Professional Documents
Culture Documents
Sejalan dengan kondisi yang demikian maka di Kota Surabaya, seperti halnya
kota-kota metropolitan yang lain, muncul kamajemukan masyarakat. Sebagian
dari sekmen masyarakat yang majemuk tersebut adalah penduduk yang tinggal
di daerah perkampungan kumuh baik yang legal maupun yang ilegal. Penduduk
yang bermukim di kampung yang ilegal lazim disebut penduduk liar atau
1
Ahli Peneliti Utama di Puslit Kependudukan-LIPI. Saya mengucapkan terima kasih kepada
rekan tim peneliti lain yang telah memberi masukan pada waktu penysusunan makalah ini.
1
penduduk spontan atau squatters. Hal tersebut telah menjadi fenomena sosial
yang universal, artinya telah terjadi di banyak negara. Keberadaan masyarakat
kumuh tersebut merupakan realita sosial yang tidak dapat dihilangkan,
sepanjang penduduk daerah penyangga Kota Surabaya masih hidup dalam
kondisi marginal atau telah terjadi proses ketimpangan dalam kehidupan sosial-
ekonomi. Pembangunan investasi yang bergerak pesat telah terjadi di Surabaya
sehingga telah memperlebar jurang ketimpangan dengan kondisi sosial-
ekonomi daerah perdesaan. Oleh karena itu ketimpangan tersebut telah
menimbulkan proses migrasi , antara lain penduduk non-permanen pada strata
sosial-ekonomi bawah.
Pada tataran regional, adanya proses kaitan (lingkage) yang kurang harmonis
antara Kota Surabaya dengan daerah belakang telah berlangsung puluhan
tahun. Kehidupan mereka di Surabaya telah ditunjukkan oleh rendahnya
kualitas pendidikan migran non-permanen dan umumnya mereka bekerja
sebagai buruh dan sebagian lain berusaha pada sektor informal. Sepanjang
pekerjaan di sektor informal maupun buruh murah masih ada demand di
masyarakat Surabaya dan dinilai secara ekonomi menguntungkan, maka
keberadaan mereka akan tetap ada. Pilihan mereka menjadi tukang becak,
menjadi pemulung, menjadi penjual pakaian bekas, penjaja makanan murah,
menjadi buruh babrik, menjadi pembantu rumahtangga, adalah pilihan jenis
pekerjaan yang rasional dan menjadi tujuan mengingat tingkat kemampuan
ekonomi dan tingkat pendidikan mereka yang umumnya sangat rendah.
2
masyarakat Kota Surabaya. Dalam hal ini kegiatan penduduk marginal di
permukiman kumuh dapat dilihat sebagai sub-sistem dari sistem perkotaan
Surabaya. Penduduk migran non-permanen yang bermukim di daerah kumuh
antara lain berada di Kelurahan Putat Gede, Kelurahan Tg.Sari, Kelurahan Suko
Manunggal, Kelurahan Pacar Keling, Kelurahan Kr.Pilang dan Kelurahan Waru
Gunung, cenderung didominasi oleh penduduk dari daerah perdesaan sekitar
Kota Surabaya seperti Bangkalan, Gresik, Lamongan dan Mojokerto, meskipun
mereka banyak pula yang datang dari daerah lain, bahkan dari luar provinsi
Jawa Timur.
3
memberatkan. Di samping itu, dengan tetap mempertahankan sebagai warga
musiman, berarti mereka tidak kehilangan statusnya sebagai warga di daerah
asalnya. Dengan memiliki KTP daerah asal, berarti mereka masih tetap
memiliki hak untuk melakukan berbagai urusan di daerah asalnya misalnya
memilih kepala desa, mengurus pemilikan aset, dan mengurus tempat
pemakaman. Oleh karena itu meskipun secara de fakto mereka tinggal di
Surabaya, namun masih tetap terikat dengan daerah asalnya, bahkan telah
terjadi arus remitan baik uang maupun barang, dan penyampaian ide-ide seputar
kehidupan di Surabaya. Dalam keadaan demikian maka hal ini telah
menimbulkan proses migrasi desa-kota secara “gandeng-ceneng” (chain
migration). Hasil penelitian PPK-LIPI (2004) telah menunjukkan bahwa tidak
semua pendatang, (meskipun telah lama tinggal di Surabaya, bahkan telah
punya rumah), mempunyai KIPEM. Oleh karena itu dalam kenyataan jumlah
pendatang musiman di Surabaya adalah di atas data statistik berdasarkan
kepemilikan KIPEM.
2
Permikiman squatter yang ada di bantaran rela kereta api antara lain di Rw 02, Kel.
Sukomanunggal, dan yang menempati bantaran sungai antara lain di Rw I, Kel.Warugunung.
4
Munculnya permukiman liar dan permukiman yang tidak layak huni sebenarnya
merupakan kelemahan managemen dalam mengelola tata ruang kota. Upaya
telah dilakukan untuk mengurangi persoalan permukiman kumuh yaitu dengan
perbaikan kondisi lingkungan dan membuat rumah susun yang telah melibatkan
partisipasi masyarakat . Upaya ini telah dinilai berhasil, meskipun belum
mampu menyelesaikan persoalan menyeluruh tentang permukiman kumuh yang
cenderung bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk pendatang yang
ingin memperoleh perumahan murah. Banyak kendala yang dihadapi dalam
penyediaan rumah layak huni dalam hal ini adalah rumah susun bagi keluarga
kurang mampu antara lain kekurangan lahan kosong, rendahnya minat swasta
untuk berinvestasi, dan harga tanah di Surabaya yang sangat mahal. Meskipun
untuk membangun rumah susun adalah sulit, namun bagi kota metropolitan
Surabaya nampaknya merupakan keharusan untuk memfasilitasinya.
5
Isu dan Rekomendasi Kebijakan
Secara umum, pada saat ini Kota Surabaya tengah menghadapi berbagai
masalah dalam tatanan masyarakat sebagai akibat ketidaksanggupan daya
dukung sumberdaya kota menghadapi pertumbuhan penduduk yang pesat,
terutama masuknya migran non-permanen dalam skala besar dan telah
berlangsung lama. Hal ini telah mengakibatkan persoalan yang terkait dengan
permukiman kumuh, padahal Kota Surabaya telah berkomitmen untuk
mendukung program “City Without Slum”. Mengingat persoalan di kota
Surabaya terkait erat dengan daerah belakang maka hubungan harmonis dalam
tataran regional harus ditingkatkan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengintegrasikan kegiatan di mana pertumbuhan dan pendapatan , kesempatan
kerja di perdesaan maupun di kota-kota lain yang berdekatan adalah saling
membantu dan saling bermanfaat. Dengan keterpurukan kondisi ekonomi
Indonesia selama ini maka persoalan yang diakibatkan oleh isu tersebut
diperkirakan akan berlanjut dalam tempo yang panjang. Meskipun demikian,
upaya untuk mengatasi maupun mereduksi persoalan harus tetap diupayakan.
Upaya mengatasi persoalan Kota Surabaya sebagai akibat masuknya migran
non-permanen yang datang dari berbagai daerah , tentu saja harus melibatkan
kebijakan makro baik pada tataran nasional maupun regional, selain kebijakan
yang sifatnya mikro atau spesifik.
6
Mengingat bahwa orang akan selalu ingin meningkatkan kehidupannya
dengan mencari akses yang lebih baik, maka ada kecenderungan bahwa
orang akan melakukan migrasi dari daerah yang mempunyai ketegori
negatif menuju daerah yang masuk kategori positif. Oleh karena itu
motif utama migrasi ke daerah perkotaan akan dilatarbelakangi dengan
alasan ekonomi di samping ada alasan non-ekonomi. Variasi demand
yang diciptakan oleh pembangunan ekonomi pada akhirnya juga akan
menciptakan sekmentasi dalam pasar kerja. Pembangunan yang urban
bias telah menempatkan Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar ke
dua di Indonesia, sehingga telah menjadi pusat peradaban. Pembangunan
investasi yang pesat di Kota Surabaya selain telah meningkatkan
kemampuan sosial-ekonomi masyarakat secara keseluruhan, namun hal
ini telah menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan dengan daerah
lain di seputar Surabaya . Sebagai akibatan atas hal tersebut antara lain
telah menimbulkan mobilitas penduduk non-permanen dari daerah
perdesaan ke Surabaya dan telah menimbulkan dampak negatif berupa
permukiman kumuh.
7
mempercepat proses defusi urbanisasi ke daerah hinterland, yang pada
gilirannya dapat bermuara pada peningkatan daya serap tenaga kerja
perdesaan.
8
2. MEMFASILITASI MOBILITAS ULANG-ALIK
Dalam jangka panjang dan dalam skala yang lebih makro, bahkan
pembangunan di P. Jawa perlu dirancang dalam satu kosep pengelolaan
“Java City Island”. Hasil sensus penduduk menunjukkan adanya
kecenderungan penduduk Jawa yang tinggal di kota terus mengalami
peningkatan. Dalam tahun 1961 dan tahun 2000, jumlah penduduk
perkotaan di Jawa masing-masing mencapai 15,6 % dan 48,7 %. Dalam
tempo 39 tahun penduduk Jawa yang tinggal di kota telah naik 33,1 %.
Keharmonisan pembangunan perkotaan dapat terwujud manakala ada
pengelolaan pembangunan Jawa secara terintegrasi. Dengan
memperhatikan adanya kecenderungan bahwa angka urbanisasi di Jawa
yang terus mengalami kenaikan secara signifikan maka keberadaan Kota
Metropolitan Surabaya telah menempati bagian dari daerah perkotaan di
Jawa. Dalam konteks ini untuk memecahkan persoalan perkotaan di
9
Surabaya seharusnya juga dilihat secara makro dan komprehensif. Hal
ini dapat terwujud manakala ada konsep pengelolaan pembangunan
Jawa secara terintegrasi, meskipun pada saat ini telah ada konsep
otonomi daerah. Untuk itu dalam makalah ini perlu dilontarkan
pemikiran untuk melakukan studi eksplorasi yang tujuannya adalah
mencari model bagaimana mengelola Jawa sebagai kesatuan
managemen, sehingga dalam pengelolaannya lebih efisien dan dapat
melihat keterkaitan isu perkotaan secara makro Jawa.
4. ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
10
yang nyata dengan pemilikan KIPEM maka secara otomatis mereka akan
mengurusnya. Isu tersebut perlu diangkat guna menghilangkan pemikiran
adanya dikhotomi antara warga Surabaya dengan migran non-permanen atau
sering disebut warga pendatang musiman, yang telah mengarah pada
perlakuan diskriminatif. Fakta sosial menunjukkan bahwa penduduk
musiman adalah warga negara Indonesia yang hidupnya kurang beruntung
yang tentunya mereka juga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
perlindungan dari pemerintah dan hak untuk dapat berkembang, antara lain
di Kota Surabaya. Manakala program KIPEM memang bermanfaat bagi
pendatang musiman, tentunya perlu peningkatan sosialisai peraturan
tersebut baik di kantong-kantong permukiman di Kota Surabaya maupun
daerah potensial tempat asal mereka.
11
perlu diambil langkah-langkah antara lain melakukan sosialisasi isu tersebut,
kemudian perlu menindaklanjuti dengan menggalang partisipasi mereka
guna mencari jalan keluar untuk mengatasinya, misalnya dengan relokasi ke
rumah susun secara partisipatif.
12
ditingkatkan, antara lain penyediaan infrastruktur lingkungan ,
pengembangan lembaga permodalan usaha skala kecil dan penyelenggaraan
pelatihan ketrampilan untuk bekal berusaha. Dalam hal ini Pemkot Surabaya
sebaiknya dapat memberi kontribusi tambahan anggaran selain adanya
anggaran dari APBN.
13