You are on page 1of 13

Makalah Kebijakan

MOBILITAS PENDUDUK N0N-PERMANEN DI PERMUKIMAN KUMUH


KOTA SURABAYA: Kebijakan Pengelolaan

Oleh : Suko Bandiyono 1

Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, merupakan


pusat pertumbuhan orde pertama yang telah menjadi “magnet” terkuat bagi
penduduk di daerah penyangga (hinterland), terutama daerah perdesaan sekitar
kota tersebut. Keberadaan Kota Surabaya tersebut merupakan bagian dari
daerah perkotaan (urban) di Indonesia, khususnya di P.Jawa. Secara makro,
pertumbuhan penduduk perkotaan di P.Jawa terus berkembang sehingga Jawa
telah dijuluki sebagai urban island. Mereka datang ke Kota Surabaya karena di
tempat tersebut banyak pilihan untuk memperoleh berbagai kesempatan dalam
upaya memperbaiki kehidupannya. Mereka datang ke Kota Surabaya dengan
berbagai motif, meskipun motif ekonomi adalah unsur yang paling dominan.
Mereka mempunyai persepsi dan harapan untuk memperoleh pendapatan yang
lebih tinggi daripada di daerah asal, terutama perdesaan. Meskipun demikian,
pesatnya pertumbuhan penduduk Kota Surabaya selain disebabkan oleh proses
migrasi, juga karena pertambahan alami. Kota Surabaya itu sendiri telah
berkembang dalam proses interaksi dari komponen keadaan penduduk,
teknologi, lingkungan dan organisasi perkotaan sehingga telah melahirkan “
ecological urban complex”.

Sejalan dengan kondisi yang demikian maka di Kota Surabaya, seperti halnya
kota-kota metropolitan yang lain, muncul kamajemukan masyarakat. Sebagian
dari sekmen masyarakat yang majemuk tersebut adalah penduduk yang tinggal
di daerah perkampungan kumuh baik yang legal maupun yang ilegal. Penduduk
yang bermukim di kampung yang ilegal lazim disebut penduduk liar atau
1
Ahli Peneliti Utama di Puslit Kependudukan-LIPI. Saya mengucapkan terima kasih kepada
rekan tim peneliti lain yang telah memberi masukan pada waktu penysusunan makalah ini.

1
penduduk spontan atau squatters. Hal tersebut telah menjadi fenomena sosial
yang universal, artinya telah terjadi di banyak negara. Keberadaan masyarakat
kumuh tersebut merupakan realita sosial yang tidak dapat dihilangkan,
sepanjang penduduk daerah penyangga Kota Surabaya masih hidup dalam
kondisi marginal atau telah terjadi proses ketimpangan dalam kehidupan sosial-
ekonomi. Pembangunan investasi yang bergerak pesat telah terjadi di Surabaya
sehingga telah memperlebar jurang ketimpangan dengan kondisi sosial-
ekonomi daerah perdesaan. Oleh karena itu ketimpangan tersebut telah
menimbulkan proses migrasi , antara lain penduduk non-permanen pada strata
sosial-ekonomi bawah.

Pada tataran regional, adanya proses kaitan (lingkage) yang kurang harmonis
antara Kota Surabaya dengan daerah belakang telah berlangsung puluhan
tahun. Kehidupan mereka di Surabaya telah ditunjukkan oleh rendahnya
kualitas pendidikan migran non-permanen dan umumnya mereka bekerja
sebagai buruh dan sebagian lain berusaha pada sektor informal. Sepanjang
pekerjaan di sektor informal maupun buruh murah masih ada demand di
masyarakat Surabaya dan dinilai secara ekonomi menguntungkan, maka
keberadaan mereka akan tetap ada. Pilihan mereka menjadi tukang becak,
menjadi pemulung, menjadi penjual pakaian bekas, penjaja makanan murah,
menjadi buruh babrik, menjadi pembantu rumahtangga, adalah pilihan jenis
pekerjaan yang rasional dan menjadi tujuan mengingat tingkat kemampuan
ekonomi dan tingkat pendidikan mereka yang umumnya sangat rendah.

Oleh karena itu keberadaan penduduk marginal di lingkungan permukiman


kumuh Kota Surabaya merupakan suatu keniscayaan, dan tidak perlu
dipertentangkan dengan upaya pemerintah daerah Kota Surabaya yang ingin
meningkatkan keindahan dan kenyamanan lingkungan kota. Pemerintah Kota
Surabaya tidak dapat melarang seseorang yang ingin bermigrasi, karena hak
asasi manusia telah melindunginya, walaupun mereka seharusnya mematuhi
perundang-undangan yang berlaku dan menghormati nilai-nilai yang hidup pada

2
masyarakat Kota Surabaya. Dalam hal ini kegiatan penduduk marginal di
permukiman kumuh dapat dilihat sebagai sub-sistem dari sistem perkotaan
Surabaya. Penduduk migran non-permanen yang bermukim di daerah kumuh
antara lain berada di Kelurahan Putat Gede, Kelurahan Tg.Sari, Kelurahan Suko
Manunggal, Kelurahan Pacar Keling, Kelurahan Kr.Pilang dan Kelurahan Waru
Gunung, cenderung didominasi oleh penduduk dari daerah perdesaan sekitar
Kota Surabaya seperti Bangkalan, Gresik, Lamongan dan Mojokerto, meskipun
mereka banyak pula yang datang dari daerah lain, bahkan dari luar provinsi
Jawa Timur.

Migran non-permanen yang banyak tinggal di daerah permukiman ilegal


tersebut sering disebut sebagai penduduk spontan atau disebut secara popular
sebagai migran musiman , ternyata masih terikat dengan kehidupan daerah
asalnya. Oleh karena itu sebagian besar dari mereka belum memiliki Kartu
Tanda Penduduk (KTP) Kota Surabaya. Atas dasar pemilikan KTP Pemkot
Surabaya telah membuat kebijakan dengan memberi prioritas dalam
memperoleh atau memanfaatkan bantuan, fasilitas publik dan subsidi.
Meskipun ada kebijakan yang diskriminatif namun dalam kenyataan sebagian
warga musiman dapat ikut menikmatinya. Dalam hal ini terkesan bahwa
pemerintah kota tidak ketat antara status kependudukan dengan hak-hak
warganya. Aturan kependudukan yang tidak diikuti oleh ketegasan dalam
implementasinya, tentunya telah membuat kondisi yang kondusif terjadinya
migrasi masuk ke Surabaya, yang pada gilirannya menimbulkan berbagai
masalah perkotaan, antara lain ketidakcukupan penyediaan fasilitas sosial,
munculnya konflik tanah, penurunan daya dukung lingkungan, dan
meningkatnya pengangguran.

Penduduk musiman yang umumnya hidup dalam kondisi marginal, diharuskan


memiliki Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM), namun untuk mengurus
KIPEM, apalagi menjadi warga Surabaya tidaklah sederhana. Mereka harus
mengorbankan sejumlah dana dan waktu pengurusan yang dinilai cukup

3
memberatkan. Di samping itu, dengan tetap mempertahankan sebagai warga
musiman, berarti mereka tidak kehilangan statusnya sebagai warga di daerah
asalnya. Dengan memiliki KTP daerah asal, berarti mereka masih tetap
memiliki hak untuk melakukan berbagai urusan di daerah asalnya misalnya
memilih kepala desa, mengurus pemilikan aset, dan mengurus tempat
pemakaman. Oleh karena itu meskipun secara de fakto mereka tinggal di
Surabaya, namun masih tetap terikat dengan daerah asalnya, bahkan telah
terjadi arus remitan baik uang maupun barang, dan penyampaian ide-ide seputar
kehidupan di Surabaya. Dalam keadaan demikian maka hal ini telah
menimbulkan proses migrasi desa-kota secara “gandeng-ceneng” (chain
migration). Hasil penelitian PPK-LIPI (2004) telah menunjukkan bahwa tidak
semua pendatang, (meskipun telah lama tinggal di Surabaya, bahkan telah
punya rumah), mempunyai KIPEM. Oleh karena itu dalam kenyataan jumlah
pendatang musiman di Surabaya adalah di atas data statistik berdasarkan
kepemilikan KIPEM.

Keberadaan migran non-permanen di permukiman kumuh yang menempati


lahan milik pemerintah atau milik publik, dapat dikategorikan sebagai hunian
ilegal atau lazim disebut hunian liar ( squatter). Hal ini jelas telah menimbulkan
konflik antara penghuni dengan instansi yang bertanggung jawab atas lahan
yang ditempatinya, seperti DAUP VIII PT.TKI dan Dinas PU 2. Meskipun
mereka tinggal pada permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga
Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat
menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap
membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga telah berpartisipasi
aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang demikian, jelas akan
mempersulit bagi Pemkot Surabaya maupun pemilik lahan untuk membebaskan
permukiman demikian.

2
Permikiman squatter yang ada di bantaran rela kereta api antara lain di Rw 02, Kel.
Sukomanunggal, dan yang menempati bantaran sungai antara lain di Rw I, Kel.Warugunung.

4
Munculnya permukiman liar dan permukiman yang tidak layak huni sebenarnya
merupakan kelemahan managemen dalam mengelola tata ruang kota. Upaya
telah dilakukan untuk mengurangi persoalan permukiman kumuh yaitu dengan
perbaikan kondisi lingkungan dan membuat rumah susun yang telah melibatkan
partisipasi masyarakat . Upaya ini telah dinilai berhasil, meskipun belum
mampu menyelesaikan persoalan menyeluruh tentang permukiman kumuh yang
cenderung bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk pendatang yang
ingin memperoleh perumahan murah. Banyak kendala yang dihadapi dalam
penyediaan rumah layak huni dalam hal ini adalah rumah susun bagi keluarga
kurang mampu antara lain kekurangan lahan kosong, rendahnya minat swasta
untuk berinvestasi, dan harga tanah di Surabaya yang sangat mahal. Meskipun
untuk membangun rumah susun adalah sulit, namun bagi kota metropolitan
Surabaya nampaknya merupakan keharusan untuk memfasilitasinya.

Penduduk pendatang yang kurang selektif, meskipun telah memberi kontribusi


negatif terhadap kondisi lingkungan kota karena telah menciptakan permukiman
kumuh dengan segala implikasinya, namun sebenarnya mereka juga memberi
kontribusi positif bagi pembangunan kota. Kota Surabaya telah memperoleh
alokasi sumberdaya manusia dari daerah perdesaan. Sumberdaya manusia asal
perdesaan kendati kualitasnya adalah rendah, namun mereka telah menjadi
bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa
tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, terutama
sangat diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah
ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar,
bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman kumuh
yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat membantu penduduk
kota yang menginginkannya, misalnya buruh pabrik atau pegawai daerah
golongan rendah yang memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan yang
relatif murah.

5
Isu dan Rekomendasi Kebijakan

Secara umum, pada saat ini Kota Surabaya tengah menghadapi berbagai
masalah dalam tatanan masyarakat sebagai akibat ketidaksanggupan daya
dukung sumberdaya kota menghadapi pertumbuhan penduduk yang pesat,
terutama masuknya migran non-permanen dalam skala besar dan telah
berlangsung lama. Hal ini telah mengakibatkan persoalan yang terkait dengan
permukiman kumuh, padahal Kota Surabaya telah berkomitmen untuk
mendukung program “City Without Slum”. Mengingat persoalan di kota
Surabaya terkait erat dengan daerah belakang maka hubungan harmonis dalam
tataran regional harus ditingkatkan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengintegrasikan kegiatan di mana pertumbuhan dan pendapatan , kesempatan
kerja di perdesaan maupun di kota-kota lain yang berdekatan adalah saling
membantu dan saling bermanfaat. Dengan keterpurukan kondisi ekonomi
Indonesia selama ini maka persoalan yang diakibatkan oleh isu tersebut
diperkirakan akan berlanjut dalam tempo yang panjang. Meskipun demikian,
upaya untuk mengatasi maupun mereduksi persoalan harus tetap diupayakan.
Upaya mengatasi persoalan Kota Surabaya sebagai akibat masuknya migran
non-permanen yang datang dari berbagai daerah , tentu saja harus melibatkan
kebijakan makro baik pada tataran nasional maupun regional, selain kebijakan
yang sifatnya mikro atau spesifik.

Rekomendasi Untuk Kebijakan Makro

1. MENUJU PEMBANGUNAN DAERAH ASAL MIGRAN

Distribusi penduduk mempunyai hubungan erat dengan proses


pembangunan yang telah berlangsung selama ini. Dengan kata lain
bahwa migrasi penduduk dapat dilihat sebagai akibat pembangunan.
Daerah yang maju dalam pembangunan akan mempunyai pilihan-pilihan
yang lebih baik daripada daerah yang pembangunannya masih terbatas.

6
Mengingat bahwa orang akan selalu ingin meningkatkan kehidupannya
dengan mencari akses yang lebih baik, maka ada kecenderungan bahwa
orang akan melakukan migrasi dari daerah yang mempunyai ketegori
negatif menuju daerah yang masuk kategori positif. Oleh karena itu
motif utama migrasi ke daerah perkotaan akan dilatarbelakangi dengan
alasan ekonomi di samping ada alasan non-ekonomi. Variasi demand
yang diciptakan oleh pembangunan ekonomi pada akhirnya juga akan
menciptakan sekmentasi dalam pasar kerja. Pembangunan yang urban
bias telah menempatkan Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar ke
dua di Indonesia, sehingga telah menjadi pusat peradaban. Pembangunan
investasi yang pesat di Kota Surabaya selain telah meningkatkan
kemampuan sosial-ekonomi masyarakat secara keseluruhan, namun hal
ini telah menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan dengan daerah
lain di seputar Surabaya . Sebagai akibatan atas hal tersebut antara lain
telah menimbulkan mobilitas penduduk non-permanen dari daerah
perdesaan ke Surabaya dan telah menimbulkan dampak negatif berupa
permukiman kumuh.

Mengingat bahwa Kota Surabaya tidak mungkin mampu menghentikan


laju arus mobilitas tersebut, maka perlu diambil kebijakan untuk
mengarahkan arus migrasi tersebut dengan meningkatkan peran zona
atau pusat pertumbuhan orde kedua dan zona orde ketiga, terutama di
Jawa Timur. Dengan meningkatnya peran pusat pertumbuhan tersebut
maka arus mobilitas non-permanen yang kurang selektif dapat
dihambat. Migran non-permanen yang umumnya datang dari daerah
perdesaan akan terserap di kota-kota lain seperti Kediri, Malang,
Madiun, Jember, Lumajang, Sragen, Dampit dan Bojonegoro. Untuk
dapat meningkatkan peran kota-kota di luar Surabaya, tentunya perlu
langkah kongkrit berupa kemudahan bagi investor ( antara lain
keringanan pajak dan kredit) agar menanamkan modalnya untuk usaha
yang sifatnya padat karya. Dengan kebijakan demikian akan

7
mempercepat proses defusi urbanisasi ke daerah hinterland, yang pada
gilirannya dapat bermuara pada peningkatan daya serap tenaga kerja
perdesaan.

Daerah perdesaan sebaiknya meningkatkan perbaikan prasarana umum


dalam bentuk jalan, pusat pelayanan masyarakat, penyediaan air bersih,
penyebaran sekolah dan pusat kesehatan. Dengan perbaikan pilihan-
pilhan yang dapat diperoleh di perdesaan maka akan membuat orang
lebih berkeinginan untuk tetap tinggal. Selain itu investasi di Kota
Surabaya harus lebih selektif yaitu hanya untuk industri padat modal
(misalnya elektronik, perakitan mobil dan jasa perbankan) yang
memerlukan tenaga kerja terdidik dan terampil. Adapun industri yang
sifatnya adalah padat karya (misalnya sandal, rokok, sepatu, dan tekstil)
yang selama ini masih banyak didapati di Kota Surabaya sebaiknya
untuk direncanakan agar dapat direlokasi keluar daerah. Kenyataan
menunjukkan bahwa industri padat karya telah menciptakan buruh
murah, umumnya tenaga kerja musiman, yang akhirnya tetap akan
melestarikan permukiman kumuh. Hal ini tentunya merupakan kebijakan
yang menjadi wewenang Pemda Tk.I dengan berkoordinasi dengan
Pemda Tk II baik Kabupaten maupun Kota. Sejalan dengan upaya
tersebut pemerintah kota (Pemko) Surabaya sebaiknya juga melakukan
peningkatan program kerjasama dengan kabupaten-kabupaten sebagai
daerah asal utama migran non-permanen, antara lain Gresik, Sidoardjo,
Lamongan, Nganjuk, Jombang dan Bangkalan. Atas dasar semangat
otonomi daerah, sifat kerjasama yang diciptakan adalah saling
menguntungkan antara Pemko Surabaya dengan Kabupaten tersebut di
atas.

8
2. MEMFASILITASI MOBILITAS ULANG-ALIK

Penduduk yang bekerja di Surabaya asal kabupaten-kabupaten


seputarnya (hinterland) sebaiknya tidak tinggal di kota Surabaya tetapi
cukup dengan melakukan mobilitas ulang-alik, yaitu tetap tinggal di
desa asalnya. Hal ini dapat terjadi apabila sarana dan prasarana
transportasi massal telah memadai. Upaya ke arah itu telah dilaksanakan
baik trnasportasi dengan kereta api, bus maupun ferry. Oleh karena itu
pelaksanaan program yang sudah ada tersebut direkomendasikan untuk
terus ditingkatkan kapasitas, keamanan dan kenyamanannya, antara lain
dengan memperhatikan aspek teknologi dan kepentingan masyarakat.
Selain itu ongkos tranportasi yang terjangkau, orang akan lebih senang
menggunakan alat transportasi publik, dan akan merangsang tinggal di
luar Surabaya karena harga tanah, harga rumah maupun keadaan
lingkungan yang lebih kondusif daripada tinggal di Kota Surabaya.

3. PEMIKIRAN MANAGEMEN KOTA JANGKA PANJANG

Dalam jangka panjang dan dalam skala yang lebih makro, bahkan
pembangunan di P. Jawa perlu dirancang dalam satu kosep pengelolaan
“Java City Island”. Hasil sensus penduduk menunjukkan adanya
kecenderungan penduduk Jawa yang tinggal di kota terus mengalami
peningkatan. Dalam tahun 1961 dan tahun 2000, jumlah penduduk
perkotaan di Jawa masing-masing mencapai 15,6 % dan 48,7 %. Dalam
tempo 39 tahun penduduk Jawa yang tinggal di kota telah naik 33,1 %.
Keharmonisan pembangunan perkotaan dapat terwujud manakala ada
pengelolaan pembangunan Jawa secara terintegrasi. Dengan
memperhatikan adanya kecenderungan bahwa angka urbanisasi di Jawa
yang terus mengalami kenaikan secara signifikan maka keberadaan Kota
Metropolitan Surabaya telah menempati bagian dari daerah perkotaan di
Jawa. Dalam konteks ini untuk memecahkan persoalan perkotaan di

9
Surabaya seharusnya juga dilihat secara makro dan komprehensif. Hal
ini dapat terwujud manakala ada konsep pengelolaan pembangunan
Jawa secara terintegrasi, meskipun pada saat ini telah ada konsep
otonomi daerah. Untuk itu dalam makalah ini perlu dilontarkan
pemikiran untuk melakukan studi eksplorasi yang tujuannya adalah
mencari model bagaimana mengelola Jawa sebagai kesatuan
managemen, sehingga dalam pengelolaannya lebih efisien dan dapat
melihat keterkaitan isu perkotaan secara makro Jawa.

Rekomendasi Untuk Kebijakan Mikro

4. ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Kesempurnaan sistem administrasi kependudukan memegang peranan


penting dalam mendukung program kebijakan pengelolaan penduduk.
Dengan penyempurnaan sistem administrasi kependudukan maka data dasar
kependudukan, antara lain tentang mobilitas penduduk akan dapat diketahui
secara akurat. Salah satu program administrasi kependudukan adalah
pendataan penduduk musiman yang disebut program KIPEM. Mengingat
bahwa program KIPEM belum efektif untuk menginventarisir penduduk
musiman dan manfaat yang tidak jelas atas program tersebut maka perlu
dikritisi tentang perannya.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tidak semua warga pendatang yang


sifatnya musiman mempunyai kartu KIPEM. Warga pendatang bahkan
masih banyak yang mempertahankan kartu identitas daerah asalnya
walaupun telah tinggal lama di Kota Surabaya, dengan mengutarakan
berbagai alasan. Seandainya warga pendatang musiman merasakan manfaat

10
yang nyata dengan pemilikan KIPEM maka secara otomatis mereka akan
mengurusnya. Isu tersebut perlu diangkat guna menghilangkan pemikiran
adanya dikhotomi antara warga Surabaya dengan migran non-permanen atau
sering disebut warga pendatang musiman, yang telah mengarah pada
perlakuan diskriminatif. Fakta sosial menunjukkan bahwa penduduk
musiman adalah warga negara Indonesia yang hidupnya kurang beruntung
yang tentunya mereka juga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
perlindungan dari pemerintah dan hak untuk dapat berkembang, antara lain
di Kota Surabaya. Manakala program KIPEM memang bermanfaat bagi
pendatang musiman, tentunya perlu peningkatan sosialisai peraturan
tersebut baik di kantong-kantong permukiman di Kota Surabaya maupun
daerah potensial tempat asal mereka.

5. MENGHILANGKAN HUNIAN SPONTAN


Kesalahan telah terjadi dimana pada saat pertama kali muncul hunian
spontan atau hunian ilegal di suatu tempat, namun terus dibiarkan
keberadaannya bahkan selanjutnya mendapat fasilitas publik. Seandainya
sedini mungkin kontrol terhadap lingkungan permukian dijalankan dengan
penuh kedisiplinan, maka hunian ilegal dapat dicegah perkembangannya.
Sebagian dari penduduk musiman tersebut telah menempati lahan bukan
miliknya sehingga memperoleh predikat sebagai penghuni spontan, atau
ilegal atau liar. Dilihat dari kaidah hukum positif hal ini jelas melanggar.
Status sebagai hunian spontan atau liar tersebut tentunya telah menimbulkan
konflik kepentingan dan telah merugikan pemilik lahan maupun Pemerintah
Kota Surabaya. Dalam konteks untuk menghilangkan hunian tersebut perlu
diambil langkah kebijakan : (a) Melakukan peningkatan inventarisasi status
aset lahan baik milik publik, perusahaan maupun perorangan; (b)
Melakukan kontrol oleh instansi tingkat paling bawah secara tegas, ketat
agar perluasan hunian liar dapat dihentikan; (c) Untuk menegakkan
supremasi hukum sebaiknya permukiman liar harus dihilangkan namun
perlu dicarikan jalan keluar yang tidak menimbulkan konflik. Untuk itu

11
perlu diambil langkah-langkah antara lain melakukan sosialisasi isu tersebut,
kemudian perlu menindaklanjuti dengan menggalang partisipasi mereka
guna mencari jalan keluar untuk mengatasinya, misalnya dengan relokasi ke
rumah susun secara partisipatif.

6. PENINGKATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH

Sesuai dengan RUTRK, strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi


permukiman kumuh yang legal adalah dengan program rumah susun,
perbaikan kampung, dan konsolidasi tanah. Sesuai dengan hakekat
pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, maka
program rumah susun bagi penduduk miskin kota, termasuk migran non-
permanen, harus tetap dikembangkan kendati banyak kendala yang
dihadapi. Untuk merangsang tumbuhnya rumah susun, investor sebaiknya
diberi berbagai kemudahan misalnya keringanan bunga bank, keringanan
pajak, dan subsidi pengadaan lahan. Selain itu program pembangunan yang
selama ini telah ditetapkan yaitu dengan pola 1: 3: 6 harus tetap dilakukan.
Mereka yang akan menghuni golongan rumah pola 6 tersebut pada dasarnya
adalah untuk tataran masyarakat bawah namun telah disubsidi oleh mereka
yang mampu sehingga dapat menekan biaya.

Upaya yang selama ini pernah dilakukan tentang Kampung Improvement


Programme (KIP) oleh UNEP-UNDP Tahun 1978-1980 di daerah Babakan,
nampaknya perlu menjadi agenda program Pemkot Surabaya yang
berkelanjutan. Pendekatan yang lebih luas daripada pembangunan fisik,
antara lain meningkatkan peran masyarakat melalui kelembagaan yang ada ,
antara lain RW . Sejalan dengan program tersebut, untuk mengatasi
penduduk miskin kota, sebagai target group, tentunya upaya untuk
meningkatkan kualitas lingkungan hidup hunian kumuh harus tetap

12
ditingkatkan, antara lain penyediaan infrastruktur lingkungan ,
pengembangan lembaga permodalan usaha skala kecil dan penyelenggaraan
pelatihan ketrampilan untuk bekal berusaha. Dalam hal ini Pemkot Surabaya
sebaiknya dapat memberi kontribusi tambahan anggaran selain adanya
anggaran dari APBN.

13

You might also like