You are on page 1of 80

Skenario C Blok 24 Tahun 2014

Mrs. Minah, 63 years old female, complains of two episodes of urinary


incontinence. On both occasions she was unable to reach a bathroom in time to
prevent loss of urine. The first episode occured when she was in her car and
the second while she was in a shopping mall. She is reluctant to go out because
of this problem urge incontinence. She has no menstrual periode since she was
50. within the last month, her husband died and ever since she stayed with a
housemaid.
Physical examination found the body weight is 75 kg, height is 156 cm, the
blood pressure is 150/80 mmHg, there is apical-radial pulse deficit, body
temperature is 36,50C, there is no exertional dyspnea, fatigue, and headache.
Laboratory finding is within normal limit.
Lumbal densitometry is -3,0 and femoral densitometry is -2,7.
Geriatric Depression Scale (GDS) 6. MMSE score is 26.
Mrs. Minah so far was in treatment of captopril 12,5 mg, two times daily
Klarifikasi istilah:
1. Inkontinensia urin

tidak

mampu

mengendalikan

pengeluaran urin.
2. apical-radial pulse deficit

: perbedaan antara denyut nadi apikal

dan denyut nadi radialis


3. exertional dyspnea

sesak

nafas

berlebihan

setelah

berbagai

variasi

beraktivitas
4. densitometry

penentuan

kepadatan melalui perbandingan dengan bahan lain atau standar


tertentu
5. Geriatric Depression Scale (GDS)

30

kriteria

berdasarkan

laporan

pasien yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya depresi pada


manula
6. MMSE

: mini mental state examination; tes

untuk demensia
7. Captopril

: suatu inhibitor angiotensin converting

enzym yng digunakan dalam pengobatan hipertensi, gagal jantung


1

kongestif, dan disfungsi ventrikel


Identifikasi masalah:
1. Ny. Minah (63 thn) mengeluh inkontinensia urin sehingga tidak sempat
mencapai kamar mandi untuk berkemih. Kejadian pertama ketika di
mobil dan kejadian kedua ketika di pusat perbelanjaan, akibatnya pasien
enggan keluar rumah.
2. Pasien tidak menstruasi sejak usia 50 tahun.
3. Sebulan yang lalu, suaminya meninggal dan sejak itu pasien tinggal
bersama pembantu rumah tangga.
4. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
5. Ny. Minah sedang menggunakan obat captopril 12,5 mg, 2 kali sehari
Analisis masalah:
1. Ny. Minah (63 thn) mengeluh inkontinensia urin sehingga tidak sempat
mencapai kamar mandi untuk berkemih. Kejadian pertama ketika di
mobil dan kejadian kedua ketika di pusat perbelanjaan, akibatnya pasien
enggan keluar rumah.
a) Apa etiologi inkontinensia urin secara umum dan bagaimana etiologi
pada kasus?
Etiologi umum inkontinensia urin
i. Kelainan Urologik
1. Infeksi saluran kemih
2. Batu saluran kemih
3. Tumor
ii. Kelainan Neurologik
1. Stroke
2. Trauma medulla spinalis
3. Demensia
4. Delirium
iii. Psikologik
1. Depresi
iv. Fisiologik
2

1. Aktivitas detrusor berlebih


2. Aktivitas detrusor menurun
3. Hambatan mobilitas
v. Iatrogenik
1. Sedative hypnotics
2. Loop diuretics
3. Anti-cholinergic agents
4. Alpha-adrenergic agonist
5. Alpha-adrenergik antagonist
6. Calcium channel blocker
vi. Lingkungan/lain-lain
1. Tempat berkemih yang jauh
PADA KASUS
Faktor yang menyebabkan dan menunjang terjadinya inkontinensia
pada kasus ini yaitu :
1. Usia
Pada lansia terjadi proses menua yang berdampak pada perubahan
hampir

seluruh

organ

tubuh

termasuk organ

berkemih

yang

menyebabkan lansia mengalami inkontinensia urin. Perubahan ini


diantaranya adalah :
a . Melemahnya otot dasar panggul yang menjaga kandung kemih dan
pintu saluran kemih
b . Pengosongan

kandung

kemih

melalui

persarafan

kolinergik

parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih, sedangkan


efek

simpatis

menekan
berkemih.

kontraksi
Timbulnya

kemih

berkurang.

pusat penghambatan,

akan

Jika

kortek

merangsang

serebri

timbulnya

Hilangnya penghambatan pusat kortikal yang disebabkan

karena usia
kandung

kandung

dapat

kemih

mengganggu

koordinasi

dan relaksasi uretra

kandung
kontraksi

kemih

akan

abnormal

menimbulkan

rangsangan

meninggalkan

sisa.

kontraksi

mana

gangguan

menimbulkan

pada

berkemih

Pengosongan

yang

antara

inkontinensia.

kandung
sebelum

kandung

kemih

yang

waktunya

dan

kemih

yang

tidak
3

sempurna menyebabkan
cukup

banyak

urine

di

sehingga dengan

dalam

kandung

pengisian

sedikit

kemih

yang

saja

sudah

merangsang untuk berkemih.


2. Menopause
Hormon estrogen mempengaruhi komposisi dan kekuatan kolagen.
Defisiensi

estrogen

saat

menopause

menyebabkan

kelemahan

kolagen. Kelemahan kolagen merupakan salah satu faktor yang dapat


menyebabkan terjadinya inkontinensia urin dan relaksasi pelvis
tersusun dari kolagen pada struktur penunjang pelvis.
3. Depresi
Faktor psikologis seperti stress juga dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan

pengeluaran

urin

sebagai

efek

dari

norepinefrin,

yang mana noreepinefrin merupakan hormon yang mempengaruhi


kontraksi otot polos yang bekerjanya berlawanan dengan asetilkolin.
Depresi juga bisa menyebabkan pasien acuh pada inkontinensianya.
4. Obesitas
Obesitas, dapat meningkatkan tekanan intra-abdominal sehingga
dapat memperburuk keadaan inkontinensia.
5. Hipertensi
Penggunaan captopril dapat menyebabkan efek samping batuk. Batuk
dapat meningkatkan tekanan intraabdominal. Pada keadaan normal,
tekanan pada vesika urinaria lebih tinggi daripada tekanan di uretra,
sehingga urin akan tertinggal di dalam vesika urinaria. Uretra
proksimal dan vesika urinaria, terdapat dalam pelvis. Pada keadaan di
mana terjadinya peningkatan tekanan intra-abdominal (saat batuk
dan bersin), maka akan diteruskan ke vesika urinaria dan uretra
secara merata sehingga tidak menyebabkan terjadinya perbedaan
tekanan antara vesika urinaria dan uretra. Hal ini menyebabkan
terjadinya inkontinensia. Urin bisa keluar dengan tekanan yang lebih
rendah

dari

biasanya

jika

terjadi

kerusakan

pada

otot

yang

menyebabkan perubahan posisi dari vesika urinaria.


6. Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya inkontinensia urin
4

diantaranya pengaruh cuaca atau iklim terutama pada cuaca dingin


dan karena letak toilet yang jauh

sehingga sebelum mencapai

tempatnya sudah tidak dapat menahan air kemih.


b) Bagaimana mekanisme terjadinya inkontinensia urin pada kasus?
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain disebabkan melemahnya
otot dasar panggul, kebiasaan mengejan yang salah ataupun karena
penurunan estrogen. Kelemahan otot dasar panggul dapat terjadi
karena kehamilan, setelah melahirkan, obesitas, menopause, usia
lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penurunan kadar hormon
estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas)
menyebabkan peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen pada
dinding kandung kemih yang mengakibatkan fungsi kontraktil dari
kandung kemih tidak efektif lagi, serta terjadi penurunan tonus otot
vagina dan otot uretra akibat perubahan vaskularisasi pada lapisan
submukosa, atrofi mukosa dan penipisan otot.
Pasien pada kasus mengeluh tidak dapat menahan miksi saat menuju
ke toilet. Hal ini menunjukkan pasien mengalami inkontinensia urin
kronik-persisten tipe urgensi. Inkontinensia ini timbul pada keadaan
otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, yang mana otot ini
bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan
ketidakmampuan

menunda

berkemih

setelah

sensasi

berkemih

muncul. Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin kencing yang


mendadak (urge), kencing berulang kali (frekuensi) dan kencing di
malam hari (nokturia). Depresi berhubungan dengan inkontinensia ini
dengan

adanya

gangguan

sirkuit

otak

yang

menggunakan

neurotransmiter spesifik yaitu serotonin (5-hydroxytryptamine, atau 5HT). Serotonin bekerja menghambat kontraksi kandung kemih. Saat
mengalami depresi, serotonin yang dihasilkan berkurang sehingga
kontraksi

kandung

kemih

kurang

dihambat.

Adapun

episode

inkontinensia terjadi saat di dalam mobil dan di mall menunjukkan


tidak ada stres yang menyebabkan peningkatan tekanan abdominal
sebelum inkontinensia. Hal ini juga menunjukkan inkontinensia yang
5

terjadi berhubungan dengan lingkungan yaitu tempat yang dingin dan


lokasi toilet yang jauh.
2. Pasien tidak menstruasi sejak usia 50 tahun.
a) Apa dampak dari menopause?
Menopause

adalah

perubahan

yang

normal

terjadi

pada

kehidupan seorang wanita ketika periode menstruasinya berhenti.


Seorang wanita sudah mencapai

menopause apabila dia tidak

mendapatkan menstruasi selama 12 bulan secara berurutan, dan


tidak ada penyebab lain untuk perubahan yang terjadi.

Selama

menopause, yang umumnya terjadi pada usia 45 55 tahun, tubuh


seorang

wanita

secara

perlahan

mengurangi

produksi

hormon

estrogen dan progesterone sehingga terjadilah berbagai gejala:


a. Rasa Panas (Hot flashes)
Rasa panas umum terjadi pada wanita menopause, berlangsung
selama

30 detik sampai

beberapa menit,

dan

kadang

diikuti

dengan berkeringat terutama malam hari.


b. Kekeringan pada vagina
Gejala pada vagina dikarenakan vagina yang menjadi lebih tipis,
lebih kering, dan kurang elastik berkaitan dengan turunnya kadar
hormon estrogen. Gejalanya adalah kering dan gatal pada vagina
atau iritasi dan atau nyeri saat bersenggama.
c. Gangguan tidur
d. Gangguan daya ingat
e. Perubahan mood
f. Penurunan keinginan berhubungan seksual
Pada

beberapa

kasus,

penyebabnya

adalah

faktor

emosi.

Selain itu, penurunan kadar estrogen menyebabkan kekeringan


pada vagina sehingga berhubungan seksual menjadi tidak nyaman
dan sakit.
g. Gangguan berkemih
Kadar estrogen yang rendah menyebabkan penipisan jaringan
kandung kemih dan saluran kemih yang berakibat penurunan
kontrol dari kandung kemih atau mudahnya terjadinya kebocoran
6

air seni (apabila batuk, bersin, atau tertawa) akibat lemahnya


otot

di

sekitar

kandung

kemih.

Hal

tersebut

dapat

meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.


h. Perubahan fisik lainnya
Distribusi

lemak tubuh setelah menopause menjadi berubah,

lemak tubuh pada umumnya terdeposit pada bagian pinggang dan


perut. Selain itu terjadi perubahan di tekstur kulit yaitu keriput dan
jerawat. Sejak meopause,
hormon pria

testosteron

badan wanita

menghasilkan sedikit

yang mengakibatkan beberapa wanita

dapat mengalami pertumbuhan rambut pada bagian dagu, bagian


bawah dari hidung, dada, atau perut.
b) Berapakah usia menopause normal?
Di Indonesia, menopause rata-rata terjadi antara usia 49-51 tahun
c) Bagaimana hubungan antara menopause dan kejadian inkontinensia
urin pada pasien?
Proses menua baik pada laki-laki maupun wanita telah diketahui
mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada
sistem urogenital bagian bawah. Perubahan tersebut berkaitan
dengan penurunan kadar estrogen pada wanita dan androgen pada
pria.
Pada saat menopause, terjadi perubahan endokrin yang diduga
berkaitan

dengan

proses

penuaan

yang

terjadi

pada

aksis

hipotalamus-hipofisis-ovarium. Akibatnya terjadi gangguan interaksi


antara hormone yang dihasilkan oleh ketiga organ tersebut. Terutama
terjadi

penurunan

produksi

hormone

estrogen

oleh

ovarium.

Penurunan hormone estrogen (estradiol) ini disebabkan oleh proses


penuaan pada ovarium. Akibatnya, ovarium menjadi kecil, dindingnya
tebal dan tidak dapat lagi menjawab rangsangan hormone FSH untuk
membentuk estradiol.
Penurunan estradiol mencapai kadar <108 pg/ml dan peningkatan
FSH mencapai > 25mIU.ml, yang menandakan awal dari masa
menopause. Pada masa menopause estradiol menurun sampai
dibawah 10%.
7

Hormone estrogen bekerja pada organ sasaran melalui reseptor


estrogen dan . Jaringan yang memiliki reseptor estrogen dan
adalah kulit, otak, tulang, uterus, vesika urinaria, uretra, ovarium,
kardiovaskular, dan payudara. Jaringan yang hanya memiliki reseptor
estrogen adalah traktus gastrointestinal, sedangkan jaringan yang
hanya memiliki reseptor adalah hepar. Interaksi estrogen dengan
reseptornya akan menghasilkan proses anabolik.
Akibatnya bila terjadi penurunan estrogen terutama pada traktus
urinarius perempuan, maka akan terjadi perubahan struktur dan
fungsi ureter, uretra, serta kandung kemih. Selain itu, penurunan
estrogen

menyebabkan

pengontrol

proses

terjadinya

berkemih

kelemahan

Estrogen

dapat

pada

otot-otot

mempertahankan

kontinensia dengan meningkatkan resistensi uretra, meningkatkan


ambang sensoris kandung kemih, dan meningkatkan

sensitivitas

adreno reseptor pada otot polos uretra. Perubahan pada sistem


urogenital bawah mengakibatkan posisi kandung kemih prolaps
sehingga melemahkan tekana atau tekanan akhiran kemih keluar.
Pada

dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis

dan

kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak


efektif lagi, dan mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel.
Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya
lapisan otot uretra mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan
uretra dan tekanan outflow. Pada perempuan terjadi penipisan dinding
vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan
penyempitan ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan
akibat meningkatnya pH lingkungan vagina.
Uretra

dan

ureter

merupakan

jaringan yang tergantung pada

estrogen. Uretra mempunyai empat lapisan fungsional yang sensitive


terhadap estrogen, terdiri dari epitel, vaskuler, jaringan penyokong,
dan otot polos yang berfungsi pada pemeliharaan tekanan uretra.
Inkontinensia urin disebabkan perubahan pada jaringan epitel dan
vaskuler yang terletak diantara mukosa dan jaringan otot. Bagian
distal uretra akan menjadi kaku dan tidak elastic sehingga sukar
8

untuk menutup sempurna. Bila kandung kemih penuh maka tetesan


urin dapat keluar tidak terkontrol. Penutupan yang tidak sempurna
juga menyebabkan bakteri dan substansi berbahaya lain dapat masuk
ke dalam kandung kemih sehingga dapat terjadi inflamasi uretra dan
kandung kemih.
Inkontinensia diatas terjadi akibat proses penuaan dan akibat
penurunan kadar estrogen. Secara mekanisme dapat disebabkan:
1. Uretra gagal untuk menutup secara sempurna dan menjadi
sangat mudah digerakkan, disebut uretra hipermobilitas.
2. Kelemahan otot yang melingkari leher kandung kemih. Disebut
defisiensi sfingter intrinsic/instrinsic sphincteric deficiency atau
ISD.
3. Sebulan yang lalu, suaminya meninggal dan sejak itu pasien tinggal
bersama pembantu rumah tangga.
a) Bagaimana dampak kehilangan pasangan hidup (suami meninggal)
dan tinggal bersama pembantu dihubungkan dengan keluhan pasien?
Kodisi Ny. Minah yang baru kehilangan pasangan hidupnya sehingga
ia harus tinggal dengan pembantunya berdampak pada kondisi psikis
Ny.Minah. Kemungkinan besar Ny.Minah mengalami kesepian dan
bahkan depresi. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pencetus
terjadinya inkontinensia urin yang dialami Ny. Minah.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Mardon et all (2006) dapat
disimpulkan bahwa depresi pada wanita usia lanjut menjadi salah satu
faktor resiko terjadinya Inkontinensia urin.berdasarkan penelitian
tersebut, dengan sampel wanita dan pria usia lanjut yang telah
didiagnosis menderita depresi. Hasilnya didapatkan depresi dapat
menyebabkan timbulnya gangguan kesehatan berupa Inkontinensia
urin, Inkontinensia alvi, dekubitus, ISK dan gangguan tidur. Dalam
penelitian Mardon et al diperoleh gangguan terbesar yang dialami
oleh responden adalah Inkotinensia urin
Pada

kondisi

psikologis

yang

mengalami

stress

akan

memicu

peningkatan hormon norepinefrin, dimana hormon tersebut akan


memperngaruhi kontraksi otot polos yang bekerjanya berlawanan
9

dengan asetilkolin sehingga terjadi peningkatan pengeluaran urin.


4. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
BB 75 kg, TB 156 cm, BP 150/80mmHg, terdapat defisit denyut apikalradial, suhu 36,50C, tidak terdapat exertional dyspnea, fatigue, dan
headache.
Lumbal densitometry -3,0; femoral densitometry -2,7
GDS 6. Skor MMSE 26.
a) Bagaimana

interpretasi

dan

mekanisme

abnormal

dari

hasil

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang?

Obesitas II :
dengan bertambahnya usia, maka aktivitas tubuh akan menurun hal ini
mendorong tersimpannya cadangan lemak yang banyak. Selain itu, obesitas
juga merupakan faktor resiko inkontinensia urin, karena menyebabkan
tekanan pada kandung kemih.
Hipertensi sistolik
elastisitas pembuluh darah perifer karena prosesn penuaan resistensi
pembuluh darah perifer tekanan darah sistolik

Klasifikasi
Normal
Osteopenia
Osteoporosis
Osteoporosis berat

T-score
-1
Antara -1 dan -2,5
-2,5
-2,5 dan fraktur

fragilitas
Tabel : klasifikai diagnosis osteoporosis menurut WHO
Interpretasi : osteoporosis
Mekanisme abnormal :
Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam remodeling
tulang

sehingga

mengakibatkan

kerapuhan

tulang.

Terjadinya

osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan


10

aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas
(sel pembentukan tulang). Keadaan ini mengakibatkan penurunan
massa tulang.
Sitokin bertanggung jawab untuk komunikasi di antara osteoblas, selsel sumsum tulang lain, dan osteoklas telah diidentifikasi sebagai
RANK ligan (reseptor aktivator dari NF-kappa-B; RANKL). RANKL,
anggota dari keluarga TNF, disekresikan oleh oesteoblas dan sel-sel
tertentu dari sistem imun. Reseptor osteoklas untuk protein ini disebut
sebagai RANK. Aktivasi RANK oleh RANKL merupakan suatu jalur final
umum dalam perkembangan dan aktivasi osteoklas. Umpan humoral
untuk RANKL, juga disekresikan oleh osteoblas, disebut sebagai
osteoprotegerin.

Modulasi

perekrutan

dan

aktivitas

osteoklas

tampaknya berkaitan dengan interaksi antara tiga faktor ini. Pengaruh


tambahan termasuk gizi (khususnya asupan kalsium) dan tingkat
aktivitas fisik. Ekspresi RANKL diinduksi di osteoblas, sel-T teraktivasi,
fibroblast sinovial, dan sel-sel stroma sumsum tulang. Ia terikat ke
reseptor ikatan-membran RANK untuk memicu diferensiasi, aktivasi,
dan survival osteoklas.
Sebaliknya ekspresi osteoproteregin (OPG) diinduksi oleh faktor-faktor
yang menghambat katabolisme tulang dan memicu efek anabolik.
OPG

mengikat

dan

osteoklastogenesis

dan

menetralisir

RANKL,

menurunkan

memicu

survival

hambatan

osteoklas

yang

sebelumnya sudah ada. RANKL, aktivator reseptor faktor inti NBF;


PTH, hormon paratiroid; PGE2, prostaglandin E2; TNF, tumor necrosis
factor; LIF, leukemia inhibitory factor; TP, thrombospondin; PDGF,
platelet-derived growth factor; OPG-L, osteoprotegerin-ligand; IL,
interleukin; TGF-, transforming growth factor.
Pada kasus ini disebabkan 2 hal yaitu :
1. Osteoporosis postmenopausal
Pada saat menopause terjadi penurunan estrogen, akibatnya terjadi
perubahan berikut :
a. Peningkatan produksi berbagai sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF-
yang berperan meningkatkan kerja osteoklas
11

b. Menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi


kalsium di ginjal
c. Kadar PTH meningkat untuk mengatasi keseimbangan negatif
kalsium
d. Defisiensi 17 -estradiol meningkatkan RANK-L
e. OPG distimulasi estrogen, jadi penurunan estrogen menurunkan
produksi OPG. OPG adalah glikoprotein yang memblok efek RANK-L
(reseptor antagonis yang larut untuk RANK) yang mencegah ia
berikatan dan mengaktifkan RANK (reseptor osteoklas)
f. Peningkatan apoptosis dan penurunan produksi osteoblast
g. Penurunan apoptosis dan peningkatan formasi osteoklas
h.

Penurunan

penyembuhan

fraktur,

sintesis IGF-1 (IGF-1 membantu

sisntesis

kolagen

dan

meningkatkan

mineralisasi tulang)
2. Osteoporosis Senilis
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru
menurun. Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat
dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang trabekular
karena

proses

penurunan

penuaan,

produksi

penyerapan

vitamin

D)

kalsium

dan

fungsi

menurun
hormon

(akibat

paratiroid

meningkat.
Penurunan level growth hormone serum dan insulin-like growth factor
(IGF-1), bersamaan dengan peningkatan ikatan dari RANK-L dan
penurunan OPG pada lanjut usia mempengaruhi kerja osteoblast dan
osteoklas, dan menyebabkan osteoporosis.
Skor MMSE 26 menunjukkan ketiadaan masalah kognitif pada pasien,
yaitu masih dalam interval skor 24-30.
Interpretasi dari GDS dengan jumlah 30 item adalah 0 - 9 normal, 10 19 depresi ringan, dan 20 - 30 depresi berat. Namun, karena
membutuhkan waktu yang lama dan sulit maka dibentuk GDS dengan
versi 15 item. Interpretasi dari GDS dengan 15 item adalah skor > 5
poin mengarah ke depresi dan perlu follow-up, skor> 10 bermakna
depresi. Skor GDS pasien 6 menunjukkan pasien mengarah ke depresi
12

berdasarkan interpretasi GDS dengan 15 item. Hal ini dapat


dihubungkan dengan kematian suaminya yang belum lama dan tidak
ada keluarga yang tinggal bersamanya.
b) Bagaimana cara melakukan pemeriksaan:
1. densitometry
a.

DEXA Scan (Dual-Energy X-ray Absorptiometry)


Tulang belakang dan pinggul dikelilingi oleh sejumlah jaringan
lunak, termasuk lemak, otot, pembuluh darah, dan organ-organ
perut. Densitometer DEXA memungkinkan untuk mengukur
massa tulang yang tersembunyi itu dengan memanfaatkan
perbedaan atenuasi sinar-X energi rendah dan energi tinggi oleh
mineral tulang dan jaringan lunak.
DEXA Scan atau pemindaian DEXA adalah standar emas untuk
diagnosis osteoporosis karena memberikan keakuratan yang
sangat tinggi, yaitu mencapai 98-99%. Pengujian ini dilakukan
dengan mesin DEXA pada tulang yang berisiko patah karena
osteoporosis. Bagian ini meliputi tulang belakang lumbal yang
merupakan bagian punggung bawah, bagian tulang paha yang
bergabung dengan pinggul, tulang pergelangan tangan dan
lengan bawah.
Pemindaian memakan waktu beberapa menit, tanpa pembiusan,
tanpa suntikan, tidak menimbulkan rasa sakit, dan hanya
memaparkan radiasi dalam kadar terbatas (jauh di bawah kadar
sinar-X

untuk

rontgen

dada).

Namun

demikian,

menurut

rekomendasi International Society of Clinical Densitometry


(ISCD), pemindaian dengan DEXA untuk skrining dan diagnosis
sebaiknya tidak lebih sering dari dua tahun sekali.
Versi portabel dari mesin ini kadang-kadang digunakan untuk
skrining

kepadatan

tulang

di

klinik-klinik

dan

pameran

kesehatan, tetapi hanya memindai tulang yang lebih kecil,


misalnya tumit atau jari, dengan hasil tidak seakurat mesin
DEXA standar.
Gambar

hasil

pemindaian

digunakan

untuk

menghitung
13

kepadatan mineral tulang dalam mg/cm 2, yang kemudian


dibandingkan

dengan

kepadatan

tulang

pada

kelompok

pembanding:
Nilai T
Nilai T (T-score) merupakan unit angka (standar deviasi) di
mana kepadatan massa tulang di atas atau di bawah kepadatan
mineral

tulang

orang

dewasa

muda

yang

sehat,

tanpa

memadang ras atau jenis kelamin. Intepretasi nilai T adalah


sebagai berikut:
Normal T > -1 SD
Osteopenia -2,5 < T <-1 SD
Osteoporosis (tanpa fraktur) T < -2.5 SD
Osteoporosis berat (dengan fraktur) T -2.5 SD + Fraktur
Setiap penurunan satu poin nilai T menunjukkan kehilangan
tulang antara 10 sampai 15 persen yang berarti meningkatkan
risiko patah tulang pinggul 3 kali dan patah tulang belakang 2,5
kali.
Nilai Z (Z-Score)
Nilai Z adalah angka perbandingan kepadatan tulang dengan
kepadatan tulang pada kelompok referensi yang memiliki usia
dan jenis kelamin sama denga. Ras dan berat badan kadangkadang juga ikut disertakan. Nilai Z dihitung menurut persentil,
yaitu persen orang dalam populasi yang memiliki kepadatan
tulang lebih rendah.
b.Densitometri USG

14

Densitometer dengan ultrasound (USG) adalah metode baru


untuk

mendiagnosis

osteoporosis.

Pemindaian

dilakukan

dengan perangkat yang memancarkan gelombang suara di


tumit pasien dan memakan waktu sekitar satu menit.
Perangkat yang digunakan lebih kecil dan lebih murah
daripada sistem DEXA. Hasil pemindaian kemudian digunakan
untuk

menghitung

kepadatan

mineral

tulang,

yang

dibandingkan dengan kepadatan standar pada orang dewasa


muda untuk mendapatkan nilai T. Nilai T di bawah -2,5
mengindikasikan terkena osteoporosis.
Densitometer USG tidak seakurat DEXA yang mengukur
tulang belakang atau pinggul karena hanya dapat mengukur
kepadatan tulang di tumit.

Namun, dengan nilai prediksi

negatif mencapai 95%, alat ini cukup efektif untuk skrining.


Bila didapatkan hasil negatif, maka kemungkinan besar
memang tidak mengalami osteoporosis. Bila hasilnya positif,
pemeriksaan lebih lanjut dengan DEXA scan diperlukan
karena nilai prediktif positifnya hanya 27%.
Tes kepadatan tulang dapat mendeteksi bila seseorang
memiliki kepadatan massa tulang yang rendah tapi
tidak bisa menjelaskan penyebabnya.
2. GDS
SKALA DEPRESI GERIATRIK

15

Pilih jawaban yang paling tepat, yang sesuai dengan perasaan


anda dalam satu minggu terakhir.
Apakah.......................
1.

Anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda

Ya

TIDAK

Anda

YA

Tidak

telah

meninggalkan

banyak

kegiatan/minat/ kesenangan anda?


3

Anda merasa kehidupan anda kosong?

YA

Tidak

Anda sering merasa bosan?

YA

Tidak

Anda mempunyai semangat yang baik setiap

Ya

TIDAK

YA

Tidak

Ya

TIDAK

saat?
6

Anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi


pada diri anda

Anda merasa bahagia untuk sebagian besar


hidup anda?

Anda sering merasa tidak berdaya?

YA

Tidak

Anda lebih senang tinggal di rumah daripada

YA

Tidak

YA

Tidak

sekarang

Ya

TIDAK

Anda merasa tidak berharga seperti perasaan

YA

Tidak

keluar dan mengerjakan sesuatu yang baru?


10

Anda

merasa

mempunyai

banyak

masalah

dengan daya ingat anda dibanding kebanyakan


orang?
11

Anda

pikir

bahwa

anda

menyenangkan?
12

anda saat ini?


13

Anda merasa anda penuh semangat?

Ya

TIDAK

14

Anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada

YA

Tidak

YA

Tidak

harapan?
15

Anda

pikir

bahwa

orang

lain

lebih

baik

keadaannya daripada anda?

16

Skor: hitung jumlah jawaban yang tercetak tebal dan huruf besar
-

Skor kurang dari 5 menunjukkan tidak depresi

Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar depresi

Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi

3. MMSE
Mini Mental State Examination (MMSE) adalah metode pemeriksaan
untuk melihat fungsi kognitif yang telah digunakan secara luas oleh
para klinisi untuk praktek klinik maupun penelitian. Terdiri dari 11
item, terdiri dari:
-

Tes Orientasi: Untuk menilai kesadaran dan daya ingat. Ada dua
pertanyaan, dengan skor masing-masingnya 5.

Tes registrasi : untuk menilai memori mengenal kembali. Bila


memori kerja negative berarti informasi tidak disimpan. Bila
memori kerja negative sedang memori mengenal kembali
positif, berarti ada disfungsi proses pencarian/pemanggilan
kembali informasi. Skor 3.

Tes Atensi dan Kalkulasi: Bila ada gangguan pada tes ini berarti
ada penurunan konsentrasi dan ini terdapat pada degenerasi
difus atau gangguan metabolic. Skor 5.

Tes Recall (mengingat kembali). Skor 3.

Tes Bahasa: Pasien diminta untuk menyebut nama. Bila ada


gangguan penamaan berarti ada lesi fokal di otak atau disfungsi
difus hemisfer. Pada tes pengulangan kalimat pasien diminta
untuk mengulang kalimat (repetisi). Tes lainnya adalah dengan
menyuruh pasien untuk melakukan tiga perintah bertahap
(bahasa komprehensif), bila ada gangguan pada tes ini berarti
ada

disfungsi

lobus

temporal

posterior

kiri

atau

korteks

parietotemporal. Pasien juga disuruh untuk menulis kalimat


perintah dan melakukan perintah tersebut, pasien disuruh
menulis kalimat spontan dan menyalin gambar pentagon,
kesemuanya ini untuk menilai fungsi eksekutif.
Pedoman Skor kognitif global (secara umum):
17

Nilai: 24 -30: normal


Nilai: 17-23 : probable gangguan kognitif
Nilai: 0-16:definite gangguan kognitif
Catatan:

dalam

membuat

penilaian

fungsi

kognitif

harus

diperhatikan tingkat pendidikan dan usia responden

5. Ny. Minah sedang menggunakan obat captopril 12,5 mg, 2 kali sehari
a) Bagaimana aspek farmakologi dari captopril?
A.Farmakodinamik
Captopril adalah D-3 mercaptomethyl-propionyl-L-proline. Captopril
mempunyai efek yang menguntungkan pada hipertensi dan gagal
18

jantung,

yaitu

penekanan

sistem

renin-angiotensin-aldosterone.

Captopril mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II


oleh inhibisi ACE (angiotensin Converting Enzym) .
B.Farmakokinetik
Setelah pemberian secara oral captopril secara cepat diabsorpsi dan
adanya makanan dalam saluran gastrointestinal berkurang 30-40%.
Dalam periode 24 jam lebih dari 95% dosis yang diabsorpsi dieliminasi
ke dalam urin dan 40-50%nya dalam bentuk tidak berubah.
C. Indikasi:
Untuk pengobatan hipertensi sedang dan berat yang tidak dapat
diatasi dengan pengobatan kombinasi lain.
Kaptopril dapat dipergunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan
obat antihipertensi lain terutama tiazid.
Payah jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol
dengan diuretik dan digitalis.
D. Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap kaptopril dan obat-obat ACE inhibitor lainnya.
E. Dosis:
Dewasa:
Hipertensi : Dosis awal adalah 12,5 mg-25 mg, 2-3 kali sehari.
Bila setelah 2 minggu belum diperoleh penurunan tekanan darah,
maka dosis dapat ditingkatkan sampai 50 mg, 2-3 kali sehari.
Gagal jantung : Dosis awal adalah 25 mg, 3 kali sehari, sebaiknya
dimulai dengan 12,5 mg, 3 kali sehari.
F. Efek samping:
Umumnya kaptopril dapat ditoleransi dengan baik.
Efek samping yang dapat timbul adalah ruam kulit, batuk, gangguan
pengecapan, neutropenia, proteinuria, sakit kepala, lelah/letih dan
hipotensi.

19

Efek samping ini bersifat dose related dengan pemberian dosis


kaptopril kurang dari 150 mg per hari, efek samping ini dapat
dikurangi tanpa mengurangi khasiatnya.
Efek samping lain yang pernah dilaporkan: umumnya asthenia,
gynecomastia.
b) Bagaimana aspek farmakogeriatri dari captopril?
Pemberian obat golongan ace inhibitor pada geriatri memberikan
manfaast yang signifikan dan dapat digunakan bagi geriatri
Dosis untuk geriatri :
Dianjurkan

penggunaan

kemungkinan

dosis

menurunnya

awal

fungsi

yang

ginjal

rendah,

atau

organ

mengingat
lain

pada

penderita usia lanjut. Pada normalnya dosis awal pemberian yaitu


12,5 g.
Efek samping :
Pada lanjut usia dapat menyebabkan efek hipotensif

maka dari itu

titrasi dosis dilakukan dalam periode yang lama atau secara bertahap.
Batuk dapat meningkatkan intraabdominal yang bisa menyebabkan
terjadinya inkontinensia pada geriatri
c) Bagaimana hubungan konsumsi captopril dengan keluhan pada
pasien?
Penggunaan captopril dapat menyebabkan efek samping batuk. Batuk
dapat meningkatkan tekanan intraabdominal. Pada keadaan normal,
tekanan pada vesika urinaria lebih tinggi daripada tekanan di uretra,
sehingga urin akan tertinggal di dalam vesika urinaria. Uretra
proksimal dan vesika urinaria, terdapat dalam pelvis. Pada keadaan di
mana terjadinya peningkatan tekanan intra-abdominal (saat batuk
dan bersin), maka akan diteruskan ke vesika urinaria dan uretra
secara merata sehingga tidak menyebabkan terjadinya perbedaan
tekanan antara vesika urinaria dan uretra. Hal ini menyebabkan
terjadinya inkontinensia. Urin bisa keluar dengan tekanan yang lebih
rendah

dari

biasanya

jika

terjadi

kerusakan

pada

otot

yang

menyebabkan perubahan posisi dari vesika urinaria.


6. Analisis kasus
20

a) Bagaimana cara penegakan diagnosis dan pemeriksaan penunjang


yang diperlukan?
Anamnesis :
Riwayat penyakit dahulu mencakup masalah medis lainnya seperti:
-

Diabetes

mellitus

(menyebabkan

timbulnya

diuresis

osmotik jika kontrol glukosa buruk),


-

Insufisiensi

vaskuler

(menyebabkan

timbulnya

inkontinensia pada malam hari saat edema perifer dimobilisasi ke


sistem vaskuler, sehingga menyebabkan peningkatan diuresis),
-

Penyakit paru kronis (yang dapat menyebabkan stress

incontinence karena batuk kronis),


-

Cerebro Vascular Accident (CVA) sebelumnya,

Hipertensi.

Riwayat

pernah

menjalani

operasi

yang

dapat

mempengaruhi proses berkemih juga harus digali, seperti reseksi


prostat transuretra, operasi untuk kondisi stress incontinence, atau
operasi pelvis.
-

Riwayat fungsi buang air besar dan erektil.

Riwayat

obstetrik

seperti

jumlah

paritas,

riwayat

persalinan sulit, riwayat persalinan lama perlu dicari pada wanita


dengan stress incontinence.
-

Riwayat

penggunaan

obat-obatan

yang

dapat

mempengaruhi traktus urinarius bagian bawah.


-

Riwayat kondisi fisik yang mempengaruhi kemampuan

fungsional berkemih seperti fungsi tangan, kemampuan berpakaian,


keseimbangan duduk, kemampuan untuk melakukan transfer dan
ambulasi juga perlu diketahui untuk mencari kemungkinan mengapa
pasien menjadi inkontinensia dan untuk merencanakan manajemen
terapi.
-

Riwayat nyeri atau ketidaknyamanan area suprapubik

atau perineal (karsinoma kandung kemih, batu atau distensi akut


kandung kemih).

Pemeriksaan Fisik
21

Abdomen, ada tidanya distensi kandung kemih, nyeri

tekan suprasimphisis, massa regio abdomen bagian bawah.


Rectal toucehe (sensasi perineal, tonus sfincter ani,

impaksi feses, massa, prostat).


-

Pemeriksaan neurologis (pemeriksaan saraf lumbosakral).

Pemeriksaan pelvis (prolaps vagintis, massa, kelainan

anatomi, tes batuk).


Pemeriksaan genitalia eksterna.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan urodinamik sebagai suatu pengujian faktor

normal

dan

pengosongan

abnormal
urin

pada

pada

proses

kandung

pengisian,

kemih

dan

transpor
uretra

dan

dengan

menggunakan metode tertentu.


-

Stress testing (uji batuk,bersin).

Postvoid residual measurement.


Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap sering

menyebabkan inkontinensia.

Pasien dengan volume PVR besar

mempunyai kapasitas kandung kemih yang fungsional terbatas


karena adanya dead space di kandung kemih yang menampung urin.
Ruang ini dapat menjadi sumber infeksi traktus urinarius.
-

USG saluran kemih

Cystography

b) Apa diagnosis banding dan diagnosis kerja pada kasus?


Hasil

Diagnosis

Diagnosis Banding

Kesulitan menahan

Inkontinensia urin

Inkontinensia stres

kencing saat ada

persisten kronik tipe

Inkontinensia overflow

campuran

Inkontinensia urgensi

anamnesis/pemeri
ksaan

rasa

ingin

buang

air kecil
Densitometri
lumbal -3.0

Inkontinensia fungsional
Osteoprosis primer

Osteoporosis sekunder
Osteopenia

22

Densitometri

Osteomalasia

femoral -2.7
Riwayat
menopause
TD 150/80

Hipertensi

WD: Ny. Minah 63 tahun, mengalami inkontinensia urin campuran


c) Apa etiologi dan faktor risiko dari kasus?
Dibawah ini merupakan faktor risiko yang berperanan memicu
Inkontinensia Urin (IU) pada perempuan:

Faktor kehamilan dan persalinan


Efek kehamilan pada IU tampaknya bukan sekedar proses
mekanik. IU pada perempuan hamil dapat terjadi dari awal
kehamilan hingga masa nifas, jadi tidak berhubungan dengan
penekanan kandung kemih oleh besarnya uterus.
Prevalensi IU meningkat selama kehamilan dan beberapa
minggu setelah persalinan
Pemakaian forseps selama persalinan dapat memicu IU
Bila

IU

timbul

(postpartum)maka

lebih

dari

ini

dapat

tiga

bulan

dipandang

pasca

persalinan

sebagai

indikator

prognostik untuk masalah kontinensia di masa depan.


Tingginya usia, paritas, dan berat badan bayi tampaknya
berhubungan dengan IU

Perempuan

dengan

Indeks

Massa

Tubuh

lebih

tinggi

akan

cenderung lebih banyak mengalami IU

Menopause

cenderung

bertindak

sebagai

kontributor

(turut

menambah risiko) daripada faktor kausatif


Ada mitos menetap yang menganggap bahwa IU pada perempuan
merupakan konsekuensi penuaan (angina) normal. Walaupun proses
penuaan bukanlah penyebab inkontinensia, perubahan fungsi saluran
kemih bawah terjadi seiring dengan proses penuaan dan ini menjadi
faktor predisposisi IU. Vinker et al, melaporkan bahwa faktor risiko IU
mencakup penambahan usia, obesitas, histerektomi, dan penyakit

23

kronis yang menyertai. Usia pada perempuan merupakan faktor


independen penting yang berhubungan dengan prevalensi IU tetapi
sangat sulit membedakan apakah IU timbul akibat efek independen
dari usia itu sendiri atau akibat menopause.
Selain faktor tersebut, ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan dan
seringkali terlewatkan. Seorang klinisi perlu mempertimbangkan
kausa multipel yang dapat memicu IU. Penyebab lain IU dikenal
dengan akronim DIAPERS.
D

Kependekan dari delirium yang menunjukkan kegagalan kendali


kandung kemih.

Adalah infeksi dan inflamasi yang dapat memicu disuria dan


aktivitas kandung kemih yang berlebihan

Kependekan dari athropic vaginitis yang dapat menyebabkan status


anatomi yang memicu IU

Kependekan dari farmakologi dan psikologi. Beberapa obat seperti


hipnotik, diuretik, antikolinergik, dan penyekat alfa (alpha blocker)
dapat menyebabkan perubahan yang memicu IU. Depresi juga
merupakan kondisi yang perlu dipertimbangkan sebagai pemicu
inkontinensia

Mengandung

arti

produksi

yang

berlebihan

(excessive

urin

production)
R

Adalah retriksi mobilitas yang memicu akses toilet yang terbatas

Adalah stool impaction atau impeksi tinja yang dapat memicu


urgensi atau overflow incontinence
d) Bagaimana epidemiologi pada kasus?
Prevalensi inkontinensia urin sulit ditentukan dengan pasti. Sekitar
50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di
masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat
seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami
inkontinensia dari pada laki-laki dengan perbandingan 1.5:1.
Prevalensi inkontinensia urin menurut The Asia Pacific Continense
Board (APCB) sebanyak 20,9%-35%, dimana perempuan lebih banyak
menderita (15,1%) daripada lak-laki (5,8%). Dari sejumlah penderita
perempuan tersebut, 24,9% adalah stress inkontinensia, 10,5%
24

inkontinensia gesa (urgensi) dan 5% adalah kombinasi. Prevalensi


inkontinensia urin di Indonesia belum ada angka pasti, dari hasil
beberapa penelitian didapatkan angka kejadian berkisar antara 20%
sampai 30%.
e) Bagaimana patofisiologi pada kasus?

f) Apa manifestasi klinis dari kasus?


Tanda dan gejala Inkontinensia urine berdasarkan tipe inkontinensia
sendiri :
Inkontinensia akibat stress
Eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari
peningkatan mendadak pada tekanan intra abdomen.
Urge Inkontinensia
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi
tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai
toilet.
Overflow inkontinensia
Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang kadang terjadi
hampir terus menerus dari kandung kemih.
25

Inkontinensia fungsional
Merupakan Inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah
yang utuh tetapi faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang
membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi ( misal,
demensia alzheimer ) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien
sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.
Bentuk bentuk Inkontinensia urin campuran
Mencakup ciri ciri inkontinensia seperti yang baru disebutkan.
g) Bagaimana tatalaksana pada kasus?
Inkontinensia urin
Non farmakologis
Terapi suportif non spesifik

Edukasi

Memakai substitusi toilet

Manipulasi lingkungan

Pakaian tertentu dan pads

Modifikasi intake cairan dan obat

Intervensi behavioral
Memiliki risiko yang rendah dan sedikit efek samping

Bladder training

Bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan


teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih
hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Pasien diinstruksikan untuk
miksi pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya
interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai setiap 2-3
jam. Terbukti bermanfaat pada tipe urgensi dan stres.

Habit training

Merupakan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal


berkemih sesuai dengan pola berkemih sesuai dengan pola berkemih
pasien

sendiri.

Sebaiknya

digunakan

pada

inkontinensia

tipe

fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau


pengasuh pasien.
26

Prompted voiding

Dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau


status kontinensia mereka serta dapat memberitahu petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Digunakan pada pasien dengan
gangguan fungsi kognitif.

Latihan otot dasar panggul

Merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stres atau
campuran dan tipe urgensi. Latihan dilakukan dengan membuat
kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul yang diharapkan
dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna

Stimulasi elektrik

Merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot


pelvis dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina dan rektum

Biofeedback

Bertujuan agar pasien mampu mengontrol/ menahan kontraksi


involunter otot detrusor kandung kemihnya

Neuromodulasi

Merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral.


Merupakan salah satu cara penatalaksanaan overactive bladder yang
berhasil

Obat

Dosis

Tipe

Efek samping

inkontinensia
Hyoscamin

3x0.125 mg

Urgen
campuran

atau Mulut

kering,

mata

kabur,

glaukoma,
delirium,
konstipasi
Tolterodin

Imipramin

2 x 4 mg

3 x 25-50 mg

Urgensi

dan Mulut

kering,

OAB

konstipasi

Urgensi

Delirium,
hipotensi
27

ortostatik
Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg

Stres

Sakit

kepala,

takikardi,
hipertensi
Topikal

Urgensi

estrogen

stres

Doxazosin

4 x 1-4 mg

BPH

Tamsulosin

1 x .4-0.8 mg

urgensi

Terazosin

4 x 1-5 mg

dan Iritasi lokal

dengan Hipotensi
postural

Operasi
Yang paling sering dilakukan adalah ileosistoplasti dan miektomi
detrusor.
Untuk tipe stres: injectable intraurethral bulking agents, suspensi
leher kandung kemih, urethral slings, dan artificial urinary sphincter
Untuk tipe urgensi: augmentation cystoplasty dan stimulasi elektrik
Pemakaian kateter
o Kateter eksternal
Hanya dipakai pada inkontinensia intractable tanpa retensi urin yang
secara fisik dependen/bedridden. Bahaya pemakaian: risiko infeksi
dan iritasi kulit
o Kateterisasi intermitten
Dipakai untuk mengatasi retensi urin dan inkontinensia tipe overflow
akibat kandung kemih yang akontraktil atau Detrussor hyperactivity
with impaired contractility (DHIC). Dapat dilakukan 2-4 kali per hari
oleh pasien atau tenaga kesehatan.
o Kateterisasi kronik atau menetap
Harus dilakukan secara selektif oleh kareena risiko bakteriuria kronik,
batu kandung kemih, abses periuretral, dan bahkan kanker kandung
kemih. Induksi pemakaian kateter kronik adalah retensi urin akibat
inkontinensia overflow persisten, tak layak operasi, tidak efektif
dilakukan kateterisasi intermiten, ada dalam perawatan dekubitus dan
28

perawatan terminal dengan demensia berat.


Catatan Inkontinensia
1.

Untuk inkontinensia urgensi

Terapi perilaku bladder training untuk memperpanjang


interval miksi
Diantar ketika hendak ke toilet
Membuat catatan berkemih
Terapi farmakologis menggunakan muscle relaxant (Flavoxate),
chalcium channel blocker (diltiazem, nifedipine), kombinasi muscle
relaxant dan antikolinergik (oxybutynin, tolterodine, dicyclomine),
antidepresan trisiklik (doxepine, imipramine)
2. Untuk inkontinensia stress
Inkontinensia

tipe

ini

dapat

diperbaiki

dengan

menyesuaikan/mengatur ekskresi cairan dan interval berkemih untuk


memelihara volume kandung kemih di bawah ambang.

Pengurangan berat badan

Latihan otot dasar panggul (Kegel). 30-200 kali

sehari dapat mengurangi inkontinensia terutama pada wanita usia


lanjut dengan status kognitif dan motivasi yang baik. Latihan ini
dilakukan dengan cara menegangkan atau mengkontraksikan otot
dasar panggul selama sekitar 5 detik, dan diulangi sekitar 4-5 kali
setiap jamnya. Berbagai cara untuk memahami latihan otot dasar
panggul ini, antara lain dengan instruksi agar pasien berusaha
menutup/mengeraskan otot-otot anus dan otot vagina, atau secara
mendadak menghentikan aliran kemihnya, atau pada pemeriksaan
colok dubur diinstruksikan pasien berusaha menjepit jari pemeriksa.

Cap

device

menutupi

meatus

uretra/kateter

kondom/penile clamps

Farmakologis

(phenylpropanolamine,

pseudoephedrine, estrogen)

Terapi bedah jika terdapat hipermobilitas uretra

29

Hipertensi Sistolik
Lebih dari 10 tahun yang lalu masih terjadi perdebatan tentang perlu
tidaknya pengobatan hipertensi pada usia lanjut. Golongan yang
kontra menyatakan bahwa penurunan tekanan darah pada hipertensi
lansia justru akan menyebabkan kemungkinan terjadinya trombosis
koroner, hipotensi postural dan penurunan kualitas hidup. Dengan
penelitian-penelitian yang diadakan dalam 10 tahun terakhir ini jelas
dibuktikan bahwa menurunkan tekanan darah pada hipertensi lansia
jelas akan menurunkan komplikasi akibat hipertensi secara bermakna.
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal.
Karena kebanyakan penderita hipertensi, khususnya yang berusia >
50 tahun akan mencapai target tekanan diastol saat target tekanan
sistol sudah dicapai, sehingga fokus utamanya

adalah mencapai

target tekanan sistol. Penurunan tekanan sistol dan diastol < 140 / 90
mmHg berhubungan dengan penurunan terjadinya komplikasi stroke,
dan pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus, target tekanan
darah ialah < 130 / 80 mmHg.
Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :
1.

Pengobatan

hipertensi

sekunder

lebih

mendahulukan

pengobatan kausal.
2. Pengobatan
tekanan

darah

hipertensi

esensial

dengan

harapan

ditujukan

untuk

memperpanjang

menurunkan
umur

dan

mengurangi timbulnya komplikasi.


3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan
obat antihipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
mungkin seumur hidup.
5. Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt)
menjadi dasar pengobatan hipertensi.
Pemakain obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya :
a. Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
b. Kurangnya kepatuhan
30

c. Interaksi obat
d. Efek samping obat.
e. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya
melalui ginjal.
Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh
terhadap kondisi penderita adalah :
a. Pola

hidup

dan

indentifikasi

ada

tidaknya

faktor

resiko

kardiovaskuler.
b. Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.
c. Organ yang rusak karena hipertensi.
Beberapa rekomendasi terbaru JNC VIII antara lain :
1. Pada pasien berusia 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis
pada tekanan darah sistolik 150mmHg atau diastolik 90mmHg
dengan target terapi untuk sistolik < 150mmHg dan diastolik <
90mmHg . (Rekomendasi Kuat-grade A)
2. Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis
pada tekanan darah diastolik 90mmHg dengan target < 90mmHg . (
Untuk usia 30-59 tahun , Rekomendasi kuat -Grade A; Untuk usia 1829 tahun , Opini Ahli - kelas E )
3. Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis
pada tekanan darah sistolik 140mmHg dengan target terapi <
140mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )
4. Pada pasien berusia 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis ,
mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik
140mmHg atau diastolik 90mmHg dengan target terapi sistolik <
140mmHg dan diastolik < 90mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )
5. Pada pasien berusia 18 tahun dengan diabetes , mulai
pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik 140mmHg
atau diastolik BP 90mmHg dengan target terapi untuk sistolik gol BP
< 140mmHg dan diastolik gol BP < 90mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )
6. Pada populasi umum bukan kulit hitam, termasuk orang-orang
dengan diabetes , pengobatan antihipertensi awal harus mencakup
31

diuretik tipe thiazide, CCB , ACE inhibitor atauARB ( Rekomendasi


sedang-Grade B ) Rekomendasi ini berbeda dengan JNC 7 yang mana
panel merekomendasikan diuretik tipe thiazide sebagai terapi awal
untuk sebagian besar pasien .
7. Pada populasi umum kulit hitam , termasuk orang-orang dengan
diabetes , pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretic
tipe thiazide atau CCB . ( Untuk penduduk kulit hitam umum :
Rekomendasi Sedang - Grade B , untuk pasien hitam dengan
diabetes : Rekomendasi lemah-Grade C)
8. Pada penduduk usia 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis ,
pengobatan awal atau tambahan antihipertensi harus mencakup ACE
inhibitor atau ARB untuk meningkatkan outcome ginjal . (Rekomendasi
sedang -Grade B )
9. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan
pengobatan, tiingkatkan dosis obat awal atau menambahkan obat
kedua dari salah satu kelas dalam Rekomendasi
10.

Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan dua

obat , tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia.
Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada pasien yang
sama . Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai hanya dengan
menggunakan

obat-obatan

dalam

Rekomendasi

karena

kontraindikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3 obat


untuk mencapai target tekanan darah, maka obat antihipertensi dari
kelas lain dapat digunakan . (Opini Ahli - kelas E )
Daftar singkatan :
ACEI = angiotensin-converting enzyme inhibitor
ARB= angiotensin receptor blocker
CCB = calcium channel blocker
Fibrilasi Atrial
1. Mengembalikan irama ke sinus dan mempertahankannya
Farmakologis: obat antiaritmia
o efek pada action potentials individual cell
o lebih dari satu efek pada action potentials
o Amiodarone efek class I, II, III, IV
32

o Sotalol aktifitas - blockade( class II )


o efek memperpanjang action potentials ( class III )
DC cardioversi
Dilakukan pada AF yang tidak stabil
Prosedur invasif
o Dirusak dengan energi radiofrekuensi pulmonary vein isolation
o Corridor operation isolasi serat jaringan yang menghubungkan
SA node dan AV node
Maze III operation diperlukan CPB dan cardioplegic circulatory
arrest
2. Mengontrol frekuensi respon ventrikel
Short acting beta blocker
Ca channel antagonist (diltiazem)
3. Mencegah terjadinya tromboemboli sistemik
antikoagulan (acetyl salicilyc acid)
4. Lifestyle
menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum
alcohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan
garam,
mempertahankan
asupan
kalium
yang
adekuat,
mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat,
menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan
kolesterol
Tujuan tatalaksana hipertensi
1. Tujuan: control HR, cegah stroke, dan mengembalikan ritme sinus
2. Kontrol HR digoxin, beta-blockers, calcium antagonists
(verapamil or diltiazem), atau amiodarone.
3. Cegah stroke antikoagulan coumadin
4. Mengembalikan ritme sinus antikoagulasi
5. Implantasi pacemaker
6. Implantable cardiomaker defibrillator
7. Lifestyle
Catatan Hipertensi sistolik terisolasi dan fibrilasi atrial
1. Modifikasi pola hidup
2. Calcium channel blocker (diltiazem)
3. Pencegahan resiko tromboemboli (acetyl salicylic acid)
Osteoporosis
1. Asupan

kalsium

cukup.

Mempertahankan

atau

meningkatkan

kepadatan tulang yang dapat dilakukan dengan mengkonsumsi


kalsium yang cukup.
33

Biphosphonat calcium 1000-1500 mg/d

2. Paparan sinar UV B matahari (pagi dan sore)


Sinar matahari UV B membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang
dibutuhkan tubuh dalam pembentukan massa tulang.

Vitamin D3 500-800 IU/d

3. Melakukan olah raga dengan beban


4. Selain olah raga menggunakan alat beban, berat badan sendiri juga
dapat berfungsi sebagai beban yang dapat meningkatkan kepadatan
tulang.
5. Gaya hidup sehat. Menghindari rokok dan alkohol memberikan efek
yang signifikan dalam menurunkan resiko asteoporosis.
6. Hindari obat-obatan golongan kortikostiroid. Umumnya steroid ini
diberikan untuk penyakit asma, lupus, keganasan.
7. Hormone Replacement Theraphy esterogen 0,625-1,25 mg/hari
dikombinasikan denan progesteron 2,5-10 mg/hari
8. Calcitonin jika nyeri hebat
9. Operasi jika cedera
Catatan Osteoporosis
1. Nonfarmakologis
Latihan untuk pasien osteoporosis; aerobik
Berhenti merokok, cegah konsumsi alkohol
Sering berjemur sinar matahari
Cegah gerakan atau latihan ekstrim (melompat, membawa beban
berat)
2. Farmakologis
Kalsium bifosfonat 1000-1500 mg/d
Vitamin D3 500-800 IU/d
Estrogen (terapi sulih hormon)
Agen anti resorbtif (raloxphene, golongan biposfonat, calcitonin)
Penatalaksaan Depresi

34

Penatalaksaan depresi pada lansia meliputi beberapa aspek, antara


lain:
a) Farmakoterapi
Respon

terhadap

obat

pad

usia

lanjut

sangat

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain farmakokinetik dan


farmakodinamik. Faktor-faktor farmakokinetik antara lain: absorbsi,
distribusi, biotransformasi, dan ereksi obat akan mempengaruhi
jumlah obat yang dapat mencapai jaringan tempat kerja obat untuk
bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik antara
lain:

sensitivitas

reseptor,

mekanisme

homeostatik

akan

mempengaruhi antisitas efek farmakologik dari obat tersebut.


Obat-obat

yang

digunakan

pada

penyembuhan

depresi usia lanjut antara lain:


-

Anti Depresan Trisiklik

Irreversible Monoamin Oxsidase A-B Inhibitor (MAOIs)

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIs)

Selective Serotonin Reuptake Enhacer (SSRIs)

Penstabil Mood (Mood Stabilizer)

Electroconvulsive Teraphy (ECT)

b) Psikoterapi
Menurut Marasmis (2005), cara-cara psikoterapi dapat
dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu psikoterapi suportif dan
psiloterapi genetic dinamik.
1. Psikoterapi suportif
Tujuan psikoterapi jenis ini adalah menguatkan daya tahan
mental yang ada, mengembangkan mekanisme yang baru dan lebih
baik untuk mempertahankan control diri, dan dapat mengembalikan
keseimbangan

adaptif

(dapat

menyesuaikan

diri).

Cara-cara

psikoterapi suportif antara lain: ventilasi atau psikokatarsis, persuasi


atau

bujukan,

sugesti

penjaminan

kembali,

bimbingan

dan

penyuluhan, terapi kerja, hipnoterapi dan narkoterapi kelompok, terapi


perilaku.
2. Psikoterapi genetic-dinamik (psikoterapi wawasan).
35

Psikoterapi genetic-dinamik dibagi menjadi psikoterapi


reeduaktif dan psikoterapi rekonstruktif. Psikoterapi reedukatif adalah
usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai pengertian tentang
konflik-konflik yang letaknya lebih banyak dialam sadar, dengan usaha
berencana untuk penyesuaian diri kembali, memodifikasi tujuan , dan
membangkitkan serta mengungkapkan potensi reaktif yang ada. Cara
psikoterapi reedukatif antara lain: terapi hubungan antara manuasia,
terapi sikap, terapi wawancara, analisa dan sintesa yang distributive,
konseling terapetik, terapi kerja, reconditioning, terapi kelompok yang
reedukatif, dan terapi somatic. Cara-cara psikoterapi rekonstruktif
antara lain: Psikoanalisa Freud, Psikoanalisis non-Frreu, psikoanalisis
non-Freudian, dan psikoterapi yang berorientasi pada psikoanalisanya
(misalnya: asosiasi bebas, analisa mimpi, hipnoanalisa, narkoterapi,
terapi main, terapi seni, dan terapi kelompok analitik.
c) Manipulasi lingkungan
Lingkungan

pergaulan

pasien

akan

sangat

membantu

penatalaksanaan depresi pada lansia. Dimana keluarga penderita


harus bersifat sabar dan penuh perhatian. Pengobatan sosiokultural
dilakukan dengan mengurangi stresor yang ada yaitu menciptakan
lingkungan

yang

sehat

serta

memperbaiki

sistem

komunikasi

lingkungan. Selain itu keadaan fisik dan keberhasilan perlu mendapat


perhatian

yang

optimal

dan

seringkali

diperlukan

mmanipulasi

lingkungan untuk meringankan penderitaan pasien


Masalah Khusus
Banyak

usia

lanjut

dianggap

apatis

terhadap

keadaan

inkontinensianya. Oleh karena itu dalam penilaian harus dicari betul


apakah ini depresi atau tidak, sehingga perlu pemberian obat-obat
anti depresan. Apatis juga dapat merupakan usaha pasien untuk
mengatasi keadaan inkontinensianya.
Secara ideal mengingat cukup banyak kasus dengan inkontinensia,
maka perlu ada 1 tim inkontinensia, yang terdiri dari professional;
dokter, perawat, rehabilitasi, psikiater, yang bersama keluarga pasien
36

dan pasien sendiri untuk mengatasi hal ini. Dengan program yang
terencana, pendidikan dan latihan, serta dukungan ahli urologi/bedah
maka sebagian besar kasus dapat ditangani. Di Negara yang telah
maju

banyak

organisasi

yang

mengkhususkan

pada

masalah

inkontinensia, yang sangat membantu pasien. Walaupun inkontinensia


termasuk dalam pelayanan kesehatan, dengan adanya organisasiorganisasi seperti ini, pasien lebih mendapatkan perhatian.
h) Bagaimana komplikasi dari kasus?

Infeksi saluran kemih, urosepsis

Infeksi kulit daerah kemaluan

Gangguan tidur

Masalah psikososial seperti depresi, mudah marah dan rasa


terisolasi

Dehidrasi karena pasien mengurangi minum karena khawatir


terjadi inkontinensia urin

Ulkus dekubitus pada pasien yang kurang aktifitas, hanya


berbaring

i) Bagaimana pencegahan pada kasus?


a. Pencegahan inkontinensia urin
-

Mengontrol berat badan agar tidak terjadi obesitas. Obesitas

sebagai salah satu faktor predisposisi terjadinya inkontinensia urin.


-

Membiasakan diri untuk berkemih setiap 2-3 jam untuk menjaga

agar kandung kemih relatif kosong.


-

Menghindari minuman yang bisa menyebabkan iritasi kandung

kemih, misalnya minuman yang mengandung kafein.


-

Minum sebanyak 6-8 gelas/hari untuk mencegah pemekatan air

kemih, karena air kemih yang terlalu pekat bisa mengiritasi kandung
kemih.
-

Menghentikan pemakaian obat-obatan yang bisa menimbulkan efek

samping pada kandung kemih.


b. Pencegahan osteoporosis
Pencegahan penyakit osteoporosis sebaiknya dilakukan pada usia
muda maupun masa reproduksi. Berikut ini hal-hal yang dapat
37

mencegah osteoporosis, yaitu:


1) Asupan kalsium cukup
Mempertahankan

atau

meningkatkan

kepadatan

tulang

dapat

dilakukan dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup. Minum 2


gelas susu dan vitamin D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan
tulang

pada

wanita

setengah

baya

yang

sebelumya

tidak

mendapatkan cukup kalsium. Sebaiknya konsumsi kalsium setiap


hari. Dosis yang dianjurkan untuk usia produktif adalah 1000 mg
kalsium per hari, sedangkan untuk lansia 1200 mg per hari.
Kebutuhan kalsium dapat terpenuhi dari makanan sehari-hari yang
kaya kalsium seperti ikan teri, brokoli, tempe, tahu, keju dan
kacang-kacangan.
2) Paparan sinar matahari
Sinar

matahari terutama UVB

membantu tubuh

menghasilkan

vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan massa


tulang. Berjemurlah dibawah sinar matahari selama 20-30 menit,
3x/minggu. Sebaiknya berjemur dilakukan

pada pagi hari sebelum

jam 9 dan sore hari sesudah jam 4. Sinar matahari membantu tubuh
menghasilkan vitamin

yang

dibutuhkan oleh

tubuh dalam

pembentukan massa tulang.


3) Melakukan olahraga dengan beban
Selain olahraga menggunakan alat beban, berat badan sendiri juga
dapat berfungsi sebagai beban yang dapat meningkatkan kepadatan
tulang. Olahraga beban misalnya senam aerobik, berjalan dan
menaiki

tangga.

Olahraga

yang

teratur

merupakan

upaya

pencegahan yang penting. Tinggalkan gaya hidup santai, mulailah


berolahraga

beban

yang

ringan,

kemudian

tingkatkan

intensitasnya. Yang penting adalah melakukannya dengan teratur


dan

benar.

osteoporosis

Latihan
berbeda

fisik

atau

dengan

olahraga
olahraga

untuk
untuk

penderita
mencegah

osteoporosis. Latihan yang tidak boleh dilakukan oleh penderita


osteoporosis adalah sebagai berikut:

38

i.

Latihan atau aktivitas fisik yang berisiko terjadi

benturan dan pembebanan pada tulang punggung. Hal ini akan


menambah risiko

patah tulang

punggung

karena ruas tulang

punggung yang lemah tidak mampu menahan beban tersebut.


Hindari latihan berupa lompatan, senam aerobik dan joging.
ii.

Latihan atau aktivitas fisik yang

membungkuk
berbahaya

kedepn

karena

dengan

dapat

punggung

mengakibatkan

mengharuskan

melengkung.
cedera

Hal

ruas

ini

tulang

belakang. Juga tidak boleh melakukan sit up, meraih jari kaki, dan
lain-lain.
iii.

Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan

menggerakkan kaki kesamping atau menyilangkan dengan badan,


juga meningkatkan risiko patah tulang, karena tulang panggul dalam
kondisi lemah.
Berikut

ini

latihan

olahraga

yang

boleh

dilakukan

oleh

penderita osteoporosis:
i.

Jalan kaki secara teratur, karena memungkinkan

sekitar 4,5 km/jam selama 50 menit,


Ini

diperlukan

untuk

lima kali dalam seminggu.

mempertahankan kekuatan

tulang.

Jalan

kaki lebih cepat (6 km/jam) akan bermanfaat untuk jantung dan


paru-paru.
ii.

Latihan beban untuk kekuatan otot, yaitu dengan

mengangkat dumbble kecil untuk menguatkan pinggul, paha,


punggung, lengan dan bahu.
iii.

Latihan untuk meningkatkan keseimbangan dan

kesigapan.
iv.

Latihan

untuk

melengkungkan

punggung

ke

belakang, dapat dilakukan dengan duduk dikursi, dengan atau tanpa


penahan.

Hal

ini dapat

menguatkan otot-otot yang

menahan

punggung agar tetap tegak, mengurangi kemungkinan bengkok,


sekaligus memperkuat punggung.
4) Hindari rokok dan minuman beralkohol
Menghentikan kebiasaan merokok merupakan upaya penting dalam
39

mengurangi faktor risiko terjadinya osteoporosis. Terlalu banyak


minum alkohol juga bisa merusak tulang.
5) Deteksi dini osteoporosis
Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang biasanya tidak diawali
dengan gejala. Oleh karena itu, langkah yang paling penting dalam
mencegah dan mengobati osteoporosis adalah pemeriksaan secara
dini untuk mengetahui apakah kita sudah terkena osteoporosis atau
belum, sehingga dari pemeriksaan ini kita akan tahu langkah
selanjutnya.
c. Pencegahan hipertensi
- Jangan merokok dan hindari asap rokok
- Hindari obesitas atau kegemukan
- Olahraga secara teratur
- Jauhi alkohol
- Konsumsi makanan yang sehat dan bergizi seimbang
- Sering mengonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran
- Hindari kafein
Hindari makanan yang mengandung garam, lemak, dan tinggi akan
kalori
j) Bagaimana prognosis pada kasus?
Inkontinensia

urin

mempunyai

kemungkinan

besar

untuk

disembuhkan, terutama pada penderita dengan mobilitas dan status


mental yang cukup baik. Bahkan bila tidak dapat diobati dengan
sempurna, inkontinensia selalu dapat diupayakan lebih baik, sehingga
kualitas hidup penderita meningkat dan meringankan beban yang
merawat. Inkontinensia akut biasanya reversibel.
Vitam: dubia ad bonam
Fungsionam: dubia ad bonam

40

k) Bagaimana Standar Kompetensi Dokter Indonesia dari kasus? (5)


prass
Inkontinensia Urin : 2
Osteoporosis : 3A
Hipertensi : 4A
Fibrilasi atrial : 3A
Menopause : 2
Obesitas : 4A
Depresi: 2
Melakukan pemeriksaan Mini Mental State Examination : 4A
Hipotesis:
Ny. Minah (63 thn) menderita inkontinensia urin disertai depresi, hipertensi,
osteoporosis, menopause, obesitas.
Learning issue:
1. Geriatri dan perubahan fisiologis pada geriatri
2. Inkontinensia urin
3. Sindroma

geriatri

(depresi,

hipertensi,

osteoporosis,

menopause,

obesitas)
Sintesis
1. Geriatri dan perubahan fisiologis pada geriatri
a. Definisi Usia Lanjut
Usia lanjut adalah kelompok penduduk berumur tua. Golongan penduduk
yang mendapat perhatian atau pengelompokan tersendiri ini adalah populasi
penduduk berumur 60 tahun atau lebih.
Menurut Bustan ( 2007 ) WHO mengelompokkan usia lanjut atas tiga
kelompok :
1) Kelompok middle age ( 45-59 )
2) Kelompok elderly age ( 60-74 )
3) Kelompok old age ( 75-90 )
b. Perubahan Fisiologis Pada Usia Lanjut
1. Perubahan pada Sistem Sensoris
41

Persepsi sensoris mempengaruhi kemampuan seseorang untuk saling


berhubungan dengan orang lain dan untuk memelihara atau membentuk
hubungan

baru,

berespon

terhadap

bahaya,

dan

menginterprestasikan

masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.


Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat
keengganan

untuk

bersosialisasi

karena

kemunduran

dari

fungsi-fungsi

sensoris yang dimiliki. Indra yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran,


pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan kesatuan integrasi dari
persepsi sensori.
1.1. Penglihatan
Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam
proses penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan
akomodasi, konstriksi pupil, akibat penuan, dan perubahan warna serta
kekeruhan lansa mata, yaitu katarak.
Semakan bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi di sekitar kornea
dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris
dan sklera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada
lansia.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat
proses menua:
1.1.1.

Terjadinya

awitan

presbiopi

dengan

kehilangan

kemampuan

akomodasi. Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih


lemah dan kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis, dengan
kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan
jarak dekat. Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam membaca hurufhuruf yang kecil dan kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang
dekat.
1.1.2. Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter
pupil mengalami sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu penyempitan lapang
pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu.
1.1.3. Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang
terakumulasi dapat menimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini adalah
penglihatan

menjadi

kabur

yang

mengakibatkan

kesukaran

dalam
42

membaca

dan

memfokuskan

penglihatan,

peningkatan

sensitivitas

terhadap cahaya, berkurangnya penglihatan pada malam hari, gangguan


dalam persepsi kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian
ketinggian), perubahan dalam persepsi warna.
1.1.4. Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata
berpotensi terjadi sindrom mata kering.
1.2. Pendengaran
Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara dramatis dapat
mempengaruhi kualitas hidup. Kehilangan pendengaran pada lansia
disebut presbikusis.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat
proses menua:
1.2.1. Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural,
hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak
berfungsi dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi dari
hal ini adalah kehilangan pendengaran secara bertahap. Ketidak mampuan
untuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan dalam mendeteksi
suara dengan frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan (misal f, s, sk,
sh, l)
1.2.2. Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap
membran timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen
menjadi lemah dan kaku. Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi
suara.
1.2.3. Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit
menjadi lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi dari hal
ini adalah potensial terbentuk serumen sehingga berdampak pada
gangguan konduksi suara.
1.3. Perabaan
Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungisional
apabila

terdapat

gangguan

pada

penglihatan

dan

pendengaran.

Perubahan kebutuhan akan sentuhan dan sensasi taktil karena lansia telah
43

kehilangan orang yang dicintai, penampilan lansia tidak semenarik


sewaktu muda dan tidak mrngundang sentuhan dari orang lain, dan sikap
dari masyarakat umum terhadap lansia tidak mendorong untuk melakukan
kontak fisik dengan lansia.
1.4. Pengecapan
Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat
seseorang bertambah tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah
satu

keniknatan

dalam

kehidupan.

Perubahan

yang

terjadi

pada

pengecapan akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan


papila atau kuncup-kuncup perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah
sensitivitas terhadap rasa (manis, asam, asin, dan pahit) berkurang.
1.5. Penciuman
Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat
kimia yang mudah menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman
akibat proses menua yaitu penurunan atau kehilangan sensasi penciuman
kerena penuaan dan usia. Penyebab lain yang juga dianggap sebagai
pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman termasuk pilek,
influenza, merokok, obstruksi hidung, dan faktor lingkungan. Implikasi dari
hal ini adalah penurunan sensitivitas terhadap bau.
2. Perubahan pada Sistem Integumen
Pada lasia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas
tonjolan-tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis
tangan dan kaki. Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol.
Poliferasi abnormal pada terjadinya sisa melanosit, lentigo, senil, bintik
pigmentasi pada area tubuh yang terpajan sinar mata hari, biasanya
permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah. 3
Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat
penurunan jaringan elastik, mengakibatkan penampiln yang lebih keriput.
Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan penurunan
aktivitas kelenjar eksokri dan kelenar sebasea. Degenerasi menyeluruh
44

jaringan penyambung, disertai penurunan cairan tubuh total, menimbulkan


penurunan turgor kulit.
Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan penambahan
massa lemak 2% per dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5% per dekade.
2.1. Stratum Koneum
Stratum korneun merupakan lapisan terluar dari epidermis yang terdiri
dari timbunan korneosit. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi
pada stratum koneum akibat proses menua:
2.1.1. Kohesi sel dan waktu regenerasi sel menjadi lebih lama. Implikasi
dari hal ini adalah apabila terjadi luka maka waktu yang diperlukan untuk
sembuh lebih lama.
2.1.2. Pelembab pada stratum korneum berkurang. Implikasi dari hal ini
adalah penampilan kulit lebih kasar dan kering.
2.2. Epidermis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada epidermis akibat
proses menua:
2.2.1. Jumlah sel basal menjadi lebih sedikit , perlambatan dalam proses
perbaikan sel, dan penurunan jumlah kedalaman rete ridge. Implikasi dari
hal ini adalah pengurangan kontak antara epidermis dan dermis sehingga
mudah terjadi pemisahan antarlapisan kulit, menyebabkan kerusakan dan
merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi.
2.2.2. Terjadi penurunan jumlah melanosit. Implikasi dari hal ini adalah
perlindungan

terhadap

sinar

ultraviolet

berkurang

dan

terjadinya

pigmentasi yang tidal merata pada kulit.


2.2.3.

Penurunan

jumlah

sel

langerhans

sehingga

menyebabkan

penurunan konpetensi imun. Implikasi dari hal ini adalah respon terhadap
pemeriksaan kulit terhadap alergen berkurang.
2.2.4. Kerusakan struktur nukleus keratinosit. Implikasi dari hal ini adalah
perubahan kecepatan poliferasi sel yang menyebabkan pertumbuhan yang
abnormal seperti keratosis seboroik dan lesi kulit papilomatosa.

45

2.3. Dermis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada dermis akibat proses
menua:
2.3.1.

Volume

dermal

mengalami

penurunan

yang

menyebabkan

penipisan dermal dan jumlah sel berkurang. Implikasi dari hal ini adalah
lansia

rentan

terhadap

penurunan

termoregulasi,

penutupan

dan

penyembuhan luka lambat, penurunan respon inflamasi, dan penurunan


absorbsi kulit terhadap zat-zat topikal.
2.3.2. Penghancuran serabut elastis dan jaringan kolagen oleh enzimenzim. Implikasi dari hal ini adalah perubahan dalam penglihatan karena
adanya kantung dan pengeriputan disekitar mata, turgor kulit menghilang.
2.3.3. Vaskularisasi menurun dengan sedikit pembuluh darah kecil.
Implikasi dari hal ini adalah kulit tampak lebih pucat dan kurang mampu
malakukan termoregulasi.
2.4. Subkutis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada subkutis akibat proses
menua:
2.4.1. Lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan. Implikasi dari hal
ini adalah penampilan kulit yang kendur/ menggantung di atas tulang
rangka.
2.4.2. Distribusi kembali dan penurunan lemak tubuh. Implikasi dari hal ini
adalah gangguan fungsi perlindungan dari kulit
2.5. Bagian tambahan pada kulit, Bagian tambaha pada kulit
meliputi rambut, kuku, korpus pacini, korpus meissner, kelenjar
keringat, dan kelenjar sebasea.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada rambut, kuku, korpus
pacini, korpus meissner, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea akibat
proses menua:
2.5.1. Berkurangnya folikel rambut. Implikasi dari hal ini adalah Rambut
bertambah uban dengan penipisan rambut pada kepala. Pada wanita,
mengalami peningkatan rambut pada wajah. Pada pria, rambut dalam
46

hidung dan telinga semakin jelas, lebih banyak dan kaku.


2.5.2. Pertumbuhan kuku melambat. Implikasi dari hal ini adalah kuku
menjadi lunak, rapuh, kurang berkilsu, dan cepet mengalami kerusakan.
2.5.3. Korpus pacini (sensasi tekan) dan korpus meissner (sensasi
sentuhan) menurun. Implikasi dari hal ini adalah beresiko untuk terbakar,
mudah mengalami nekrosis karenan rasa terhadap tekanan berkurang.
2.5.4. Kelenjar keringat sedikit. Implikasi dari hal ini adalah penurunan
respon dalam keringat, perubahan termoregulasi, kulit kering.
2.5.5. Penurunan kelenjar apokrin. Implikasi dari hal ini adalah bau badan
lansia berkurang
3. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas,
gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia,
perusakan dan

pembentukan tulang melambat. Hal ini

terjadi

karena

penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon


lain.

Tulang-tulang

trabekulae

menjadi

lebih

berongga,

mikro-arsitektur

berubah dan seiring patah baik akibat benturan ringan maupun spontan.3
3.1. Sistem Skeletal
Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh mengalami
penurunan. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
skeletal akibat proses menua:
3.1.1. Penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan
didkus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi
dari hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan
barrel-chest.
3.1.2. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi
sebagai perlindungan terhadap beban geralkan rotasi dan lengkungan.
Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur
3.2. Sistem Muskular
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem muskular
47

akibat proses menua:


3.2.1. Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi
dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang
kurang aktif.
3.2.2. Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan
sendi, penyusustan dan sklerosis tendon dan otot, den perubahan
degeneratif ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
fleksi.
3.3. Sendi
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses
menua:
3.3.1. Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini
adalah nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi da deformitas.
3.3.2. Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan risiko cedera.
3.4. Estrogen
Perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua, yaitu
penurunan hormon esterogen. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan
unsur-unsur tulang yang berdampak pada pengeroposan tulang.
4. Perubahan pada Sistem Neurologis
Berat otak menurun 10 20 %. Berat otak 350 gram pada saat
kelahiran, kemudian meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun,berat
otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11%
dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10% selama
umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 million sel termasuk diantaranya sel
neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat
Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat
mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi
penebalan atrofi cerebral (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun.
Secara

berangsur-angsur

tonjolan

dendrit

di

neuron

hilang

disusul
48

membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi


fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin
(pigment wear and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal
dari lisosom atau mitokondria
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem neurologis
akibat proses menua:
4.1. Konduksi saraf perifer yang lebih lambat. Implikasi dari hal ini adalah
refleks tendon dalam yang lebih lambat dan meningkatnya waktu reaksi.
4.2. Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron. Implikasi dari hal ini
adalah vasokonstriksi dan vasodilatasi yang tidak sempurna.
4.3. Termoregulasi oleh hipotalamus kurang efektif. Implikasi dari hal ini
adalah bahaya kehilangan panas tubuh.
5. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular
Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural
maupun fungisional. Penurunan yang terjadi berangsur-angsur sering terjadi
ditandai dengan penurunan tingkat aktivitas, yang mengakibatkan penurunan
kebutuhan darah yang teroksigenasi.
Jumlah detak jantung saat istirahat pada orang tua yang sehat tidak ada
perubahan, namun detak jantung maksimum yang dicapai selama latihan berat
berkurang. Pada dewasa muda, kecepatan jantung dibawah tekanan yaitu, 180200 x/menit. Kecepatan jantung pada usia 70-75 tahun menjadi 140-160
x/menit.
5.1. Perubahan Struktur
Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan
terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan
merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai keragaman fungsi
kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan tanpa penyakitterkait.
Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot
jantung, yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti
penimbunan amiloid, degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan
49

dan kekakuan pembuluh darah, dan peningkatan jaringan fibrosis. Pada


lansia terjadi perubahan ukuran jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada
usia 30-70 tahun.2
Berikut ini merupakan perubahan struktur yang terjadi pada sistem
kardiovaskular akibat proses menua:
5.1.1. Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas
kolagen dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini
adalah ketidakmampuan jantung untuk distensi dan penurunankekuatan
kontraktil.
5.1.2. Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his
kehilangan serat konduksi yang yang membawa impuls ke ventrikel.
Implikasi dari hal ini adalah terjadinya disritmia.
5.1.3. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena
peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan
medial

arteri.

Implikasi

dari

hal

ini

adalah

penumpulan

respon

baroreseptor dan penumpulan respon terhadap panas dan dingin.


5.1.4. Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah
vena menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara
sempurna sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas
bawah dan penumpukan darah.
6. Perubahan pada Sistem Pulmonal
Perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru dan dinding dada
turut berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20% pada usia 60
tahun. Penurunan lajuekspirasi paksa atu detik sebesar 0,2 liter/dekade.5
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem pulmonal
akibat proses menua:
6.1. Paru-paru kecil dan kendur, hilangnya rekoil elastis, dan pembesaran
alveoli. Implikasi dari hal ini adalah penurunan daerah permukaan untuk
difusi gas.
6.2. Penurunan kapasitas vital penurunan PaO2 residu. Implikasi dari hal
ini adalah penurunan saturasi O2 dan peningkatan volume.
6.3. Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi. Implikasi dari hal
50

ini adalah dispnea saat aktivitas.


6.4.

Kalsifikasi

kartilago

kosta,

kekakuan

tulang

iga

pada

kondisi

pengembangan. Implikasi dari hal ini adalah Emfisema sinilis, pernapasan


abnominal, hilangnya suara paru pada bagian dasar.
6.5. Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru.
Implikasi dari hal ini adalah atelektasis.
6.6. Kelenjar mukus kurang produktif. Implikasi dari hal ini adalah
akumulasi cairan, sekresi kental dan sulit dikeluarkan.
6.7. Penurunan sensitivitas sfingter esofagus. Implikasi dari hal ini adalah
hilangnya sensasi haus dan silia kurang aktif.
6.8. Penurunan sensitivitas kemoreseptor. Implikasi dari hal ini adalah
tidak ada perubahan dalam PaCO2 dan kurang aktifnya paru-paru pada
gangguan asam basa.
7. Perubahan pada Sistem Endokrin
Sekitar 50% lansia menunjukka intoleransi glukosa, dengan kadar gula
puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah
faktor diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan.
Frekuensi hipertiroid pada lansia yaitu sebanyak 25%, sekitar 75% dari
jumlah tersebut mempunyai gejala, dan sebagian menunjukkan apatheic
thyrotoxicosis.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem endokrin akibat
proses menua:
7.1. Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah Glukosa
darah puasa 140 mg/dL dianggap normal.
7.2. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal.
7.3. Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
7.4. Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit
menurun, dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah serum T3 dan T4 tetap stabil.

51

8. Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria


Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder,
uretra, dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terlait eliminasi
urine. Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam mengontrol berkemih,
sehingga dapat mengakibatkan inkontinensia, dan akan memiliki konsekuensi
yang lebih jauh.
8.1. Perubahan pada Sistem Renal
Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta
nefron dan memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi
sebesar 5-7% setiap dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin
berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai penyaring darah,
perubahan aliran vaskuler akan mempengaruhi kerja nefron dan akhirnya
mempebgaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan matabolik sistem renal
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem renal akibat
proses menua:
8.1.1. Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada
area fokal, dan total permukaan glomerulus mengalami penurunan,
panjang dan volume tubulus proksimal berkurang, dan penurunan aliran
darah renal. Implikasi dari hal ini adalah filtrasi menjadi kurang efisien,
sehingga secara fisiologis glomerulus yang mampu menyaring 20% darah
dengan kecepatan 125 mL/menit (pada lansia menurun hingga 97
mL/menit atau kurang) dan menyaring protein dan eritrosit menjadi
terganggu, nokturia.
8.1.2. Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total
lemak tubuh, penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus,
penurunan kemampuan untuk memekatkan urine. Implikasi dari hal ini
adalah penurunan total cairan tubuh dan risiko dehidrasi.
8.1.3. Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari
saluran gastrointestinal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko
osteoporosis.1
8.2. Perubahan pada Sistem Urinaria
52

Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua, yaitu
penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL), peningkatan
volume residu (N: 50 mL), peningkatan kontraksi kandung kemih yang
tidak di sadari, dan atopi pada otot kandung kemih secara umum.
Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko inkotinensia.2,5
9. Perubahan pada Sistem Gasrointestinal
Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia berkaitan
dengan gaya hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik
degeneratif, antara lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar dan
otot-otot pencernaan.3
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal
akibat proses menua:
9.1. Rongga Mulut
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada rongga mulut akibat
proses menua:
9.1.1. Hilangnya tulang periosteum dan periduntal, penyusustan dan
fibrosis pada akar halus, pengurangan dentin, dan retraksi dari struktur
gusi. Implikasi dari hal ini adalah tanggalnya gigi, kesulitan dalam
mempertahankan pelekatan gigi palsu yang lepas
9.1.2. Hilangnya kuncup rasa. Implikasi dari hal ini adalah perubahan
sensasi rasa dan peningkatan penggunaan garam atau gula untuk
mendapatkan rasa yang sama kualitasnya.
9.1.3. Atrofi pada mulut. Implikasi dari hal ini adalah mukosa mulut
tampak lebih merah dan berkilat. Bibir dan gusi tampak tipis kerena
penyusutan epitelium dan mengandung keratin.
9.1.4. Air liur/ saliva disekresikan sebagai respon terhadap makanan yang
yang telah dikunyah. Saliva memfasilitasi pencernaan melalui mekanisme
sebagai berikut: penyediaan enzim pencernaan, pelumasan dari jaringan
lunak, remineralisasi pada gigi, pengaontrol flora pada mulut, dan
penyiapan makanan untuk dikunyah. Pada lansia produksi saliva telah
mengalami penurunan.1,2
53

9.2. Esofagus, Lambung, dan Usus


Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada esofagus, lambung
dan usus akibat proses menua:
9.2.1. Dilatasi esofagus, kehilangan tonus sfingter jantung, dan penurunan
refleks muntah. Implikasi dari hal ini adalahpeningkatan terjadinya risiko
aspirasi.
9.2.2. Atrofi penurunan sekresi asam hidroklorik mukosa lambung sebesar
11% sampai 40% dari populasi. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan
dalam mencerna makanan dan mempengaruhi penyerapan vitamin B12,
bakteri usus halus akan bertumbuh secara berlebihan dan menyebabkan
kurangnya penyerapan lemak.
9.2.3. Penurunan

motilitas

lambung.

Implikasi

dari hal

ini adalah

penurunan absorbsi obat-obatan, zat besi, kalsium, vitamin B12, dan


konstipasi sering terjadi
9.3. Saluran Empedu, Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas
Pada hepar dan hati mengalami penurunan aliran darah sampai 35% pada
usia lebih dari 80 tahun.5 Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi
pada saluran empedu, hati, kandung empedu, dan pankreas akibat proses
menua:
9.3.1. Pengecilan ukuran hari dan penkreas. Implikasi dari hal ini adalah
terjadi penurunan kapasitas dalam menimpan dan mensintesis protein dan
enzim-enzim pencernaan. Sekresi insulin normal dengan kadar gula darah
yang tinggi (250-300 mg/dL).
9.3.2. Perubahan proporsi lemak empedu tampa diikuti perubahan
metabolisme asam empedu yang signifikan. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan sekresi kolesterol.
10. Perubahan pada Sistem Reproduksi
10.1. Pria
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi pria
akibat proses menua:
54

10.1.1. Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya


penurunan secara berangsur-angsur.
10.1.2. Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia
noduler benigna terdapat pada 75% pria >90 tahun.
10.2. Wanita
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi
wanita akibat proses menua:
10.2.1. Penurunan estrogen yang bersikulasi. Implikasi dari hal ini adalah
atrofi jaringan payudara dan genital.
10.2.2. Peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini
adalah penurunan massa tulang dengan risiko osteoporosis dan fraktur,
peningkatan kecepatan aterosklerosis.
2. Inkontinensia urin
Definisi :
Inkontinensia urin adalah suatu keadaan berupa keluarnya urin secara
involunter/tidak dapat dikontrol, yang dapat diamati secara obyektif dan
merupakan masalah sosial dan higienis.
Etiologi dan Faktor Resiko :
c. Usia yang bertambah berdampak pada perubahan hampir seluruh organ
tubuh. Perubahan ini diantaranya adalah melemahnya otot dasar panggul
yang menjaga

kandung kemih dan pintu saluran kemih, timbulnya

kontraksi abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan rangsangan


berkemih sebelum waktunya dan meninggalkan sisa.
d. Jenis kelamin, perempuan 2x lebih banyak dari laki-laki
e. Kelemahan otot dasar panggul
f. Jumlah melahirkan per vaginam
g. Menopause
h. Obesitas
i. Hipertropi prostat dapat mengakibatkan banyaknya sisa air kemih di
kandung kemih sebagai akibat pengosongan yang tidak sempurna.
55

j. Faktor

psikologis

seperti

stress

dapat

menyebabkan

terjadinya

peningkatan pengeluaran urin sebagai efek dari noreepinefrin, yang


mana noreefinefrin merupakan hormon yang mempengaruhi kontraksi
otot polos yang bekerjanya berlawanan dengan asetilkolin
k. Lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya inkontinensia urin
diantaranya pengaruh cuaca atau iklim terutama pada cuaca dingin dan
karena letak toilet yang jauh sehingga sebelum mencapai tempatnya
sudah tidak dapat menahan air kemih
l. faktor-faktor yang mengiringi perubahan pada organ tubuh antara lain
infeksi saluran kemih, obat-obatan, imobilisasi, dan kepikunan
m. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik,
analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa,
ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik.
n. Kafein dan alcohol
Epidemiologi :
Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring

dengan meningkatnya umur

dan meningkatkanya kelemahan, dan diperkirakan 1,3 sampai 2 kali lebih


besar pada perempuan usia lanjut (35%) daripada laki-laki usia lanjut (22%).
Klasifikasi Inkontinensia :
Inkontinensia urin dibagi menjadi inkontinensia akut dan kronik/persisten.
i. Interkontinensia Akut
Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan
kondisi sakit akut atau problem iatrogenik/lingkungan yang menghilang jika
bila kondisi akut teratasi atau problem medikasi dihentikanEtiologinya
disingkat dengan DRIP atau DIAPPERS.

56

Inkontinensia Persisten
Inkontinensia persisten merujuk pada kondisi uri kontinensia yang tidak
berkaitan dengan kondisi akut/iatrogenik dan berlangsung lama. Terdapat
empat tipe inkontinensia urin persisten, yaitu: Fungsional Inkontinensia Urin,
Overflow Inkontinensia Urin (OIU), Stress Inkontinensia Urin (SIU), Urge
Inkontinensia Urin (UIU).
Jenis-jenis Inkontinensia Urin
-

Stress urinary incontinence


terjadi

apabila

urin

secara

tidak

terkontrol

keluar

akibat

tidak

terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal.


Dalam hal ini, tekanan di dalam kandung kencing menjadi lebih besar
daripada tekanan pada urethra. Gejalanya antara lain kencing sewaktu
batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan
tekanan pada rongga perut. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot
dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada
lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin
terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah
pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin
pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit
atau banyak. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi(misalnya
dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara
operasi (cara yang lebih sering dipakai).
57

Urge incontinence
Keluarnya

urin

secara

tidak

terkendali

dikaitkan

dengan

sensasi

keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan


kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah
neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi
stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien
mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan
untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia
tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di
atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas
detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi
involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali.
Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan
obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena
dapat menyerupai inkontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya
tidak tepat. Gejalanya antara lain perasaan ingin kencing yang mendadak,
kencing

berulang

kali,

kencing

malam

hari,

dan

inkontinensia.

Pengobatannya dilakukan dengan pemberian obat-obatan dan beberapa


latihan.
-

Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)


Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung

kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti
pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis
multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung
kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Gejalanya berupa rasa tidak puas
setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kencing), urin
yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
-

Inkontinensia urin fungsional


Memerlukan

identifikasi

semua

komponen

tidak

terkendalinya

pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab


tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor
58

lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan


faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan
berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia
urin.
Patofisiologi :
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologi
juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada
tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di
pusat berkemih di sacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume
kandung kemih di medula spinalis. Pengisian kandung kemih dilakukan dengan
cara relaksasi kandung kemih melalui penghambatan kerja saraf parasimpatis
dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta
saraf somatik yang mempersarafi otot dasar panggul. Pengosongan kandung
kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan kontraksi
kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek
serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih.
Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia
sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan
dapat mengganggu koordinasi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi
uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan
inkontinensia.
Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urin
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat
mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan
fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau
kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga
dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh
dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika
sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin
seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat
pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung
59

kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.


Laboratorium Inkontinensia Urin
Elektrolit,

ureum,

creatinin,

glukosa,

dan

kalsium

serum

dikaji

untuk

menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.


Penatalaksanaan Inkontinensia Urin
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi
faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin,
modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Terapi non farmakologi Inkontinensia Urin
Dilakukan

dengan

mengoreksi

penyebab

yang

mendasari

timbulnya

inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,


gula darah tinggi.
Farmakologi Inkontinensia Urin
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik
seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada
inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik
agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
Terapi Pembedahan Inkontinensia Urin
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,
bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan
retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
3. Sindroma

geriatri

(depresi,

hipertensi,

osteoporosis,

menopause,

obesitas)
1.

Menopause
Definisi
Menopause adalah berhentinya siklus menstruasi secara teratur akibat
turunnya produksi estrogen oleh ovarium.
60

Berhentinya menstruasi (sekret fisiologik darah dan jaringan mukosa


serta bersiklus yang melalui vagina dari uterus tidak hamil, dibawah
pengendalian hormon). Merupakan suatu bagian dari proses menua
yang irreversible dan melibatkan sistem reproduksi wanita. Dimulai
setelah 12 bulan sejak menstruasi terakhir dan ditandai dengan
berlanjutnya gejala vasomotor dan gejala urogenital seperti keringnya
vagina dan merupakan satu peristiwa dalam klimakterium, yaitu fase
fisiologis yang terjadi jika fungsi ovarium telah mengalami regresi.
Etiologi
Penurunan fungsi ovarium. Ooforektomi bilateral pada setiap usia
setelah menarche juga dapat menimbulkan gejala-gejala seperti
menopause.
Epidemiologi
Semua wanita akan mengalami menopause. Biasa terjadi pada usia 4552 tahun.
Manifestasi klinis
Amenorrhea
Hot flushes(panas pada kulit wajah dan leher)
Berdebar-debar
Sakit kepala, vertigo
Tangan dan kaki terasa dingin
Mudah tersinggung
Cemas, gelisah, depresi
Insomnia
Keringat waktu malam
Pelupa, sulit berkonsentrasi
Cepat lelah
Penambahan berat badan
Dispareuni
2.

Obesitas

61

Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk


dengan energi yang keluar. Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa
Tubuh (IMT) telah diakui sebagai metoda yang paling praktis dalam
menentukan tingkat overweight dan obesitas pada orang dewasa di
bawah umur 70 tahun.
Epidemiologi
Dari perkiraan 210 juta penduduk Indonesia tahun 2000, jumlah
penduduk yang overweight diperkirakan mencapai 76.7 juta (17.5%) dan
pasien obesitas berjumlah lebih dari 9.8 juta (4.7%). Berdasarkan data
tersebut, dapat disimpulkan bahwa overweight dan obesitas di Indonesia
telah menjadi masalah besar yang memerlukan penangan secara serius.
Etiologi
Genetik
Hal ini dimungkinkan karena banyak gen yang terlibat dalam
proses pengeluaran dan pemasukan energi. Gen obese ini merupakan
suatu protein yang dikenal dengan nama leptin dan diproduksi oleh selsel lemak (adipositas) yang disekresikan ke dalam darah. Leptin ini
berfungsi sebagai suatu duta (massanger) dari jaringan adiposa yang
memberikan informasi ke otak mengenai ukuran massa lemak. Salah
satu efek utamanya adalah sebagai penghambat sintesa dan pelepasan
neuropeptida

Y,

dengan

cara

meningkatkan

asupan

makanan,

menurunkan thermogenesis dan meningkatkan kadar insulin. Leptin


memberitahukan otak mengenai jumlah lemak yang tersedia, tetapi pada
orang obese proses ini ini mungkin tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Faktor Fisiologi
Overweight dan Obesitas meningkat sesuai dengan pertambahan
umur dan kemudian menurun sebelum akhirnya berhenti pada usia
lanjut. BMI juga meningkat pada wanita yang sedang hamil.
Faktor Sosial Ekonomi
Penentu Tingkah Laku / Psikologi
Bagi

individu

yang

inaktif,

termasuk

mereka

yang

jarang

melakukan olah raga, mengkonsumsi alkohol dan merokok - cenderung


mengalami peningkatan BB. Meskipun alkohol mungkin mempunyai efek
62

kardioprotektif, namun konsumsi yang berlebihan dapat menimbulkan


kelebihan asupan energi sehingga mengakibatkan penyakit liver dan
saluran cerna lainnya, seperti penyakit gallblader.
Faktor-faktor psikologis juga berpengaruh terhadap kebiasaan
makan. Makan, bagi sebagian orang juga dapat memberikan respon dari
emosi yang negatif, seperti kebosanan dan kesedihan.
P. fisik
Lingkar perut dan lingkar panggul untuk menentukan obesitas sentral
Tebal lemak bawah kulit
BMI
2

Kategori
< 18,5
Underweight
18,5 22,9
Normal
23- 24,9
Overweight
25-29,9
Obese I
> 30
Obese II
Tabel klasifikasi BMI menurut WHO

P. Penunjang: pemeriksaan laboratorium: Profil lipid


Pada

wanita

antara

usia

55-60

tingkat

metabolisme

basal

dan

pengeluaran untuk aktivitas fisik menurun saat memasuki usia dewasa.


Akan tetapi asupan kalori tidak diimbangi sehingga berat badan
meningkat
a. Dengan meningkatnya usia terjadi massa lemak total serta
berkurangnya massa tubuh kering dan massa tulang. Di sisi lain, dengan
bertambahnya usia aktivitas tubuh << gerak tubuh << lemak
semakin banyak tersimpan.
b. Pada

wanita

antara

usia

55-60

tingkat

metabolisme

basal

dan

pengeluaran untuk aktivitas fisik menurun saat memasuki usia dewasa.


Akan tetapi asupan kalori tidak diimbangi sehingga berat badan
meningkat.
Hubungannya dengan inkontinensia : obesitas Penambahan berat
di area midsection Berat berlebihan di abdominal Peningkatan
tekanan di vesica urinary Vesica urinary lebih lemah IU
3.

Hipertensi Sistolik Terisolasi


63

Definisi : Hipertensi tekanan sistolik 140 mmHg dan tekanan


diastolic 90 mmHg. Isolated systolic hipertension adalah
hipertensi primer dimana tekanan sistolik ( 140 mmHg), sedangkan
tekanan diastolic cenderung menetap atau sedikit ( 90 mmHg).
Dikarakteristikkan oleh suatu tekanan nadi (pulse pressure) yang
meningkat (melebar).Tekanan denyutan (pulse pressure) adalah selisih
antara tekanan darah sistolik dan diastolik.
Epidemiologi
Terjadi pada 80% geriatri dengan usia 50 tahun
Prevalensi : <1 / 1000 orang pada usia 25-35 tahun sampai 40 / 1000
pada usia 80-90 tahun.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Systolic Hypertension in
Elderly Program (SHEP), prevalensi HST ada sebanyak 8% pada usia
60-69 tahun, 11% pada usia 70-79 tahun, dan 22% dari usia >80
tahun.
Terutama pada wanita
Insidensi meningkat dengan bertambahnya umur
Etiologi
Menurunnya elastisitas dan daya kembang arteri karena usia,
akumulasi

kalsium

dan

kolagen

pada

arteri

yang

menyebabkan

atherosclerosis. Hal hal ini menyebabkan tekanan sistolik.


Sekitar 90% orang usila mengalami HST tipe pimer (idiopatik).
Sedangkan sisanya mengalami HST tipe sekunder akibat dari penyakit
Endokrin

(cushing

syndrome,

hipertiroid,

aldosteronisme

primer),

penyakit Ginjal (penyakit ginjal polikistik, glomerulonefritis, pyelonefritis


kronik)
Kondisi-kondisi yang terdapat pada usila sering menjadi pemicu
eksaserbasi

hipertensi

primer

atau

pemicu

progresivitas

perhipertensi menjadi hipertensi, yaitu : Insufisiensi ginjal, Gagal


ginjal,

Pengunaan

obat-obatan

seprti

NSAID,

COX-2

inhibitor,

kortikosteroid, dan siklosporin ; Konsumsi alcohol, Obesitas, Hipertiroid,


Obstruktif sleep apnea, Kanker
Patofisiologi
64

Perubahan

pada

pembuluh

darah

(krn

proses

menua)yang

bisa

menyebabkan tekanan sistolik,yaitu :


kekakuan arteri
vascular distensibility kerena jumlah dan ukuran sel-sel otot polos
deposisi kolagen medial
komponen-komponen elastin
Kekakuan

aorta

akan

mengakibatkan

meningkatnya

TDS

dan

pengurangan volume aorta akan mengakibatkan menurunnya TDD.


CO ex: anemia, hipertiroid, insufisiensi aorta, fistula atriovenosa,
Pagets disease of bone
elastisitas dan komplians arteri besar karena penuaan dan
aterosklerosis akibat akumulasi kalsium dan kolagen pada arteri dan
degradasi elastin arteri
Kekakuan arteri conduit tekanan arteri yang kembali dari perifer
tekanan sistolik kekakuan arteri dan kerusakan endotel serta
vasodilatasi
Perubahan mekanisme refleks baroreseptor kegagalan refleks postural
Perubahan keseimbangan antara vasodilatasi adrenergik beta dan
vasokonstriksi

adrenergik

alfa

kecenderungan

vasokontriksi

peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah


Peningkatan asupan dan penurunan sekresi retensi Na
Perubahan perubahan di atas bertanggung jawab terhadap
peningkatan tekanan sistolik yang disproporsional, penurunan curah
jantung

(cardiac

output),

penurunan

denyut

jantung,

penurunan

kontraktilitas miokard, hipertrofi ventrikel kiri, dan disfungsi diastolik


penurunan fungsi ginjal dengan penurunan perfusi ginjal dan laju filtrasi
glomerulus.
Tabel Klasifikasi Hipertensi JNC Vll, 2003
Klasifikasi

Sistolik

Diastolik

Normal
Prehipertensi

(mmHg)
<120
120-139

(mmHg)
<80
80-89
65

Hipertensi tingkat 1
Hipertensi tingkat 2
Hipertensi sistolik

140-159
160
140

90-99
100
<90

terisolasi
Hubungan dengan obese pada kasus : Framingham Studi
telah

menemukan

menyebabkan

bahwa

peningkatan

peningkatan
tekanan

15%

darah

berat

sistolik

badan

dapat

sebesar

18%.

Dibandingkan dengan mereka yang mempunyai BB normal, orang yang


overweight dengan kelebihan berat badan sebesar 20% mempunyai
resiko delapan kali lipat lebih besar terhadap hipertensi.
Manifestasi klinik
Kebanyakan pasien hipertensi primer bersifat asimtomatik. Namun
pada TD yang tinggi atau yang meningkat secara mendadak dapat terjadi
gejala seperti sakit kepala, pandangan kabur, pusing, epistaksis dan
gejala lain sesuai dengan gangguan pada organ yang bersangkutan juga
dapat timbul.
4.

Atrial fibrilasi
Dinilai dengan membandingkan pulse pada apex jantung terhadap
arteri radialis pada waktu yang sama selama 1 menit. Denyut pada a.
Radialis jauh lebih lemah dibandingkan pada apex jantung. Merupakan
salah satu tanda terjadinya fibrilasi atrial. Akan tetapi masih belum
terdapat gejala pemberat berupa lemah, sesak napas terutama saat
aktivitas, pusing, gejala yang menunjukan adanya iskemia atau gagal
jantung kongestif.
Epidemiologi
a) Pada populasi umum prevalensi FA terdapat 1-2% dan meningkat
dengan bertambahnya umur.
b) Umur < 50 tahun prevalensi FA < 1% , Umur 80 tahun meningkat
menjadi >9%
c) Laki2 > wanita
Penyebab :

a. Pembesaran atrium akibat lesi pada katup jantung yang mencegah


atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau
66

karena kegagalan ventrikel yang diakibatkan oleh pembendungan darah


yang banyak di dalam atrium.
b. Dinding

atrium

yang

berdilatasi

merupakan

kondisi

ideal

untuk

menyebabkan jalur konduksi yang panjang demikian juga dengan


konduksi yang lambat, yang keduanya merupakan factor predisposisi
fibrilasi atrium.
Manifetasi Klinis
Dapat asymptomatic, tergantung derajat keparahan AF.Pada yang
simtomatic, dapat terjadi:

palpitations,

dyspnea,

fatigue,

dizziness,

angina,

decompensated heart failure

Klasifikasi
Klasifikasi FA berdasarkan waktu timbul & kemungkinan keberhasilan
konversi ke irama sinus :
1. Paroksismal, bila FA berlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan
sendirinya dan kembali ke irama sinus tanpa intervensi pengobatan
atau tindakan apapun.
2. Persisten, bila FA menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti
dengan intervensi pengobatan atau tindakan.
3. Permanen, bila FA berlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi
pengobatan FA tetap tidak berubah (sulit untuk mengembalikan ke
irama sinus).
Pemeriksaan Penunjang:
EKG mengetahui irama (verifikasi FA), hipertrofi ventrikel kiri, iskemia
EKG :
o absen gelombang P; rapid oscilation (gelombang fibrilatory [f]) yang
bervariasi dalam amplitude, frekuensi, dan bentuk;
o Respon ventricular yang ireguler
Foto rontgen toraks
67

Ekokardiograf melihat kelainan katup, ukuran atrium dan ventrikel,


fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow, dan trombus di atrium kiri.

Osteoporosis
Definisi : penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa
massa tulang yang rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan
penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat akhirnya
menimbulkan kerapuhan tulang.
Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan
mineral tulang adalah sebagai berikut (Nissl, 2004):
i. Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), menggunakan dua
sinar-X berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan
tulang

belakang

dan

pangkal

paha.

Sejumlah

sinar-X

dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang


dibandingkan
mempunyai

dengan

bagian

yang

lain.

Tulang

yang

kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan

sedikit sinar-X yang melewatinya. DEXA merupakan metode


yang

paling

akurat

untuk

mengukur

kepadatan

mineral

tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang


hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya
menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih
mahal dibandingan dengan metode ultrasounds.
ii. Peripheral
merupakan

dual-energy

X-ray

absorptiometry

(P-DEXA),

hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur

kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan,


tetapi tidak dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko
patah tulang seperti tulang belakang atau pangkal paha. Jika
kepadatan tulang belakang dan pangkal paha sudah diukur
maka pengukuran dengan P- DEXA tidak diperlukan. Mesin P68

DEXA mudah dibawa, menggunakan radiasi sinar-X


dosis

yang

sangat

kecil,

dan

hasilnya

lebih

dengan

cepat

dan

konvensional dibandingkan DEXA.


iii.

Dual

zat

photon

radioaktif

absorptiometry

(DPA),

menggunakan

untuk menghasilkan radiasi. Dapat mengukur

kepadatan mineral tulang belakang dan pangkal paha, juga


menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat rendah
tetapi memerlukan waktu yang cukup lama.
iv.Ultrasounds,

pada

umumnya

digunakan

untuk

tes

pendahuluan. Jika hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral


tulang rendah maka dianjurkan untuk tes menggunakan DEXA.
Ultrasounds menggunakan gelombang suara untuk mengukur
kepadatan

mineral

tulang,

biasanya

pada

telapak

kaki.

Sebagian mesin melewatkan gelombang suara melalui udara


dan

sebagian

lagi

melalui

air. Ultrasounds dalam

penggunaannya cepat, mudah dan tidak menggunakan radiasi


seperti sinar-X.
dapat

Salah

satu

kelemahan

Ultrasounds tidak

menunjukkan kepadatan mineral tulang yang berisiko

patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan Ultrasounds


juga lebih terbatas dibandingkan DEXA.
v. Quantitative

computed

tomography

(QTC),

adalah

suatu

model dari CT-scan yang dapat mengukur kepadatan tulang


belakang. Salah satu model dari QTC disebut peripheral QCT
(pQCT) yang dapat mengukur kepadatan tulang anggota badan
seperti
dengan

pergelangan
QCT jarang

tangan.

Pada

dianjurkan

umumnya
karena

pengukuran

sangat

mahal,

menggunakan radiasi dengan dosis tinggi, dan kurang akurat


dibandingkan dengan DEXA, PDEXA,atau DPA (Kosnayani,2007).
Klasifikasi:
Osteoporosis primer
Osteoporosis primer sering menyerang wanita paska menopause dan
juga pada pria usia lanjut dengan penyebab yang belum diketahui.
Osteoporosis sekunder

69

Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan


dengan :

Cushing's disease

Hyperthyroidism

Hyperparathyroidism

Hypogonadism

Kelainan hepar

Kegagalan ginjal kronis

Kurang gerak

Kebiasaan minum alkohol

Pemakai obat-obatan/corticosteroid

Kelebihan kafein

Merokok

Etiologi :
a. Osteoporosis postmenopausal :
Kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu
mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.
Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun,
tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak
semua

wanita

memiliki

resiko

yang

sama

untuk

menderita

osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur


lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
b. Osteoporosis senilis :
Kemungkinan

merupakan

akibat

dari

kekurangan

kalsium

yang

berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan


hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti
bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya
terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang
wanita.

Wanita

seringkali

menderita

osteoporosis

senilis

dan

postmenopausal.
c. Osteoporosis juvenil idiopatik :
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal

70

ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan
fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak
memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
Gejala :
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan , sehingga awalnya
osteoporosis tidak menimbulkan gejala
Nyeri tulang dan kelainan bentuk (apbaila kepadatan tulang sudah
sangat berkurang)
Nyeri punggung menahun
Kolaps spontan karena cidera ringan
Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk
kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk
Dowager)sehingga timbul ketegangan otot dan sakit
Mudah patah tulang
Regenerasi tulang sangat lamban
Patogenesis :
Ketidak seimbangan antara resporpsi tulang dan pembentukan tulang
+ kurangnya matrik konstan untuk remodeling tulang tulang diresorpsi
oleh sel osteoklas >> pengkeroposan dan perapuhan osteoporosis
Depresi pada Lansia
1. Pengertian
Depresi merupakan gangguan perasaan dengan ciri-ciri antara lain:
semangat berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri,
gangguan tidur, dan makan. Pada depresi terdapat gejala psikologik dan gejala
somatik. Gejala psikologik antara lain adalah: menjadi pendiam, rasa sedih,
pesimistik, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat
mengambil keputusan, mudah lupa dan timbul pikiran-pikiran bunuh diri.
Gejala somatik antara lain: penderita kelihatan tidak senang, lelah, tidak
bersemangat, apatis, bicara dan gerak geriknya pelan, terdapat anoreksia,
isomnia, dan konstipasi (Maramis, 2005).
2. Faktor Predisposisi
a. Gangguan efektif riwayat keluarga atau keturunan (faktor genetik).

71

b. Perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri ( teori agresi


menyerang kedalam).
c.

Perpisahan traumatic individu dengan benda atau yang sangat berarti


( teori kehilangan).

d. Konsep diri yang negatif dan harga diri rendah (teori organisasi
kepribadian).
e. Masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang
terhadap dunia seseorang dan terhadap stressor (teori kognitif)
f.

Keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil


yang penting dalam kehidupannya (model ketidakberdayaan).

g. Kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan


(model perilaku).
h. Perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama masa depresi,
termasuk defisiensi katekolamin, disfungsi endokrin, hipersekressi kortosol,
dan variasi periodik dalam irama biologis model biologik. (Stuart dan
Sundeen, 1998).
3. Etiologi
Etiologi dari depresi pada lansia terdiri dari: faktor psikologik, biologik,
dan sosio-budaya. Pada sebagian besar kasus, ketiga faktor ini saling
berinteraksi.
a) Faktor Psikososial
Menurut teori psikoanalitik dan psikodinamik Freud (1917) cit Kaplan dan
Sadock (1997) mengungkapkan bahwa depresi disebabkan karena kehilangan
obyek cinta kemudian individu mengadakan introyeksi yang ambivalen dari
aspek cinta tersebut. Menurut model Cognitif Behavioural Beck (1974) cit
Kaplan dan Sadock (1997), depresi terjadi karena pandangan yang negatif
terhadap diri sendiri, interprestasi yang negatif terhadap pengalaman hidup
dan harapan pengalaman hidup dan harapan yang negatif untuk masa depan.
b) Faktor Biologik
1. Disregulasi biogenik amin
Beberapa peneliti melaporkan bahwa pada penderita depresi terdapat
abnormalitas metabolitas biogenik amin (5- hydroxy indolacetic acid,
homouanilic acid, 3-methoxy-4 hydroxy phenylglycol). Hal ini menunjukkan
72

adanya

disregulasi

biogenic

amin,

serotonin,

dan

norepineprin

yang

merupakan nurotransmiter paling terkait dengan patofisiologi depresi.


2. Disreguloasi Neuroendokrin
Hipotalamus merupakan pusat pengatur aksis neuroendokrin. Organ ini
menerima input neuron yang mengandung neurotransmister biologik amin.
Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi
ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung biogenik ami
(Amir, 1998).
c) Faktor Genetik
Faktor genetik memiliki kontribusi dalam terjadinya depresi. Berdasarkan
studi lapangan, studi anak kembar, dan anak angkat, serta studi linkage
terbukti adanya faktor genetik dan depresi.
4. Tanda dan Gejala
Frank J.Bruno (cit. Samsyddin, 2006) mengemukakan bahwa ada
beberapa tanda dan gejala depresi, yakni:
a. Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan
yang ada, proyek, hobi, atau rekreasi tidak memberikan kesenangan.
b. Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat
sedang cenderung untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika
kondisinya telah parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan.
c. Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor
penentu, sebagian orang depresi sulit tidur,. Tetapi dilain pihak banyak
orang yang mengalami depresi justru terlalu banyak tidur.
d. Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami
depresi mungkin akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya
dalam setiap usaha untuk mengkomunikasikan idenya.
e. Kurang Energi.

Orang

yang

mengalami depresi cenderung

untuk

mengatakan atau merasa lelah.


f. Keyakinan bahwa seseorang mempunyai hidup yang tidak berguna, tidak
efektif. Orang itu tidak mempunyai rasa percaya diri.
g. Kapasitas menurun untuk

bisa berfikir dengan jernih dan untuk

memecahkan masalah secara efektif. Orang yang mengalami depresi

73

merasa kesulitan untuk memfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah


untuk jangka waktu tertentu.
h. Perilaku merusak diri tidak langsung. Contohnya: penyalahgunaan
alkohol/narkoba, nikotin, dan obat-obat lainnya. Makan berlebihan, terutama
kalau seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti misalnya menjadi
gemuk, diabetes, hypogliycemia, atau diabetes, bisa juga diidentifikasi
sebagai salah satu jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung.
i. Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri. (tentu saja, bunuh diri yang
sebenarnya, merupakan perilaku merusak diri sendiri secara langsung.
5. Tingkat Depresi
Depresi menurut PPDGJ-III (2001) dibagi dalam tiga tingkatan yaitu
depresi ringan, depresi sedang, depresi berat. Dimana perbedaan antara
episode depresif ringan, sedang dan berat terletak pada penilaian klinis yang
kompleks yang meliputi jumlah, bentuk dan keparahan gejala yang ditemukan.
a) Depresi Ringan
-

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresif seperti


tersebut diatas.

Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya.

Tidak boleh ada gejala beratnya diantaranya.

Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2


minggu.

Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukan.
b) Depresi Sedang
-

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi

seperti pada episode depresi ringan.


-

Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaliknya 4) dari gejala

lainnya.
-

Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.

Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,

pekerjaan dan urusan rumah tangga.


c) Depresi Berat
-

Semua 3 gejala depresi harus ada.


74

Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa

diantaranya harus berintensitas berat.


-

Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)

yang mencolok, maka pasien mungkin

tidak mau atau tidak mampu

untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian,


penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih
dapat dibenarkan.
-

Episode depresif biasanya berlangsung sekurang-kuarangnya 2

minggu, akan tetapi jika gejalanya aman berat dan beronset sangat
cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu.
-

Sangat tidak mungkin pasien untuk meneruskan kegiatan sosial,

pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf

yang sangat

terbatas.
6. Penatalaksaan Depresi
Penatalaksaan depresi pada lansia meliputi beberapa aspek, antara lain:
a) Farmakoterapi
Respon terhadap obat pad usia lanjut sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor

antara

lain

farmakokinetik

dan

farmakodinamik.

Faktor-faktor

farmakokinetik antara lain: absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan ereksi obat


akan mempengaruhi jumlah obat yang dapat mencapai jaringan tempat kerja
obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik antara
lain: sensitivitas reseptor, mekanisme homeostatik akan mempengaruhi
antisitas efek farmakologik dari obat tersebut.
Obat-obat yang digunakan pada penyembuhan depresi usia lanjut antara lain:
-

Anti Depresan Trisiklik

Irreversible Monoamin Oxsidase A-B Inhibitor (MAOIs)

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIs)

Selective Serotonin Reuptake Enhacer (SSRIs)

Penstabil Mood (Mood Stabilizer)

Electroconvulsive Teraphy (ECT)

b) Psikoterapi

75

Menurut Marasmis (2005), cara-cara psikoterapi dapat dibedakan


menjadi dua kelompok besar, yaitu psikoterapi suportif dan psiloterapi genetic
dinamik.
1. Psikoterapi suportif
Tujuan psikoterapi jenis ini adalah menguatkan daya tahan mental yang
ada, mengembangkan mekanisme yang baru dan lebih baik untuk
mempertahankan control diri, dan dapat mengembalikan keseimbangan
adaptif (dapat menyesuaikan diri). Cara-cara psikoterapi suportif antara lain:
ventilasi atau psikokatarsis, persuasi atau bujukan, sugesti penjaminan
kembali,

bimbingan

dan

penyuluhan,

terapi

kerja,

hipnoterapi

dan

narkoterapi kelompok, terapi perilaku.


2. Psikoterapi genetic-dinamik (psikoterapi wawasan).
Psikoterapi genetic-dinamik dibagi menjadi psikoterapi reeduaktif dan
psikoterapi rekonstruktif. Psikoterapi reedukatif adalah usaha-usaha yang
dilakukan untuk mencapai pengertian tentang konflik-konflik yang letaknya
lebih banyak dialam sadar, dengan usaha berencana untuk penyesuaian diri
kembali, memodifikasi tujuan , dan membangkitkan serta mengungkapkan
potensi reaktif yang ada. Cara psikoterapi reedukatif antara lain: terapi
hubungan antara manuasia, terapi sikap, terapi wawancara, analisa dan
sintesa yang distributive, konseling terapetik, terapi kerja, reconditioning,
terapi kelompok yang reedukatif, dan terapi somatic. Cara-cara psikoterapi
rekonstruktif

antara

lain:

psikoanalisis

non-Freudian,

Psikoanalisa
dan

Freud,

psikoterapi

Psikoanalisis
yang

non-Frreu,

berorientasi

pada

psikoanalisanya (misalnya: asosiasi bebas, analisa mimpi, hipnoanalisa,


narkoterapi, terapi main, terapi seni, dan terapi kelompok analitik.
c) Manipulasi lingkungan
Lingkungan

pergaulan

pasien

akan

sangat

membantu

penatalaksanaan depresi pada lansia. Dimana keluarga penderita harus


bersifat sabar dan penuh perhatian. Pengobatan sosiokultural dilakukan dengan
mengurangi stresor yang ada yaitu menciptakan lingkungan yang sehat serta
memperbaiki sistem komunikasi lingkungan. Selain itu keadaan fisik dan
keberhasilan perlu mendapat perhatian yang optimal dan seringkali diperlukan
mmanipulasi lingkungan untuk meringankan penderitaan pasien
76

Kerangka Konsep

77

Kesimpulan
Ny. Imah (63 thn) mengalami inkontinensia urin tipe campuran disertai
hipertensi

sistolik

terisolasi,

osteoporosis,

obesitas,

menopause,

dan

kemingkinan atrial fibrilasi dan depresi

78

Daftar Pustaka
1. Darmojo, Boedhi. 2011. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
2. Santoso, Iman Budi. 2008. Inkontinensia urin pada perempuan.Jakarta:
Majalah Kedokteran Indonesia.
3. Dadang Hawari D. 2008. Manajemen Stress, Cemas dan Depresi, Jakarta :
Gaya Baru
4. Jusni 2007. Depresi, Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana,
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
5. Kusumanto, R. Iskandar, Y. 2010. Depresi, Suatu problema Diagnosa dan
Terapi pada praktek umum. Jakarta: Yayasan Dharma Graha
6. Fernandes, DN. 2010. Hubungan Antara Inkontinensia Urin dengan
Derajat Depresi pada Wanita Usia Lanjut. Skripsi tidak diterbitkan.
Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
7. Steers, WD. 2002. Pathophysiology of Overactive Bladder and Urge
Urinary Incontinence.
8. American Psychological Assosiation._. Geriatric Depression Scale (GDS).
[online](http://www.apa.org/pi/about/publications/caregivers/practicesettings/assessment/tools/geriatric-depression.aspx, diakses pada 14
April 2014)
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
10.

James, PA, et al. 2013. 2014 Evidence-Based Guideline for the

Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel


Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA
[pdf]
(http://www.haoyisheng.com/upload/2014JNC8.pdf, diakses pada 14 April
2014)
11.

Suparman, E. Rompas, J. 2008. Inkontinensia Urin pada Perempuan

Menopause.

Manado.

Pdf

(diunduh

dari:

indonesia.digitaljournals.org/index.php/IJOG/article)
12.

Swartz, Mark H. Buku ajar Diagnostik Fisik. Jakarta : EGC

13.

Wells, Barbara G., Joseph T.D., Terry L.S., and Cecily V.D. 2009.
79

Pharmacotherapy Handbook (7th Edition). United States : McGraw-Hill


Companies

80

You might also like