Professional Documents
Culture Documents
Kenari. Meskipun kemiri menjadi andalan Alor, tapi masyarakat Alor jarang
menggunakannya sebagai bumbu masak sehari-hari. Mayoritas penghasilan
masyarakat Alor adalah dari berkebun dan menjadi nelayan. Di Alor masih banyak
dijumpai rumah adat masyarakat Alor, yang bangunannya berbentuk limas, beratap
daun kelapa, dan berdinding anyaman bambu. Kuliner khas Alor adalah kenari, kue
rambut, jagung bose, dan jagung titi. Ketiga makanan tersebut mudah dijumpai di
pasar tradisional Kalabahi. Kenari merupakan salah satu ciri khas cemilan masyarakat
alor. Biji kenari sering di jadikan hiasan-hiasan diatas kue. Kue rambut bentuknya
mirip gumpalan rambut dan biasanya menjadi teman minum kopi atau teh. Makanan
ini terbuat dari adonan tepung tapioka, tepung beras, air gulan pohon lontar, dan gula
pasir. Cara membuatnya sehingga tipis seperti rambut adalah melalui cetakan
berbahan kaleng yang dasarnya dilubangi seperti saringan lalu diteteskan ke wajan
yang telah diisi minyak panas. Adonan dilipat sehingga berbentuk seperti kerucut,
kemudian digoreng. Jagung bose diolah dari jagung berbiji putih yang direndam di air
kapur sirih. Kulit arinya dibuang lalu bulir jagung dijemur, direbus hingga matang
kemudian disiram santan. Bubur jagung ini biasanya dinikmati bersama ikan bakar
atau sebagai pengganti nasi. Jagung titi terbuat dari biji jagung yang dipipil bijinya
menjadi bulir kemudian disangrai dalam kuali tanah liat dengan tungku kayu,
kemudian ditumbuk perlahan (dititi) dengan batu hingga pipih. Biasanya jagung titi
dinikmati bersama kenari yang sudah dikupas kulitnya.
Bagi pengunjung, jangan berharap dapat menemukan sayur dan buah yang
melimpah. Sayuran yang sering dinikmati bagi para pengunjung di daerah Alor
hanyalah sawi hijau (caisim), karena masyarakat Alor terbiasa memakan daun
pepaya, singkong, dan daun kelor. Terdapat sayuran lain seperti wortel, buncis,
kacang polong, dan kentang. Akan tetapi, sulit didapat dan harganya mahal.
Terdapat beberapa daerah di kabupaten Alor yang susah memperoleh air
tawar, sehingga jika musim kemarau tiba penduduk harus rela mandi dengan air asin.
Maka beruntunglah daerah-daerah yang berada di pinggir pantai karena umumnya
lebih gampang mendapatkan air bersih. Pantai yang didominasi oleh batu kali di
pinggir pantainya ternyata berguna sebagai penyuling alami air laut. Saat keadaaan
darurat (kehabisan air tawar), jarak dua meter saja dari tepi pantai sudah bisa
menggali bebatuan dan menemukan air dari hasil aliran air laut dan yang
menakjubkan air tersebut sudah tawar.
Kondisi kabupaten Alor yang berbentuk kepulauan berdampak pada
perekonomian yang kurang bergairah karena hasil bumi dipasarkan ke kota dan
barang dagangan yang masuk ke desa-desa harganya menjulang tinggi. Meskipun
demikian, dengan wilayah laut yang lebih banyak dari pada daratan memiliki
keuntungan tersendiri. Misalnya, harga ikan sangat murah sehingga mudah
mendapatkan ikan segar langsung dari hasil tangkapan nelayan. Sistem jual beli ikan
di Alor tidak menggunakan istilah kiloan, tetapi mengenal istilah tumpukan
sehingga jika ingin membeli ikan dapat menggunakan istilah nominal uang.
Terdapat hajatan besar selevel internasional yang dilakukan oleh masyarakat
Alor untuk menyambut tamu-tamu manca negara dengan tajuk Alor Expo. Meskipun,
dalam pelaksanaannya sedikit dipaksakan karena masih kurangnya kreativitas warga.
Acara Alor Expo bertujuan untuk memamerkan hasil kreatifitas warga di stan, dan
setiap kecamatan wajib memiliki stan. Kreativitas warga yang banyak dijumpai yaitu
kerajinan tangan yang terbuat dari bambu, kain tenun, dan makanan olahan. Hasil
kreativitas tersebut dapat dibeli jika pengunjung tertarik. Akibat dari kurangnya
pengetahuan kerajianan tangan dan pembinaan masyarakat di Alor, sehingga pada
tahun 2004 setelah gempa, ibu Any Yudhoyono pernah merintis sebuah koperasi
pengrajin kain tenun di Alor. Akan tetapi, sampai saat ini koperasi tersebut tidak
berkembang.
Orang Alor jika dilihat dari fisik bertampang sangar-sangar, baik itu lelaki
maupun perempuan. Meskipun demikian, masyarakat Alor saling menghargai satu
sama lain, dan memperlakukan dengan baik setiap pengunjung yang datang. Orang
Alor terkenal murah senyum. Dominasi penduduk Alor beragama Kristen. Islam
merupakan agama kedua terbanyak yang dianut di Alor. Meskipun berbeda agama,
masyarakat alor dapat hidup berdampingan dengan rukun karena adanya pemikiran
bahwa mereka tetap satu rumpun. Kerukunan antar umat beragama dapat terlihat dari
beberapa kegiatan. Misalnya saat pembangunan masjid, yang ikut bergotong royong
tidak hanya muslim, tetapi yang nasrani juga ikut membantu. Begitu juga ketika ada
selamatan di gereja, muslim juga diundang. Perayaan lebaran yang jadi tukang masak
biasanya para tetangga nasrani, sebaliknya begitupun pada perayaan natal. Orang
Alor senang mengadakan pesta. Pada acara pesta, santapan utamanya adalah babi.
Masyarakat nasrani tahu kalau babi diharamkan bagi muslim. Untuk menghormati
masyarakat yanga beragama muslim, maka mereka menyerahkan beberapa ekor ayam
untuk dimasak. Mereka memberikan ayam yang masih hidup karena mereka juga
tahu kalau mereka tidak boleh menyembelihnya. Untuk menyembelih hanya
masyarakat muslim yang paham. Mereka juga tahu kalau memasak babi tidak boleh
dalam satu wajan dengan masakan yang disediakan untuk muslim. Maka proses
memasak dipisahkan, begitu juga dengan peralatan dan penyajiannya. Bagi yang
ingin menyantap babi ternyata diberikan ruangan tersendiri. Piring yang digunakan
terbuat dari rotan beralaskan kertas plastik, sehingga najisnya tidak menodai piring.
Menurut orang Alor, yang dinamakan makan itu hanya terjadi dua kali dalam
sehari, yaitu makan siang dan makan malam. Pagi hari tidak ada makan pagi, cuma
minum teh atau kopi dan makan cemilan. Budaya makan harus dilakukan bersamasama setelah semua siap. Menambah beberapa piring justru dianjurkan, karena
semakin banyak yang dimakan maka yang memasak makanan tersebut merasa
semakin senang. Jika sudah selesai makan, piring yang digunakan tidak boleh
dipindahkan ke tempat lain karena dianggap tidak menghormati orang lain yang
sedang makan. Untuk minum, biasanya setelah semua meletakkan piring baru boleh
meneguk air.
Satu hal yang menarik perhatian dari masyarkat Alor, yaitu penggunaan
bahasa Indonesia yang benar-benar diterapkan sebagai bahasa persatuan. Dengan
bahasa daerah yang mencapai lebih dari 15 jenis, sampai-sampai satu desa bisa
memiliki 3 bahasa daerah yang sangat amat jauh berbeda diantaranya. Jadi, sudah
menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat Alor untuk mengetahui bahasa Indonesia
sehingga semua masyarakat bisa berbahasa Indonesia, baik yang muda maupun yang
tua, dan yang sekolah ataupun tidak pernah bersekolah. Jika dibandingkan dengan
daerah lain yang ada di Indonesia, hal ini patut dicontoh karena masih banyak
masyarakat di daerah-daerah yang tersebar di Indonesia yang tidak tahu
menggunakan bahasa Indonesia.
Ada tradisi unik di Alor, yang dikenal dengan sebutan belis. Belis adalah
tradisi pemberian mahar dari pihak lelaki kepada calon mempelai wanita. Jika
beberapa daerah lain di NTT menggunakan mahar berupa babi hutan atau hewan
peliharaan, maka berbeda dengan di Alor, yang dijadikan mahar adalah moko. Moko
merupakan nekara perunggu yang berbentuk menyerupai tabung gendang, diseluruh
permukaannya terdapat relief ukiran zaman prasejarah. Menurut masyarakat Alor,
benda berupa genderang ini sudah ada di masyarakat secara turun-temurun dan tidak
bisa dibuat ulang. Diperkirakan berupa benda dari zaman perundagian. Namun,
belum diketahui pasti asalnya dari mana. Ada yang mengatakan dari negara India,
Tiongkok, Vietnam, dan lainnya. Artinya, benda ini jumlahnya terbatas di kalangan
masyarakat. Ada sebagian masyarakat terutama petua kampung yang percaya kalau
moko didapat secara gaib, yaitu muncul kepermukaan dari tanah terpendam. Moko
dulunya digunakan oleh prajurit dalam berperang, yaitu ditabuh sebagai penyemangat
perang. Seiring waktu, moko dijadikan sebagai mahar. Jika diuangkan, sebuah moko
yang berukuran sangat kecil dan tidak begitu banyak manfaatnya justru bisa bernilai
sekitar lima juta rupiah, maka tidak terbayang untuk harga moko yang berukuran
besar. Bagi keluarga mempelai pria yang tidak mempunyai moko, maka mesti
meminjam dari tetua yang punya karena untuk mendapatkan moko tidaklah mudah.
Istilah pinjam disini bukan gratis, tetap saja bayar jutaan. Ada juga moko yang
imitasian, bisa terbuat dari bambu, kayu, maupun perunggu. Akan tetapi, kualitasnya
tidak sebagus dari jaman peninggalan. Masyarakat Alor menganggap pernikahan
sebagai salah satu praktik budaya adat yang disebut belis. Dalam pernikahan adat di
Alor, moko adalah benda yang wajib diberikan kepada mempelai wanita. Kehadiran
benda ini dalam pernikahan adalah identitas diri masyarakat Alor yang tak bisa
ditawar. Jumlah moko yang diberikan tergantung permintaan pihak perempuan.
Awalnya, pertukaran perempuan dengan moko dilakukan dalam bentuk barter. Ketika
ada pernikahan, perempuan yang dinikahi akan masuk ke keluarga lelaki, maka ada
keluarga yang "kehilangan" anggota perempuan. Untuk menghormati pihak
perempuan yang "kehilangan" tersebut, maka keluarga lelaki memberikan sebuah
benda berharga berupa moko. Pernikahan secara adat di masyarakat Alor tidak akan
terwujud tanpa moko, dan tanpa pernikahan adat tidak bisa ada pernikahan secara
agama. Jika berujung pada gagalnya pernikahan, warga yang tadinya rukun menjadi
saling tidak suka sehingga hal ini sering memicu terjadinya pertikaian di antara
warga. Namun, budaya belis adalah salah satu ciri identitas yang tak bisa diubah dan
sudah mendarah daging serta menjadi bagian erat yang penting bagi masyarakat Alor.
Permasalahan belis ini adalah salah satu faktor yang membuat orang Alor tetap
miskin, tidak sekolah, dan membuat anak-anak muda Alor sulit untuk menikah.
Seiring waktu, mahar dengan menggunakan moko bagi keluarga muslim sudah agak
jarang digunakan, dan biasanya digantikan dengan mahar emas berupa cincin ataupun
seperangkat alat shalat.
Dari dulu, nenek moyang (sesepuh) masyarakat Alor dalam melakukan suatu
pekerjaaan selalu bersama-sama (gotong royong) sehingga akan berkumpul banyak
orang jika ada suatu kegiatan. Setelah kegiatan berakhir, orang Alor akan
mensyukurinya
dengan
mengelilingi
mesbah
sambil
berpegangan
tangan
yang bersangkutan kesulitan ketika ingin menuju ke suatu tempat, dan tidak tahu
harus naik angkot yang mana.
Jika waktu sudah menunjukkan jam 10 malam, maka perempuan di Alor tidak
boleh keluar rumah meskipun ada keperluan. Sedangkan selama berada di Makassar,
yang bersangkutan melihat perempuan bebas keluar malam tanpa ada larangan dan
batas waktu.
Bagi wanita hamil di Alor, jika selesai sholat maghrib maka dilarang keras ke
luar rumah. Tetapi saat di Makassar, yang bersangkutan banyak melihat wanita hamil
bebas keluar malam. Sehingga saat hamil, yang bersangkutan tetap tidak berani
keluar apabila sudah selesai sholat maghrib. Jika ada keperluan, yang bersangkutan
meminta tolong kepada teman untuk membantunya.
Ketika yang bersangkutan hamil tujuh bulan, orang memintanya untuk
mengadakan acara tujuh bulanan, sedangkan di Alor tidak mengenal acara tujuh
bulanan, sehingga yang bersangkutan tidak mengadakan acara tersebut.
Anak pertama yang bersangkutan lahir di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar. Pada saat selesai melahirkan, pihak rumah sakit menyuruh keluarga yang
bersangkutan untuk membuang ari-ari anaknya ke dalam laut. Padahal untuk tradisi
orang Alor, ketika selesai melahirkan maka dipanggilkan seorang ustad agar
membacakan doa ari-ari tersebut. Kemudian ari-ari dimasukan ke dalam benda yang
mempunyai penutup, seperti toples atau sejenisnya. Selain diisi ari-ari, toples tersebut
juga diisi pulpen, buku, dan uang. Menurut kepercayaan orang Alor, jika diisi pulpen
dan buku maka anak itu diharapkan akan menjadi orang cerdas dikemudian hari, dan
jika diisi uang maka anak itu diharapkan akan menjadi orang kaya. Kemudian toples
tersebut dibungkus kain putih, lalu ditanam dalam tanah. Sehingga pada saat itu, yang
bersangkutan tetap melakukan sesuai dengan tradisi orang Alor.
Ketika tiba bulan puasa, di Alor setiap malam usai sholat tarwih di seluruh
masjid serentak mengadakan tadarus bersama. Tetapi, ketika berada di Makassar yang
bersangkutan tidak melihat kegiatan seperti itu di masjid sehingga yang bersangkutan
bersama beberapa orang Alor lainnya yang juga berada di Makassar bersama-sama
melakukan tadarus di kos.
Berdasarkan informasi dari yang bersangkutan, hampir semua masjid di
Makassar ketika menyambut lebaran suara takbirnya berasal dari radio (tep).
Sedangkan di Alor, yang melaksanakan takbir adalah masyarakat secara bergantian.
2. Sensitivitas budaya
Hampir semua orang Makassar selalu menggunakan dialeg ketika berbicara,
sehingga saat berdiskusi dalam perkuliahan juga menggunakan dialeg. Pada awalnya,
yang bersangkutan sangat jengkel karena tidak paham dengan apa yang dibicarakan.
Tetapi seiring berjalannya waktu, hal tersebut tidak lagi menjadi beban dan yang
bersangkutan mulai terbiasa dengan keadaan tersebut.
Kebiasaan orang Makassar, yaitu
setiap
melakukan
sesuatu selalu
memimpin. Hal ini terjadi pada teman laki-laki yang bersangkutan, yang kebetulan
satu fakultas dengannya.
Pengalaman yang bersangkutan, ketika terjadi perkelahian dan yang terlibat
adalah orang papua, maka pada saat itu yang bersangkutan dan orang-orang Alor
lainnya juga ikut terancam karena jika dipandang dari ras, maka antara orang Alor
dan papua mirip.
Jika terjadi salah paham, yang bersangkutan lebih cepat untuk mengalah
karena adanya ketakutan sebagai kaum minoritas meskipun berada pada pihak yang
benar.
Menurut sebagian besar orang Makassar bahwa masyarakat Nusa Tenggara
Timur mayoritas beragama Kristen. Sehingga pada awal berada di Makassar, yang
bersangkutan tidak dipercaya sebagai agama Islam. Nanti ketika yang bersangkutan
didengar mengaji, barulah orang-orang yang berada di sekitarnya percaya kalau yang
bersangkutan benar beragama Islam.
4. Self-awareness
Sadar akan gaya bicara yang sangat jauh berbeda antara orang Makassar dan
orang Alor, sehingga muncul tuntutan dalam diri yang bersangkutan untuk memahami
gaya bicara orang Makassar agar mudah berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Kesibukan sebagai seorang mahasiswa biasanya menuntut yang bersangkutan
untuk membeli lauk yang sudah masak karena tidak sempat untuk memasak lauk
sendiri. Sehingga meski tidak begitu suka hasil masakan orang Makassar yang sangat
berbeda jauh dengan rasa masakan orang Alor, mau tidak mau tetap harus dibeli
untuk dimakan.
Oleh: