You are on page 1of 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Toksikologi


Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat
racun, gejala-gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang
didapatkan pada korban yang meninggal.

Toksikologi merupakan cabang

Farmakologi yang berhubungan dengan efek samping zat kimia didalam


sistem biologik. Dengan keluasan Toksikologi maka sejumlah besar ahli-ahli
dibidang yang masing-masing turut terlibat dalam Toksikologi dalam bidang
yang sesuai dengan keahliannya (Spheherd, 2003).
Keracunan terjadi akibat masuknya suatu zat ke dalam tubuh yang
kemudian menyebabkan efek yang berbahaya bahkan dapat menyebabkan
kematian. Cepat lambatnya keracunan terjadi dipengaruhi oleh jenis racun
dan terutama dosis zat kimia yang menyebabkan keracunan terjadi (Klein et
al, 2008).
Zat racun dapat memberikan efek yang lokal, sistemik, maupun lokal
dan sistemik. Racun tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dengan cara
ditelan, diinhalasi, disuntikkan, ataupun terserap oleh kulit. Pertolongan
pertama pada keracunan ditentukan terutama oleh cara masuk zat racun
tersebut ke dalam tubuh. Pertolongan pertama yang baik, tepat, dan
dilakukan sedini mungkin dapat mengurangi resiko kematian (Klein et al,
2008).
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik
yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau
mengakibatkan kematian4,5. Berdasarkan sumber dapat digolongkan menjadi
racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan; opium, kokain, kurare, aflatoksin.
Dari hewan; bisa/toksin ular/laba-laba/hewan laut. Mineral; arsen, timah
hitam. Dan berasal dari sintetik; heroin (Prihadi, 2008).
Berdasarkan tempat dimana racun berada, dapat dibagi menjadi racun
yang terdapat di alam bebas, misalnya gas racun di alam, racun yang
terdapat di rumah tangga misalnya deterjen, insektisida, pembersih. Racun
yang digunakan dalam pertanian misalnya insektisida, herbesida, pestisida.
Racun yang digunakan dalam industri laboratorium dan industri misalnya
asam dan basa kuat, logam berat. Racun yang terdapat dalam makanan

misalnya CN di dalam singkong, toksin botulinus, bahan pengawet, zat aditif


serta racun dalam bentuk obat misalnya hipnotik sedatif. Pembagian lain
berdasarkan atas kerja atau efek yang ditimbulkan. Ada racun yang bekerja
secara lokal, sistemik dan lokal-sistemik (Sudarmo, 2007).

Racun lokal, adalah racun yang merusak kulit, terutama berasal dari
asam atau basa kuat atau zat kimia lain, seperti: H2SO4, HNO3, HCL,
dan NaOH. Keracunan zat ini ditandai dengan: Rasa terbakar. Panas
di mulut, sukar menelan, haus yang hebat, muntah berwarna hitam.
Sakit perut, oliguria, konstipasi. Setelah 12 jam dapat terjadi asfiksia,

perforasi lambung, dan neurogenic syok.


Racun sistemik, misalnya pada keracunan morfin, bisa terjadi asfiksia,

edema paru, depresi SSP, bahkan kematian.


Racun lokal dan sistemik. Bersifat kongestif terhadap mukosa dan
erosif terhadap tunika muscularis GIT. Penderita muntah, kolik, diare,
serta mengalami gangguan hati dan ginjal

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keracunan


1. Cara masuk.
Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi.
Cara masuk lain secara berturut-turut melalui intravena, intramuskular,
intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat ialah melalui kulit
yang sehat.
2. Umur.
Orang tua dan anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi
prematur lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal
belum sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup.
3. Kondisi tubuh
Penderita

penyakit

ginjal

umumnya

lebih

mudah

mengalami

keracunan. Pada penderita demam dan penyakit lambung absorbsi jadi


lebih lambat.
4. Kebiasaan
Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin dikarenakan terjadi
toleransi pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
alcohol dan alergi pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain.

Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran


maka akan makin cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh
pada racun yang bersifat lokal, misalnya asam sulfat (Klein et al,
2008).
2.3 Pemeriksaan Kedokteran Forensik
Pemeriksaan toksikologi diperlukan

Pada kasus kematian mendadak,pada kematian mendadak yang


terjadi pada sekelompok orang,pada kematian yang dikaitkan dengan
tindakan abortus,pada kasus perkosaan atau kejahatan seksual
lainnya,pada kecelakaan transportasi, khususnya pada pengemudi dan
pilot, pada kasus penganiyaan atau pembunuhan (selektif),pada kasus
yang memang diketahui atau patut diduga menelan racun, pada
kematian setelah tindakan medis, penyuntikan, operasi dan lain
sebagainya.

Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan,


yang sejak semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus
yang sampai saat sebelum diautopsi dilakukan, belum ada kecurigaan
terhadap kemungkinan keracunan (Aurbuckle et al, 2006). Harus dipikirkan
kemungkinan kematian akibat keracunan bila pada pemeriksaan setempat
(scene investigation) terdapat kecurigaan akan keracunan, bila pada autopsi
ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan dengan zat
tertentu, misalnya lebam mayat yang tidak biasa, luka bekas suntikan
sepanjang vena dan keluarnya buih dari mulut dan hidung serta bila pada
autopsi tidak ditemukan penyebab kematian (Aurbuckle et al, 2006).
Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan
beberapa pemeriksaan penting, yaitu:
1. Pemeriksaan di tempat kejadian Perlu dilakukan untuk membantu
penentuan penyebab kematian dan menentukan cara kematian,
mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang saat kematian,
mengumpulkan barang bukti.
2. Pemeriksaan luar

Bau. Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa
yang kiranya ditelan oleh korban. Segera setelah pemeriksa

berada di samping mayat ia harus menekan dada mayat untuk


menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari
lubang-lubang hidung dan mulut.

Pakaian. Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang


disebabkan oleh tercecernya racun yang ditelan atau oleh
muntahan. Misalnya bercak berwarna coklat karena asam sulfat
atau kuning karena asam nitrat. Pada pembunuhan biasanya
bercak tidak beraturan karena telah disiram.

Lebam mayat. Warna lebam mayat yang tidak biasa juga


mempunyai makna, karena warna lebam mayat pada dasarnya
adalah manifestasi warna darah yang tampak pada kulit. Pada
keracunan sianida, berwarna merah terang, pada keracunan CO
berwarna cherry-red, pada keracunan aniline, nitrobenzene,
kina, potassium-chlorate dan acetanilide, berwarna coklat
kebiruan (Prihadi, 2008).

Bercak disekitar mulut. Pada keracunan yodium, kulit menjadi


hitam, pada keracunan nitrat, kulit menjadi kuning, dan pada
keracunan zat korosif, terdapat luka bakar berwarna merah.

Perubahan warna kulit. Pada hiperpigmentasi atau melanosis


dan keratosis pada telapak tangan dan kaki pada keracunan
arsen kronik. Kulit berwarna kelabu kebiru-biruan akibat
keraunan perak (Ag) kronik (deposisi perak dalam jaringan ikat
dan korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada keracunan
tembaga (Cu) dan fosfor akibat hemolisis juga pada keracunan
insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan
fungsi hati.

Kuku. Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang


menebal yang tidak teratur. Pada keracunan Talium kronik
ditemukan kelainan trofik pada kuku.

Rambut.

Kebotakan

(alopesia)

dapat

ditemukan

pada

keracunan talium, arsen, air raksa dan boraks.

Sklera. Tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik


seperti fosfor, karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian
dicoumarol atau akibat bisa ular (Prihadi, 2008).

3. Percobaan pada binatang

Ikan mas (insektisida)

Anak ayam yang baru menetas (gas cyanida)

Kodok (strichnin)

2.4. Pembedahan Jenazah


Segera setelah rongga dada dan perut dibuka, tentukan apakah
terdapat bau yang tidak biasa (bau racun). Bila pada pemeriksaan luar tidak
tercium "bau racun" maka sebaiknya rongga tengkorak dibuka terlebih dahulu
agar bau visera perut tidak menyelubungi bau tersebut, terutama bila dicurigai
adalah sianida. Bau sianida, alkohol, kloroform, dan eter akan tercium paling
kuat dalam rongga tengkorak.

Perhatikan warna darah. Pada intoksikasi

dengan racun yang menimbulkan hemolisis (bisa ular), pirogarol, hidrokuinon,


dinitrophenol dan arsen. Darah dan organ-organ dalam berwarna coklat
kemerahan gelap. Pada racun yang menimbulkan gangguan trombosit, akan
terdapat banyak bercak perdarahan, pada organ-organ. Bila terjadi keracunan
yang cepat menimbulkan kematian, misalnya sianida, alkohol, kloroform maka
darah dalam jantung dan pembuluh darah besar tetap cair tidak terdapat
bekuan darah (Kerrigan, 2004).
Pada lidah perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul
obat atau menunjukan kelainan disebabkan oleh zat korosif. Pada esophagus
bagian atas dibuka sampai pada ikatan atas diafragma. Adakah terdapat
regurgitasi dan selaput lendir diperhatikan akan adanya hiperemi dan korosi.
Pada epiglotis dan glotis perhatikan apakah terdapat hiperemi atau edema,
disebabkan oleh inhalasi atau aspirasi gas atau uap yang meransang atau
akibat regurgitasi dan aspirasi zat yang meransang. Edema glotis juga dapat
ditemukan pada pemakaian akibat syok anafilaktik, misalnya akibat penisilin.
Pada pemeriksaan paru-paru ditemukan kelainan yang tidak spesifik,
berupa pembendungan akut. Pada inhalasi gas yang meransang seperti
klorin dan nitrogen oksida ditemukan pembendungan dan edema hebat, serta
emfisema akut karena terjadi batuk, dipsneu dan spasme bronki. Pada
lambung dan usus dua belas jari lambung dibuka sepanjang kurvakura mayor
dan diperhatikan apakah mengeluarkan bau yang tidak biasa. Perhatikan isi
lambung warnanya dan terdiri dari bahan-bahan apa. Bila terdapat tablet atau

kapsul diambil dengan sendok dan disimpan secara terpisah untuk mencegah
disintegrasi tablet/kapsul. Pada kasus-kasus non-toksikologik hendaknya
pembukaan lambung ditunda sampai saat akhir otopsi atau sampai pemeriksa
telah menemukan penyebab kematian. Hal ini penting karena umumnya
pemeriksa baru teringat pada keracunan setelah pada akhir autopsi ia tidak
dapat menemukan penyebab kematian (Kerrigan, 2004).
Pemeriksaan usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa
jam setelah korban menelan zat beracun dan ini ingin diketahui berapa lama
waktu tersebut. Pada hati apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis.
Degenerasi lemak sering ditemukan pada peminum alkohol. Nekrosis dapat
ditemukan pada keracunan fosfor, karbon tetraklorida, klorform dan trinitro
toulena. Pada ginjal terjadi perubahan degeneratif, pada kortek ginjal dapat
disebabkan oleh racun yang meransang. Ginjal agak membesar, korteks
membengkak, gambaran tidak jelas dan berwarna suram kelabu kuning.
Perubahan ini dapat dijumpai pada keracunan dengan persenyawaan
bismuth, air raksa, sulfonamide, fenol, lisol, karbon tetraklorida. Umumnya
analisis toksikologik ginjal terbatas pada kasus-kasus keracunan logam berat
atau pada pencarian racun secara umum atau pada pemeriksaan histologik
ditemukan Kristal-kristal Caoksalat atau sulfonamide (Aurbuckle et al, 2006).
Pemeriksaan urin dilakukan dengan semprit dan jarum yang bersih,
seluruh urin diambil dari kandung kemih. Bila bahan akan dikirim ke kota lain
untuk dilakukan pemeriksaan maka urin dibiarkan berada dalam kandung
kemih dan dikirim dengan cara intoto, prostat dan kedua ureter diikat dengan
tali. Walaupun kandung kemih dalam keadaan kosong, kandung kemih harus
tetap diambil untuk pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan otak biasanya tidak ditemukan adanya edema otak pada
kasus kematian yang cepat, misalnya pada kematian akibat barbiturat, eter
dan juga pada keracunan kronik arsen atau timah hitam. Perdarahan kecilkecil dalam otak dapat ditemukan pada keracunan karbonmonoksida,
barbiturat, nitrogen oksida, dan logam berat seperti air raksa air raksa, arsen
dan timah hitam. Obat-obat yang bekerja pada otak tidak selalu terdapat
dalam konsentrasi tinggi dalam jaringan otak.
Pada

pemeriksaan

jantung

dengan

kasus

keracunan

karbon

monoksida bila korban hidup selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan

perdarahan berbercak dalam otot septum interventrikel bagian ventrikel kiri


atau perdarahan bergaris pada muskulus papilaris ventrikel kiri dengan garis
menyebar radier dari ujung otot tersebut sehingga tampak gambaran seperti
kipas (Aurbuckle et al, 2006).
Pada pemeriksaan limpa selain pembendungan akut limpa tidak
menunjukkan kelainan patologik. Pada keracunan sianida, limpa diambil
karena karena kadar sianida dalam limpa beberapa kali lebih besar daripada
kadar dalam darah. Empedu merupakan bahan yang baik untuk penentuan
glutetimida, quabaina, morfin dan heroin. Pada keracunan karena inhalasi gas
atau uap beracun, paru- paru diambil, dalam botol kedap udara.
Jaringan lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit
daerah perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan
kemudian dengan lambat dilepaskan ke dalam darah. Jika terdapat
persangkaan bahwa korban meninggal akibat penyuntikan jaringan di sekitar
tempat suntikan diambil dalam radius 5-10 cm.
Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala dan kuku harus diambil.
Rambut diikat terlebih dahulu sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya,
dan kemudian diberi label agar ahli toksikologi dapat mengenali mana bagian
yang proksimal dan bagian distal. Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa
menggunakan pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap bagian rambut
yang telah digunting beberapa bagian yang dimulai dari bagian proksimal dan
setiap bagian panjangnya 12 inci atau 1 cm. terhadap setiap bagian itu
ditentukan kadar arsennya (Kerrigan, 2004).
Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat
kuku-kuku kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim
tanpa diawetkan. Ahli toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari
proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3 bagian proksimal (Kerrigan,
2004).

2.5 Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologi


Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada
waktu autopsi daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk

mengambil bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis toksikologik


atas jaringan yang sudah busuk atau sudah diawetkan.
Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah
kanan dan sebelah kiri masing-masing sebanyak 50 ml. Darah tepi sebanyak
30-50 ml, diambil dari vena iliaka komunis bukan darah dari vena porta. Pada
korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang terpenting, diambil 2
contoh darah masing- masing 5 ml, yang pertama diberi pengawet NaF 1%
dan yang lain tanpa pengawet.
Urin diambil semua yang ada di dalam kandung kemih untuk
pemeriksaannya. Pada mayat diambil lambung beserta isinya. Usus beserta
isinya berguna terutama bila kematian terjadi dalam waktu beberapa jam
setelah menelan racun sehingga dapat diperkirakan saat kematian dan dapat
pula ditemukan pil yang tidak hancur oleh lambung. Seluruh usus dengan
isinya dengan membuat sekat dengan ikatan- ikatan pada usus setiap jarak
sekitar 60 cm (Kerrigan, 2004).
Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi
anatomi dengan alasan takaran forensik kebanyakan racun sangat kecil,
hanya beberapa mg/kg sehingga kadar racun dalam tubuh sangat rendah dan
untuk menemukan racun, bahan pemeriksaan harus banyak, serta hati
merupakan tempat detoksikasi tubuh terpenting. Hati yang diambil sebanyak
500 gram (Kerrigan, 2004).
Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan
intoksikasi logam, pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana
secara histologik ditemukan Caoksalat dan sulfo-namide. Pada otak, jaringan
lipoid dalam otak mampu menahan racun Misalnya CHCI3 tetap ada
walaupun jaringan otak telah membusuk. Otak bagian tengah penting pada
intoksikasi CN karena tahan terhadap pembusukan. Otak diambil sebanyak
500 gram. Untuk menghidari cairan empedu mengalir ke hati dan
mengacaukan pemeriksaan, sebaiknya kandung empedu jangan dibuka
(DiMaio dan Dominick, 2001).

Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengambil sampel selain dengan cara
yang telah disebutkan, adalah:

1. Tempat masuknya racun (lambung, tempat suntikan)


2. Darah
3. Tempat keluar (urin, empedu) Wadah Bahan Pemeriksaan Toksikologi.
Idealnya terdiri dari 9 wadah dikarenakan masing-masing bahan
pemeriksaan diletakkan secara tersendiri, yaitu:
1. 2 peles 2 liter untuk hati dan usus
2. 3 peles 1 liter untuk lambung beserta isinya, otak dan ginjal
3. 4 botol a 25 ml untuk darah (2 buah), urin dan empedu
4. Wadah harus dibersihkan dahulu dengan mencucinya memakai asam
kromat hangat dan dibilas dengan aquades serta dikeringkan.
5. Bahan Pengawet Yang terbaik adalah tanpa bahan pengawet, bila
terpaksa dapat digunakan bahan pengawet:- Alkohol absolut- Larutan
garam dapur jenuh - Larutan NaF 1 %- Larutan NaF + Na sitrat- Na
benzoat + fenil merkuri nitratVolume pengawet sebaiknya dua kali
volume bahan pemeriksaan.
2.6 Jenis-jenis Keracunan
2.6.1 Keracunan Arsen
Arsen (As) merupakan bahan kimia yang secara alami ada di alam.
Arsen Selain dapat ditemukan di udara, air maupun makanan, arsen juga
dapat ditemukan di industri seperti industri pestisida, proses pengecoran
logam maupun pusat tenaga geotermal. Elemen yang mengandung arsen
dalam jumlah sedikit atau komponen arsen organik (biasanya ditemukan pada
produk laut seperti ikan laut) biasanya tidak beracun (tidak toksik). Arsen
dapat dalam bentuk inorganik bervalensi tiga dan bervalensi lima. Bentuk
inorganik arsen bervalensi tiga adalah arsenik trioksid, sodium arsenik, dan
arsenik triklorida, sedangkan bentuk inorganik arsen bervalensi lima adalah
arsenik pentosida, asam arsenik, dan arsenat (Pb arsenat, Ca arsenat). Arsen
bervalensi tiga (trioksid) merupakan bahan kimia yang cukup potensial untuk
menimbulkan terjadinya keracunan akut. Bagian tubuh manusia yang rentan
terhadap sifat toksik dari arsen adalah endotel pembuluh darah. Normal,
manusia setiap harinya mengkonsumsi 0,03 mg arsen.
Paparan arsen di tempat kerja terutama dalam bentuk arsenik trioksid
dapat terjadi pada industri pengecoran timbal, tembaga, emas maupun logam

non besi yang lain. Beberapa industri yang juga mempunyai potensi untuk
memberi paparan bahan kimia arsen adalah industri pestisida/ herbisida,
industri bahan pengawet, industri mikro elketronik dan industri farmasi/ obatobatan. Pada industri tersebut, arsenik trioksid dapat bercampuran dengan
debu, sehingga udara dan air di industri pestisida dan kegiatan peleburan
mempunyai risiko untuk terpapar kontaminan arsen. Paparan yang berasal
dari bukan tempat kerja (non occupational exposure) adalah air sumur, susu
bubuk, saus dan minuman keras yang terkontaminasi arsen serta asap rokok.
Kematian akibat keracunan arsen sering tidak menimbulkan kecurigaan
karena

gejala

keracunan

akutnya

menyerupai

gejala

gangguan

gastrointestinal yang hebat sehingga dapat salah didiagnosis sebagai suatu


penyakit (DiMaio dan Dominick, 2001).
2.6.1.1 Tanda dan Gejala Keracunan Arsen
Arsen mempunyai waktu paruh yang singkat (hanya beberapa hari), sehingga
dapat ditemukan dalam darah hanya pada saat terjadinya paparan akut.
Untuk paparan kronis dari arsen tidak lazim dilakukan penilaian
a. Keracunan akut
Keracunan akut dapat terjadi jika tertelan sejumlah 100 mg arsen. Gejala
yang dapat timbul akibat paparan akut diawali dengan rasa terbakar di daerah
tenggorok dengan rasa logam pada mulut, diikuti mual, muntah hebat, nyeri
perut, diare, kedinginan, kram otot serta edema dibagian muka (facial). Isi
lambung dan duodenum dapat keluar, dan muntahan dapat mengandung
bubuk berwarna putih (As2O3) Kemudian timbul nyeri epigastrium yang cepat
menjalar ke seluruh perut hingga nyeri pada perabaan, dan timbul diare
hebat. Kadang-kadang terlihat bubuk putih pada kotoran yang dapat tampak
seperti air cucian beras yang bercampur darah. Muntah dan diare hebat dapat
berhenti spontan namun kemudian timbul lagi. Hal tersebut dapat
menyebabkan penderita jatuh dalam dehidrasi dan syok. Arsen juga
memperlemah kerja otot jantung dan mempengaruhi endotel kapiler yang
menyebabkan dilatasi kapiler sehingga syok bertambah berat. Paparan
dengan dosis besar dapat menyebabkan koma dan kolapsnya peredaran
darah. Dosis fatal adalah jika sebanyak 200-300 mg arsenik trioksid masuk ke
dalam tubuh.
Jika paparan terus berlanjut dapat menimbulkan gejala hemoglobinuria dan

anemia, gagal ginjal dan ikterus (gangguan hati). Kematian dapat terjadi
sebagai akibat dehidrasi berat dan syok hipovolemik (DiMaio dan Dominick,
2001)

Keracunan Arsin
Arsen yang berbentuk gas masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi,
yang selanjutnya akan mencapai darah dan menimbulkan hemolisis
hebat serta penekanan terhadap SSP. Korban menunjukkan gejala
menggigil, demam, muntah, nyeri punggung, ikterik, anemia dan
hipoksia, serta kadang-kadang dapat timbul kerjang. Dapat terjadi
hemoglobinuria, dan terdapat eritrosit dan silinder. Kematian terjadi
karena kegagalan system kardio-respirasi. Bila tidak terjadi kematian
dalam waktu singkat, pada ginjal dapat terjadi nekrosis tubuler dan
obstruksi tubuli oleh silinder eritrosit dengan akibat anuri dan uremia.

Keracunan Kronik
Pada keracunan kronik, korban tampak lemah, terdapat melanosis
arsenik berupa pigmentasi kulit yang berwarna kuning coklat, lebih
jelas pada daerah fleksor, putting susu dan perut sebelah bawah serta
pada aksila. Rambut tumbuh jarang. Pigmentasi berbintik-bintik halus
berwarna coklat, umumnya terlihat pada pelipis, kelopak mata dan
leher yang menyerupai pigmentasi pada penyakit Addison, namun
mukosa mulut tidak terkena. Dapat juga menyerupai pitiriasis rosea
dalam gambaran dan distribusi, tetapi menetap. Keratosis dapat
ditemukan pada telapak tangan dan kaki (keratosis arsenik). Gejala
neurologik berupa neuritis perifer, mula-mula timbul rasa tebal dan
kesemutan pada tangan dan kaki, kemudian terjadi kelemahan otot
dan kejang otot (kram) terutama pada malam hari. Gejala lain yang
tidak khas seperti malaise, berat badan menurun, mata berair, fotofobi,
pilek kronis, mulut kering, dan pada lidah dapat terlihat adanya bulubulu halus berwarna putih perak di atas jaringan lidah yang berwarna
merah (Kerrigan, 2004).

2.6.1.2 Pemeriksaan Forensik


a. Korban Mati Keracunan Akut

Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda dehidrasi.

Pada pemeriksaan dalam ditemukan tanda-tanda iritasi lambung,


mukosa berwarna merah, kadang-kadang dengan perdarahan (flea
bitten appearance). Iritasi lambung dapat menyebabkan produksi
mucin yang menutupi mukosa dengan akibat partikel-partikel arsen
dapat tertahan. Orpimen terlihat sebagai partikel-partikel arsen
berwarna kuning sedangkan As2O3 tampak sebagai partikel berwarna

putih.
Pada jantung ditemukan perdarahan sub-endokard pada septum.
Histopatologik jantung menunjukkan infiltrasi sel-sel radang bulat pada
miokard. Sedangkan organ lain parenkimnya dapat mengalami
degenerasi dan bengkak keruh. Pada korban meninggal perlu diambil
semua sample organ, darah, urin, isi usus, isi lambung, rambut, kuku,
kulit dan tulang. Sedangkan bahan-bahan yang perlu diambil untuk
pemeriksaan toksikologi pada korban hidup adalah muntahan, urin,
tinja, bilas lambung, darah, rambut, dan kuku.

b. Korban Mati akibat Keracunan Arsin


Bila korban cepat meninggal setelah menghirup arsin, akan terlihat
tanda-tanda kegagalan kardio-respirasi akut. Bila meninggalnya lambat,
dapat ditemukan ikterus dengan anemia hemolitik, tanda-tanda kerusakan
ginjal berupa degenerasi lemak dengan nekrosis fokal serta nekrosis tubuli.
c. Korban Mati akibat Keracunan Kronik

Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi buruk.


Pada kulit terdapat pigmentasi coklat (melanosis arsenik), keratosis

telapak tangan dan kaki (keratosis arsenik).


Kuku memperlihatkan garis-garis putih (Mees lines) pada bagian kuku
yang tumbuh dan pada dasar kuku. Temuan pada pemeriksaan dalam
tidak khas.

Pada kasus keracunan arsen, kadar dalam darah, urin, rambut dan kuku
meningkat. Nilai normal kadar arsen dalam rambut kepala adalah 0,5 mg/kg,
nilai 0,75 mg/kg menimbulkan kecurigaan adanya keracunan, nilai 30 mg/kg
menunjukkan adanya keracunan akut. Nilai normal kadar arsen dalam kuku
adalah sampai dengan 1 mg/kg. Nilai 1 mg/kg menumbulkan kecurigaan
adanya keracunan, dan pada keracunan akut dapat dijumpai kadar arsen
pada kuku sebanyak 80 mg/kg. Dalam urin, arsen dapat ditemukan dalam

waktu 5 jam setelah diminum, dan dapat terus ditemukan hingga 10-12 hari
(DiMaio dan Dominick, 2001).
Pada keracunan kronik, arsen diekskresikan secara intermiten tergantung
intake. Titik-titik basofil pada eritrosit dan leukosit muda mungkin ditemukan
pada darah tepi, menunjukkan beban sumsum tulang yang meningkat. Uji
kopro- porfirin urin akan memberikan hasil positif.
2.6.2 Keracunan Insektisida
Diantara jenis atau pengelompokan pestisida, jenis insektisida banyak
digunakan dinegara berkembang. Insektisida adalah racun serangga yang
banyak dipakai dalam pertanian, perkebunan, dan dalam rumah tangga.
Keracunan insektisida biasanya terjdi karena kecelakaan dan percobaan
bunuh diri, jarang sekali karena pembunuhan (Kerrigan, 2004).
2.6.2.1 Insektisida Golongan Hidrokarbon Terkhlorinasi
Hidrokarbon terkhlorinasi adalah zat kimia sintetik yang stabil beberapa
minggu sampai beberapa bulan setelah penggunaannya. Termasuk golongan
ini adalah DDT, aldrin, dieldrin, endrin, cholordine, lindane, toxaphane dan
BHC (Benzene Hexa Chlorida). Takaran toksik DDT pada manusia adalah 1
gram dan takaran fatalnya adalah 30 gram. sedangkan takaran fatal pada
binatang untuk aldrin 2-5 gram, dieldrin 2-5 gram, endrin 10 mg/kgBB, lindane
15-30 gram, toxaphane 2-7 gram.
Gejala pada keracunan ringan adalah lelah, berat dan sakit pada
tungkai, sakit kepala, parestesia pada lidah, bibir dan muka, serta gelisah.
Sedangkan

gejala

pada

keracunan

berat

adalah

pusing,

gangguan

keseimbangan, bingung, tremor, mual, muntah, midriasis kejang,bisa sampai


koma.
Pada keracunan kronik, dilakukan biopsi lemak tubuh yang diambil
pada perut setinggi garis pinggang minimal 50 gram dan dimasukkan ke
dalam botol bermlut lebar dengan penutup dari gelas dan ditimbang dengan
ketelitian 0,1 mg. pada keadaan normal, insektisida golongan ini dalam lemak
tubuh terdapat kurang dari 15 ppm (Kerrigan, 2004).
2.6.3.2 Insektisida Golongan Inhibitor Kolinesterase

Insektisida yang termasuk golongan ini adalah golongan fosfat organic


dan karbamat. Cara kerja golongan ini adalah mengikat enzim asetil
kolinesterase. Takaran fatal untuk golongan organofosfat: malathion 1-5 gram,
parathion 10 mg/kg BB. Takaran fatal untuk golonan karbamat: aldicarb 0,9-1
mg/kgBB.
Pada keracunan akut gejala timbul dalam 30-60 menit dan mencapai
puncaknya dalam 2-8 jam. Pada keracunan ringan gejala yang timbul adalah
anorexia, sakit kepala, gelisah, tremor lidah dan kelopak mata, miosis dan
penglihatan kabur. Sedangkan gejala pada keracunan berat adalah diare,
pupil pinpoint sukar bernapas, edema paru, sianosis, kejang (Sudarmo,2007).
2.6.4 Keracunan Karbon Monoksida (CO)
Gas CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau bila murni,
namun sering terkontaminasi sehingga tidak murni dan memiliki bau, tidak
merangsang selaput lendir, sedikit lebih ringan dari udara sehingga mudah
menyebar.
Sejak penggantian batu bara dengan gas alam, insidensi kematian
akibat karbon monoksida telah berkurang. Kandungan CO dihasilkan juga
oleh bensin sekitar 4-8%, mesin diesel menghasilkan kadar CO yang lebih
rendah. Walaupun gas pembuangan kendaraan bermotor akan terbawa ke
udara sampai ke atmosfer, tetapi kadar CO yang rendah tersebut tetap
berbahaya. Terlebih lagi polisi dan petugas lalu lintas yang bekerja di jalan
raya. Kadar saturasi CO pada hemoglobin orang-orang tersebut dapat
mencapai 10 persen. Keracunan CO dipengaruhi dengan keadaan lingkungan
seperti ventilasi yang minimal, ruangan yang tertutup sehingga gas CO dapat
terhirup. Pada kasus bunuh diri, cara yang sering dilakukan adalah korban
duduk di mobil dengan jendela terbuka pada garasi yang tertutup, sehingga
mereka dapat mengirup gas pembuangan tersebut.
Pada kasus kebakaran banyak korban meninggal bukan karena api ,
melainkan karena menghisap asap yang sebagian besar kandungan asap
tersebut adalah CO. Banyak proses industrial yang menyebabkan keracunan
CO khususnya pembuatan besi dan baja.

Gas CO memiliki afinitas yang tinggi terhadap hemoglobin dalam


darah. Kekuatan kombinasi ini 250x lebih kuat dibandingkan ikatan
hemoglobin dengan oksigen. Hal ini mengakibatkan walaupun konsentrasi
CO yang rendah dapat menggantikan oksigen dari sel darah merah dan
secara progresif mengurangi kemampuan sel darah dalam transportasi
oksigen ke jaringan. Konsentrasi CO yang kuat dapat membunuh. Kadar
saturasi carboxyhaemoglobin (ikatan CO dengan hemoglobin) di atas 50-60%
berakibat fatal pada orang dewasa yang sehat. Orang yang berusia lanjut,
memiliki penyakit paru-paru atau penyakit jantung dapat meninggal pada
kadar CO yang rendah, bahkan pada kadar saturasi 25%. Gejala dari
keracunan CO bersifat progresif sehingga korban tidak mendapat tanda
apapun kecuali sakit kepala, hingga mereka pingsan hingga koma. Pada
kadar sekitar 30-40% dapat terjadi nausea, dapat disertai vomit, pingsan,
kehilangan ketajaman penglihatan, lemah, dan dapat jatuh ke dalam tahap
stupor dan dapat terjadi koma. Pada kadar sekitar 40-50% terjadi sickness,
lemah, inkoordinasi, convulsions, dan koma dapat terus berjalan hingga
terjadi kegagalan kardiorespirasi dan kematian. Beberapa orang dewasa yang
sehat

dapat

mencapai

kadar

70%

atau

lebih

sebelum

meninggal

(Sudarmo,2007).

2.6.4.1 Pemeriksaan Forensik


Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan
anamnesis adanya kontak dan di temukannya gejala keracunan CO. Pada
keracunan CO dapat terjadi kulit yang berwarna merah muda, sering disebut
sebagai cherry pink, yang tampak jelas bila kadar carboxyhaemoglobin
(COHb) mencapai 30% atau lebih. Bantalan kuku dan bibir dapat
menunjukkan warna yang khas terutama pada kadar saturasi yang tinggi.
Selanjutnya tidak ditemukan tanda khas lain.
Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan hiperemia visera. Pada
otak besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila korban dapat
bertahan hidup lebih dari 12 jam. Pada area hipostatik dari tubuh yang telah
mati, pewarnaan merah muda biasanya terlihat, kecuali pada daerah yang
anemis dimana pengurangan dari kandungan hemoglobin dapat mengurangi

intensitas dari pewarnaan. Pada pemeriksaan dalam seluruh organ dapat


berwarna merah muda akibat carboxyhaemoglobin dan carboxymyoglobin.
Edema pulmonal sering ditemukan namun tidak ada perubahan organ
spesifik, kecuali pada otak dari korban yang telah bertahan selama beberapa
waktu mengikuti episode keracunan CO, pada beberapa kasus dapat terjadi
degenerasi kistik yang bilateral dari ganglia basal. Individu dengan paparan
CO yang lama dapat mengalami parkinsonian syndrome atau dapat terjadi
perburukan status neurologis. Trauma psikologis dapat disebabkan oleh
keracunan CO akibat adanya hipoksia serebral (Sudarmo,2007).
Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada
korban keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka
seluruh CO telah di eksresi dan darah tidak mengandung COHb lagi,
sehingga ditemukan lebam mayat berwarna livid seperti biasa demikian juga
jaringan otot, visera dan darah. Kelainan yang dapat di temukan adalah
kelainan akibat hipoksemia dan komplikasi yang timbul selama penderita di
rawat.
Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus
palidus dapat di temukan petekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk
keracunan CO, karena setiap keadaan hipoksia otak yang cukup lama dapat
menimbulkan petekiae.
Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran :

Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombohialin

Nekrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang


mengandung trombohialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya
di sebut ring hemorrage

Nekrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang


mengandung trombi

Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik


akibat

hipoksia

dan

memecah.Pada

miokardium

di

temukan

perdarahan dan nekrosis, paling sering di muskulus papilaris ventrikal


kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak bagian ujung muskulus
papilaris berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti
kipas berjalan dari tempat insersio tendinosa ke dalam otak.
Ditemukan eritema dan vesikal/ bula pada kulit dada, perut, luka, atau

anggota gerak badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak
tertekan. Kelainan tersebut di sebabkan oleh hipoksia pada kapilerkapiler bawah kulit (Sudarmo,2007).
2.6.5 Keracunan Narkotika, Barbiturat, dan Hipnotik
2.6.5.1 Keracunan Narkotika
Narkotika

(Yunani:

Narkosis)

ialah

setiap

obat

yang

dapat

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan suatu keadaan stupor.


Pemeriksaan luar pada pengguna narkotika dapat ditemukan bekas suntikan
(needle mark), di daerah lipat siku, punggung tangan, lengan atas, dan sekitar
putting susu. Dapat ditemukan skin blisters pada korban keracunan narkotika,
barbiturate, dan karbon monoksida.
2.6.5.1.1 Jenis-jenis Narkotika:
1. Opiat/ Opium
Opiat atau opium adalah bubuk yang dihasilkan langsung oleh
tanaman poppy/ papaver somniferum di mana di dalam bubuk tersebut
terkandung morfin yang dapat menghilangkan rasa sakit dan kodein
yang berfungsi sebagai antitusif.
2. Morfin
Mofrin adalah alkoloida yang merupakan hasil ekstraksi serta isolasi
opium dengan zat kimia tertentu untuk penghilang rasa sakit atau
hipnoanalgetik bagi pasien penyakit tertentu. Dampak atau efek dari
penggunaan morfin yang sifatnya negatif membuat penggunaan morfin
diganti dengan obat-obatan lain yang memiliki kegunaan yang sama
namun lebih kecil efek sampingnya.
3. Heroin
Heroin adalah turunan dari morfin atau opioda semisintatik dengan
proses kimiawi yang dapat menimbulkan ketergantungan/ kecanduan
yang berlipat ganda dibandingkan dengan morfin. Heroin dipakai
dengan cara menyuntikkan keotot, kulit/sub kutan atau pembuluh vena.
4. Kodein
Kodein adalah sejenis obat batuk yang digunakan oleh dokter, namun
dapat

menyebabkan

ketergantungan/

efek

peredarannya dibatasi dan diawasi secara ketat.

adiksi

sehingga

5. Opiat Sintetik/ Sintetis


Jenis obat yang berasal dari opiat buatan tersebut seperti metadon,
petidin dan dektropropoksiven (distalgesic) yang memiliki fungsi
sebagai obat penghilang

rasa sakit. Metadon berguna untuk

menyembuhkan ketergantungan opium/ opiat. Opiat sintesis dapat


memberi efek seperti heroin, namun kurang menimbulkan ketagihan/
kecanduan.
6. Kokain / Cocaine Hydrochloride
Kokain adalah bubuk kristal putih yang didapat dari ekstraksi serta
isolasi daun coca (erythoroxylon coca) yang dapat menjadi perangsang
pada sambungan syaraf dengan cara / teknik diminum dengan
mencampurnya dengan minuman, dihisap seperti rokok, disuntik ke
pembuluh darah, dihirup dari hidung dengan pipa kecil, dan beragam
metode lainnya. Kenikmatan menggunakan kokain hanya dirasakan
sebentar saja, yaitu selama 1 sampai 4 menit seperti euforia,
peningkatan kepercayaan diri, terangsang, menambah tanaga dan
stamina, dan lain-lain. Setelah 20 menit berubah menjadi rasa lelah/
capek, depresi mental dan ketagihan. Efek yang dapat ditimbukan dari
penggunaan kokain secara terus menerus adalah :

Hipertensi

Insomnia

Miosis

Hilang nafsu makan / kurus

Peningkatan detak jantung

7. Ganja/ Mariyuana/ Kanabis


Mariyuana adalah tanaman semak/perdu yang tumbuh secara liar di
hutan yang mana daun, bunga, dan biji kanabis berfungsi untuk
relaksan dan mengatasi keracunan ringan (intoksikasi ringan).Zat
getah ganja/ THC (delta-9 tetra hidrocannabinol) yang kering bernama
hasis, sedangkan jika dicairkan menjadi minyak kanabasis. Minyak
tersebut sering digunakan sebagai campuran rokok atau lintingan
tembakau yang disebut sebagai cimenk, cimeng, cimenx, joint, spleft,
dan sebagainya.Ganja dapat menimbulkan efek yang menenangkan/

relaksasi. Orang yang baru memakai ganja atau mariyuana memiliki


ciri-ciri sebagai berikut :

Mabuk, mata merah.

Tubuh lemas dan lelah.

MidriasisBagi pengguna ganja alias mariyuana semua itu tidak


masalah walaupun banyak menimbulkan efek buruk bagi fisik dan
mental, antara lain sebagai berikut ini:Kemampuan konsentrasi
berkurang.Daya tangkap syaraf otak berkurang. Penglihatan kabur /
berkunang-kunang. Pasokan sirkulasi darah ke jantung berkurang.
Yang penting bagi pecandu ganja adalah efek enak dan nikmat dunia
yang semu seperti :- Rasa gembira.- Percaya diri/ PD meningkat pesat.
- Peka pada suara (Sudarmo, 2007).

2.6.5.1.2 Tanda dan Gejala Keracunan


Keracunan dapat terjadi secara akut dan kronis. keracunan akut biasanya
terjadi akibat percobaan bunuh diri, kecelakaan dan pembunuhan.
Gejala keracunan lebih cepat pada morfin daripada opium. Mula-mula terjadi
eksitasi susunan saraf yang kemudian disusul oleh narkosis. Korban biasanya
datang ke rumah sakit sudah dalam fase narkosis. Korban merasa ngantuk
yang semakin lama semakin dalam dan berakhir dengan keadaan koma,
terdapat relaksasi otot-otot sehingga lidah dapat menutupi saluran napas,
nadi kecil dan lemah, pernapasan sukar, irregular, pernapasan dangkallambat dan dapat terjadi pernapasan Cheyne Stokes, suhu badan turun,
muka pucat, pupil miosis yang akan melebar kembali setelah terjadi anoksia,
tekanan darah menurun hingga syok.
2.6.5.1.3 Sebab dan Mekanisme Kematian
Cara kematian hanya dapat ditentukan jika kita melakukan penyelidikan ke
tempat kejadian. Kecelakaan adalah sebab terbanyak, biasanya dikarenakan
ketidaktahuan dosis. Cara kematian yang lain adalah pembunuhan.
Pembunuhan dengan suntikan biasanya menggunakan morfin/heroin dosis
letal atau dicampur dengan racun lain misalnya sianida atau strichnin. cara
kematian dapat pula bersifat bunuh diri yang biasanya akibat abstinensia.
kematian biasanya terjadi pada penggunaan secara intravena.

Mekanisme kematian melalui : Depresi pusat pernapasan : pusat


pernapasan menjadi kurang sensitive terhadap stimulus CO2 atau H+.
Edema paru : terjadinya edema paru diakibatkan oleh peningkatan tekanan
cairan serebrospinal dan tekanan intrakranial serta berkurangnya sensitifitas
pusat pernafasan terhadap CO2. Kedua keadaan ini menyebabkan
menurunnya ventilasi paru dan gangguan permeabilitas.
Syok anafilaktik terjadi akibat hipersensitifitas terhadap morfin/heroin atau
terhadap bahan pencampuranya. Kematian pada pemakai narkotika dapat
pula diakibatkan oleh berbagai hal lain, seperti : pemakaian alat suntik dan
bahan yang tidak steril sehingga menimbulkan infeksi, misalnya pneumonia,
endokarditis, hepatitis, tetanus, AIDS, malaria, sepsis dan sebagainya. Bila
cara penyuntikan tidak benar, dapat terjadi emboli udara.
Dosis letal tidak dapat ditentukan dengan pasti karena tergantung dari
individu. Dosis letal terkecil yang pernah dilaporkan adalah sebesar 60 mg
morfin, tetapi biasanya diambil patokan sekitar 200 mg. Selain itu kadar
dalam urine dan darah dapat digunakan sebagai pegangan. Jika kadar morfin
dalam urine sebesar 55mg% berarti orang tersebut menggunakan morfin
dalam jumlah yang berlebihan. Bila kadara dalam urine sebesar 5-20 mg%
atau dalam darah 0,1-0,5 mg% berarti sudah dalam keadaan toksik.
2.6.5.1.4 Pemeriksaan Forensik
Pada korban hidup yang menunjukkan gejala keracunan narkotika, perlu
dilakukan

pemeriksaan

laboratorium

darah

dan

urine. Apabila

hasil

pemeriksaan laboratoriummenunjukkan adanya narkotika, maka kita wajib


melaporkannya

kepada

pihak

yang

berwewenang

(Pasal

48

UU

Narkotika,1976).
Pemeriksaan jenasah : Bekas-bekas suntikan, tersering terdapat pada liupat
siku, lengan atas,
punggung tangan dan tungkai. Tempat yang jarang namun harus tetap kita
perhatikan adalah pada leher, di bawah lidah atau pada daerah perineum.
Pembesaran kelenjar getah bening setempat. Ini diakibatkan pemakaian
kronis

menggunakan

suntikan

yang

tidak

steril.

Pada

pemeriksaan

mikroskopik kelainan ini menunjukkan hipertrofi dan hiperplasi limfositik.


Lepuh kulit (skin-blister), biasanya pada kulit daerah telapak tangan dan
kaki. Kelainan ini biasanya terdapat pada kasus kematian karena suntikan

dalam jumlah besar. Keadaan ini juga mungkin didapatkan pada kasus
keracunan CO atau barbiturat.
Kelainan lain : biasanya merupakan tanda asfiksia saeperti keluarnya busa
halus dari lobang hidung dan mulut, yang mulanya berwarna putih yang
kemudian kemerahan (karena adanya autolysis). Kelainan ini dianggap
sebagai tanda edema paru. Sianosis pada ujung-ujung jari dan bibir,
perdarahan petekial pada konjungtiva dan pada pemakaian narkotika dengan
cara sniffing kadang dijumpai perforasi septum nasi.
Kelainan paru akut. Perubahan awal(3 jam pertama) didapatkan edema dan
kongesti saja. Pada jangka waktu 3-12 jam didapatkan narcotic lungs.
Menurut Siegel, kelainan ini khas dan dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis.
Perubahan lanjut. Terjadi lebih dari 24 jam. Paru menunjukkan gambaran
pneumonia

lobularis

difus,

penampangnya

tampak

berwarna

coklat

kemerahan, padat seperti daging dang menunjukkan gambaran granuler.


Kelainan paru kronik berupa granulomatosis vaskular paru sebagai
manifestasi reaksi jaringan terhadap talk yang digunakan sebagai bahan
pencampur, mungkin pula akibat bahan yang tidak larut pada penggunaan
parenteral. Pada mikroskopis tampak gambaran kristal.
Kelainan hati dapat berupa akumulasi sel radang. Derajat kelainannya
tergantung lamanya penggunaan narkotika. Pada pemeriksaan mikroskopik
juga ditemukan fibrosis ringan dan proliferasi sel-sel duktus biliaris.
Pada pemeriksaan laboratorium, bahan pemeriksaan diambil dari urine (jika
tidak ada dapat diambil ginjal), cairan empedu dan jaringan sekitar suntikan.
Isi lambung diambil jika korban menggunakan narkotika peroral, apusan
mukosa hidung bila menggunakan sniffing. Pemeriksaan laboratorium untuk
mendeteksi adanya narkotika minimal adalah kromatografi lapis tipis (tlc).
Cara pemeriksaan lain adalah menggunakan teknik glc (kromatografi gas)
dan ria (radio immunoassay). Untuk mendeteksi seorang pencandu atau
bukan dapat diketahui
melalui uji nalorfin, analisa urine, uji marquis, uji mikrokristal dan hanging
microdrop technique.
2.6.5.2 Keracunan Barbiturat dan Hipnotik Lain

Barbiturat digunakan secara luas sebagai obat adiktif, namun efek lain yang
terdapat pada obat ini disalahgunakan. Obat ini memiliki batas komposisi
yang luas, dari yang bersifat anestesi kerja singkat seperti thiopentone
sodium hingga yang bersifat kerja sedang seperti amylobarbitone. Saat ini
babiturat kerja lama (long acting) seperti phenobarbitone digunakan dalam
terapi epilepsi pada manusia. Toleransi mudah diinduksi dengan cepat dan
gejala withdrawal terhadap obat dapat bersifat berat. Barbiturat (downers)
dapat dikombinasikan dengan stimulan amphetamines (uppers) dalam tablet
yang sama, dan dikenal sebagai purple heart. Alkohol dan barbiturat memiliki
kekuatan aditif yang kuat dan dapat menyebabkan kematian.
Pada

awalnya

amphetamine

(benzedrine)

dan

dextroamphetamine

(dexedrine) diresepkan untuk mencegah kelelahan dan menekan nafsu


makan. Obat ini memiliki efek stimulan yang kuat sehingga penggunaan
dalam

jangka

waktu

lama

dapat

menyebabkan

hyperexcitement,

hallucinations, dan psychoses. Pada umumnya terdapat hyperpyrexia dan


hypertension

yang

dapat

mempresipitasi

pendarahan

serebral

atau

pendarahan subarachnoid, dan berisiko aritmia jantung. MDMA (methylenedioxy-methamphetamine) dikenal juga sebagai ectasy, XTC, ADAM, yang
pada beberapa tahun disebut sebagai desainer drug dan bertanggung jawab
dalam

sejumlah

kematian.

Penggunaan

MDMA dapat

menyebabkan

gangguan pada neurologis, ginjal, hepar, dan paru-paru, dan dapat


menyebabkan rhabdomyolysis dan disseminated intravaskular coagulation.
Beberapa pengguna diketahuin meminum sejumlah besar air, yang
mengakibatkan intoksikasi air dan meninggal akibat oedem serebral.
2.6.6 Keracunan Alkohol
Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering menimbulkan
keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya reaksi atau
kecepatan, kemampuan untuk menduga jarak dan ketrampilan mengemudi
sehingga cenderung menimbulkan kecelakaan lalu lintas di jalan, pabrik dan
sebagainya. Penurunan kemampuan untuk mengontrol diri dan hilangnya
kapasitas untuk berfikir kritis mungkin menimbulkan tindakan yang melanggar
hukum seperti perkosaan, penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun
tindakan bunuh diri.

Bau alkohol bukan merupakan diagnosis pasti keracunan. Diagnosis


pasti hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kuantitatif kadar alkohol
darah. Kadar alkohol dari udara ekspirasi dan urin dapat dipakai sebagai
pilihan kedua. Pada korban yang meninggal, sebagai pilihan kedua dapat
diperiksa kadar alkohol dalam otak, hati, atau organ lain, atau cairan tubuh
lain seperti cairan serebrospinalis. Penentuan kadar alkohol dalam lambung
saja tanpa menentukan kadar alkohol dalam darah hanya menunjukkan
bahwa orang tersebut telah minum alkohol. Pada mayat, alkohol dapat
berdifusi dari lambung ke jaringan sekitarnya termasuk ke dalam jantung,
sehingga untuk pemeriksaan toksikologik, diambil dari pembuluh darah vena
perifer (vena kubiti atau vena femoralis). Salah satu cara pemeriksaan
semikuantitatif kadar alkohol dalam darah atau urin yang cukup sederhana
adalah teknik modifikasi mikrodifusi, sebagai berikut:

Letakkan 2 ml reagen Anti eke dalam ruang tengah. Reagen Antie


dibuat dengan melarutkan 3,70 gm Kalium dikromat ke dalam 150 ml
air. Kemudian tambahkan 280 ml asam sulfat, dan terus diaduk, lalu
encerkan dengan 500 ml akuades.

Sebarkan 1 ml darah atau urin yang akan diperiksa dalam ruang


sebelah luar dan masukkan 1 ml kalium karbonat jenuh dalam ruang
sebelah luar pada sisi berlawanan.

Tutup sel mikrodifusi, goyangkan dengan hati supaya darah/urin


bercampur dengan larutan kalium karbonat.

Biarkan terjadi difusi selama 1 jam pada temperatur ruang. Kemudian


angkat tutup dan amati perubahan warna pada reagen Antie.

Hasil: warna kuning kenari menunjukkan hasil negatif. Perubahan


warna kuning kehijauan menunjukkan kadar etanol sekitar 80 mg%.
Warna hijau kekuningan sekitar 300 mg%. Kadar alkohol darah yang
diperoleh pada pemeriksaan belum menunjukkan kadar alkohol darah
pada saat kejadian. Hal ini akibat dari pengambilan darah dilakukan
beberapa saat setelah kejadian, sehingga perhitungan kadar alkohol
darah saat kejadian harus dilakukan meskipun kecepatan eliminasi
kira-kira

14-15

mg%,

namun

dalam

perhitungan

harus

juga

dipertimbangkan kemungkinan kesalahan pengukuran dan kesalah

perkiraan kecepatan eliminasi. Gruner (1975) menganjurkan angka 10


mg% per jam digunakan dalam perhitungan (Klaassen, 2008).
2.6.7 Keracunan Metanol (Metil Alkohol)
Metil alkohol banyak digunakan dalam industri dan rumah tangga. Metil
alkohol mudah didapat dan murah karena tidak dapat digunakan sebagai
minuman karena sangat toksik. Metal alkohol merupakan cairan jernih, tidak
berwarna, dengan bau khas, mempunyai titik didih 60 derajat Celcius.
Kadar ambang batas metanol di udara adalah 200 ppm. Bau metanol akan
tercium bila kadara diudara mencapai 100 ppm, sedangkan takaran toksik
diperkirakan adalah 6 ml, dan takaran letalnya sekitar 30-100 ml.
Metil alkohol dibuat dari destilasi kayu atau melalui sintetis kimia. Banyak
digunakan dalam bidang industri dan kesenian. Dikenal beberapa bentuk
murni metal alkohol seperti Columbian spiritus, Eagle spiritus bahan aditif
untuk meinggikan tinggi nilai oktan bensin dan sebagai cairan antibeku air
radiator mobil (Klaassen, 2008).
2.6.7.1 Tanda dan Gejala Keracunan
Umumnya gejala timbul tiba-tiba setelah masa laten yang lamanya sangat
bervariasi. Keracunan metanol menunjukkan gejala rasa lemas, mual,
muntah, sakit kepala, sesak napas, dan sianosis. Mungkin pula diikuti dengan
delirium, kejang, kulit teraba dingin, stupor, dan koma. Gejala-gejala ini timbul
akibat depresi SSP, edema otak, dan juga akibat oksidasi metanol yang
menyebabkan asidosis. Kebutaan dapat terjadi pada keracunan akut dan
kronis, sebagai akibat kerja racun pada sel ganglion retina yang menimbulkan
atrofi nervus optikus. Bila kebutaan tidak menyeluruh, maka dapat
mengakibatkan lapang pandang yang menyempit dan buta warna. Kebutaan
dapat terjadi bila meminum sebanyak 15 ml metanol.
2.6.7.2 Sebab dan Mekanisme Kematian
Keracunan metil alkohol umumnya terjadi akibat kecelakaan. Dosis letalnya
30-100 ml. kematian biasanya terjadi dalam 24-36 jam, namun pernah
tercatat ada yang dapat bertahan hidup 24 hari, dengan mekanisme yang
telah diuraikan di atas (Klaassen, 2008).

2.6.7.3 Pemeriksaan Forensik

Tanda-tanda yang ditemukan tidak khas. Pada pemeriksaan luar mungkin


hanya tercium bau khas dan tanda-tanda asfiksia. Pada pemeriksaan dalam
ditemukan edema organ visera, perdarahan pada permukaan paru, dan
mukosa organ visera, dan bintik-bintik perdarahan pada selaput otak. Pada
pemeriksaan histopatolgik dapat dijumpai degenerasi bengkak keruh pada
hati dan ginjal serta edema otak. Bahan pemeriksaan dari darah, otak, hati,
ginjal, urin. Dalam urin dapat ditemukan metil alkohol dan asam formiat
sampai 12 hari setelah keracunan (Klaassen, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Aurbuckle T. Bruce D., etc. 2006. Indiredt sources of Herbicides
exposure for families on Ontorio farms Journal of Exposure Science and
Enviromental Epidemiology 2006 (16):98-104
Kerrigan, S, (2004), Drug Toxicology for Prosecutors Targeting
Hardcore Impaired Drivers, New Mexico Department of Health Scientific
Laboratory Division Toxicology Bureau, New Mexico.
Klaassen, C.D. 2008. Casarett And Doulls Toxicology The Basic
Science of Poisons, Seventh Edition. New York : McGraw Hill.
Klein, G.M., Rama B.R., Neal E.F., Lewis S.N., dan Brenna M.F. 2008.
Disaster Preparedness : Emergency To Response Organophosphorus
Poisoning. New York : King Pharmaceuticals, Inc.
Prihadi. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Efek Kronis
Keracunan Pestisida Organofosfat Pada Petani Sayuran di Kacamatan
Ngablak Kabupaten Magelang PPs-UNDIPSemarang 2008
Spheherd R. 2003. Simpsons Forensic Medicine 12
Arnold Publishers
Sudarmo S. 2007. Pestisida. Kanisius. Yogyakarta 2007

th

ed. London:

You might also like