You are on page 1of 26

REFRAT

BLIGHTED OVUM

Oleh :
Ardian Pratiaksa

G99151064

Derajat Fauzan Nardian

G99151065

Pembimbing :
dr. H. Eka Budi Wahyana, M.Kes, Sp. OG.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FK UNS / RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI
2015

2
PRAKATA
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Nya sehinga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah ini dalam menempuh stase Ilmu Obstetri dan
Ginekologi di RSUD Dr Soediran Mangun Sumarso, Wonogiri.
Makalah ini telah kami susun secara maksimal melalui bantuan dari berbagai
pihak sehingga makalah ini dapat selesai dengan lancar. Terlepas dari hal itu, kami
sepenuhnya sadar bahwa tentu saja banyak kekurangan dalam makalah ini baik dari
segi isi, tata bahasa maupun susunan kalimat. Oleh sebab itu kami sangat terbuka atas
kritik dan saran dari pembaca agar makalah ini dapat diperbaiki untuk kedepannya.
Akhir kata kami berharap makalah yan berjudul Blighted Ovum ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

3
BAB I
PENDAHULUAN

Seperempat dari wanita yang sedang hamil mengalami masalah


perdarahan dalam beberapa minggu pertama kehamilan. Setengah dari mereka
yang mengalaminya berhubungan dengan keguguran (abortus) atau kegagalan
perkembangan janin.1 Pada kehamilan yang diketahui secara klinis, angka
kegagalan kehamilan secara spontan (spontanous pregnancy loss) sebesar 25%50% untuk usia gestasi 14 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir dan
menjadi masalah terbesar untuk kehamilan pada trimester pertama.2 Ada banyak
macam faktor yang mempengaruhi terjadinya kegagalan kehamilan ini.
Salah satu jenis dari kegegalan kehamilan (pregnancy loss) adalah
Blighted Ovum atau kehamilan kosong. Blighted ovum atau anembryonic
pregnancy terjadi sepertiga dari kegagalan kehamilan spontan pada kehamilan
sebelum usia 8 minggu. BO (blighted ovum) dianggap merupakan kejadian
kromosomal random yang terjadi pada sekitar 1:5 hingga 1:10 kasus abortus.3
Karakteristik utama yang terjadi pada blighted ovum adalah penampakan
normal pada gestasional sac namun tidak ada embrio di dalamnya.
Kemungkinan utama yang terjadi adalah terjadinya kematian embrio awal
namun perkembangan tropoblast masih tetap berjalan.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

EMBRIOGENESIS
Sel telur mamalia di kelilingi oleh lapisan ekstra seluler tebal yang
deisebut zona pelusida. Langkah pertama fertilisasi adalah perlekatan sperma
secara longgar di permukaan zona pelusida. Peristiwa itu diikuti oleh
pengikatan sperma dengan zona pelusida. Ikatan yang terbentuk sangat spesifik
dan erat. Reseptor pengikatan sperma ada di zona pelusida sedang protein
spesifik pengikatan sel telur terdapat dalam membran plasma sperma. Ribuan
sperma dapat melekat kesatu sel telur yang sama. Sperma yang melekat lalu
menyelesaikan reaksi akrosom yang merupakan proses persiapan penyatuan
sperma dan sel telur. Membran terluar dari struktur dua lapis akrosomal melekat
dan berfusi dengan membran plasma sperma di tempat-tempat sepanjang bagian
tepi kepala sperma. Reaksi akrosomal melepaskan enzim-enzim hidrolitik
(akrosin) yang memungkinkan sperma bergerak melalui zona pelusida ke sel
telur. Terowongan yang sangat sempit dihasilkan oleh sperma selama
perjalanannya menembus zona tersebut.

5
Gambar 2.1. Sel telur dikelilingi sperma dan salah satu sperma
berhasil menembus lapisan dinding telur
Setelah berhasil melewati zona pelusida sperma tiba di terowongan
perivitelin yang memisahkan sel telur dengan zona pelusida. Satu sperma
menjalani fusi dengan sel telur melalui penyatuan membran akrosomal posterior
sperma dengan membran plasma sel telur. Halangan yang terbentuk secara cepat
dapat mencegah polispermi (fertilisasi satu sel telur oleh lebih dari satu sperma)
kemuungkinan terjadi akibat perubahan-perubahan potensial listrik pada
membran sel telur setelah masuknya sperma. Masuknya sperma mengaktifasi
sel telur dan nukleusnya. Pronukleus sperma menyatu dengan pronukleus sel
telur. Granula kortikal di bagian tepi sitoplasma sel telur berfusi dengan
membran plasma, dan berbagai enzim dilepaskan ke dalam rongga perivitelin.
Enzim-enzim itulah yang menyebabkan zona pelusida menjadi kaku dan hilang
kemampuannya untuk mengikat sperma. Sehingga dengan adanya zona pelusida
yang menjadi kaku ini dapat mencegah polispermi.Fertilisasi mamalia
berlangsung dalam oviduk.
2.2. Tahapan Perkembangan Embrio
Perkembangan embrio dimulai dari pembelahan zygote (cleavage),
stadium morula (morulasi), stadium blastula (blastulasi), stadium gastrula
(gastrulasi), dan stadium organogenesis.
2.2.1 Stadium Cleavage (Pembelahan)
Cleavage adalah pembelahan zygote secara cepat menjadi unit-unit
yang lebih kecil yang di sebut blastomer. Stadium cleavage merupakan
rangkaian mitosis yang berlangsung berturut-turut segera setelah terjadi
pembuahan yang menghasilkan morula dan blastomer.

6
Gambar 2.1. Proses Awal Pembelahan Embrio
2.2.2. Stadium Morula
Morula merupakan pembelahan sel yang terjadi setelah sel
berjumlah 32 sel dan berakhir bila sel sudah menghasilkan sejumlah
blastomer yang berukuran sama akan tetapi ukurannya lebih kecil. Sel
tersebut memadat untuk menjadi blastodik kecil yang membentuk dua
lapisan sel. Pada saat ini ukuran sel mulai beragam. Sel membelah secara
melintang dan mulai membentuk formasi lapisan kedua secara samar pada
kutup anima. Stadium morula berakhir apabila pembelahan sel sudah
menghasilkan

blastomer.

Blastomer

kemudian

memadat

menjadi

blastodisk kecil membentuk dua lapis sel. Pada akhir pembelahan akan
dihasilkan dua kelompok sel. Pertama kelompok sel-sel utama
(blastoderm), yang meliputi sel-sel formatik atau gumpalan sel-sel dalam
(inner mass cells), fungsinya membentuk tubuh embrio. Kedua adalah
kelompok sel-sel pelengkap, yang meliputi trophoblast, periblast, dan
auxilliary cells. Fungsinya melindungi dan menghubungi antara embrio
dengan induk atau lingkungan luar.

Gambar 2.3 Bentuk Morulla pada Embrio Manusia


Tropoblast melekat pada dinding uterus. Sel-selnya memperbanyak
diri dengan cepat dan memasuki epitelium uterus pada tahap awal
implantasi. Setelah 9 hari, seluruh blastokista tertahan dalam dinding

7
uterus. Sewaktu ini berlangsung, sel-sel yang berada disebelah bawah dari
masa sel dalam menyusun diri menjadi suatu lapisan yang disebut
endoderm primer, yang akan membentuk saluran pencernaan makanan.
Sel-sel sisa dari masa sel dalam memipih membentuk suatu keping yaitu,
keping embrio. Antara keping embrio dan tropoblast yang menutupi
timbulnya suatu rongga (rongga amnion) berisi carian. Dinding rongga
yaitu amnion, menyebar mengelilingi embrio dan dikelilingi bantalan
yaitu cairan amnion.
2.2.3. Stadium Blastula
Blastulasi adalah proses yang menghasilkan blastula yaitu
campuran sel-sel blastoderm yang membentuk rongga penuh cairan
sebagai blastocoel. Pada akhir blastulasi, sel-sel blastoderm akan terdiri
dari neural, epidermal, notochordal, mesodermal, dan endodermal yang
merupakan bakal pembentuk organ-organ. Dicirikan dua lapisan yang
sangat nyata dari sel-sel datar membentuk blastocoel dan blastodisk
berada di lubang vegetal berpindah menutupi sebagian besar kuning telur.
Pada blastula sudah terdapat daerah yang berdifferensiasi membentuk
organ-organ tertentu seperti sel saluran pencernaan, notochorda, syaraf,
epiderm, ektoderm, mesoderm, dan endoderm.

Gambar 2.4. Proses Pembentukan Blastosis

Pada manusia, hasil pembelahan berbentuk suatu bola padat


(morulla). Lapisan luar dari blastula ini membentuk lapisan yang
mengelilingi embrio sebenarnya, sedangkan embrio dibentuk dari bagian
morulla (inner cells mass atau masa sel dalam)./lapisan luar (tropoblast)
pada satu sisi masa sel dalam melepaskan diri, membentuk suatu bentuk
yang mirip suatu blastula dan struktur ini disebut sebagai blastokista.
Embrio akan menempel dan menetap pada dinding uterus untuk periode
waktu tertentu, ditempat dimana embrio akan mendapatkan makanan
sampai dilahirkan.
2.2.4. Stadium Gastrula
Setelah embrio menjalani tahap pembelahan dan tahap blastula,
embrio akan masuk kedalam tahapan yang paling kritis selama tahap
perkembangannya, yaitu stadium grastula. Grastulasi ditandai dengan
terjadinya perubahan susunan yang sangat besar serta sangat rapi dari selsel didalam embrio. Salah satu perubahan utama dalam yang terjadi
selama masa grastulasi adalah bahwa sel-sel memperoleh dan mencapai
suatu kemampuan untuk melakukan gerakan morfogentik, sehingga terjadi
reorganisasi seluruh atau sebagian didaerah kecil didialam embrio.
Gastrulasi adalah proses perkembangan embrio, di mana sel bakal organ
yang telah terbentuk pada stadium blastula mengalami perkembangan
lebih lanjut. Proses perkembangan sel bakal organ ada dua, yaitu epiboli
dan emboli. Epiboli adalah proses pertumbuhan sel yang bergerak ke arah
depan, belakang, dan ke samping dari sumbu embrio dan akan membentuk
epidermal, sedangkan emboli adalah proses pertumbuhan sel yang
bergerak ke arah dalam terutama di ujung sumbu embrio. Stadium gastrula
ini merupakan proses pembentukan ketiga daun kecambah yaitu ektoderm,
mesoderm dan endoderm. Pada proses gastrula ini terjadi perpindahan
ektoderm, mesoderm, endoderm, dan notochord menuju tempat yang

9
definitif. Pada periode ini erat hubungannya dengan proses pembentukan
susunan syaraf. Gastrulasi berakhir pada saat kuning telur telah tertutupi
oleh lapisan sel. Beberapa jaringan mesoderm yang berada di sepanjang
kedua sisi notochord disusun menjadi segmen segmen yang disebut somit
yaitu ruas yang terdapat pada embrio.

Gambar 2.5. Proses Grastulasi Manusia


Grastulasi pada manusia terjadi pada blastokista yang terdiri atas
tropoblast dan masa sel dalam yang merupakan bakal tumbuh embrio.
Pemisahan pertama dari sel-sel pada masa sel dalam adalah untuk
pembentukan hipoblast, yang membatasi rongga blastula dan yang akan
mejadi endoderm kantung yolk. Sisa dari masa sel dalam yang terletak
diatas hipoblast terbentu suatu keping, yang disebut keping embrio.
Epiblast memisahkan diri, dengan membentuk suatu rongga yang disebut
amnion, dari epiblast yang mengandung semua bahan untuk pembentukan
tubuhnya, jadi identik dengan epiblast pada burung.Sambil epiblast
mengalami grastulasi. Sel-sel ekstra embrio mulai membentuk jaringan
khusus agar embrio dapat hidup dalam uterus induk. Sel-sel tropoblast
membentuk

suatu

populasi

sel dan membentuk

sinsistropoblast.

Sinsitropoblast memasuki permukaan uterus sehingg uterus tertanam


dalam uterus. Uterus sebaliknya membentuk banyak pembuluh darah yang

10
berhubungan dengan sinsitropoblast. Tidak lama sesudah ini, mesoderm
meluas keluar embrio. Pembuluh ini merupakan pembuluh darah dari tali
puasat dan berda pada tangkai penyokong. Jaringan tropoblast dengan
mesoderm yang mengandung pembuluh darah dari tali pusat berada pada
tangki

penyokong.

Jaringan

tropoblast

dengan

mesoderm

yang

mengandung pembuluh darah disebut korion dengan dinding uterus


membetuk plasenta. Korion dapat berlekatan sekali dengan jaringan
maternal, tetapi masih dapat berdekatan sekali atau dapat berdekatan
sangat erat sehingga kedua jaringan tidak dapat dipisahkan tanpa merusak
jaringan induk manpun fetus

Gambar 2.6. Gasrulasi embrio Manusia.Massa sel-sel dalam berhadapan


dengan balstocoel pada pembentukan embryonic knob

11
.
2.2.5. Stadium Organogenesis
Organogenesis

merupakan

stadium

terakhir

dari

proses

perkembangan embrio. Stadium ini merupakan proses pembentukan


organ-organ tubuh makhluk hidup yang sedang berkembang. Sistem
organ-organ tubuh berasal dari tiga buah daun kecambah, yaitu
ektodermal, endodermal, dan mesodermal. Pada ektodermal akan
membentuk organ-organ susunan (sistem) saraf dan epidermis kulit.
Endodermal akan membentuk saluran pencernaan beserta kelenjarkelenjar pencernaan dan alat pernafasan, dan mesodermal akan
membentuk rangka, otot, alat-alat peredaran darah, alat eksresi, alat- alat
reproduksi, dan korium (chorium) kulit. Jika proses organogenesis ini
telah sempurna maka akan dilanjutkan dengan proses penetasan telur.
Organ-organ tersebut merupakan perkembangan lebih lanjut dari ketiga
lapisan embrionik yang terbentuk saat gastrulasi.
a. Ektoderm mengalami diferensiasi menjadi kulit, rambut, sistem saraf,
dan alat-alat indra.
b. Mesoderm mengalami diferensiasi menjadi otot, rangka, alat
reproduksi (seperti testis dan ovarium), alat peredaran darah, dan alat
ekskresi seperti ginjal.
c. Endoderm mengalami diferensiasi menjadi alat pencernaan, dan alatalat pernapasan seperti paru-paru.

12
Gambar 2.7. Pembentukan Organ Tubuh
II.

DEFINISI BLIGHTED OVUM


Blighted ovum (kehamilan kosong) atau anembryonic pregnancy adalah
salah satu kehamilan patologi, di mana mudigah tidak terbentuk sejak awal
kehamilan namun kantung gestasi tetap terbentuk. Pada blighted ovum telur
yang dibuahi berhasil melekat pada dinding rahim, tetapi tidak berisi embrio,
hanya terbentuk plasenta dan kulit ketuban yang ditandai dengan adanya
kantung gestasi (gestation sac).7

III.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO BLIGHTED OVUM


Ada tiga hal utama yang berhubungan dengan terjadinya blighted ovum yaitu
kelainan kromosom, kelainan pembelahan sel dan kelainan pada sperma atau
ovum. Kelainan-kelainan tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
risiko.4 Risiko juga meningkat bila usia suami atau istri semakin tua karena
kualitas sperma atau ovum menjadi turun. Penurunan kualitas sperma pada pria
biasanya berhubungan denganpenaruh lingkungan dan aktifitas seperti merokok,
radiasi, panas yang berlebihan dan konsumsi makanan. Sedangkan faktor yang
mempengaruhi kualitas ovum pada wanita paling besar adalah faktor hormonal.
Berikut ini adalah faktor risiko lain yang berpengaruh pada kejadian blighted
ovum:
A. Faktor Genetik
Kelainan pada kromosom merupakan penyebab paling besar
terjadinya abortus spontan, yaitu 50 %. Heteromorfisme pada kromosom
nomor 9 dihubungkan dengan kejadian blighted ovum, namun proses lebih
rinci masih belum dapat diketahui. Di antara kromosom manusia yang lain
kromosom

nomer

memiliki

heteromorfisme (pebedaan bentuk).4,3

frekuensi

lebih

tinggi

terjadinya

13
Kelainan kromosom pada blighted ovum berhubungan dengan
inversi dari kromosom 9 dan translokasi kromosom. Kejadian abnormalitas
kromosom ini akan semakin meningkat jika melakukan perkawinan yang
ada hubungan darah.3
B. Kelainan Hormonal
Faktorfaktor endokrinologi yang berhubungan dengan abortus dan
blighted ovum termasuk insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa kelainan
dimana luteinizing hormone (LH) hipersekresi, diabetes mellitus, dan
penyakit tiroid. Perkembangan pada kehamilan awal tergantung pada
produksi

estrogen

yang

dihasilkan

oleh

korpus

luteum

sampai

kecukupannya terpenuhi diproduksi oleh perkembangan trofoblast, yang


terjadi pada usia kehamilan 79 minggu. Abortus spontan terjadi pada
kehamilan kurang dari 10 minggu jika korpus luteum gagal untuk
memproduksi progesteron yang cukup, adanya gangguan distribusi
progesteron ke uterus, atau bila pemakaian hormon progesteron pada
endometrium dan desidua terganggu. Keguguran juga dapat terjadi apabila
trofoblas

tidak dapat menghasilkan progesteron yang

seharusnya

menggantikan progesteron dari korpus luteum ketika korpus luteum


menghilang.2
Sekresi LH yang abnormal juga memiliki akibat langsung pada
perkembangan oosit, menyebabkan penuaan yang prematur, dan pada
endometrium menyebabkan maturasi yang tidak sinkron. Dipihak lain,
sekresi luteinizing hormone yang abnormal dapat menimbulkan keguguran
secara tidak langsung dengan cara meningkatkan kadar hormon testosteron.
Keadaan gangguan sekresi luteinizing hormone biasanya berhubungan
dengan adanya polikistik ovarium.4
Mekanisme yang mungkin menyebabkan terjadinya keguguran pada
penderita diabetes mellitus ialah gangguan aliran darah pada uterus
terutama sekali pada kasus-kasus dengan diabetes mellitus tahap lanjut. 4

14
Hipotiroid merupakan gangguan endokrin lain yang dihubungkan
dengan adanya abortus berulang, terutama sekali sebagai akibat disfungsi
korpus luteum dan ovulasi yang sering menyertai penyakit tiroid.
Antitiroid antibodi juga dihubungkan dengan abortus berulang. Karena
pada awal kehamilan tubuh membutuhkan kadar hormon tiroid yang lebih
tinggi, adanya antitiroid antibodi

dapat menjadi suatu petanda bagi

seseorang untuk terjadi peningkatan risiko terjadinya abnormalitas tiroid


yang dapat berakhir pada keguguran. Kelainan-kelainan regulasi hormonal
tersebut juga mampu menyebabkan kegagalan perkembangan atau
pembentukan janin.2,4
C. Infeksi Saluran Reproduksi
Infeksi virus TORCH dan virus lainnya berpengaruh besar pada terjadinya
blighted ovum. Infeksi virus tersebut menyebabkan viremia pada ibu,
sehingga bisa membahayakan pasenta. Sedangkan pada HSV bisa terjadi
penularan ascenden hingga pada membran plasenta sehingga menyebabkan
fetus terkena infeksi HSV.1
D. Imunologik
Pada blighted ovum terjadi peningkatan Hsc70, gp96 dan reseptornya
CD9, TLR4. Penyakit Lupus dan Atifosfolipid sindrom juga meningkatkan
fator risiko terjadinya BO. Antigen golongan I MHC nonclassical
truncated yang dikenal HLA-G yang dipaparkan dalam sitotrofoblas
manusia dan sel trofoblas JEG-3, tatapi kemaknaan HLA-G masih
spekulasi karena ia merupakan trofoblas yang unik dan ada hipotasis yang
mengatakan bahwa HLA-G penting untuk gestasi yang berhasil dan respon
terhadap HLA-G yang menyimpang akan mengakibatkan abortus. Faktorfaktor imunologi terbagi dua, yaitu:8,1
1. Kelainan imunitas seluler
Endometrium dan desisua manusia penuh dengan sel-sel imun dan
inflamasi yang mampu mensekresi sitokin. Respon imun seluler T helper

15
1 yang abnormal melibatkan sitokin interferon- (IFN-) dan tumor
nekrosis factor (TNF) merupakan hipotesis yang paling sering
dikemukakan untuk kegagalan imunologi reproduksi. Hipotesis ini
menyatakan bahwa konseptur merupakan target local dan respon cell
mediate imun yang akan menyebabkan abortus. Pada wanita-wanita
yang mengalami abortus, antigen trofoblas mengaktivasi makrofag dan
limfosit, mengakibatkan respon imun seluler oleh sitokin T helper 1,
IFN- dan TNF yang ditunjukkan dengan menghambat pertumbuhan
embrio in vitro dan perkembangan serta fungsi dari trofoblast. Kadar
TNF dan interleukin 2 yang tinggi didapatkan di serum perifer pada
wanita-wanita yang mengalami abortus dibandingkan dengan wanita
hamil normal, tetapi mekanisme dari hubungan ini belum dapat
dijelaskan.8
2. Kelainan imunitas humoral
Lupus antikoagulan menyebabkan tes koagulasi yang bergantung
dengan

phospholipid seperti activated partial thromboplastin time

(APTT) menjadi memanjang dan dan tetap demikian walaupun telah


ditambah dengan plasma yang normal. Anti kardiolipin IgG atau IgM
dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ELISA.

Hasil pemeriksaan

yang positif sebaiknya dulangi kembali setelah beberapa minggu untuk


memastikan kebenaran hasil positif ini. 1
Prevalensi dari antifosfolipid antibodi ini pada populasi antenatal
secara umum adalah sekitar 2% dibandingkan dengan ibu-ibu yang
mengalami keguguran berulang yaitu sekitar 15%. Tingkat keberhasilan
kehamilan pada keadaan yang tidak diobati ialah sekitar 10-15% dan
keguguran berulang seringkali merupakan manifestasi awal penyakit.
Mekanisme untuk terjadinya keguguran akibat dari antifosfolipid
antibodi adalah peningkatan tromboksan dan penurunan sintesis

16
prostasiklin sehingga menimbulkan adesi platelet pada pembuluh darah
di plasenta.8
Keadaan immunologik lain yang mungkin juga menyebabkan
terjadinya keguguran ialah antibodi antisperma, antibodi antitrofoblas,
dan defisiensi blocking antibody.

Namun keadaan ini masih belum

dapat dibuktikan. 8
F. Faktor Lain
Faktor lain yang berhubungan dengan keguguran berulang termasuk
juga zat-zat racun pada lingkungan, terutama logam berat dan paparan yang
lama terhadap pelarut organik, obat-obatan seperti antiprogestogen, obat
antineoplasma, anestesi, nikotin dan alkohol, demikian juga radiasi. Aya
hidup seperti paparan asap rokok, penggunaan barang yang membuat radiasi
seperti komputer dan telefon juga berpengaruh dalam kejadian blighted
ovum..9
III. PATOFISIOLOGI
Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma.
Perkembangan kehamilan dimulai dengan tumbuhnya villi korionik pada
permukaan luar blastokist dan berimplantasi ke dinding rahim. Villi
memproduksi gonadotropin yang merangsang pituitary melepaskan lutenizing
hormone (LH), yang berperan memicu corpus luteum di ovarium membentuk
progesterone dalam jumlah banyak. Normalnya, pada tingkat ini, massa inner
cell mulai membelah dan berdiferensiasi menjadi organ-organ. Sekitar usia 6
minggu, fetus mulai mengembangkan sirkulasinya, dan setelah 8 minggu villi
chorialis mengatur sirkulasi dan membentuk plasenta.
Namun pada blighted ovum, kantung amnion tidak berisi fetus yang
disebabkan berbagai faktor maka sel telur yang telah dibuahi sperma tidak dapat
berkembang sempurna, dan hanya terbentuk plasenta yang berisi cairan.
Meskipun demikian plasenta tersebut tetap tertanam di dalam rahim. 5,6,7 Plasenta

17
menghasilkan hormon hCG (human chorionic gonadotropin) dimana hormon
ini akan memberikan sinyal pada indung telur (ovarium) dan otak sebagai
pemberitahuan bahwa sudah terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon
hCG yang menyebabkan munculnya gejala-gejala kehamilan seperti mual,
muntah, dan menyebabkan tes kehamilan menjadi positif.6

Ovum bertemu dengan sperma (fertilisasi)

3-5 hari terbentuk blastocyst dan berimplantasi di endometrium

Terbentuk HCG, progesteron, estrogen dan hormon lain

Tes kehamilan positif


UK 6 minggu gestasional sac terbentuk normal
- Kelainan
kromosom
- Kelainan
pembelahan sel
- Kelainan ovum
dan sperma

Tidak ada pertumbuhan janin, yolk sac tidak terbentuk

Blighted ovum
Gambar 2.1 Patofisiologi Pathway Blighted ovum 6

III. GEJALA KLINIK


Pada Blighted ovum wanita merasa hamil tetapi tidak ada bayi di dalam
kandungan. Seorang wanita yang mengalaminya juga merasakan gejala-gejala
kehamilan seperti terlambat menstruasi, mual dan muntah pada awal kehamilan

18
(morning sickness), payudara mengeras, serta terjadi pembesaran perut, bahkan
saat dilakukan tes kehamilan baik planotest maupun laboratorium hasilnya pun
positif.
Gejala penderita dengan blighted ovum menyerupai keguguran pada
umumnya. Keluhan antara lain berupa keluar bercak darah akibat berkurangya
kadar hormon, dan keluhan kehamilan akan berkurang. Jika mulai terjadi proses
keguguran atau sirkulasi fetus dan villi korialis mulai tidak stabil, sekitar usia
10 minggu, dapat terjadi perdarahan intermiten atau kontinu, yang diikuti nyeri
dan abortus komplit. Pada pemeriksaan dengan inspekulo, ostium uteri bias
tertutup (yang didiagnosis dengan abortus imminens) atau terbuka (abortus
inkomplit). 6
Pada beberapa kasus, dapat terjadi resorpsi kehamilan kosong, sehingga
tanda-tanda hamil dapat menghilang dan akhirnya pada pemeriksaan, pasien
dianggap tidak hamil. Hal ini dapat membingungkan bagi penderita karena
terjadi perubahan dari kondisi hamil menjadi tidak hamil.5,6
IV. DIAGNOSIS
Blighted ovum dapat segera terdeteksi segera pada pemeriksaan
ultrasonografi pada minggu 6, karena tidak tampaknya fetus. Pada usia 7
minggu dipastikan tidak ada fetus. Pencitraan USG dapat dilakukan
transabdominal maupun transvaginal, namun cara yang kedua lebih akurat pada
usia kehamilan yang sangat dini. 5
Pada usia 8 dan 9 minggu, jika perhitungan HPHT tepat, detak jantung
bayi atau pulsasi sudah dapat terdeteksi. Kantung gestasi mulai tampak pada
pertengahan minggu ke 4, dan yolk sac normalnya tampak pada minggu 5.
Sehingga, embrio dapat terlihat jelas mulai pertengahan minggu 5 pada
pemeriksaan USG tranvaginal.

19

Gambar 2.2 Gambaran USG Blighted Ovum Dibandingkan dengan Kehamilan


Normal
Tidak ditemukan fetal pole, dengan kantung gestasi (ges sac) diameter lebih dari 10 mm tanpa
yolk sac, diameter 15 mm tanpa mudigah pada USG transvaginal atau lebih dari 25 mm pada
USG transabdominal. Sedangkan pada gambar di sebelah kanan tampak gambaran hiperechoic
berupa fetal pole di dalam ges sac. Dikutip dari Williams Gynecology

Gambar 2.3 Blighted ovum pada uterus bicornu unicolis


Pemeriksaan kadar hormon pada kehamilan dapat juga membantu
pemeriksaan dimana beta-hCG dibentuk oleh plasenta. Normalnya, pada
pemeriksaan darah hormon ini dapat dideteksi pada hari 11 setelah konsepsi,
dan pada tes urin pada hari ke 12-14 hari. Produksi hormone ini akan menjadi 2
kali lipat tiap 72 jam. Kadarnya akan mencapai jumlah tertinggi pada kehamilan

20
usia 8-11 minggu lalu menurun. Jika penurunan kadar beta-hCG ini terjadi lebih
dini, dapat dicurigai terjadinya blighted ovum. 5
V.

PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN


Jika telah didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya adalah
mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (kuretase). Hasil kuretase akan
dianalisis untuk memastikan apa penyebab blighted ovum lalu mengatasi
penyebabnya. Jika karena infeksi maka dapat diobati sehingga kejadian ini tidak
berulang. Jika penyebabnya antibodi maka dapat dilakukan program
imunoterapi sehingga kelak dapat hamil sungguhan.
Untuk mencegah terjadinya blighted ovum, maka dapat dilakukan beberapa
tindakan pencegahan seperti pemeriksaan TORCH, imunisasi rubella pada
wanita yang hendak hamil, bila menderita penyakit disembuhkan dulu,
dikontrol gula darahnya, melakukan pemeriksaan kromosom terutama bila usia
di atas 35 tahun, menghentikan kebiasaan merokok agar kualitas sperma/ovum
baik, memeriksakan kehamilan yang rutin dan membiasakan pola hidup sehat.
Penderita keguguran akan memiliki pertanyaan menyangkut risiko berulangnya
keguguran atau blighted ovum.
Beberapa peneliti menyatakan riwayat blighted ovum tidak memberikan
risiko keguguran selanjutnya, dan 80-85% kehamilan selanjutnya pada
berlangsung hingga aterm. Namun, berbagai penelitian menggambarkan 2550% wanita dengan riwayat keguguran dapat mengalami keguguran ulang. Hal
ini sangat berhubungan dengan etiologi dari keguguran, sehingga deteksi
penyebab dan penatalaksanaan yang tepat perlu dilakukan.
Apabila, tindakan evakuasi dilakukan untuk mengeluarkan sisa hasil
konsepsi, penting untuk untuk diperiksa apakah terdapat kelainan pada uterus
seperti uterus bikornus, adanya septum uterus. Pada terhentinya kehamilan
pada trimester pertama, hasil konsepsi sebaiknya dikirim ke bagian histologi
untuk konfirmasi diagnosis dan untuk kariotiping. Pada keguguran dimana

21
fetus telah terbentuk maka kariotipe fetus harus diperiksa dan pasangan tersebut
disarankan agar bersedia dilakukan pemeriksaan autopsi.

Kemudian harus

dilakukan follow up dan konseling pada pasien.4


Pemeriksaan yang sebaiknya dilakukan rutin apabila menemukan adanya
abortus dan blighted ovum ialah sebagai berikut. 2,4
Periksa kariotipe kedua pasangan
Lakukan

histerosalfingografi

atau

apabila

terdapat

ahlinya

lakukan

ultrasonografi transvaginal atau histeroskopi untuk melihat kelainan bentuk


uterus, panjang serviks, ataupun adanya adhesi intrauterus
Pemeriksaan luteinizing hormon pada hari 3-6 siklus, pemeriksaan Follicle
Stimulating hormone serta testosteron untuk memeriks adanya hipersekresi
Luteinizing hormone atau adanya sindroma polikistik ovarium. Selain itu
ultrasonografi transvaginal juga berperan dalam menentukan adanya
polikistik ovarium selain untuk memeriksa kelainan pada uterus atau rongga
uterus.
Pemeriksaan Glycosylated hemoglobin (HbA1c) apabila pasien diketahui
mengidap diabetes mellitus atau memiliki riwayat keluarga dengan diabetes
mellitus
Penapisan antifosfolipid antibodi untuk Lupus antikoagulan, IgG dan IgM
anticardiolipin antibodi dan antinuclear faktor.

Hal ini juga berarti

dilakukannya pemeriksaan VDRL dan APTT


Uji fungsi tiroid, termasuk hormone stimulasi tiroid dan antibodi antitiroid
Pemeriksaan platelet
Pemeriksaan sperma
Hal-hal yang perlu diperiksa pada sediaan sperma antara lain volume, waktu
mencairnya, jumlah sel sperma per mililiter, gerakan sperma, PH, jumlah sel
darah putih dan kadar fruktosanya. Sebelum dilakukan pengambilan sampel
sperma (semen) harus melakukan abstinen/tidak mengeluarkan sperma/

22
ejakulasi 2 - 5 hari sebelumnya. Hal ini bertujuan agar sperma dalam kondisi
paling baik.
Volume

Waktu
mencair
Jumlah
sperma
Bentuk
sperma

Gerakan
sperma

pH

Sel darah
putih

Kadar
fruktosa

Normal : minimal 2 mL - 6,5 mL per ejakulasi


Abnormal : Volume yang rendah atau bahkan yang berlebih
dapat menyebabkan masalah kesuburan
Normal : Kurang dari 60 menit
Abnormal: Masa mencair yang lama bisa merupakan tanda
infeksi
Normal : 20150 juta per mL
Abnormal : Jumlah yang rendah kadang masih bisa
menghasilkan keturunan secara normal.
Normal : Minimal 70% memiliki bentuk dan
struktur normal.
Abnormal : Sperma yang abnormal bentuknya kurang dari 15
% disebut teratozoopsermia.
Normal : Minimal 60% sperma bergerak maju ke
depan atau minimal 8 juta sperma per-mL
bergerak normal maju ke depan.
Abnormal : Jika sebagian besar geraknya tidak
normal akan menyebabkan masalah fertilitas.
Normal : pH of 7.18.0
Abnormal : pH yang tinggi atau lebih rendah dapat
mengganggu penetrasi
Normal : Tidak ada sel darah putih atau bakteri.
Abnormal : Bakteri dan sel darah putih yg banyak
menunjukkan adanya infeksi.
Normal : 300 mg per 100 mL ejakulat
Abnormal :Tidak adanya fruktosa memperlihatkan tidak
adanya vesikula seminalis atau blokade pada organ ini.

Tabel 2.1. Komponen Analisis Sperma


Jika

ditemukan

jumlah

sperma

yang

rendah

atau

tingginya

abnormalitas, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti pengukuran kadar


hormon: testosteron, luteinizing hormone (LH), follicle-stimulating hormone
(FSH), atau hormon prolaktin. Juga dilakukan biopsi testis (zakar) dalam
kondisi yang sangat ekstrim (steril misalnya).

23
Kultur serviks untuk mikoplasma, ureaplasma dan klamidia.
Pemeriksaan lain dilakukan setelah pemeriksaan rutin ini didapatkan penemuan
yang positif, yaitu :
A. Faktor Genetik
Bila ditemukan adanya tanda-tanda abnormalitas dari genetik maka perlu
dilakukan konsultasi terhadap ahli genetik. Perlu dilakukan konseling terhadap
pasangan karena pemeriksaan dari keadaan ini memerlukan biaya yang besar,
selain itu kemungkinan untuk terjadinya kehamilan yang normal kecil. 7
B. Abnormalitas Hormonal
Pemeriksaan bagi wanita tanpa adanya gejala atau riwayat diabetes
mellitus tidak perlu dilakukan. Pengendalian kadar gula darah yang optimal
sebelum

kehamilan

merupakan

cara

untuk

keberhasilan

kehamilan.

Pemeriksaan tiroid secara rutin juga belum dapat mendeteksi gangguan fungsi
tiroid. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan apabila telah ditemukan adanya
gejala gangguan tiroid.4
C. Infeksi Saluran Reproduksi
Mengenai penatalaksanaan infeksi saluran reproduksi ini tentusaja disesuaikan
dengan jenis organisme yang menginfeksi.

Belum ditemukan perlunya

dilakukan imunisasi kecuali pada kasus penyakit rubella.7


D.

Imunologi
Pemeriksaan anticardiolipin harus dilakukan pada semua wanita dengan
riwayat abortus berulang.

Tanpa pengobatan hanya didapatkan 10-15%

kehamilan yang berhasil.

Pengobatan dengan aspirin dosis rendah (75

mg/hari) atau heparin dosis rendah (5000-10000 unit tiap 12 jam) telah
dilakukan dan menunjukkan adanya perbaikan pada kehamilan baik itu
dipergunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi. Tetapi pemakaian obatobatan ini memiliki risiko.

Heparin jangka panjang diketahui dapat

24
menyebabkan osteoporosis, dan aspirin dapat menimbulkan perdarahan
gastrointestinal.4,7

BAB III
SIMPULAN
Blighted ovum adalah salah satu kehamilan patologi, di mana mudigah tidak
terbentuk sejak awal kehamilan namun kantung gestasi tetap terbentuk.
Penyebab dari blighted ovum merupakan kelainan kromosom, kelainan
pembelahan sel dan kelainan ovum serta sperma. Serta dihubungkan dengan
permasalahan lain yang beragam atau gabungan berbagai factor.
Diagnosis BO ditegakkan dengan USG. Gambaran plasenta pada blighted
ovum adalah villi yang hipovaskular, fibrosis, trombosis, infark, membrane
yang sedikit vakulosinsitial.
Penting untuk didapatkan informasi mengenai keadaan pasien yang dapat
membantu dalam perawatan untuk kehamilan berikutnya.

25

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Deutchman M, Tubay AT. First Trimester Bleeding. American Family Phisician
2009; 79 (11)
2. Allison JL, Sherwood RS, Schust DJ. Management of first trisemester pregnancy
loss can be safely moved into the office. Department of Obstetric and Gynecology
university of Missouri. 2011;4(1):5-14.
3. Shekoohi S, Mojarrad M, Raoofian R, Amadzaeh S, Mirzale S

Nazarabadi MH. Chromosomal study couples with history of


reccuren spontanous abortions with diagnosed bighted ovum.
Mashhad Universiy Iran. 2013. 2 (4)
4. Baghmani F, Mirzae s, Nazarabadi MH. Association between

heteromorphism of chromosom 9 an reccurent abortion


(ultrasound diagnosed blighted ovum): a case report. Iran J
Reprod Med .2014; 12(5) pp: 357-360
5. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham
FG. First trimester abortion. In: Williams Gynecology 22 nd ed. New York: McGrawHill; 2008:298-325
6. Porter FT, Branch DW, Scott JR. Early pregnancy loss. In: Danforths Obstetric and
Gynecology 10th ed. New York. Lippincott Williams & Wilkins; 2009:61-70

26
7. Saifuddin BA. 2014. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono : Jakarta. pp 574579
8. Lana GG, Gulic T, Laskarin G, Haller H Rukavina D. Presence of gp96 both form of
Hsp70 and their rcepors CD91 and TLR4 at maternal-fetal interface of blighted
ovum and missed abortio. Journal of Reproductive Immunology .2014; 4060
9. Tan TC, Neo GH, Malhotra R, Allen JC, Lie D, stbye T. Lifestyle Risk Factors
Associated with Threatened Miscarriage: A Case-Control Study. JFIV Reprod Med
Genet .2014. 2(2)
10. Aura MG, Cardona-Maya W, Agarwal A, Sharma R, Cadavid A. Role of male factor
in early recurrent embryo loss: do antioxidants have any effect?.American Society for
Reproductive Medicine. 2009. 92 (2)

You might also like