a
. Kurva survival merupakan suatu eksponensial (yaitu garis lurus dalam plot semilogaritmik survival sel terhadap dosis). Untuk menurunkan persamaan kurva
survival ini , statistik Poisson dapat diterapkan . Dengan anggapan bahwa selama
iradiasi terjadi tembakan dengan jumlah yang sangat besar pada sel-sel yang
berbeda, namun probabilitas ( p ) dari tembakan berikutnya yang terjadi pada sel
yang tertentu sangatlah kecil . dengan demikian, untuk setiap sel,
p(survival) = p(0 hits) = exp(-D/D0)
dimana D0 didefinisikan sebagai dosis yang memberikan rata-rata satu
hit/tembakan per sasaran sel. Dosis D0 Gy mengurangi survival/kelangsungan
hidup dari 1 menjadi 0,37 (yaitu untuk e-1), atau dari 0,1 menjadi 0,037, dan
seterusnya, D/D0 adalah jumlah rata-rata tembakan per sasaran (dan dalam hal ini
per sel). Ini adalah alasan mengapa (seperti pada Gambar 4.7, kemudian.) skala
survival sel kadang-kadang ditulis sebagai (S): ini merupakan skala logaritma
natural fraksi survival dan juga merupakan jumlah yang setara dengan 'lesi letal'
per sel.
Dalam contoh ini (Gambar 4.4a) D0 = 1,6 Gy. Kurva survival lurus seperti ini
biasanya dijumpai untuk inaktivasi virus dan bakteri. Kurva semacam ini juga
mungkin tepat dalam menggambarkan respon radiasi dari beberapa sel manusia
yang sangat sensitif (normal dan maligna) dan juga respon radiasi pada tingkat
dosis yang sangat rendah (lihat Bab 12, Bagian 12.3) dan respon terhadap radiasi
LET tinggi (lihat Bab 6, Bagian 6.3). Dengan demikian, jenis kurva survival
'target tunggal tembakan tunggal' (singgl- target singgle-hit) sebenarnya
bernilaivalidbila berada di luar kerangka teori target. Ini menggambarkan situasi

sederhana di mana bilaindividu sel menerima sejumlah radiasi yang lebih besar
dari D0 maka sel akan mati, jika tidak, maka sel akan bertahan.
Untuk sel mamalia pada umumnya, respon sel terhadap radiasi biasanya
digambarkan dengan kurva survival 'shouldered'. Dalam upaya untuk meniru jenis
respon ini, teori target versi yang lebih umum diusulkan, disebut sebagai
inaktivasi multitarget tembakan tunggal. Dalam ekstensi ide target ini, hanya satu
tembakan radiasi pada setiap n sel target sensitifyang diperlukan untuk
menyebabkan kematian sel. Bentuk kurva survival teori ini ditunjukkan pada
Gambar. 4.4b. Sekali lagi, argumen dapat dikembangkan dengan menggunakan
statistik Poisson,
p(0 tembakan terhadap target spesifik) = exp(-D/D0), dengan demikian
p(target spesifik terinaktivasi) = 1 exp(-D/D0)
Karena terdapat n target di dalam sel
p(semua n target terinaktivasi) = (1 exp(-D/D0))n
Gambar 4.4b menunjukkan bahwa kurva survival tembakan tunggal
multitarget memiliki pundak dengan ukuran yang dapat itunjukkan melalui
ambang dosis quasi (Dq). Dosis ini berhubungan dengan n dan D0 melalui
persamaan:
Dq = D0 logen
Untuk contoh pada gambar 4.4b, kami memilih n = 30 dan D0 = 5,4 Gy. Kurva
survival multitarget seperti ini telah terbukti bermanfaat dalam menggambarkan
respon radiasi sel-sel mamalia pada dosis tinggi di luar pundak kurva. Kurva ini
tidak menggambarkan dengan baik respon survival pada dosis lebih rendah yang
secara klinis lebih relevan.
4.9.

Permasalah dengan target

Penurunan hubungan survival sel sederhana dalam perihal target dan


tembakan, terutama kurva survival lurus ditunjukkan pada Gambar 4.4a,
merupakan ide intelektual yang menarik dan telah mendominasi pemikiran

radiobiologis untuk waktu yang lama . Istilah 'D0' masih seringdigunakan.


Kesulitan utama dengan konsep ini adalah bahwa sejauh ini target radiasi
spesifikuntuk sel mamalia belum teridentifikasi, meskipun banyak upaya untuk
menemukannya. Sebaliknya, apa yang ditemukan adalah peran kunci dari
putusnya untai DNA dan perbaikannya, dengan lokasi kerusakan DNA demikian
(seperti di atas) yang umumnya tersebar seluruh inti sel (lihat Bab 2). Sebuah
kelemahan nyata dari model multitarget adalah, seperti ditunjukkan pada
Gambar . 4.4b, model ini memprediksi respon yang datar untuk setiap dosis
radiasi sangat rendah . Hal ini tidak didukung oleh data eksperimen :
terdapatbanyak bukti kematian sel yang signifikan pada dosis rendah dan bukti
untuk kurva survival sel yang memiliki kemiringan awal terbatas. Untuk
mempertimbangkan hal ini, model multitarget telah disesuaikan dengan
menambahkan tambahan komponen sasaran tunggal. Persamaan yang dihasilkan
untuk kurva survival disebut sebagai model dua komponen :
p(survival) = exp(-D/D0)
(1 (1-exp(-D(1/D0 -1/D1)))n)
Jenis kurva survival ini diilustrasikan pada gambar 4.5a. sebagai tambahan
terhadap parameter n, D0 dan Dq, kurva ini juga memiliki parameter D1, yang
memperbaiki kemiringan awal kurva (yaitu dosis yang dibutuhkan pada regio
dosis rendah untuk mengurangi nilai survical dari 1 menjadi 0,37). Dalam contoh
ini, n = 30 dan D0 = 1,6 Gy, dan D1 = 4,6 Gy. Kurva jenis ini sekarang dengan
benar dapat memprediksi kematian sel terbatas di wilayah dosis rendah tetapi
masih memiliki kelemahan bahwa perubahan dalam survival sel selama rentang 0
sampai Dq terjadi hampir linear. Ini berarti bahwa harusnya tidak ada kerusakan
terjadi saat dosis per fraksi diturunkan di bawah 2 Gy, yang biasanya
bukanlahmerupakan suatu permasalahan baik baik secara eksperimental ataupun
radio-terapi klinis (lihat Bab 8, Gambar 8.1 dan 8.2, Bab 10, Bagian 10.3). Suatu
cara untuk mengatasi keterbatasan ini adalah dengan menggunakan multitarget
ketimbang komponen-sasaran tunggal untuk kemiringan awal kurva. Namun, hal
ini menyebabak membuat model terlalu rumit dan menjadi kurang bermanfaat

dalam membandingkan respon survival. Model kurva membuthkan setidaknya


empat parameter, akan sedikit bermanfaat dalam membantu untuk memahami
mekanisme dasar menentukan efek radiasi.
4.10. Modellinear kuadrat
Bentuk survival sel secara kontinyu melengkung ke bawah secara sederhana dapat
dijelaskan oleh hukum kedua polinomial, dengan suatu konstanta nol untuk
memastikan bahwa SF = 1 pada dosis nol. Rumus ini secara persis merupakan
rumus yang disebut sebagai model linear kuadrat (LQ). Meskipun kita dapat
menganggap rumus ini didasarkan murni atas perhitungan matematis (yaitu rumus
sederhana yang menggambarkan kurva), tetapi juga memungkinkan untuk
menyisipkan mekanisme radiobiologis di dalamnya. Rumus untuk survival sel
adalah:
-In(S) = D + D2
p(survival) = exp(-D - D2)
dan kurva survival selnya digambarkan dalam Gambar. 4.5b. Meskipun bentuk
model LQ dan model rumit dua komponen secara sepintas sama (bandingkan
Gambar 4.5a dengan Gambar 4.5b), Rumus LQ sederhana memberikan penjelasan
yang lebih baik mengenai respon radiasi di wilayah dosis rendah (0-3 Gy): kurva
survival LQ terus melengkung tanpa adanya bagian lurus baik pada dosis radiasi
yang rendah maupun tinggi. Bentuk (atau lengkungan) ditentukan oleh rasio /
.
Karena dimensi parameter untuk adalah Gy1 dan untuk adalah Gy2,
dimensi / adalah Gy; seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 4.5b, dimensi
merupakan dosis di mana kontribusi linear terhadap cedera (D pada skala
logaritmik) sama dengan kuadrat kontribusi (D 2). Respon sel terhadap radiasi
pengion pekat seperti neutron atau -partikel, biasanya membentuk kurva survival
curam dan mendekati eksponensial (lihat Gambar. 6.2). Seperti yang ditunjukkan
dalam Gambar. 4.5, hal ini akan dijelaskan dalam model dua-komponen melalui

rasio D1/D0 mendekati 1,0, atau dalam model LQ dengan rasio / yang sangat
tinggi.
Seperti ditunjukkan dalam Gambar. 4.5, model LQ tidak memiliki D 0 karena
kurva survival terus melengkung ke bawah dengan meningkatnya dosis sehingga
kurvanya tidak pernah benar-benar lurus. Namun, kurva ini terkadang bermanfaat
untuk dapat mengkonversi secara kasar antara , dengan D0, misalnya, ketika
membandingkan dua temuan penelitian yang masing-masing telah dijelaskan
dengan model yang berbeda. Deskripsi matematis yang tepat dari The D 0 adalah
merupakan kebalikan dari diferensial hukum pertama dari -ln(S) sehubungan
dengan dosis. Menerapkan definisi ini dengan model LQ menghasilkan D 0 = 1/(
+ 2D). Rumus ini menunjukkan bahwa, dalam model LQ, D 0 efektif tidak
konstan, tetapi menurun dengan meningkatnya dosis.
Model LQ kini digunakan secara luas baik dalamradiobiologi eksperimental
maupun klinis dan umumnya berfungsi dengan baik dalam menggambarkan
respon terhadap radiasi in vitro dan in vivo. Apakah yang bisa menjadi dasar
pembenaran mekanistiknya? Suatu ide sederhana adalah bahwa komponen linear
[exp (-D)] mungkin berasal dari peristiwa satu jalur (single-track events)
sedangkan komponen kuadrat [exp (-D2)] mungkin berasal dari peristiwa dua
jalur (double-track events). Penafsiran ini didukung oleh studi tentang efek
tingkatan dosis (lihat Bab 12, Bagian 12.3), yang menunjukkan bahwa kurva
survival sel ketikatingkatan dosis dikurangi,kurva survival sel menjadi lurus dan
cenderung menyerupai kemiringan awal kurva dosis tingkat tinggi: komponen
kuadrat kematian sel menghilang, hanya menyisakan komponen linear. Hal ini
sudah dapat diprediksi, karena pada tingkat dosis rendah peristiwa single-track
akan terjadi seiring dengan waktu dan probabilitas/kemungkinan interaksi akan
menjadi rendah. Meskipun interpretasi dari persamaan LQ ini nampaknya masuk
akal, tetapi sifat interaksi antara jalur yang terpisah masih menjadi bahan
perdebatan. Chadwick dan Leenhouts (1973) mendalilkan bahwa jalur yang
terpisah mungkin menembak untaian yang berlawanan dari double-helix DNA dan
dengan demikian membentuk DSB. Kita sekarang tahu bahwa hal ini tidak

mungkin, mengingat probabilitas yang sangat rendah dari dua jalur saling
berinteraksi dalam dimensi molekul DNA (diameter c. 2,5 nm) dengan dosis
hanya beberapa Gy. Interaksi antara regio yang lebih luas dari struktur DNA yang
kompleks, atau antara DNA dalam kromosom yang berbeda, merupakan
mekanisme yang masih lebih masuk akal (lihat Bab 2, Bagian 2.7)
4.11. Model cedera letal yang secara potensial letal.
Curtis (1986) mengusulkan model LPL sebagai model perbaikan kematian
sel

yang

tergabung (unified

repair

model).

Radiasipengion

dianggap

menghasilkan dua jenis lesi: lesi yang dapat diperbaiki (repairable) (berpotensi
letal) lesi dan yang tidak dapat diperbaiki (non-repairable) (letal). Lesi yang tidak
dapat diperbaiki menghasilkan efek letaltembakan tunggal dan karena itu
menghasilkan komponen linear kematian sel [= Exp (-D)]. Efek akhir dari lesi
yang dapat diperbaiki bergantung pada interaksi proses perbaikan dan dan proses
perbaikan yang salah (misrepair). Proses yang terakhir inilah (misrepair) yang
mengarah pada komponen kuadrat dalam kematian sel. Seperti ditunjukkan dalam
Gambar. 4.6, model memiliki dua parameter sensitivitas (L menentukan jumlah
lesi yang tidak dapat diperbaiki yang diproduksi per unit dosis, dan PL jumlah
lesi yang dapat diperbaiki). Terdapat pula juga dua konstanta laju(PL
menentukan tingkat perbaikan lesi yang dapat diperbaiki, dan 2PL laju di mana
sel-selmengalami interaksi dan dengan demikian di-misrepair).
Model ini menghasilkan kurva survival sel yang hampir identik dengan
persamaan LQ, turun ke tingkat survival sekitar 10 -2. Oleh karena itu dapat
diambil untuk memberikan suatu interpretasi mekanistik yang mungkin untuk
persamaan LQ. Model ini memprediksi bahwa, dengan berkurangnya tingkatan
dosis, kemungkinan interaksi lesi berpotensi letal akan turun, dan nilai-nilai
parameter didapatkan akan memungkinkan model untukmensimulasikan secara
akurat data survival sel pada sel manusia dan hewan yang diradiasi pada berbagai
tingkat dosis (lihat Bab 12, Bagian 12.3 dan 12.5).
4.12. Model saturasi/kejenuhan perbaikan

Model LPL Curtis adalah contoh dari model interaksi lesi yang juga
mencakup proses perbaikan. Gambar 4.7a menunjukkan bagaimana model ini
menghasilkan kurva survival sel yang melengkung ke bawah: kurva putus-putus
menunjukkan komponen kematian sel yang disebabkan oleh lesi single-track yang
tidak dapat diperbaiki. Kurva ini merupakan lesi letal tambahan yang dihasilkan
oleh interaksi biner lesi berpotensi letal yang menghasilkan kurva melengkung ke
bawah.
Model kelas lain adalah model saturasi perbaikan, yang mengusulkan bahwa
bentuk kurva survival bergantung hanya pada tingkat perbaikan yang sesuai dosis.
Gambar 4.7b, c, menunjukkan ide ini. Hanya satu jenis lesi dan kematian
tembakan tunggal yang didalilkan/dihipotesiskan, dan tidak adanya perbaikan lesi
ini, menghasilkan kurva survival putus-putus yang curam pada Gambar. 4.7b.
Kurva survival akhir (garis utuh) dihasilkan dari perbaikan beberapa lesi ini,
namun, jika enzim perbaikan menjadi jenuh (Gambar 4.7c ), tidak terdapat enzim
perbaikan yang cukup untuk mengikat semua lokasicedera secara bersamaan
sehingga kecepatan reaksi perbaikan tidak lagi meningkat dengan meningkatnya
cedera. Oleh karena itu pada dosis tinggi (lebih banyak lesi), secara proporsional
hanya terjadi sedikit perbaikan selama selang waktu yang ada sebelum kerusakan
menjadi permanen; hal ini akan mengarah padacedera residu yang lebih banyak
dan kematian sel yang lebih besar. Mekanisme fiksasi cedera yang tidak dapat
diperbaiki belum dapat dipahami tetapi mungkin terkait dengan masuknya sel
yang membawa kerusakan tersebut ke dalam proses sintesis DNA atau mitosis .
Perlu diperhatikan bahwa alternatif hipotesis saturasi, mengarah pada
konsekuensi

yang

sama,

yaitu

bahwa

kumpulan

enzim

perbaikan

banyakdigunakan selama proses perbaikan, sehingga pada dosis yang lebih tinggi
sistem perbaikan akan habis dan kurang mampu memperbaiki semua kerusakan
yang diinduksi.
Tabel 4.1 menggambarkan bagaimana perbedaan konseptual mendasar antara
model akumulasi lesi/interaksi seperti 'LPL Curtis dan model perbaikan
bergantung

dosis

dalam

mempengaruhi

interpretasi

beberapa

fenomena

radiobiologis (Goodhead, 1985). Kedua jenis model memprediksikan kurva linear


kuadrat survival sel di wilayah dosis klinis yang relevan. Model-model ini juga
memberikan penjelasan yang baik akan pemulihan dengan dosis terbagi (lihat Bab
7, Bagian 7.3), mengubah efektivitas dengan LET (lihat Bab 6, Bagian 6.3) dan
efek tingkatan dosis (lihat Bab 12, Bagian 12.2). Saat ini, para ilmuwan tidak
yakin apakah radiasi interaksi lesi atau kejenuhan perbaikan benar-benar ada
dalam sel, tetapi mungkin juga bahwa studi molekuler dan mikrodosimetrikpada
akhirnya akan menentukan penjelasan mana yang benar (mungkin keduanya!).
4.13. Model linear kuadrat kubik
Model LQ menggambarkan respon seluler terhadap radiasi pengion dengan
sangat baik pada dosis kurang dari sekitar 5-6 Gy dan merupakan model yang
lebih dipilih untuk digunakan dalam rentang dosis ini. Namun, pada dosis yang
lebih tinggi respon survival sel seringkali ditemukan lebih mirip dengan hubungan
linear antara-Ln(S) dan dosis, seperti yang dijelaskan dalam model berdasarkan
teori target.
Suatu cara sederhana untuk menyesuaikan model LQ untuk menjelaskan
respon yang lebih linier pada dosis yang lebih tinggi adalah dengan menambahkan
istilah tambahan sebanding dengan pangkat tiga dosis, tetapi berlawanan tanda
dengan istilah linear dan kuadrat. Ini disebut sebagai linear-kuadrat-kubik, atau
Model LQC:
-Ins(S) = D + D2 D3
p(survival) = exp(-D - D2 + D3
Perbandingan antara model LQ dan LQC ditunjukkan pada Gambar. 4.8.
Dengan mengambil diferensial hukum kedua dari -ln(S) sehubungan dengan
dosis, dapat ditunjukkan bahwa kurva survival dapat diluruskan pada dosis D L
dengan memilih = /(3DL). Dalam contoh Gambar. 4.8, kurva LQC menjadi
garis lurus dengan dosis, DL18 Gy.

Seperti halnya dengan model dua komponen, sebuah kelemahan dari model
LQC adalah penambahan parameter ketiga, tetapi karena model LQC merupakan
polinomial sederhana, model ini tetap masih dapat diaplikasikan secara lebih
matematis daripada model teori target. Model LQC sebenarnya hanyalah
merupakanpendekatan polinomial hukum ketiga untuk model LPLCurtis, yang
juga menunjukkan hubungan yang lebih linier antara ln-(S) dan dosis
dibandingkan dengan yang diperkirakan oleh model LQ, pada fraksi survival
kurang dari sekitar 10-2.
4.14. Hipersensitivitas dosis rendah
Model LQ dan interpretasi mekanistiknya ('LPL Curtis

dan kejenuhan

perbaikan) secara adekuat menggambarkan respon seluler terhadap radiasi di atas


sekitar 1Gy. Sulit untuk membuat pengukuran yang akurat dari kematian sel oleh
dosis radiasi di bawah ini, tetapi masalah ini sebagiannya telah diatasi dengan
metode yang menentukan dengan tepat jumlah sel 'beresiko' dalam uji pembentuk
koloni(lihat Bagian 4.4). Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan FACS
untukmem-plat-kan jumlah sel yang tepat atau scanning mikroskopis untuk
mengidentifikasi jumlah sel secara tepat setelah plating. Menggunakan teknik
tersebut, dapat ditunjukkan bahwa banyak sel mamalia sebenarnya menunjukkan
jenis respon radiasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 4.9 pada dosis kurang
dari 1 Gy. Di bawah sekitar 10 cGy, sel-sel menunjukkan HRS, yang dapat
dicirikan dengan kemiringan (s) yang jauh lebih curam daripada kemiringan yang
diharapkan dengan kembali meramalkan respon dari pengukuran dosis tinggi ( r).
Transisi (selama sekitar 20-80 cGy) dari respon sensitif menjadi resisten disebut
sebagai regio peningkatan radioresistesi (IRR). Fenomena ini awalnya ditemukan
pada sel mamalia oleh Marples dan Joiner (1993) menggunakan fibroblas
hamsterV79 dan diduga disebabkan oleh peningkatan tingkat perbaikan DNA dari
sel-sel di regio IRR (Joiner et al., 2001). Hal ini terjadi karena fase istirahat siklus
sel yang cepat, yangdiradiasi pada fase G2 siklus sel, hanya terjadi ketika terdapat
cukup DSBs DNA untuk memicu fosforilasi protein ATM pengenal-cedera (ATM

damage recognition protein). Fenomena iniutamanya mulai terjadi hanya bila


dosis rata-rata melebihi sekitar 10 cGy (Marples et al., 2003).
Model LQ dapat dimodifikasi untuk mencakup proses ini dan hasilnya
disebut sebagai model perbaikan terinduksi (IndRep):
p(survival) = -exp(-rD(1 + (s/r 1)exp(-D/Dc)) D2)
Dalam persamaan ini, Dc sekitar 0,2 Gy dan menggambarkan dosis di mana
mulai terjadi transisi dari respon HRS menuju respon IRR. Pada dosis yang sangat
tinggi (D>>Dc), persamaan 4.6 cenderung seperti model LQ dengan parameter
aktif r dan . Pada dosis yang sangat rendah (D<<Dc), persamaan di atas
cenderung seperti model LQ dengan parameter aktif s dan . Dengan demikian
model IndRep terdiri dari dua model LQ dengan sensitivitas yang berbeda
bergantung pada dosis yang diberikan, yang digabungkan menjadi satu
persamaan.
Telah diusulkan bahwa fenomena HRS ini mungkin dapat dimanfaatkan
secara klinis jika secara praktiknyaradioterapi dapat dihantarkan dalam fraksi
dosis jumlah yang sangat besar, masing-masing kurang dari 0,5 Gy. Tujuannya
adalah untuk mengambil keuntungan dari radiosensitivitas ekstra di wilayah HRS,
yang dapat meningkatkan respon tumor yang diketahui resisten terhadap
radioterapi pada dosis 2 Gy per fraksi.
PERTUMBUHAN TUMOR DAN RESPONNYA TERHADAP RADIASI
7.2. Respon Tumor Terhadap Radiasi
Pendahuluan
Efek radiasi pada tumor secara klinis pada kondisi eksperimental yang
baik dapat diukur dengan bebrapa titik point, termasuk kontrol tumor lokal,
mencegah pertumbuhan kembali tumor dan regresi tumor. Pengontrolan tumor,
tujuan dari terapi radioterapi. Peningkatan pada pengontrolan tumor setelah
radioterapi telah di buktikan, pada banyak percobaan klinik, pada pembuktian
kemampuan bertahan hidup yang lebih lama pada pasien kanker. Olehnya itu,
kontrol terhadap tumor secara konsep ujungnya lebih baik secara klinis dan

investigasi eksperimen pada peningkatan radioterapi. Tumor lokal terkontrol


ketika semua sel yang di klon (mis. Sel yang mungkin berproloferasi dan
menyebabkan rekurensi setelah radioterapi) telah di non aktifkan. Kemungkinan
keberhasilan pengontrolan tumor lokal tergantung pada dosis radiasi dan
hubungan secara langsung dengan angka kemampuan bertahan hidup sel tumor
clonogenic. Regresi tumor adalah titik akhir yang tidak spesifik untuk menguji
respon radiasi. Menguji penundaan pertumbuhan kembali tumor di perluas
menggunakan

eksperimen

radiobiology.

Penundaan

pertumbuhan

tumor

meningkat dengan dosis radiasi, tetapi karena keterbatasan metodologinya, hal ini
sulit atau bahakan tidak mungkin secara akurat memperkirakan kematian sel.
Kemampuan Bertahan Hidup Sel Clonogenic Setalah Penyinaran
Radioterapi meningkat secara efektif pada pembunuhan sel tumir
clonogenic. Hubungan kuantitatif antara dosis radiasai, inaktivasi sel clonogenic
dan kontrol tumor lokal sebaiknya di tegakan secara klinis pada kondisi
eksperimental yang baik. Pada radioterapi fractionated yang telah dibuktikan,
bahwa logaritma dari kemampuan bertahan hidup sel tumor clonogenicI menurun
sejajar dengan total dosis radiasi. Jika dosis radiasi cukup ditingkatkan untuk
mensterilkan semua sel yang mungkin menyebabkan rekurensi, selanjutnya
kontrol tumor dapat dicapai. Hubungan ini di ilustrasikan pada gambar 7.3, yang
menunjukkan suatu teori kurva kemampuan bertahan hidup clonogenic untuk
penyinaran fractionated dari suatu tumor model. Tumor ini memiliki diameter
sekitar 3cm, terdiri dari 1010 sel tumor dengan suatu bagian clonogenic dari 10%
(mis. Tumor yang terdiri dari 109 sel tumor clonogenic). Misalkan suatu kepekaan
radiasi intermediet, fraksi lain dari 2 Gy di non-aktifkan 50% dari sel clonogenic.
Dengan kata lain, setelah suatu dosis 2 Gy 50% dari kemampuan bertahan hidup
sel clonogenic, setelah 4 Gy 25%, setelah 6 Gy 12,5%, dan seterusnya. Hasil ini
dalam suatu penurunan linear dari fraksi logaritma kemampuan bertahan hidup
sel clonogenic pada peningkatan dosis dan digambarkan oleh garis tidak putusputus pada diagram gambar 7.3. Untuk contoh ini, dosis yang lebih tinggi dari 60
Gy angka kemampuan bertahan hidup sel dari tumor berkurang menjadi satu dan

kontrol tumor lokal dapat ditingkatkan. Dengan jelas, hal ini adalah suatu
penyederahanaan karena kelalain, sebagai contoh, kemaungkinan perubahan
kepekaan penyinaran (mungkin berkat perubahan oksigenasi tumor) dan dari
repopulasi selama radioterapi fractionated. Akan tetapi, pada pembuktian ini
parameter respon seperti respon parsial atau seluruhnya, dimana sering digunakan
sebagai deskripsi klinis, bukan akhir yang pasti untuk mengevaluasi radioterapi
kuratif. Hal ini jelas dari respon parsial dari suatu kegagalan seluruhnya dari
pengobatan karena sebagian besar sel clonogenic ternyata masih hidup. Bahkan
jika kita dapat mendeteksi tumor dengan gambaran radiologi (pada respon
komplit) suatu angka yang besar dari sel tumor clonogenic mampu bertahan hidup
pada pengobatan dan bisa rekurensi. Olehnya itu, pada kedua penelitain ini pada
pasien dan hewan percobaan, hanya mengamati pengobatan untuk waktu yang
lama untuk mendeteksi tumor yang kembali berkembang dapatkah dengan tepat
menentukan apakah pemberian pengobatan efektif mensterilkan semua sel tumor
clonogenic.
Kontol Tumor Lokal
Jika bukan suatu tumor tunggal tetapi suatu grup tumor (atau pasien)
dipertimbangkan, kemungkinan kontrol tumor lokal (TCP) sebagai suatu fungsi
dari dosis radiasi dapat di jelaskan secara statistik dengan suatu distribusi Poisson
dari angka kemampuan bertahan hidup sel tumor clonogenic. Di jelaskan
penyebaran random dari induksi radiasi pembunuhan sel dalam suatu populasi sel
clonogenic. Sebagai suatu ilustrasi, satu gambaran kuat dosis radiasi yang
diberikan menyebabkan jumlah yang pasti dari lethal hits secara random
didistibusikan dalam suatu populasi sel. Beberapa sel akan menerima satu lethal
his dan setelah itu mati. Sel lain yang menerima dua atau lebih lethal hits akan
mati juga. Akan tetapi beberapa sel yang tidak di hit, maka oleh karena itu
kemampuan bertahan hidup dan setelahnya menyebabkan kegagalan lokal.
Berdasarkan statistik Poisson, suatu dosis radiasi cukup diakibatkan pada rata-rata
satu letal hit pada sel clonogenic lainnya pada suatu tumor (angka dari lethal

hits tiap sel, m=1) menghasilkan 37% sel clonogenic yang mampu bertahan
hidup. Fraksi kemampuan bertahan hidup (SF) dapat dijelaskan pada :
SF = exp( - m)
dan angka kemampuan bertahan hidup dari sel tumor (N) adalah :
N = N0 X SF
dimana N0 mewakili angka inisial dari clonogenic. TCP tergantung pada angka
kemampuan hidup sel clonogenic (N) dan dapat di kalkulasi :
TCP = exp ( - N) = exp ( - N0SF)
Hubungan kuantitatif antara dosis radiasi, fraksi kemampuan bertahan
hidup dari sel tumor clonogenic dan bentuk TCP basis biologi dari kontrol tumor
lokal sebagai suatu fungsi

diuji dari kemampuan bertahan hidup sel tumor

clonogenic setelah penyinaran. Pada penelitian serupa, kelompok tumor yang


ditransplantasi disinari dengan dosis bervariasi dan selama pengamatan yang
direkam apakah suatu tumor kembali berkembang (rekurensi) atau tidak (local
control). Pada perbandingan ukuran volume tumor, yang mana pelatihan yang
sangat dibuthkan dan yang rentan pada variabilitas interobserver, pemberian nilai
dari rekurensi lokal atau lokal kontrol lebih mudah dan membuat pengujian
kontrol tumor lebih bisa di tegakkan. Nilai dari kontrol tumor lokal pada level
dosis lainnya (angka darii tumor terkontrol dibagi dengan angka total tumor) yang
diperoleh dan selanjutnya dianalisis berdasarkan kalkulasi karakteristik poin-poin
pada kursa dosis respon. Pada sebagian besar, TCD 50 (mis. Kebutuhan dosis
radiasi untuk mengontrol 50 % dari tumor) yang dilaporkan (pembuktian kontrol
tumor lokal olehnya itu di sebut suatu pembuktian TCD50 ).
Range dosis total dari 30-100 Gy (dosis per fraksi berkisar dari 1.0 3.3
Gy) dan 6 dari 8 tumor per level dosis disembuhkan. Angka kontrol tumor lokal
ditetapkan 120 hari setelah akhir pengobatan. Periode pengamatan ini cukup
untuk model tumor ini untuk mendeteksi secara virtual semua pertumbuhan
kembali tumor. Observasi yang cermat pada penelitian sbelumnya, dimana hewan
diamati hingga mati (angka harapan hidup kira-kira 2 tahun), diungkapkan bahwa
65% dari semua rekurensi FaDu tumor terjadi kurang dari 60 hari dan 99% kurang
dari 90 hari setelah akhir penyinaran. Kurva respon radiasi untuk eksebisi kontrol

tumor lokal suatu bentuk sigmoid dengan suatu nilai permulaan. Dibawah dosis
total dari sekitar 50Gy tidak ada tumor yang dikontrol, kemungkinan karena
tingginya angka sel clonogenic yang dapat bertahan selama pengobatan. Di atas
dosis awal, lokal TCP ditingkatkan secara bertahap dengan meningkatkan dosis.
Data dapat dicoba menggunakan suatu model statistik Poisson-based dan TCD50
dikalkulasi berdasarkan :
TCD50 = D0 X (InN0 In (IN2) )
dimana D0 menggambarkan sensitifitas radioterapi secara intrinsik dari sel
clonogenic dan N0 adalah angka dari clonogenic sebelum penyinaran. Nilai TCD50
bisa digunakan untuk membandingkan hasil yang diperoleh dari model tumor
yang berbeda.
Pengujian TCD50 telah digunakan secara luas untuk penelitian dan
modifikasi pengukuran dalam sensitifitas radiasi atau angka dari sel tumor
clonogenic dan

evaluasi data serta laporan hasil yang ditegakan dan

distandarisasi. Efek dari modifikasiing pengobatan pada TCP lokal dapat diukur
dengan kalkulasi dose-modify factor (DMF) :
tanpamodifikasi

DMF =
TCD 50

DMF mewakili penurunan relatif dalam dosis penyinaran dengan


pemberian modifikasi pengobatan untuk mencapai level yang diinginkan dari TCP
(isoeffect) dibandingkan dengan penyinaran tanpa modifikasi. Dengan kata lain,
nilai DMF lebih besar dari 1 indikasi dari modifikasi, sebagai contoh dari obat
baru yang di cobakan, dilaporkan lebih besar sensitifitasnya pada pengobatan
secara radiasi.
Dibandingkan dengan pengujian in vivo lainnya yang telah di diskusikan
sebelumnya, bagaimanapun, pengujian TCD50 memakan waktu dan ekspansif.
Pada desain, perlakuan dan evaluasi eksperimen menggunakan titk akhir tumor
kontrol lokal ini

benar-benar harus menggunakan teknik pengetahuan dan

pengalaman. Bersamaan dengan kematian hewan coba menghabat pengamatan


yang memadai, dimana dibutuhkan cukup lama untuk mendeteksi secara virtual

semua rekurensi (mis. Kebanyakan 4-6 bulan, tergantung pada batas tumornya).
Variasi kecil dalam angka kemampuan hidup sel clonogenic setelah penyinaran
bisa menjadi penyebab perbedaan yang dramatis pada TCP lokal. Olehnya itu
pengujian TCD50, secara particular dalam model xenograf, sangatlah sensitive
pada reaksi imun host. Apakah suatu model tumor memicu suatu respon imun
melalui host, haruslah di tes terlebih dahulu sebelum percobaan tumor lokal
dilakukan. Meskipun memiliki kekurangan, uji kontrol tumor lokal tetap sangatlah
relevan sebagai metode eksperimen untuk memutuskan kemampuan bertahan
hidup sel tumor clonogenic setelah penyinaran dalam lingkup pengobatan. Hal
yang sangat penting, uji TCD50 sebaiknya distandarisasi dan ujung penelitian sama
di akhir klinis yang digunakan dalam radioterapi kuratif.
Uji Eksisi
Metode eksperimen alternatif untuk menentukan kemampuan bertahan
hidup sel clonogenic setelah penyinaran meliputi ujiin vivo/in vitro, uji ujung
dilution dan uji koloni paru. Uji ini di perkenalkan pada bab sebelumnya, semua
yang membutuhkan operasi eksisi dari tumor setelah penyinaran in situ dan
persiapan dari suspense sel tunggal dari tumor yang dieksisi menggunakan enzim
tryptic untuk memisahkan jaringan. Pada uji in vivo/in vitro, angka berbeda dari
sel-sel yang disebarkan dalam botol kultur. Setelah masa inkubasi, biasanya 7-12
hari jumlah koloni di hitung. Koloni yang terdiri kurang dari 50 sel dan
dipertimbangkan diperoleh dari sel tumor tunggal colonogenic yang mampu
bertahan hidup. Pada uji bentuk koloni in vitro klasik, bagian yang mampu
bertahan di kalkulasi dari rasio koloni yang dihitung pada jumlah sel yang disebar.
Pada uji koloni paru, jumlah yang berbeda dari sel-sel dipenoleh dari tumor yang
disinari secara in situ yang di injeksi secara intravena (biasanya melalu suatu
ujung vena) dalam kelompok tikus percobaan. Biasanya berkisar 10 hari
kemudian, angka dari koloni sel tumor, pada paru-paru dihitung dan bagian yang
bertahan dikalkulasi dengan membandingkan koloni sel tumor yang berkembang
dari sel yang diperoleh melalui tumor yang tidak diradiasi. Sebagai akhir dari uji
diluation (uji TD50) angka sel-sel yang berbeda dari suatu tomor yang tidak

disinari yang disuntikan dalam hewan coba dan frekuensi tumor yang diberikan
(perkembangan tumor) di beri angka.
Uji eksisi kurang memiliki sumber dan kurang memberi hasil yang cepat
dibandingkan dengan uji kontrol tumor lokal. Pada uji in vivo/in vitro, efek
potensial dari sistem imun host juga di tidak terkontrol. Akan tetapi, keunggulan
dari uji eksisi adalah kemampuan hidup sel clonogen tidak ditentukan pada
keadaan asli pengobatan. Kedepannya, hasil bisa di rekayasa dengan cara metode
disagregasi (pemisahan) untuk sediaan sel tunggal (i.e. Masa penularan, kimiawi,
enzim dan stress mekanik). Pada uji koloni (uji in vivo/in vitro dan uji koloni
paru) informasi latarbelakang secara luas diperlukan sebelum eksperimen
dimulai : apakah sel dari koloni, berapa banyak sel pada dosis radiasi yang
diberikan menjadi menyepuh (plated) atau terinjeksi dan berapa lama masa
inkubasi sebelum perhitungan koloni. Nilai maksimum dari sel yang menjadi
menyepu (plated) dalam sediaan Petri atau yang terinjeksi secara intravena
terbatas, yang membuatnya sulit untuk mendeteksi fraksi survive secara akurat
dibawah 10-4. Sehingga, kecil tetapi resistensi sub populasi dari sel-sel clonogenic
mungkin secara sistematis diabaikan secara partikuler dengan uji koloni.
Kedepannya, efek dari pengobatan lama seperti penyinaran fraksionasi sulit untuk
meramalkan uji eksisi.
Regresi
Untuk menentukan regresi tumor, volume dari penyembuhan dan
kegagalan penyembuhan tumor pada point waktu yang diberikan diperbandingkan
dan rasio pada pengobatan vs kontrol tumor (raio T/C) dilaporkan. Besaran regresi
tumor tergantung saat efek radiasi ke seluruh populasi sel dalam tumor, termasuk
sel yang ganas dan sel yang tidak ganas, contohnya sel endothel, fibroblast, dan
sel inflamasi. Tambahannya, faktor lain seperti udem, resorbsi sel mati, dan
proliverasi sel yang mampu survive berkontribusi pada volume tumor setelah
radiasi. Faktor-faktor ini sangat berbeda-beda pada setiap tumor. Sedangkan
kematian sel tumor dosis radiasi dependen, resorbsi, udem, dan proliferasi tidak.
Dari dugaan peningkatan regresi dengan satu dosis radiasi dapat dibantah bahwa

untuk model tumor yang diberikan, besaran gambaran regresi dosis radiasi
menentukan kematian sel tumor. Ukuran volume tumor di bawah kondisi
eksperimen terbatas pada range 1.5X107-1.5X109 sel tumor (asumsi 109 sel/g
tumor). Maka meskipun untuk suatu tumor model, ukuran volume hanya menguji
respon radiasi suatu proporsi yang sangat terbatas dari seluruh sel-sel tumor dan
respon yang sedikit dan kemungkinan resistensi sel tumor tidak dapat dideteksi.
Kesimpulannya, regresi tumor sangat tinggi parameter tidak spesifiknya dan
nilainya sangat terbatas dalam menjelaskan dan mengukur radiasi pada tumor.
Menunda Perkembangan Kembali Tumor
Penundaan perkembangan kembali tumor merupakan uji yang digunakan
secara luas yang menghadirkan secara cepat data penelitian dan dapat
diaplikasikan pada labolatorium atau klinis. Titik poinnya adalah waktu yang
dicapai volume suatu tumor secara tepat. Olehnya itu, penentuan tepat dari
volume tumor (e.g. dengan calipers (jangka waktu) untuk pertumbuhan tumor
secara subkutaneus atau dengan metode pencitraan (imaging)) esensial. Pada
penelitian eksperimen, ada kelompok tumor yang disinari dan satu kelompok
tumor lainnya tidak disinari (control gruoup). Kemudian, volume tumor individu
lainnya dicatat sepanjang waktu dan kurva pertumbuhan diinput. Dari kurva
pertumbuhan ini, parameter berbeda dibaca, seperti saat pengambilannya untuk
suatu pertumbuhan tumor (tumor growth time, TGT) hingga lima kali volume
penyembuhan (TGTv5). Dari nilai TGT untuk tumor pada individu nilai rata-rata
kelompok pengobatan (TGTtreated) dan grup kontrol (TGTcontrol) di kalkulasi. Tumor
growth delay (TGD) kemudian dikalkulasikan dari :
TGD = TGTtrated -TGTcontrol
Specific growth delay (SGD) diambil dari taksiran pertumbuhan tumor
model dalam perhitungan dan memenuhi perbandingan antara tumor model yang
berbeda-beda atau pengobatan yang berbeda. SGD dikalkulasi dari :
SGD = (TGTtreted-TGTcontrol)/TGTcontrol
atau
SGD = TGT/VDTcontrol

Pertumbuhan kembali tumor menyertai penyinaran, tergantung saat efek


pengobatan yang telah diberikan pada sel yang telah malignan atau non-malignan.
Induksi radiasi merusak jaringan connective vaskular host yang diliputi tumor
yang bisa mengakibatkan kecepatan pertumbuhan lebih lambat; hal ini disebut
efek bruk tumor. Sebagai suatu konsekuensi, SGD nampaknya meningkat dengan
peningkatan volume tumor. Untuk memperbaiki efek buruk dari tumor, parameter
net growth delay (NGD) telah diperkenalkan. NGD diartikan sebagai masa antara
saat pertumbuhan kembali tumor yang telah dicapai dua kali dari volume
minimalnya (nadir) setelah pengobatan dan masa dimana tumor telah sama
dengan volume sebelum pengobatan. Suatu alternatif mungkin dipilih yang
ukuran poin akhirnya serendah mungkin.
TGD meningkat dengan dosis radiasi, gambaran dari dosis dependensi dari
sel yang mati. Hubungan yang ditemukan antara dosis radiasi, logaritma dari sel
tumor clonegenic yang mampu bertahan hidup dan TGD memberi kesan bahwa
TGD adalah suatu parameter yang meliputi untuk kematian sel clonogenic. Akan
tetapi, ada sebagian keterbatasannya. Pertama, eksperimen transplantasi
kuantitatif menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan tumor menurun dengan
penurunan angka dari sel yang diinokulasi (inicolated). Dari pernyataan ini, pada
level rendah dari sel yang survive, TGD tidak berkorelasi baik dengan angka
kemampuan bertahan hidup dari sel clonogenic. Kedua, TGD tergantung suatu
deal besar dari efek radiasi pada massa sel tumor yang bukan clonogenic. Sebagai
konsekuensi, variasi kecil dalam populasi sel clonogenic (jumlah dan/atau
sensitivitas) mungkin tidak dideteksi dengan uji TGD. Ketiga, Gambaran TGD
tidak hanya kematian sel tetapi juga kecepatan pertumbuhan dari perkembangan
kembali tumor. Olehnya itu, uji ini sangatlah sensitive pada variasi kecepatan
proliferasi, termasuk manipulasi farmakologi. Maka, suatu TGD yang lama tidak
selalu berarti kematian sel yang luas. Keterbatasan dari TGD menggabarkan
denga tepat kematian sel clonogenic yang ditekankan melalui pengamatan yang
dilaporkan dari uji TGD yang mungkin tidak berkorelasi dengan hasil yang
diperoleh dari uji kontrol tumor lokal. Surat protes yang penting mesti
dipertimbangkan, misalnya, saat uji TGD digunakan untuk mengevaluasi

pemodifikasian radiasi. Solusi dari masalah ini meliputi melakukan konfirmasi


eksperimen kontrol tumor lokal atau kemungkinan yang diperoleh TGD pada
level dosis radiasi yang berbeda-beda (hubungan dosis-respon) yang sebaiknya
dikalkulasi penghambatan pertumbuhan per gray.
Pengukuran dan hasil besaran dari efek yang disebabkan oleh modifikasi
radiasi pada TGD, DMF atau enhancement ratio (ER) telah digunakan. DMF
dikalkulasi sebagai rasio dari dosis radiasi dengan dan tanpa modifikasi yang
diberikan seperti pada TGD (i.e. rasio dari dosis radiasi isoefektif). Maka,
kalkulasi dari DMF perlu diteliti dari level dosis radiasi multipel dan konstruksi
dari kurva dosi-respon. Seringkali, hanya satu level dosis radiasi yang diteliti.
Pada kondisi seperti ini ER digunakan daripada DMF untuk menjelaskan efek
modifikasi radiasi. ER adalah rasio TGD dengan/tanpa modifikasi pada suatu
level dosis yang diberikan. Kedua ER dan DMF tergantung pada posisi dan
ketinggian kurva dosis-efek. ER bisa tergantung pada dosis radiasi dan DMF bisa
tergantung pada level efek radiasi. Secara umum, interpretasi dari TGD, ER, dan
DMF, dan relevansinya untuk inaktivasi sel tumor clonogenic, sangatlah
kompleks. Meskipun nampaknya sangat sederhana, masalah metodologinya
sendiri dari uji TGD (dijelaskan sebelumnya), kurang disetujui secara umum
karena evaluasi data dan detail prosedur yang sembarangan membatasi nilainya
dalam ukuran keterpercayaanya respon radiasi dari sel clonogenic. Oleh karena itu
direkomendasikan untuk selalu melakukan tes dari uji TGD, dengan melakukan
penelitian kontrol tumor lokal, sebelum memperkenalkan pengobatan baru dalam
radioterapi klinis.

You might also like