Professional Documents
Culture Documents
4.1.
Seperti yang dijelaskan dalam bab 13, bagian 13.2, maintenens jaringan
beserta fungsinya dalam jaringan baru yang normal di dalam tubuh bergantung
pada adanya sejumlah kecil sel stem primitif sel-sel yang memiliki kapasitas
untuk mempertahankan jumlahnya sementara dalam waktu yang bersamaan
memproduksi sel-sel yang dapat berdiferensiasi dan berproliferasi untuk
menggantikan populasi sel fungsional lainnya. Sel stem merupakan dasar hierarki
sel yang membentuk epitel dan jaringan hemopoetik.
Karsinoma berasal dari jaringan hierarki demikian, dan kemampuan kita untuk
mengenali karsinoma ini dalam potongan-potongan histologik berasal dari fakta
bahwa tumor-tumor ini seringkali masih mempertahankan banyak sifat
diferensiasi jaringan asalnya. Tumor yang berdiferensiasi dengan baik
mempertahankan sifat-sifat ini dengan sangat baik dibaning dengan tumor
anaplastik. Demikian pula bahwa tidak semua sel di dalam tumor merupakan sel
stem neoplastik; beberapa sel berasal dari proses diferensiasi ireversibel. Sebagai
tambahan, karsinoma mengandung banyak sel yang membentuk stroma (fibroblas,
sel-sel endotel, makrofag, dll). Dengan demikian, sel stem mungkin hanya
menyusun sebagaian kecil dari sel di dalam tumor.
Saat tumor kembali tumbuh setelah terapi non-kuratif, hal itu terjadi karena
sebagian sel stem neoplastik tidak ikut terbunuh. Ahli radiobiologi kemudian
mengerti
mempertanyakan: Berapa banyak sel stem yang tersisa? (bila kita dapat
mengeradikasi sel stem neoplastik terakhir maka tumor tidak akan tumbuh
kembali). Hampir mustahil untuk mengidentifikasi sel stem tumor in situ, dan
dengan demikian tes-tes telah dikembangkan untuk memungkinkan sel-sel
tersebuh terdeteksi setelah dibuang dari tumor. Pemeriksaan ini secara umum
mendeteksi sel stem melalui kemampuannya untuk membentuk koloni di dalam
lingkungan tempatnya tumbuh. Kita kemudian mengenal sel-sel ini dengan
Tes klonogenik
tertentu
dan
menguji
kemampuan
sel-sel
tersebut
untuk
menghasilkan sebuah koloni turunan yang cukup besar. Banyak jenis tes telah
ditemukan, kami mengilustrasikan prinsip tes dengan alat tes sederhana dalam
kultur jaringan yang analog dengan uji mikrobiologi.
Suspensi sel tunggal dari sel-sel tumor disiapkan dan dibagi menjadi dua
bagian. Salah satu bagian diradiasi, sedangkan yang lainnya disimpan sebagai
kontrol yang tidak diradiasi. Kedua suspensi kemudian dilaspiskan/plating di atas
plat dalam kultur jaringan di bawah kondisi yang sama, kecuali, karena kami
mengantisipasi bahwa radiasi telah membunuh sejumlah sel, maka kami harus
menempatkan sel dalam jumlah yang lebih besar untuk kelompok sel iradiasi.
Kami di sini mempertimbangkanplating 100 sel kontrol dan 400 sel teradiasi.
Setelah jangka waktu yang sesuai dengan masa inkubasi, koloni akan terbentuk
(Gambar 4.2). Ada 20 koloni kontrol, dan oleh karena itu kami mengatakan bahwa
efisiensi plating adalah 20/100 = 0.2. Efisiensi plating sel dengan perlakuan lebih
rendah: 8/400 = 0.02. Kami menghitung fraksi survival dalam rasio efisiensi
plating ini melalui rumus sebagai berikut:
Fraksi survival = PE perlakuan /PE kontrol = 0,02/0,2 = 0,1
sehingga memberikan koreksi efisiensi dimana sel-sel klonogenik baik terdeteksi
dan untuk jumlah sel plating yang berbeda. Fraksi survival sering ditampilkan
dalam nilai persen (dalam kasus ini 10 persen)
dari dosis yang membunuh sekitar 50 persen sel. Dosis ini terkadang disebut
dengan ED50 (yaitu efek dosis 50 persen). Terkadang digunakan ED90. Dengan
menggunakan dosis ini, kita perlu membuat perkiraan mengenai bentuk kurva
yang akan dihasilkan.
Terdapat dua alasan mengapa kurva survival sel lebih sering diplotkan dengan
skala logaritma survival:
1. Bila kematian sel terjadi random, maka survival akan menjadi fungsi
(rumus) exponensial dosis, dan hal ini akan membentuk garis lurus pada
plot semi-log. Bagian 4.8 menjelaskan hal ini secara detail.
2. Sebuah skala logaritma dengan lebih mudah memungkinkan kita untuk
melihat dan membandingkan penurunan sihnifikan ukuran tumor, atau
kontrol tumor lokal.
Plot yang demikian diilustrasikan pada gambar 4.3b. bentuk kurva survival
radiasi dan cara menggambarkan kecuramannya akan dijelaskan kemudian dalam
bab ini.
Perhatikan bahwa, untuk data yang ditunjukkan pada Gambar. 4.3, dosis
radiasi di atas 5 Gy mengurangi kelangsungan hidup sel klonogenik hingga di
bawah 10 persen. Pengukuran radiosensitivitas dalam parameter D 0 (lihat Bagian
4.8) dilakukan pada bagian eksponensial kurva survival, yang dalam hal ini adalah
di atas 5 Gy. Oleh karena itu, pengukuran ini dibuat dalam rentang dosis di mana
fraksi survival sangat rendah. Nilai D0demikian, relevan dengan persoalan
membasmi beberapa sel klonogenikterakhir, tetapi jika populasi sel mengandung
sel-sel dengan radiosensitivitas yang berbeda-beda, nilai-nilai ini mungkin
tidaklahbersifat khas untuk radiosensitivitas sebagian besar populasi sel tumor.
4.4.
Hal ini biasanya tidaklah mudah, karena jaringan tumor berbeda-beda dalam
kemudahannyauntuk
dapat
dipisah-pisahkankan/didisagregasi.
Enzim-enzim
subkutan pada hewan syngeneic, yang mencakup berbagai ukuran inokulum, dan
jika mungkin mencakup tingkatan 50 persen ambilan tumor. Hewan yang
digunakan, biasanya tikus, kemudian diamati untuk jangka waktu cukup lama
untuk merekam hampir setiap tumor yang dapat tumbuh dari implan sel tunggal.
Tingkat-ambilan diplot terhadap ukuran inokulum dan titik ambilan 50 persen
ditambahkan, ini biasanya disebut jumlah sel 'TD 50'. Percobaan dilakukan secara
bersamaan pada sel perlakuan dan sel kontrol dan fraksi survival ditunjukkan
dengan rasio nilai TD50.
Penambahan secara belebihan sel-sel yang telah diradiasi dengan dosis letal
meningkatkan tingkat ambilan; dengan menggunakan manuver ini, Steel dan
Adams (1975) menemukan TD50 dari 1-3 sel tumor paru-paru Lewis dan dengan
demikian dapat mengukur kelangsungan hidup sel sampai dengan 10 -6. Metode ini
hanya akan berjalan dengan baik tanpa adanya respon imun terhadap tumor
cangkokan, yang secara relatif merupakan situasi yang jarang terjadi terutama
dengan tumor yang diinduksi secara kimiawi dan viral.
Uji in vitro jangka pendek
Kebutuhan untuk mengembangkan uji in vitro yang memberikan hasil lebih
cepat daripada alat tes klonogenik muncul dari ketertarikan dalam prediksi respon
tumor terhadap pengobatan (lihat Bab 23). Berbagai tes telah diusulkan tapi
reproduktifitas dan kemampuannya untuk dapat diandalkan telah sering menjadi
batasan dalam kegunaan klinis uji-uji ini. Tiga kendala umum antara lain:
1. Sampel biopsi tumor manusia mengandung baik sel tumor maupun
jaringan ikat normal; keduanya dapat tumbuh di bawah kondisi-kondisi uji
dan mungkin sulit untuk membedakan bentukan koloni dengan sel-sel
tumor.
2. Bila metode yang digunakan membutuhkan diproduksinya suspensi sel
tunggal, haruslah sangat berhati-hati dalam memisahkan kumpulan sel,
karena hal ini dapat khas dapat meningkatkan nilai hitung koloni nantinya.
3. Sel-sel yang dimatikan dengan menggunakan radiasi membutuhkan waktu
untuk mati (misalnya lihat gambar 4.1) dan dalam uji jangka pendek sel-
sel ini mungkin akan keliru sel-sel tumor yang bertahan; dengan demikian,
metode yang digunakan mungkin tidak dapat dengan mudah membedakan
antara sel-sel yang raiosensitif dan sel-sel yang mati dengan cepat setelah
iradiasi.
Banyak prinsip-prinsip dasar yang mendasari prediksi respon tumor
dibicarakan di dalam buku yang diedit oleh Chapman dkk (1989). Uji nonklonogenik untuk sel-sel tumor antara lain sebagai berikut:
Uji mikronukleus
Sel tumor yang dibudidayakan dengan adanya cytochalasin-B, yang
menghambat sitokinesis, menghasilkan sel binukleat, dan dengan demikian
memungkinkan inti sel yang telah mengalami satu kali pembelahan pasca
perlakuanakanteridentifikasi.
extranuclear
kecil.
Micronuclei
Frekuensinya
dapat
meningkat
dihitung
dengan
sebagai
dosis
radiasi
badan
dan
carboxymethoxyphenyl)-2-(4-sulfofenil)-2H-
menyingkirkan
kesalahan
yang
rawan
terjado
pada
langkah
Perbandingan tes/uji
Teori target
Daerah sensitif ini dapat dianggap sebagai target spesifik terhadap cedera radiasi
sehingga kelangsungan hidup sel setelah paparan radiasi akan berhubungan
dengan jumlah target yang diinaktivasi . Ada dua versi dari gagasan ini yang
umumnya digunakan . Versi pertama dari teori ini mengusulkan bahwa hanya satu
tembakan radiasi pada target tunggal sensitif akan mengakibatkan kematian sel .
Teori ini disebut inaktivasi target-tunggal tembakan-tunggal, dan teori ini
mengarah pada bentuk kurva survival seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 4.4a
. Kurva survival merupakan suatu eksponensial (yaitu garis lurus dalam plot semilogaritmik survival sel terhadap dosis). Untuk menurunkan persamaan kurva
survival ini , statistik Poisson dapat diterapkan . Dengan anggapan bahwa selama
iradiasi terjadi tembakan dengan jumlah yang sangat besar pada sel-sel yang
berbeda, namun probabilitas ( p ) dari tembakan berikutnya yang terjadi pada sel
yang tertentu sangatlah kecil . dengan demikian, untuk setiap sel,
p(survival) = p(0 hits) = exp(-D/D0)
dimana D0 didefinisikan sebagai dosis yang memberikan rata-rata satu
hit/tembakan per sasaran sel. Dosis D0 Gy mengurangi survival/kelangsungan
hidup dari 1 menjadi 0,37 (yaitu untuk e-1), atau dari 0,1 menjadi 0,037, dan
seterusnya, D/D0 adalah jumlah rata-rata tembakan per sasaran (dan dalam hal ini
per sel). Ini adalah alasan mengapa (seperti pada Gambar 4.7, kemudian.) skala
survival sel kadang-kadang ditulis sebagai (S): ini merupakan skala logaritma
natural fraksi survival dan juga merupakan jumlah yang setara dengan 'lesi letal'
per sel.
Dalam contoh ini (Gambar 4.4a) D0 = 1,6 Gy. Kurva survival lurus seperti ini
biasanya dijumpai untuk inaktivasi virus dan bakteri. Kurva semacam ini juga
mungkin tepat dalam menggambarkan respon radiasi dari beberapa sel manusia
yang sangat sensitif (normal dan maligna) dan juga respon radiasi pada tingkat
dosis yang sangat rendah (lihat Bab 12, Bagian 12.3) dan respon terhadap radiasi
LET tinggi (lihat Bab 6, Bagian 6.3). Dengan demikian, jenis kurva survival
'target tunggal tembakan tunggal' (singgl- target singgle-hit) sebenarnya
bernilaivalidbila berada di luar kerangka teori target. Ini menggambarkan situasi
sederhana di mana bilaindividu sel menerima sejumlah radiasi yang lebih besar
dari D0 maka sel akan mati, jika tidak, maka sel akan bertahan.
Untuk sel mamalia pada umumnya, respon sel terhadap radiasi biasanya
digambarkan dengan kurva survival 'shouldered'. Dalam upaya untuk meniru jenis
respon ini, teori target versi yang lebih umum diusulkan, disebut sebagai
inaktivasi multitarget tembakan tunggal. Dalam ekstensi ide target ini, hanya satu
tembakan radiasi pada setiap n sel target sensitifyang diperlukan untuk
menyebabkan kematian sel. Bentuk kurva survival teori ini ditunjukkan pada
Gambar. 4.4b. Sekali lagi, argumen dapat dikembangkan dengan menggunakan
statistik Poisson,
p(0 tembakan terhadap target spesifik) = exp(-D/D0), dengan demikian
p(target spesifik terinaktivasi) = 1 exp(-D/D0)
Karena terdapat n target di dalam sel
p(semua n target terinaktivasi) = (1 exp(-D/D0))n
Gambar 4.4b menunjukkan bahwa kurva survival tembakan tunggal
multitarget memiliki pundak dengan ukuran yang dapat itunjukkan melalui
ambang dosis quasi (Dq). Dosis ini berhubungan dengan n dan D0 melalui
persamaan:
Dq = D0 logen
Untuk contoh pada gambar 4.4b, kami memilih n = 30 dan D0 = 5,4 Gy. Kurva
survival multitarget seperti ini telah terbukti bermanfaat dalam menggambarkan
respon radiasi sel-sel mamalia pada dosis tinggi di luar pundak kurva. Kurva ini
tidak menggambarkan dengan baik respon survival pada dosis lebih rendah yang
secara klinis lebih relevan.
4.9.
rasio D1/D0 mendekati 1,0, atau dalam model LQ dengan rasio / yang sangat
tinggi.
Seperti ditunjukkan dalam Gambar. 4.5, model LQ tidak memiliki D 0 karena
kurva survival terus melengkung ke bawah dengan meningkatnya dosis sehingga
kurvanya tidak pernah benar-benar lurus. Namun, kurva ini terkadang bermanfaat
untuk dapat mengkonversi secara kasar antara , dengan D0, misalnya, ketika
membandingkan dua temuan penelitian yang masing-masing telah dijelaskan
dengan model yang berbeda. Deskripsi matematis yang tepat dari The D 0 adalah
merupakan kebalikan dari diferensial hukum pertama dari -ln(S) sehubungan
dengan dosis. Menerapkan definisi ini dengan model LQ menghasilkan D 0 = 1/(
+ 2D). Rumus ini menunjukkan bahwa, dalam model LQ, D 0 efektif tidak
konstan, tetapi menurun dengan meningkatnya dosis.
Model LQ kini digunakan secara luas baik dalamradiobiologi eksperimental
maupun klinis dan umumnya berfungsi dengan baik dalam menggambarkan
respon terhadap radiasi in vitro dan in vivo. Apakah yang bisa menjadi dasar
pembenaran mekanistiknya? Suatu ide sederhana adalah bahwa komponen linear
[exp (-D)] mungkin berasal dari peristiwa satu jalur (single-track events)
sedangkan komponen kuadrat [exp (-D2)] mungkin berasal dari peristiwa dua
jalur (double-track events). Penafsiran ini didukung oleh studi tentang efek
tingkatan dosis (lihat Bab 12, Bagian 12.3), yang menunjukkan bahwa kurva
survival sel ketikatingkatan dosis dikurangi,kurva survival sel menjadi lurus dan
cenderung menyerupai kemiringan awal kurva dosis tingkat tinggi: komponen
kuadrat kematian sel menghilang, hanya menyisakan komponen linear. Hal ini
sudah dapat diprediksi, karena pada tingkat dosis rendah peristiwa single-track
akan terjadi seiring dengan waktu dan probabilitas/kemungkinan interaksi akan
menjadi rendah. Meskipun interpretasi dari persamaan LQ ini nampaknya masuk
akal, tetapi sifat interaksi antara jalur yang terpisah masih menjadi bahan
perdebatan. Chadwick dan Leenhouts (1973) mendalilkan bahwa jalur yang
terpisah mungkin menembak untaian yang berlawanan dari double-helix DNA dan
dengan demikian membentuk DSB. Kita sekarang tahu bahwa hal ini tidak
mungkin, mengingat probabilitas yang sangat rendah dari dua jalur saling
berinteraksi dalam dimensi molekul DNA (diameter c. 2,5 nm) dengan dosis
hanya beberapa Gy. Interaksi antara regio yang lebih luas dari struktur DNA yang
kompleks, atau antara DNA dalam kromosom yang berbeda, merupakan
mekanisme yang masih lebih masuk akal (lihat Bab 2, Bagian 2.7)
4.11. Model cedera letal yang secara potensial letal.
Curtis (1986) mengusulkan model LPL sebagai model perbaikan kematian
sel
yang
tergabung (unified
repair
model).
Radiasipengion
dianggap
menghasilkan dua jenis lesi: lesi yang dapat diperbaiki (repairable) (berpotensi
letal) lesi dan yang tidak dapat diperbaiki (non-repairable) (letal). Lesi yang tidak
dapat diperbaiki menghasilkan efek letaltembakan tunggal dan karena itu
menghasilkan komponen linear kematian sel [= Exp (-D)]. Efek akhir dari lesi
yang dapat diperbaiki bergantung pada interaksi proses perbaikan dan dan proses
perbaikan yang salah (misrepair). Proses yang terakhir inilah (misrepair) yang
mengarah pada komponen kuadrat dalam kematian sel. Seperti ditunjukkan dalam
Gambar. 4.6, model memiliki dua parameter sensitivitas (L menentukan jumlah
lesi yang tidak dapat diperbaiki yang diproduksi per unit dosis, dan PL jumlah
lesi yang dapat diperbaiki). Terdapat pula juga dua konstanta laju(PL
menentukan tingkat perbaikan lesi yang dapat diperbaiki, dan 2PL laju di mana
sel-selmengalami interaksi dan dengan demikian di-misrepair).
Model ini menghasilkan kurva survival sel yang hampir identik dengan
persamaan LQ, turun ke tingkat survival sekitar 10 -2. Oleh karena itu dapat
diambil untuk memberikan suatu interpretasi mekanistik yang mungkin untuk
persamaan LQ. Model ini memprediksi bahwa, dengan berkurangnya tingkatan
dosis, kemungkinan interaksi lesi berpotensi letal akan turun, dan nilai-nilai
parameter didapatkan akan memungkinkan model untukmensimulasikan secara
akurat data survival sel pada sel manusia dan hewan yang diradiasi pada berbagai
tingkat dosis (lihat Bab 12, Bagian 12.3 dan 12.5).
4.12. Model saturasi/kejenuhan perbaikan
Model LPL Curtis adalah contoh dari model interaksi lesi yang juga
mencakup proses perbaikan. Gambar 4.7a menunjukkan bagaimana model ini
menghasilkan kurva survival sel yang melengkung ke bawah: kurva putus-putus
menunjukkan komponen kematian sel yang disebabkan oleh lesi single-track yang
tidak dapat diperbaiki. Kurva ini merupakan lesi letal tambahan yang dihasilkan
oleh interaksi biner lesi berpotensi letal yang menghasilkan kurva melengkung ke
bawah.
Model kelas lain adalah model saturasi perbaikan, yang mengusulkan bahwa
bentuk kurva survival bergantung hanya pada tingkat perbaikan yang sesuai dosis.
Gambar 4.7b, c, menunjukkan ide ini. Hanya satu jenis lesi dan kematian
tembakan tunggal yang didalilkan/dihipotesiskan, dan tidak adanya perbaikan lesi
ini, menghasilkan kurva survival putus-putus yang curam pada Gambar. 4.7b.
Kurva survival akhir (garis utuh) dihasilkan dari perbaikan beberapa lesi ini,
namun, jika enzim perbaikan menjadi jenuh (Gambar 4.7c ), tidak terdapat enzim
perbaikan yang cukup untuk mengikat semua lokasicedera secara bersamaan
sehingga kecepatan reaksi perbaikan tidak lagi meningkat dengan meningkatnya
cedera. Oleh karena itu pada dosis tinggi (lebih banyak lesi), secara proporsional
hanya terjadi sedikit perbaikan selama selang waktu yang ada sebelum kerusakan
menjadi permanen; hal ini akan mengarah padacedera residu yang lebih banyak
dan kematian sel yang lebih besar. Mekanisme fiksasi cedera yang tidak dapat
diperbaiki belum dapat dipahami tetapi mungkin terkait dengan masuknya sel
yang membawa kerusakan tersebut ke dalam proses sintesis DNA atau mitosis .
Perlu diperhatikan bahwa alternatif hipotesis saturasi, mengarah pada
konsekuensi
yang
sama,
yaitu
bahwa
kumpulan
enzim
perbaikan
banyakdigunakan selama proses perbaikan, sehingga pada dosis yang lebih tinggi
sistem perbaikan akan habis dan kurang mampu memperbaiki semua kerusakan
yang diinduksi.
Tabel 4.1 menggambarkan bagaimana perbedaan konseptual mendasar antara
model akumulasi lesi/interaksi seperti 'LPL Curtis dan model perbaikan
bergantung
dosis
dalam
mempengaruhi
interpretasi
beberapa
fenomena
Seperti halnya dengan model dua komponen, sebuah kelemahan dari model
LQC adalah penambahan parameter ketiga, tetapi karena model LQC merupakan
polinomial sederhana, model ini tetap masih dapat diaplikasikan secara lebih
matematis daripada model teori target. Model LQC sebenarnya hanyalah
merupakanpendekatan polinomial hukum ketiga untuk model LPLCurtis, yang
juga menunjukkan hubungan yang lebih linier antara ln-(S) dan dosis
dibandingkan dengan yang diperkirakan oleh model LQ, pada fraksi survival
kurang dari sekitar 10-2.
4.14. Hipersensitivitas dosis rendah
Model LQ dan interpretasi mekanistiknya ('LPL Curtis
dan kejenuhan
eksperimen
radiobiology.
Penundaan
pertumbuhan
tumor
meningkat dengan dosis radiasi, tetapi karena keterbatasan metodologinya, hal ini
sulit atau bahakan tidak mungkin secara akurat memperkirakan kematian sel.
Kemampuan Bertahan Hidup Sel Clonogenic Setalah Penyinaran
Radioterapi meningkat secara efektif pada pembunuhan sel tumir
clonogenic. Hubungan kuantitatif antara dosis radiasai, inaktivasi sel clonogenic
dan kontrol tumor lokal sebaiknya di tegakan secara klinis pada kondisi
eksperimental yang baik. Pada radioterapi fractionated yang telah dibuktikan,
bahwa logaritma dari kemampuan bertahan hidup sel tumor clonogenicI menurun
sejajar dengan total dosis radiasi. Jika dosis radiasi cukup ditingkatkan untuk
mensterilkan semua sel yang mungkin menyebabkan rekurensi, selanjutnya
kontrol tumor dapat dicapai. Hubungan ini di ilustrasikan pada gambar 7.3, yang
menunjukkan suatu teori kurva kemampuan bertahan hidup clonogenic untuk
penyinaran fractionated dari suatu tumor model. Tumor ini memiliki diameter
sekitar 3cm, terdiri dari 1010 sel tumor dengan suatu bagian clonogenic dari 10%
(mis. Tumor yang terdiri dari 109 sel tumor clonogenic). Misalkan suatu kepekaan
radiasi intermediet, fraksi lain dari 2 Gy di non-aktifkan 50% dari sel clonogenic.
Dengan kata lain, setelah suatu dosis 2 Gy 50% dari kemampuan bertahan hidup
sel clonogenic, setelah 4 Gy 25%, setelah 6 Gy 12,5%, dan seterusnya. Hasil ini
dalam suatu penurunan linear dari fraksi logaritma kemampuan bertahan hidup
sel clonogenic pada peningkatan dosis dan digambarkan oleh garis tidak putusputus pada diagram gambar 7.3. Untuk contoh ini, dosis yang lebih tinggi dari 60
Gy angka kemampuan bertahan hidup sel dari tumor berkurang menjadi satu dan
kontrol tumor lokal dapat ditingkatkan. Dengan jelas, hal ini adalah suatu
penyederahanaan karena kelalain, sebagai contoh, kemaungkinan perubahan
kepekaan penyinaran (mungkin berkat perubahan oksigenasi tumor) dan dari
repopulasi selama radioterapi fractionated. Akan tetapi, pada pembuktian ini
parameter respon seperti respon parsial atau seluruhnya, dimana sering digunakan
sebagai deskripsi klinis, bukan akhir yang pasti untuk mengevaluasi radioterapi
kuratif. Hal ini jelas dari respon parsial dari suatu kegagalan seluruhnya dari
pengobatan karena sebagian besar sel clonogenic ternyata masih hidup. Bahkan
jika kita dapat mendeteksi tumor dengan gambaran radiologi (pada respon
komplit) suatu angka yang besar dari sel tumor clonogenic mampu bertahan hidup
pada pengobatan dan bisa rekurensi. Olehnya itu, pada kedua penelitain ini pada
pasien dan hewan percobaan, hanya mengamati pengobatan untuk waktu yang
lama untuk mendeteksi tumor yang kembali berkembang dapatkah dengan tepat
menentukan apakah pemberian pengobatan efektif mensterilkan semua sel tumor
clonogenic.
Kontol Tumor Lokal
Jika bukan suatu tumor tunggal tetapi suatu grup tumor (atau pasien)
dipertimbangkan, kemungkinan kontrol tumor lokal (TCP) sebagai suatu fungsi
dari dosis radiasi dapat di jelaskan secara statistik dengan suatu distribusi Poisson
dari angka kemampuan bertahan hidup sel tumor clonogenic. Di jelaskan
penyebaran random dari induksi radiasi pembunuhan sel dalam suatu populasi sel
clonogenic. Sebagai suatu ilustrasi, satu gambaran kuat dosis radiasi yang
diberikan menyebabkan jumlah yang pasti dari lethal hits secara random
didistibusikan dalam suatu populasi sel. Beberapa sel akan menerima satu lethal
his dan setelah itu mati. Sel lain yang menerima dua atau lebih lethal hits akan
mati juga. Akan tetapi beberapa sel yang tidak di hit, maka oleh karena itu
kemampuan bertahan hidup dan setelahnya menyebabkan kegagalan lokal.
Berdasarkan statistik Poisson, suatu dosis radiasi cukup diakibatkan pada rata-rata
satu letal hit pada sel clonogenic lainnya pada suatu tumor (angka dari lethal
hits tiap sel, m=1) menghasilkan 37% sel clonogenic yang mampu bertahan
hidup. Fraksi kemampuan bertahan hidup (SF) dapat dijelaskan pada :
SF = exp( - m)
dan angka kemampuan bertahan hidup dari sel tumor (N) adalah :
N = N0 X SF
dimana N0 mewakili angka inisial dari clonogenic. TCP tergantung pada angka
kemampuan hidup sel clonogenic (N) dan dapat di kalkulasi :
TCP = exp ( - N) = exp ( - N0SF)
Hubungan kuantitatif antara dosis radiasi, fraksi kemampuan bertahan
hidup dari sel tumor clonogenic dan bentuk TCP basis biologi dari kontrol tumor
lokal sebagai suatu fungsi
tumor lokal suatu bentuk sigmoid dengan suatu nilai permulaan. Dibawah dosis
total dari sekitar 50Gy tidak ada tumor yang dikontrol, kemungkinan karena
tingginya angka sel clonogenic yang dapat bertahan selama pengobatan. Di atas
dosis awal, lokal TCP ditingkatkan secara bertahap dengan meningkatkan dosis.
Data dapat dicoba menggunakan suatu model statistik Poisson-based dan TCD50
dikalkulasi berdasarkan :
TCD50 = D0 X (InN0 In (IN2) )
dimana D0 menggambarkan sensitifitas radioterapi secara intrinsik dari sel
clonogenic dan N0 adalah angka dari clonogenic sebelum penyinaran. Nilai TCD50
bisa digunakan untuk membandingkan hasil yang diperoleh dari model tumor
yang berbeda.
Pengujian TCD50 telah digunakan secara luas untuk penelitian dan
modifikasi pengukuran dalam sensitifitas radiasi atau angka dari sel tumor
clonogenic dan
distandarisasi. Efek dari modifikasiing pengobatan pada TCP lokal dapat diukur
dengan kalkulasi dose-modify factor (DMF) :
tanpamodifikasi
DMF =
TCD 50
semua rekurensi (mis. Kebanyakan 4-6 bulan, tergantung pada batas tumornya).
Variasi kecil dalam angka kemampuan hidup sel clonogenic setelah penyinaran
bisa menjadi penyebab perbedaan yang dramatis pada TCP lokal. Olehnya itu
pengujian TCD50, secara particular dalam model xenograf, sangatlah sensitive
pada reaksi imun host. Apakah suatu model tumor memicu suatu respon imun
melalui host, haruslah di tes terlebih dahulu sebelum percobaan tumor lokal
dilakukan. Meskipun memiliki kekurangan, uji kontrol tumor lokal tetap sangatlah
relevan sebagai metode eksperimen untuk memutuskan kemampuan bertahan
hidup sel tumor clonogenic setelah penyinaran dalam lingkup pengobatan. Hal
yang sangat penting, uji TCD50 sebaiknya distandarisasi dan ujung penelitian sama
di akhir klinis yang digunakan dalam radioterapi kuratif.
Uji Eksisi
Metode eksperimen alternatif untuk menentukan kemampuan bertahan
hidup sel clonogenic setelah penyinaran meliputi ujiin vivo/in vitro, uji ujung
dilution dan uji koloni paru. Uji ini di perkenalkan pada bab sebelumnya, semua
yang membutuhkan operasi eksisi dari tumor setelah penyinaran in situ dan
persiapan dari suspense sel tunggal dari tumor yang dieksisi menggunakan enzim
tryptic untuk memisahkan jaringan. Pada uji in vivo/in vitro, angka berbeda dari
sel-sel yang disebarkan dalam botol kultur. Setelah masa inkubasi, biasanya 7-12
hari jumlah koloni di hitung. Koloni yang terdiri kurang dari 50 sel dan
dipertimbangkan diperoleh dari sel tumor tunggal colonogenic yang mampu
bertahan hidup. Pada uji bentuk koloni in vitro klasik, bagian yang mampu
bertahan di kalkulasi dari rasio koloni yang dihitung pada jumlah sel yang disebar.
Pada uji koloni paru, jumlah yang berbeda dari sel-sel dipenoleh dari tumor yang
disinari secara in situ yang di injeksi secara intravena (biasanya melalu suatu
ujung vena) dalam kelompok tikus percobaan. Biasanya berkisar 10 hari
kemudian, angka dari koloni sel tumor, pada paru-paru dihitung dan bagian yang
bertahan dikalkulasi dengan membandingkan koloni sel tumor yang berkembang
dari sel yang diperoleh melalui tumor yang tidak diradiasi. Sebagai akhir dari uji
diluation (uji TD50) angka sel-sel yang berbeda dari suatu tomor yang tidak
disinari yang disuntikan dalam hewan coba dan frekuensi tumor yang diberikan
(perkembangan tumor) di beri angka.
Uji eksisi kurang memiliki sumber dan kurang memberi hasil yang cepat
dibandingkan dengan uji kontrol tumor lokal. Pada uji in vivo/in vitro, efek
potensial dari sistem imun host juga di tidak terkontrol. Akan tetapi, keunggulan
dari uji eksisi adalah kemampuan hidup sel clonogen tidak ditentukan pada
keadaan asli pengobatan. Kedepannya, hasil bisa di rekayasa dengan cara metode
disagregasi (pemisahan) untuk sediaan sel tunggal (i.e. Masa penularan, kimiawi,
enzim dan stress mekanik). Pada uji koloni (uji in vivo/in vitro dan uji koloni
paru) informasi latarbelakang secara luas diperlukan sebelum eksperimen
dimulai : apakah sel dari koloni, berapa banyak sel pada dosis radiasi yang
diberikan menjadi menyepuh (plated) atau terinjeksi dan berapa lama masa
inkubasi sebelum perhitungan koloni. Nilai maksimum dari sel yang menjadi
menyepu (plated) dalam sediaan Petri atau yang terinjeksi secara intravena
terbatas, yang membuatnya sulit untuk mendeteksi fraksi survive secara akurat
dibawah 10-4. Sehingga, kecil tetapi resistensi sub populasi dari sel-sel clonogenic
mungkin secara sistematis diabaikan secara partikuler dengan uji koloni.
Kedepannya, efek dari pengobatan lama seperti penyinaran fraksionasi sulit untuk
meramalkan uji eksisi.
Regresi
Untuk menentukan regresi tumor, volume dari penyembuhan dan
kegagalan penyembuhan tumor pada point waktu yang diberikan diperbandingkan
dan rasio pada pengobatan vs kontrol tumor (raio T/C) dilaporkan. Besaran regresi
tumor tergantung saat efek radiasi ke seluruh populasi sel dalam tumor, termasuk
sel yang ganas dan sel yang tidak ganas, contohnya sel endothel, fibroblast, dan
sel inflamasi. Tambahannya, faktor lain seperti udem, resorbsi sel mati, dan
proliverasi sel yang mampu survive berkontribusi pada volume tumor setelah
radiasi. Faktor-faktor ini sangat berbeda-beda pada setiap tumor. Sedangkan
kematian sel tumor dosis radiasi dependen, resorbsi, udem, dan proliferasi tidak.
Dari dugaan peningkatan regresi dengan satu dosis radiasi dapat dibantah bahwa
untuk model tumor yang diberikan, besaran gambaran regresi dosis radiasi
menentukan kematian sel tumor. Ukuran volume tumor di bawah kondisi
eksperimen terbatas pada range 1.5X107-1.5X109 sel tumor (asumsi 109 sel/g
tumor). Maka meskipun untuk suatu tumor model, ukuran volume hanya menguji
respon radiasi suatu proporsi yang sangat terbatas dari seluruh sel-sel tumor dan
respon yang sedikit dan kemungkinan resistensi sel tumor tidak dapat dideteksi.
Kesimpulannya, regresi tumor sangat tinggi parameter tidak spesifiknya dan
nilainya sangat terbatas dalam menjelaskan dan mengukur radiasi pada tumor.
Menunda Perkembangan Kembali Tumor
Penundaan perkembangan kembali tumor merupakan uji yang digunakan
secara luas yang menghadirkan secara cepat data penelitian dan dapat
diaplikasikan pada labolatorium atau klinis. Titik poinnya adalah waktu yang
dicapai volume suatu tumor secara tepat. Olehnya itu, penentuan tepat dari
volume tumor (e.g. dengan calipers (jangka waktu) untuk pertumbuhan tumor
secara subkutaneus atau dengan metode pencitraan (imaging)) esensial. Pada
penelitian eksperimen, ada kelompok tumor yang disinari dan satu kelompok
tumor lainnya tidak disinari (control gruoup). Kemudian, volume tumor individu
lainnya dicatat sepanjang waktu dan kurva pertumbuhan diinput. Dari kurva
pertumbuhan ini, parameter berbeda dibaca, seperti saat pengambilannya untuk
suatu pertumbuhan tumor (tumor growth time, TGT) hingga lima kali volume
penyembuhan (TGTv5). Dari nilai TGT untuk tumor pada individu nilai rata-rata
kelompok pengobatan (TGTtreated) dan grup kontrol (TGTcontrol) di kalkulasi. Tumor
growth delay (TGD) kemudian dikalkulasikan dari :
TGD = TGTtrated -TGTcontrol
Specific growth delay (SGD) diambil dari taksiran pertumbuhan tumor
model dalam perhitungan dan memenuhi perbandingan antara tumor model yang
berbeda-beda atau pengobatan yang berbeda. SGD dikalkulasi dari :
SGD = (TGTtreted-TGTcontrol)/TGTcontrol
atau
SGD = TGT/VDTcontrol