You are on page 1of 7

Ilmu tafsir atau hermeneutika (Yunani: hermeneuein = menafsirkan, menterjemahkan) ialah ilmu yang menetapkan,

prinsip, aturan dan patokan yang menolong untuk mengerti atau mengartikan salah satu karya atau dokumen dari jaman
sekarang atau terutama dari jaman dahulu.
Dengan pertolongan prinsip, aturan dan patokan yang ditetapkan itu para ahli mengartikan suatu karya (seni) dan begitu
menghasilkan "tafsiran". Pengetrapan ilmu tafsir itu disebut "eksegese" (Yunani: eks-egesthai=mengeluarkan,
menerangkan). Meskipun ilmu tafsir dapat dan harus diterapkan pula untuk mengartikan suatu karya profan juga,
namun ilmu itu terutama diperkembangkan sehubungan dengan Alkitab. Dan hanya ilmu tafsir alkitabiah itu yang
menjadi pokok uraian ini. Adapun ilmu tafsir alkitabiah itu ialah: ilmu (prinsip, aturan , patokan) yang menolong untuk
mengerti apa yang sesungguhnya dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Suci.

Perlunya ilmu tafsir alkitabiah


Sudah barang tentu Kitab Suci membutuhkan tafsiran. Tidak dapat dikata, bahwa Alkitab begitu saja jelas dan terang
untuk para pendengar dan para pembaca. Memang Kitab Suci adalah firman Allah (bdk. Inspirasi), tetapi firman Allah
yang berupa perkataan manusia. Dari sebab itu Alkitab ikut mengalami nasib perkataan manusia pula. Kitab Suci ditulis
sekian ratus, bahkan sekian ribu (bagian-bagian tertua) tahun yang lalu. Ia ditulis dalam bahasa (Ibrani/Aram, Yunani)
yang bukan bahasa kita dan bahasa-bahasa Alkitab bahkan sudah menjadi bahasa mati, sehingga tidak lagi dipakai
untuk hidup sehari-hari. Karena itu Kitab Suci perlu "diterjemahkan" kedalam bahasa yang masih hidup. Tetapi setiap
"terjemahan" sekaligus suatu "tafsiran". Sebab sipenterjemah hanya (dapat) menterjemahkan apa yang dimengertinya
dan hanya sejauh dimengertinya. Kecuali itu para pengarang (manusia) Kitab Suci menulis karangan-karangannya
berdasarkan alam pikiran, kebudayaan dan keadaan historis tertentu yang bukan alam pikiran, kebudayaan dan keadaan
para pembaca dan pendengar Alkitab dijaman kemudian dan dimasa sekarang. Jadi Alkitab membutuhkan tafsiran.
Maksud sebenarnya dari Alkitab harus digali, lalu diterjemahkan kedalam alam pikiran lain. Dan baiklah kalau ada dan
disusun sejumlah prinsip dan patokan yang menjadi pegangan dalam menafsirkan Alkitab, supaya salah paham dan
kekeliruan sedapat mungkin dicegah. Dan justru itulah maksud dan tujuan ilmu tafsir atau hermeneutika.

Patokan-patokan tafsiran Kitab Suci


Ada dua macam patokan sehubungan dengan tafsir Alkitab. Kitab Suci adalah suatu karya (sastera) insani. Karenanya
semua aturan yang ada untuk mengarti suatu karya sastera dari jaman dahulu boleh, bahkan harus diterapkan dalam
menafsirkan Kitab Suci juga. Akan tetapi Alkitab sekaligus firman Allah yang tertulis. Dari sebab itu tafsir Kitab Suci
harus memperhatikan juga ciri khas Alkitab dan tidak boleh mengartikannya hanya sebagai karya manusia belaka.
Karena corak rangkap dua itu maka ada juga dua macam patokan yang harus dipakai dalam mengartikan Alkitab.
1. Sebagai firman Allah maka Alkitab dapat ditafsirkan dengan wenang mutlak oleh Allah sendiri semata-mata.
Tafsir berwenang semacam itu dapat diberikan dalam Alkitab sendiri. Dan sesungguhnya terjadi bahwa salah
satu karangan yang ditulis kemudian mengartikan suatu karangan yang ditulis terlebih dahulu. Misalnya Yeh 18
menyajikan suatu keterangan terhadap Yer 31:29-30. Kitab Syemuel dan Raja-raja kemudian diinterprestasikan
oleh Kitab Tawarikh. Dalam Perjanjian Baru 1Tim 5:18 menafsirkan Mat 10:10. Khususnya Perjanjian Baru
kerap kali mengartikan Perjanjian Lama. Tidak sedikit ayat dan nas dari Perjanjian Lama dikutip dan ditafsirkan
oleh Perjanjian Baru (misalnya: Yes 7:14; Mat 1:23; Mikh 5:1,3; Mat 2:6; Yer 31:15; Mat 2:18; Yes 40:3; Mat
3:3; Yes 61:1-2; Luk 4:18; Mzm 16:8-11; Kis 2:25-28; Mzm 16:10; Kis 2:31; Mzm 110:1; Kis 2:34-34 dll.)
Harus diakui bahwa tafsiran Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama bagi kita kerap kali sukar dimengerti,
bahkan membingungkan. Sehubungan dengan itu perlu diingat bahwa Perjanjian Baru kerap kali tidak hanya
"mengartikan", tetapi juga dan sekaligus melanjutkan dan mengembangkan makna Perjanjian Lama yang aseli.
Wahyu Allah dalam Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan kemajuan. Perkembangan dan kemajuan
kerap kali tercantum justru dalam tafsiran yang diberikan Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama. Dengan
demikian terjadi bahwa makna aseli dari salah satu nas dari Perjanjian Lama diperincikan dan diterapkan oleh

Perjanjian Baru dan sedikit banyak dirubah. Tafsiran serupa itu khususnya mengenai nubuat-nubuat Perjanjian
Lama yang oleh Perjanjian Baru diterapkan pada Yesus Kristus dan pada umat kristen.
Bagi orang katolik Allah tidak hanya dapat memberikan tafsirNya dalam Kitab Suci sendiri tetapi juga dengan
perantaraan lembaga umat Allah, khususnya dengan perantaraan kuasa Gereya yang berwenang untuk mengajar.
Karena itu perlu diperhatikan pula bagaimana Alkitab diartikan oleh Gereja, baik dahulu (tradisi) maupun
sekarang (kuasa mengajar dan iman umat pada umumnya). Sehubungan dengan itu selalu perlu diperhatikan
baik-baik apakah Gereja (tradisi, kuasa mengajar) sungguh bermaksud memberikan suatu interprestasi yang
"otentik", yaitu berwenang sehingga mengikat benar. Maksud itu kerap kali sukar ditetapkan dan dipastikan,
khususnya berhubungan dengan tradisi. Pada umumnya boleh dikata bahwa belum ada banyak nas Alkitab yang
diberikan tafsir otentik semacam itu.
Dari ciri ilahi Alkitab diturunkan pula patokan, bahwa Kitab Suci dalam ajarannya tidak dapat sesat dan keliru
(bdk. Benarnya Kitab Suci). Patokan itu hanya dapat (dan harus) diterapkan apabila ada kepastian bahwa Kitab
Suci sungguh bermaksud membenarkan sesuatu dan itupun secara definitip. Kalau demikian suatu pertentangan
didalam Alkitab sendiri tak mungkin lagi dan tafsir ilmiah tidak boleh menimbulkan pertentangan-pertentangan
semacam itu. Tetapi disini harus diingat lagi bahwa ajaran Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan
kemajuan, sehingga tak perlu ajarannya selalu dan tetap sama saja. Hanya dalam rangka itu suatu pertentangan
benar dan langsung tidak dapat diterima lagi dan semua yang sungguh dibenarkan oleh Alkitab adalah benar
juga. Dalam suatu karya insani belaka orang dapat menerima sesatan, keliruan dan pertentangan tetapi dalam
Alkitab tidak.
2. Dalam rangka patokan (teologis) tersebut Alkitab sebagai karya insani boleh dan harus ditafsirkan dan diartikan
sesuai dengan prinsip dan patokan-patokan umum yang harus dipergunakan untuk mengerti suatu karya sastera
dari jaman dahulu. Patokan-Patokan yang paling penting ialah :
1. Teks yang ditafsirkan haruslah teks aseli. Jadi teks sebagaimana ditulis oleh pengarang suci (terakhir)
harus menjadi titik tolak bagi tafsiran. Karena itu orang wajib menggunakan teks dalam bahasa aseli
(Ibrani/Aram dan Yunani) dan bukanlah salah satu terjemahan, meski paling baik sekalipun. Hanya apa
yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan oleh teks aseli itulah yang adalah makna Kitab Suci. Kalau
sepanjang sejarah teks aseli itu mengalami kerusakan maka terlebih dahulu teks aseli harus sedapatdapatnya dipulihkan dengan pertolongan ilmu Kritik teks.
2. Perkataan teks aseli harus diartikan sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang suci. Adakalanya
perkataan dipakai menurut arti biasa dan sehari-hari, lain kali pengarang suci menggunakan bahasa
kiasan atau bahasa penghebat yang bermacam ragam. Semua kemungkinan penggunaan bahasa perlu
diperhatikan untuk menetapkan apa yang dimaksudkan pengarang. Sepanjang sejarah bahasa itu
perkataan-perkataan kerap kali berubah artinya dan perubahan semacam itu harus diperhatikan dan
diketahui oleh ahli tafsir pula.
3. Untuk mengenal maksud si pengarang perkataan tidak boleh diartikan tersendiri-sendiri saja, melainkan
dalam hubungannya dengan kata- kata lain. Hubungan semacam itu disebut konteks. Konteks itu dapat
lebih kurang luas. Perkataan-perkataan harus dimengerti dalam konteks kalimatnya, tetapi juga dalam
konteks seluruh pasal, bahkan seluruh karangan/kitab. Adakalanya karangan-karangan lain dari tangan
pengarang yang sama harus diikutsertakan semua, supaya arti perkataan-perkataan dan ungkapan
tertentu dapat dipahami. Setiap pengarang mempunyai kosakata serta peristilahannya sendiri. Dan arti
istilah dan ungkapannya harus ditetapkan dahulu. Umpamanya istilah "daging" dan "badan" dalam
karangan-karangan Paulus mempunyai makna yang khas. Demikianpun halnya dengan istilah "dunia"
dalam karangan-karangan Yohanes dan Paulus (dan Perjanjian Baru pada umumnya). Kalau istilahistilah dan ungkapan serupa itu dimengerti secara biasa, niscaya sipenafsir tidak lagi mengerti maksud
pengarang suci.

4. Untuk mengerti karangan-karangan Kitab Suci maka harus ditempatkan pula dalam konteks historisnya.
Maksudnya ialah: karangan itu baru dapat dimengerti apabila orang tahu sedikit banyak tentang latar
belakang historisnya, sejarah politik, kebudayaan dan keagamaan. Pendek kata situasi konkrit pengarang
suci ikut menentukan apa yang dimaksudkannya dengan perkataan dan karangannya. Sehubungan
dengan itu penting sekali "jenis sastera" yang dipergunakannya sesuai dengan adat kebiasaan pada
jamannya.

Makna-makna Kitab Suci


Dengan pertolongan semua patokan tersebut ditetapkanlah apakah makna dan arti (sensus) Alkitab. Arti dan makna
Alkitab ialah apa yang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Suci.
1. Makna atau arti Alkitab yang pertama dan utama ialah makna atau arti harfiah (sensus literalis). Yang
dimaksudkan dengan istilah itu ialah: apa (pikiran, perasaan, kenyataan) yang langsung diungkapkan oleh
perkataan-perkataan Kitab Suci menurut konteksnya. Itulah yang pertama-tama dimaksudkan oleh pengarang
(insani-ilahi) dengan perkataan, kalimat-kalimat dan seluruh karangannya. Perkataan-perkataan dapat dipakai
baik dengan arti biasa maupun dengan arti kiasan/penghebat dan sebagainya. Jadi makna harfiah langsung
tercantum didalam perkataan-perkataan sendiri. Makna harfiah itu adalah bidang khas tafsir ilmiah Kitab Suci.
Tafsiran ilmiah sesuai dengan patokan-patokan insani tidak dapat melewati makna harfiah itu. Seluruh Kitab
Suci maupun semua bagiannya mempunyai makna harfiah semacam itu dan makna ini selalu harus diutamakan.
2. Suatu keistimewaan Alkitab ialah "makna tipologis". "Typos" ialah salah satu realitas/historis (baik realitas
sebagaimana ternyata ada maupun realitas sebagaimana dan sejauh digambarkan oleh Kitab Suci), yaitu salah
satu kejadian, lembaga atau tokoh dalam sejarah penyelamatan yang melambangkan dan mengantipasikan
ditingkat lebih rendah suatu realitas historis lain yang kemudian tampil dalam sejarah penyelamatan ditingkat
lebih luhur dan lebih tinggi. Realitas historis yang dilambangkan dan diantipasikan oleh "typos" itu disebut
"anti-typos". Dari sebab itu "makna tipologis" langsung tercantum didalam realitas historis itu sendiri yang
disebutkan dan dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci (makna harfiah). Hanya tak langsung boleh
dikatakan makna typologis tercantum dalam perkataan-perkataan kitab Suci sendiri. Makna typologis itu kerap
kali disebutkan juga "makna rohani". Tetapi istilah itu masih mempunyai beberapa arti lain juga. Dasar makna
typologis ialah sejarah penyelamatan, sejauh tahapan yang lebih dahulu dalam sejarah itu dapat melambangkan,
mengantipasikan tahapan yang kemudian serta menunjuk kepadanya. Makna typologis semacam itu terutama
diketemukan dalam Perjanjian Lama, dan boleh jadi dalam Perjanjian Baru pula. Oleh karena hanya Allah dapat
mengarahkan realitas yang satu menuju realitas yang baru kemudian tampil, maka "makna tipologis" hanya
dapat diketahui apabila diberitahukan oleh Allah sendiri, baik dan terutama dalam Kitab Suci, maupun dengan
perantaraan lembaga-lembaga kegerejaan yang berwenang (tradisi sejati). Jadi bukanlah tafsir ilmiah belaka
yang dapat menetapkan realitas manakah dari Perjanjian Lama (dan Perjanjian Baru) adalah merupakan suatu
"typos". Oleh karena "makna typologis" tercantum dalam realitas dan bukannya dalam perkataan maka tak perlu
pengarang suci sadar akan makna typologis itu. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru diketemukan agak banyak
tafsiran tipologis semacam itu (bdk. 1Kor 10:1-5; Rom 5:14-21; Yoh 19:36; 19:37; 3:14; Gal 4:31-32; Hbr 7;
Wah 15:3-4; 1Ptr 3:20-21).
3. Akhir-akhir ini para ahli kitab memperdebatkan adanya (dan apa tepat artinya) suatu "makna penuh" (sensus
plenior, plenary sense, full sense) dalam Kitab Suci. Tentang pengertian itu sendiripun para ahli tidak/belum
sependapat. Pada umumnya boleh dikata sebagai berikut: Makna penuh ialah suatu makna yang oleh Allah
langsung ditaruh didalam perkataan-perkataan yang dipakai pengarang suci, dengan tidak sepengetahuan (atau
pengetahuan samar-samar dan kabur saja) si pengarang insani. Dengan perkataan-perkataan itu dan menurut
maksud pengarang insani langsung diucapkan sesuatu (pikiran, perasaan, kenyataan) tetapi dengan perkataanperkataan yang sama diungkapkan pula menurut maksud Allah suatu realitas lain di jaman masehi. Makna
kedua itu melanjutkan makna pertama dan dengan perkataan-perkataan yang sama sekaligus dua hal
dimaksudkan. Perbedaan dengan "makna tipologis" ialah: bukan realitas yang dimaksudkan oleh perkataan

menunjuk kepada realitas yang lain, melainkan perkataan-perkataan sendiri menunjukkan kedua hal sekaligus,
meskipun letaknya ditingkat yang berbeda. Makna penuh semacam itu tidak termasuk kedalam wilayah tafsir
ilmiah, tetapi hanya dapat diberitahukan oleh Allah sendiri dalam perkembangan wahyu selanjutnya. Makna
penuh yang mula-mula tersembunyi sama sekali kemudian disingkapkan oleh Tuhan. Dengan pertolongan
"makna penuh" itu, para ahli mengharap dapat lebih baik mengerti tafsiran yang diberikan Perjanjian Baru
terhadap Perjanjian Lama.
4. Makna allegoris tidak boleh dikatakan "makna Alkitab" lagi. Menurut tafsir "allegoris": maka apa yang
sesungguhnya dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci bukanlah apa yang diungkapkan melainkan
sesuatu yang lain, sesuatu yang tersembunyi sama sekali. Seluruh Kitab Suci diartikan sebagai suatu lambang
belaka dari pelbagai realitas-realitas rohani dan semua dipindahkan kedalam bidang lain yaitu bidang rohani.
Meskipun dahulu beberapa pujangga Gereja (khususnya Origenes) suka sekali akan "tafsir allegoris" semacam
itu, namun tafsir itu tidak boleh dikatakan tafsir Kitab Suci lagi. Dengan pertolongan tafsir itu hanya
diungkapkan macam-macam gagasan dan pengertian abstrak dan niskala saja yang sama sekali tidak
dimaksudkan oleh Kitab Suci. Dan disini letaknya perbedaan besar antara "makna allegoris" dan "makna
tipologis". Makna tipologis tercantum didalam realitas historis, sedangkan maksud allegoris mengenai gagasan
dan pengertian abstrak yang diluar pandangan Kitab Suci.
5. Bukan "makna Alkitab" pulalah apabila seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri dengan
perkataan yang diambil dari Alkitab serta hanya dipinjam saja. Penggunaan Kitab Suci yang sedemikian dahulu
kala sangat laku (terutama dalam khotbah-khotbah) tetapi tidak boleh dianjurkan. Sebelum Kitab Suci dipakai,
orang harus tahu apa yang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Alkitab. Firman Allah jangan dipakai
sebagai perhiasan belaka.

Istilah eksegesis berasal dari kata Yuanani exegesis yang berarti memimpin atau membawa ke luar
dan dapat di artikan suatu penjelasan eksposisi dan interpretasi Alkitab. Sebagai suatu definisi, istilah
eksegesisi berarti menjelaskan suatu kata, kalimat, paragraph atau keseluruhan kitab dengan
memimpin ke luar pengertian sebenarnya suatu teks.
Sedangkan tujuan eksegesisi ialah mencari tahu isi dan maksud si penulis dalam sebuah teks dengan
memerhatikan corak gaya bahasa yang di gunakan.
Dapat disimpulkan penafsir harus memiliki kebersamaan dengan penulis dalam aspek aspek berikut :
- Penafsir harus memiliki teks penulis hal ini bebarti perlu ada kritik teks.
- Penafsir harus mengeri bahasa, corak dan gaya bahasa sastra penulis adanya studi tata bahasa,
gaya bahasa sastra dan pengertian kata.
- Penafsir harus menyelami sejarah penulis mengetahui latar belakang sejarah geografis dan
kebudayaan mutlak dibutuhkan
- Penfsir harus memiliki konsep pandangan dunia yang sama dengan si penulis.
1. Berbagai metode penafsiran yang kurang baik
a. Metode Alegoris : yaitu memasukan gagasan dan pengertiannya sendiri ke sebuah teks yang semula
tidak dimaksudkan oleh penulis.
b. Metode penafsir ayat dan teks secara terisolis atau terpisah : alkitab di pandang sebagai sejumlah

ayat yang terisolasi aytau terpisah satu dengan yang lain dan penafsirannya atau pengertiannya
terlpas dari konteks sastranya.
c. Metode penafsiran dogmatis : penafsir mengungkapkan kepercayaan atau imannya dan kemudian
melihat bagian bagian alkitab untukmencari dukungan dari pendapat atau presepsi yang telah ia
miliki sebelumnya.
d. Metode penafsiran teks parallel: penafsir melihat alkitab sebagai suatu koleksi ayat referensi yang
tersebar dan beranggapan bahwa suatu teks dapat di jelaskan langsung oleh sebuah teks parallel lain
dalam alkitab.
e. Metode penafsiran secara harfiah ekstrem : penafsir menolak atau mengabaikan untuk menfsirkan
suatu ayat secara gambaran ( simbolis).
f. Metode rasional : penafsiran berupaya untuk menafsirkan dan menjeklaskan teks- teks alkitab sesuai
dengan apa yang dapat di terima oleh rasio manusia.
g. Metode mitologis : penfsir menggap bahwa factor historis tidaklah penting atau hanya merupakan
kulit.
2. Metode penafsiran yang baik : metode penafsiran gramatikal historical konstekstual
Metode penafsiran ini berusaha untuk mengerti suatu teks dengan memperhatikan atuaran gramatikan
( tata bahasa) dan sastra, fakta historis, serta kerangka konteks. Dalam metode ini inspirasi
( pengilhaman ) oleh Roh Kudus dalam penulisan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Manusia sebagai
subjek mengerti dan melaksanakan kebenaran Allh yang di wahyukan secara tertulis ( objek ).
Firman tuhan di tulis dengan tujuan, hal ini mencakup :
a. Arti suatu bagian Alkitab yaitu arti yang dimaksudkan oleh penulis
b. Corak sastra yang di lipih oleh penulis yaitu medium atau alat komunikasi yang terbaik untuk
menyampaikan maksud suatu bagian teks.
c. Bagian bagian dari suatu teks melayani pengertian keseluruhan tesks stersebut.
Selain itu ada batas batas yang perlu di perhatikan dalam metode penafsiran gramatikal- historical
konstekstual yang harus dihindari, yaiutu :
a. Tujuan eksegesis yaitu mencari tahu makna teks daapt tenggelam banyak detail teknis eksegetis
b. Kesatuan firman Tuhan secar keseluruhan dapat di abaikan karena pandangan terlalu sempait yang
hanya di tujukan pada suatu bagian tertentu.
c. Ada bahaya bahwa prinsip prinsip pendekatan pada penafsiran di jadikan suatu metode baku dan
bukan dilihat sebagai petunjuk yang di maksudkan sebagai bantuan.

3. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN EKSEGESIS


1. Pentingnya hakikat tugas dan wujud
a. Penyampaian maksud-masud murni dalam Firman Tuhan atas perintah Allah dan bukan mencari
keuntungan dari Firman Tuhan ( 2 Kor 2:17)
b. Mengusahakan layak dihadapan Allah serta berterus terang memeberitakan Firman Tuhan tanpa rasa
malu akan kebenaran ( 2 Tim 2:15)
c. Suatu penafsiran rirman tuahn yang dapat di percayai adalah akar dan dasar segala teologia
revelasi.
2. Persyaratan bagi pekerjaan eksegesis
a. Persyaratan atau kualifikasi intelektual
Seorang penafsir haruslah :
- Mendalami teks Alkutab untuk memperoleh pengertian eksegetis. Mengerti bahasa asli sebagai

landasan eksegetis.
- Melatih untuk membaca dan menyimak teks secara teliti dan pandai mengajukan pertanyaan penting
untuk pengertian teks tersebut. Maksudnya siapa yang menulis, kepada siapa di tulis, apa yang di tulis,
untuk apa , mengapa dan bagaimana.
- Mengerti dengan isis teks sebagaiman di tuliskan penulis dan merenungkan artinya menerapkan
beritanya dalam situasi actual jemaat dan masyarakan masa kini
- Mendalami latar belakang pengertian teks secara umum ( sejarah, geografi, sosial budaya )
- Memiliki kesabaran dan keberanian melakukan sesuatu yang lkelihatan tidak berate atau tidak
penting
- Mengembangkan kemampuan untuk konsentrasi dan disiplin serta menimbang fakta- fakta eksegetis
secara baik dan bijaksana
- Seorang yang mau di ajari dan bersedia untuk belajar dan mengajar dengan cara yang jelas dan
sederhana.
- Mengharapkan atau sedia untuk di tantang atau di kritik oleh isi teks.
b. Persyaratan atau kualifikasi rohani
Seorang penafsir haruslah :
- Sudah di lahirkan kembali oleh Roh Kudus. Syarat penting mendapatkan wahyu ilahi ( I kor 2:6-3:4)
- Secara pribadi meyakini bahwa Alkitab dapat di percayai dan merupakan wahyu Allah ( 2 Tim 3: 1617)
- Memeliki persekutuan pribadi yang hidup dengan Roh Kudus dan mengharapkan campur tanganNYa
dalam pelayanan.
- Mempuanyi kikap menempatkan diri di bawah wibawa firman Tuhan dan peka terhadap kebenaran
rohani.
- Memiliki kerinduan yang sungguh untuk mengerti dan melakukan kebaran ilahi
c. Pentingnya materi penunjang bagi pekerjaan eksegesis.
Adapun bahan materi yang di perlukan untuk keberhasilan dalam menafsir terbagi atas :
a. Bahan bahan factual diantaranya kamus (lecsikon), konkordansi, ensiklopedia dan buku buku
penjelasan tata bahasa yang harus selalu di gunakan sebagai bahan konsultasi dalam melakukan
penafsiran.
b. Bahan bahan interpretative di antaranya adalah buku buku penafsiran yang bersifat :
- Filologis ( penekanan terhadap pengertian kata dan kalimat )
- Analitis ( memberikan analisis tetang keseluruhan surat konteks asli)
- Filosofis teologis
- Teologis ( memaparkan tema-tema teologis dalam kitab atau surat)
- Eksposisi (memaparkan arti teks yang berhubungan dengan penerapan untuk masa kini)
- Meditasi ( adanya perenungan pada bagian teks yang di bahas)
3. Langkah langkah praktis ( lengkap) untuk eksegesis khotbah
a. Teks dan terjemahan
- Bacalah bagian firman Tuhan berulang ulang pada bagian sebelum dan sesuadah. Perhatikan
hubungannya.
- Periksalah beberapa masalah penting yang berhubungan dengan naskah.
- Buatlah terjemahan anda sendiri
- Susunlah daftar berbagai alternative teks/ bacaan / terjemahan
- Buatlah daftar tentang hal hal yang akan di pakai dalam khotbah.
b. Konteks kesusastraan dan sejarah
- Periksalah latar belakang sejarah dan bagian firman Tuhan itu.
- Periksalah latar belakang bagian firman Tuhan itu , adanya peraturan khusus penafsiran jenis sastra
tersebut.

c. Bentuk dan struktur


- Tentukan gaya dan bentuk teks tersebut.
- Carilah pola struktur teks tersebut.
- Pisahkanlah hal hal yang unik dan nilailah kepentingannya.
d. Data gramatikal dan leksikal
- Perhatiakan pengertian yang sulit dalam pemahaman sebuat konteks.
- Buatlah daftar istilah penting dalam teks dan jelaskan.
e. Konteks Alkitabiah dan teologis
- Perhatikan penggunaan bagian firman Tuhan itu di tempat lain dalam Alkitab.
- Analisislah hubungan bagian itu dengan ayat ayat lain di Alkitab
- Jelaskan soal teologi manakah yang Nampak jelas dalam teks.
f. Bacalah beberapa buku penafsiran sebagai bahan perbandingan.
g. Penerapan
- Catatlah persoalan kehidupan yang terdapat dalam bagian ini
- Jelaskan sifat dan bidang penerapan yang mungkin dari teks tersebut.
- Perhatikan situasi para pendengar dan buatlah kategori penerapan sesuai dengan keadaan
pendengar.
- Tetaplah focus dan batas-batas penerapan.
h. Persiapan khotbah
- Mengambil waktu untu berdoa dan merenungkan Firman Tuhan
- Buatlah seleksi hal hal yang di tekankan dalam khotbah
- Buatlah struktur yang baik dalam khotbah sehingga dapat diterima oleh pendengar firman Tuhan.
- Membedakan hal hal pokok dengan yang tidak pokok
- Jangan terlalu mengandalkan tafsiran orang lain ..hayatilah sendiri sehingga khotbah anda hidup dan
menyentuh hati orang lain
- Ingat akan adanya penerapan yaitu tujuan sebuah khotbah.

You might also like