Professional Documents
Culture Documents
prinsip, aturan dan patokan yang menolong untuk mengerti atau mengartikan salah satu karya atau dokumen dari jaman
sekarang atau terutama dari jaman dahulu.
Dengan pertolongan prinsip, aturan dan patokan yang ditetapkan itu para ahli mengartikan suatu karya (seni) dan begitu
menghasilkan "tafsiran". Pengetrapan ilmu tafsir itu disebut "eksegese" (Yunani: eks-egesthai=mengeluarkan,
menerangkan). Meskipun ilmu tafsir dapat dan harus diterapkan pula untuk mengartikan suatu karya profan juga,
namun ilmu itu terutama diperkembangkan sehubungan dengan Alkitab. Dan hanya ilmu tafsir alkitabiah itu yang
menjadi pokok uraian ini. Adapun ilmu tafsir alkitabiah itu ialah: ilmu (prinsip, aturan , patokan) yang menolong untuk
mengerti apa yang sesungguhnya dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Suci.
Perjanjian Baru dan sedikit banyak dirubah. Tafsiran serupa itu khususnya mengenai nubuat-nubuat Perjanjian
Lama yang oleh Perjanjian Baru diterapkan pada Yesus Kristus dan pada umat kristen.
Bagi orang katolik Allah tidak hanya dapat memberikan tafsirNya dalam Kitab Suci sendiri tetapi juga dengan
perantaraan lembaga umat Allah, khususnya dengan perantaraan kuasa Gereya yang berwenang untuk mengajar.
Karena itu perlu diperhatikan pula bagaimana Alkitab diartikan oleh Gereja, baik dahulu (tradisi) maupun
sekarang (kuasa mengajar dan iman umat pada umumnya). Sehubungan dengan itu selalu perlu diperhatikan
baik-baik apakah Gereja (tradisi, kuasa mengajar) sungguh bermaksud memberikan suatu interprestasi yang
"otentik", yaitu berwenang sehingga mengikat benar. Maksud itu kerap kali sukar ditetapkan dan dipastikan,
khususnya berhubungan dengan tradisi. Pada umumnya boleh dikata bahwa belum ada banyak nas Alkitab yang
diberikan tafsir otentik semacam itu.
Dari ciri ilahi Alkitab diturunkan pula patokan, bahwa Kitab Suci dalam ajarannya tidak dapat sesat dan keliru
(bdk. Benarnya Kitab Suci). Patokan itu hanya dapat (dan harus) diterapkan apabila ada kepastian bahwa Kitab
Suci sungguh bermaksud membenarkan sesuatu dan itupun secara definitip. Kalau demikian suatu pertentangan
didalam Alkitab sendiri tak mungkin lagi dan tafsir ilmiah tidak boleh menimbulkan pertentangan-pertentangan
semacam itu. Tetapi disini harus diingat lagi bahwa ajaran Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan
kemajuan, sehingga tak perlu ajarannya selalu dan tetap sama saja. Hanya dalam rangka itu suatu pertentangan
benar dan langsung tidak dapat diterima lagi dan semua yang sungguh dibenarkan oleh Alkitab adalah benar
juga. Dalam suatu karya insani belaka orang dapat menerima sesatan, keliruan dan pertentangan tetapi dalam
Alkitab tidak.
2. Dalam rangka patokan (teologis) tersebut Alkitab sebagai karya insani boleh dan harus ditafsirkan dan diartikan
sesuai dengan prinsip dan patokan-patokan umum yang harus dipergunakan untuk mengerti suatu karya sastera
dari jaman dahulu. Patokan-Patokan yang paling penting ialah :
1. Teks yang ditafsirkan haruslah teks aseli. Jadi teks sebagaimana ditulis oleh pengarang suci (terakhir)
harus menjadi titik tolak bagi tafsiran. Karena itu orang wajib menggunakan teks dalam bahasa aseli
(Ibrani/Aram dan Yunani) dan bukanlah salah satu terjemahan, meski paling baik sekalipun. Hanya apa
yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan oleh teks aseli itulah yang adalah makna Kitab Suci. Kalau
sepanjang sejarah teks aseli itu mengalami kerusakan maka terlebih dahulu teks aseli harus sedapatdapatnya dipulihkan dengan pertolongan ilmu Kritik teks.
2. Perkataan teks aseli harus diartikan sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang suci. Adakalanya
perkataan dipakai menurut arti biasa dan sehari-hari, lain kali pengarang suci menggunakan bahasa
kiasan atau bahasa penghebat yang bermacam ragam. Semua kemungkinan penggunaan bahasa perlu
diperhatikan untuk menetapkan apa yang dimaksudkan pengarang. Sepanjang sejarah bahasa itu
perkataan-perkataan kerap kali berubah artinya dan perubahan semacam itu harus diperhatikan dan
diketahui oleh ahli tafsir pula.
3. Untuk mengenal maksud si pengarang perkataan tidak boleh diartikan tersendiri-sendiri saja, melainkan
dalam hubungannya dengan kata- kata lain. Hubungan semacam itu disebut konteks. Konteks itu dapat
lebih kurang luas. Perkataan-perkataan harus dimengerti dalam konteks kalimatnya, tetapi juga dalam
konteks seluruh pasal, bahkan seluruh karangan/kitab. Adakalanya karangan-karangan lain dari tangan
pengarang yang sama harus diikutsertakan semua, supaya arti perkataan-perkataan dan ungkapan
tertentu dapat dipahami. Setiap pengarang mempunyai kosakata serta peristilahannya sendiri. Dan arti
istilah dan ungkapannya harus ditetapkan dahulu. Umpamanya istilah "daging" dan "badan" dalam
karangan-karangan Paulus mempunyai makna yang khas. Demikianpun halnya dengan istilah "dunia"
dalam karangan-karangan Yohanes dan Paulus (dan Perjanjian Baru pada umumnya). Kalau istilahistilah dan ungkapan serupa itu dimengerti secara biasa, niscaya sipenafsir tidak lagi mengerti maksud
pengarang suci.
4. Untuk mengerti karangan-karangan Kitab Suci maka harus ditempatkan pula dalam konteks historisnya.
Maksudnya ialah: karangan itu baru dapat dimengerti apabila orang tahu sedikit banyak tentang latar
belakang historisnya, sejarah politik, kebudayaan dan keagamaan. Pendek kata situasi konkrit pengarang
suci ikut menentukan apa yang dimaksudkannya dengan perkataan dan karangannya. Sehubungan
dengan itu penting sekali "jenis sastera" yang dipergunakannya sesuai dengan adat kebiasaan pada
jamannya.
menunjuk kepada realitas yang lain, melainkan perkataan-perkataan sendiri menunjukkan kedua hal sekaligus,
meskipun letaknya ditingkat yang berbeda. Makna penuh semacam itu tidak termasuk kedalam wilayah tafsir
ilmiah, tetapi hanya dapat diberitahukan oleh Allah sendiri dalam perkembangan wahyu selanjutnya. Makna
penuh yang mula-mula tersembunyi sama sekali kemudian disingkapkan oleh Tuhan. Dengan pertolongan
"makna penuh" itu, para ahli mengharap dapat lebih baik mengerti tafsiran yang diberikan Perjanjian Baru
terhadap Perjanjian Lama.
4. Makna allegoris tidak boleh dikatakan "makna Alkitab" lagi. Menurut tafsir "allegoris": maka apa yang
sesungguhnya dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci bukanlah apa yang diungkapkan melainkan
sesuatu yang lain, sesuatu yang tersembunyi sama sekali. Seluruh Kitab Suci diartikan sebagai suatu lambang
belaka dari pelbagai realitas-realitas rohani dan semua dipindahkan kedalam bidang lain yaitu bidang rohani.
Meskipun dahulu beberapa pujangga Gereja (khususnya Origenes) suka sekali akan "tafsir allegoris" semacam
itu, namun tafsir itu tidak boleh dikatakan tafsir Kitab Suci lagi. Dengan pertolongan tafsir itu hanya
diungkapkan macam-macam gagasan dan pengertian abstrak dan niskala saja yang sama sekali tidak
dimaksudkan oleh Kitab Suci. Dan disini letaknya perbedaan besar antara "makna allegoris" dan "makna
tipologis". Makna tipologis tercantum didalam realitas historis, sedangkan maksud allegoris mengenai gagasan
dan pengertian abstrak yang diluar pandangan Kitab Suci.
5. Bukan "makna Alkitab" pulalah apabila seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri dengan
perkataan yang diambil dari Alkitab serta hanya dipinjam saja. Penggunaan Kitab Suci yang sedemikian dahulu
kala sangat laku (terutama dalam khotbah-khotbah) tetapi tidak boleh dianjurkan. Sebelum Kitab Suci dipakai,
orang harus tahu apa yang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Alkitab. Firman Allah jangan dipakai
sebagai perhiasan belaka.
Istilah eksegesis berasal dari kata Yuanani exegesis yang berarti memimpin atau membawa ke luar
dan dapat di artikan suatu penjelasan eksposisi dan interpretasi Alkitab. Sebagai suatu definisi, istilah
eksegesisi berarti menjelaskan suatu kata, kalimat, paragraph atau keseluruhan kitab dengan
memimpin ke luar pengertian sebenarnya suatu teks.
Sedangkan tujuan eksegesisi ialah mencari tahu isi dan maksud si penulis dalam sebuah teks dengan
memerhatikan corak gaya bahasa yang di gunakan.
Dapat disimpulkan penafsir harus memiliki kebersamaan dengan penulis dalam aspek aspek berikut :
- Penafsir harus memiliki teks penulis hal ini bebarti perlu ada kritik teks.
- Penafsir harus mengeri bahasa, corak dan gaya bahasa sastra penulis adanya studi tata bahasa,
gaya bahasa sastra dan pengertian kata.
- Penafsir harus menyelami sejarah penulis mengetahui latar belakang sejarah geografis dan
kebudayaan mutlak dibutuhkan
- Penfsir harus memiliki konsep pandangan dunia yang sama dengan si penulis.
1. Berbagai metode penafsiran yang kurang baik
a. Metode Alegoris : yaitu memasukan gagasan dan pengertiannya sendiri ke sebuah teks yang semula
tidak dimaksudkan oleh penulis.
b. Metode penafsir ayat dan teks secara terisolis atau terpisah : alkitab di pandang sebagai sejumlah
ayat yang terisolasi aytau terpisah satu dengan yang lain dan penafsirannya atau pengertiannya
terlpas dari konteks sastranya.
c. Metode penafsiran dogmatis : penafsir mengungkapkan kepercayaan atau imannya dan kemudian
melihat bagian bagian alkitab untukmencari dukungan dari pendapat atau presepsi yang telah ia
miliki sebelumnya.
d. Metode penafsiran teks parallel: penafsir melihat alkitab sebagai suatu koleksi ayat referensi yang
tersebar dan beranggapan bahwa suatu teks dapat di jelaskan langsung oleh sebuah teks parallel lain
dalam alkitab.
e. Metode penafsiran secara harfiah ekstrem : penafsir menolak atau mengabaikan untuk menfsirkan
suatu ayat secara gambaran ( simbolis).
f. Metode rasional : penafsiran berupaya untuk menafsirkan dan menjeklaskan teks- teks alkitab sesuai
dengan apa yang dapat di terima oleh rasio manusia.
g. Metode mitologis : penfsir menggap bahwa factor historis tidaklah penting atau hanya merupakan
kulit.
2. Metode penafsiran yang baik : metode penafsiran gramatikal historical konstekstual
Metode penafsiran ini berusaha untuk mengerti suatu teks dengan memperhatikan atuaran gramatikan
( tata bahasa) dan sastra, fakta historis, serta kerangka konteks. Dalam metode ini inspirasi
( pengilhaman ) oleh Roh Kudus dalam penulisan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Manusia sebagai
subjek mengerti dan melaksanakan kebenaran Allh yang di wahyukan secara tertulis ( objek ).
Firman tuhan di tulis dengan tujuan, hal ini mencakup :
a. Arti suatu bagian Alkitab yaitu arti yang dimaksudkan oleh penulis
b. Corak sastra yang di lipih oleh penulis yaitu medium atau alat komunikasi yang terbaik untuk
menyampaikan maksud suatu bagian teks.
c. Bagian bagian dari suatu teks melayani pengertian keseluruhan tesks stersebut.
Selain itu ada batas batas yang perlu di perhatikan dalam metode penafsiran gramatikal- historical
konstekstual yang harus dihindari, yaiutu :
a. Tujuan eksegesis yaitu mencari tahu makna teks daapt tenggelam banyak detail teknis eksegetis
b. Kesatuan firman Tuhan secar keseluruhan dapat di abaikan karena pandangan terlalu sempait yang
hanya di tujukan pada suatu bagian tertentu.
c. Ada bahaya bahwa prinsip prinsip pendekatan pada penafsiran di jadikan suatu metode baku dan
bukan dilihat sebagai petunjuk yang di maksudkan sebagai bantuan.
landasan eksegetis.
- Melatih untuk membaca dan menyimak teks secara teliti dan pandai mengajukan pertanyaan penting
untuk pengertian teks tersebut. Maksudnya siapa yang menulis, kepada siapa di tulis, apa yang di tulis,
untuk apa , mengapa dan bagaimana.
- Mengerti dengan isis teks sebagaiman di tuliskan penulis dan merenungkan artinya menerapkan
beritanya dalam situasi actual jemaat dan masyarakan masa kini
- Mendalami latar belakang pengertian teks secara umum ( sejarah, geografi, sosial budaya )
- Memiliki kesabaran dan keberanian melakukan sesuatu yang lkelihatan tidak berate atau tidak
penting
- Mengembangkan kemampuan untuk konsentrasi dan disiplin serta menimbang fakta- fakta eksegetis
secara baik dan bijaksana
- Seorang yang mau di ajari dan bersedia untuk belajar dan mengajar dengan cara yang jelas dan
sederhana.
- Mengharapkan atau sedia untuk di tantang atau di kritik oleh isi teks.
b. Persyaratan atau kualifikasi rohani
Seorang penafsir haruslah :
- Sudah di lahirkan kembali oleh Roh Kudus. Syarat penting mendapatkan wahyu ilahi ( I kor 2:6-3:4)
- Secara pribadi meyakini bahwa Alkitab dapat di percayai dan merupakan wahyu Allah ( 2 Tim 3: 1617)
- Memeliki persekutuan pribadi yang hidup dengan Roh Kudus dan mengharapkan campur tanganNYa
dalam pelayanan.
- Mempuanyi kikap menempatkan diri di bawah wibawa firman Tuhan dan peka terhadap kebenaran
rohani.
- Memiliki kerinduan yang sungguh untuk mengerti dan melakukan kebaran ilahi
c. Pentingnya materi penunjang bagi pekerjaan eksegesis.
Adapun bahan materi yang di perlukan untuk keberhasilan dalam menafsir terbagi atas :
a. Bahan bahan factual diantaranya kamus (lecsikon), konkordansi, ensiklopedia dan buku buku
penjelasan tata bahasa yang harus selalu di gunakan sebagai bahan konsultasi dalam melakukan
penafsiran.
b. Bahan bahan interpretative di antaranya adalah buku buku penafsiran yang bersifat :
- Filologis ( penekanan terhadap pengertian kata dan kalimat )
- Analitis ( memberikan analisis tetang keseluruhan surat konteks asli)
- Filosofis teologis
- Teologis ( memaparkan tema-tema teologis dalam kitab atau surat)
- Eksposisi (memaparkan arti teks yang berhubungan dengan penerapan untuk masa kini)
- Meditasi ( adanya perenungan pada bagian teks yang di bahas)
3. Langkah langkah praktis ( lengkap) untuk eksegesis khotbah
a. Teks dan terjemahan
- Bacalah bagian firman Tuhan berulang ulang pada bagian sebelum dan sesuadah. Perhatikan
hubungannya.
- Periksalah beberapa masalah penting yang berhubungan dengan naskah.
- Buatlah terjemahan anda sendiri
- Susunlah daftar berbagai alternative teks/ bacaan / terjemahan
- Buatlah daftar tentang hal hal yang akan di pakai dalam khotbah.
b. Konteks kesusastraan dan sejarah
- Periksalah latar belakang sejarah dan bagian firman Tuhan itu.
- Periksalah latar belakang bagian firman Tuhan itu , adanya peraturan khusus penafsiran jenis sastra
tersebut.