You are on page 1of 9

Dosa-dosa Besar

Syekh M. Mutawalli Sya'rawi


Bismillah. Tidak ada tempat meminta pertolongan kecuali kepada-Nya. Segala puji bagi Allah. tidak
ada pujian kecuali bagi-Nya. Aku memuja-mujiMu wahai Rabb-ku, sebagaimana Engkau ajarkan kami
cara memuji-Mu. Dan salawat serta salam semoga selalu disampaikan kepada makhluk-Nya yang
terbaik, sayyidina Muhammad.
Waba'du: Allah SWT berfirman:
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)
dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)". An Nisaa: 31

Ayat ini adalah adalah salah satu dari delapan ayat, yang dikatakan oleh Ibnu Abbaas r.a. sebagai
berikut: "di dalam surah ini [surah an Nisaa] terdapat delapan ayat yang menjadi pangkal kebaikan bagi
umat ini, sepanjang siang dan sepanjang malam". Ayat-ayat itu dimulai dengan firman Allah SWT:
"Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu". (An Nisaa: 26)

"Dan Allah hendak menerima taubatmu". (An Nisaa: 27)

"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu ". (An Nisaa: 28).

Selanjutnya:
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya".

Kata "ijtinab" bukan bermakna "tidak melakukan sesuatu [kemaksiatan]", namun ia bermakna "tidak
mendekatkan diri kepada faktor-faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan sesuatu perbuatan
[kemaksiatan]". Dengan berlaku seperti itu, seorang individu muslim dapat membentengi dirinya dari
godaan nafsu dan kemaksiatan.
Ayat-ayat yang mulia tadi menjadi pangkal kebaikan bagi masing-masing individu umat Islam
sepanjang hari-hari yang ia lewati. Karena ayat-ayat tadi memberikan batasan-batasan dan ranjau-
ranjau yang harus diperhatikan oleh individu Muslim saat ia melakukan pilihan bagi ayunan
langkahnya, sehingga ia tidak terjerumus ke dalam pilihan yang bodoh yang tidak berpedoman pada
manhaj Allah. Seandainya manusia diciptakan sebagai makhluk "mekanik" tanpa dibekali kemampuan
untuk melakukan pilihan pribadi, niscaya manusia akan terbebaskan dari beban untuk menentukan
pilihan langkah itu.
Beban berat manusia timbul dari sikap arogansinya karena memiliki kemampuan lebih dari sekalian
makhluk Allah yang lain. Kelebihan manusia itu adalah potensi akalnya, yang memberikannya
kemampuan untuk menentukan pilihan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia di hadapannya.
Sementara makhluk-makhluk lain yang diciptakan Allah, terbentuk sebagai makhluk yang telah
terprogram secara total oleh Allah, tanpa diberikan kemampuan untuk melakukan pilihan. Dan puas
menjadi makhluk yang mengalir di horison koridor yang telah dibentangkan oleh Allah SWT baginya.
Kita mengetahui bahwa Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat
zalim dan amat bodoh". Al Ahzaab: 72.

Manusia telah menzhalimi dirinya ketika ia memilih untuk memegang kendali pilihan bebas dirinya
saat menghadapi godaan syahwat atau saat menghadapi kehendak manhaj Allah SWT. Sementara
makhluk-makhluk yang menundukkan dirinya kepada pilihan Allah, tidak menghadapi masalah seperti
ini.
Seluruh makhluk selain manusia, hidup mengalir secara mekanis berdasarkan kehendak Allah, dan
terbebas dari kesalahan melakukan pilihan bagi dirinya. Kemudian, ayat-ayat tadi memberikan
informasi yang menenangkan manusia; yakni sekalipun manusia suatu kali pernah melakukan pilihan
yang bodoh, sehingga melanggar kehendak dan ketentuan Allah, namun Allah berkehendak untuk
memberikan cahaya penerang baginya yang menuntutnya dalam mengarungi kehidupanya,
memberikan kesempatan baginya untuk bertaubat kepada Allah, dan memberikan keringanan baginya
atas kesalahan dan kekeliruan yang telah ia lakukan.
Allah SWT berkehendak, jika manusia menjauhkan dirinya dari faktor-faktor yang dapat mendekatkan
dirinya dari dosa-dosa besar, niscaya Allah SWT akan memberikan balasan bagi tindakannya itu
dengan menganugerahkannya penghapusan dan pengampunan dosa-dosa kecilnya. Seluruh berita tadi
memberikan ketenangan bagi jiwa manusia, sehingga ia tidak berputus asa saat ia terlanjur melakukan
pilihan yang bodoh dan melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Allah. Di sini, Allah SWT
menjelaskan bahwa: "Aku adalah Pencipta-mu, dan Aku mengetahui bahwa engkau lemah, karena
engkau menghadapi pilihan dua titian jalan, kedua titian jalan itu menggodamu untuk memilih salah
satunya. Yaitu titian jalan taklif 'beban' Allah yang mengandung kebaikan bagimu, dan pahala yang
menunggu di ujung jalan itu. Hal ini menggoda dan mendorongmu untuk meniti jalan ini. Dan ada
titian jalan syahwat dan kenikmatan yang instan. Ini juga menggodamu untuk memilihnya".
Ketika kedua jalan itu saling tarik menarik dalam diri manusia, maka saat itulah timbul kelemahan
dalam dirinya. Oleh karena itulah Allah SWT menjelaskan: "Aku memaklumi apa yang terjadi pada
dirimu itu, karena hal itu adalah hasil logis akibat adanya potensi pilihan bebas yang engkau miliki itu.
Dan Aku-lah yang telah memberikan potensi itu kepadamu".
Allah SWT saat menganugerahkan kepada manusia, sang makhluk yang berkuasa atas makhluk lain di
dunia ini, potensi untuk melakukan pilihan bebas itu; akan amat senang jika manusia datang dan
bersimpuh di hadapan Rabb-nya dengan sepenuh hati dan kesukarelaan dirinya. Karena terdapat
perbedaan secara diametral antara makhluk yang telah diprogram untuk tunduk kepada Allah SWT dan
berjalan mengalir sesuai ketetapan yang telah dibuat oleh Allah SWT; sehingga makhluk seperti ini
tidak diberikan sipat sebagai kekasih Allah; dengan makhluk yang diberikan pilihan bebas untuk
tunduk atau tidak, dan untuk taat dan tidak. Oleh karena itu, dengan potensi kemampuan manusia untuk
melakukan pilihan bebas itu, Allah SWT menghendaki manusia untuk tunduk kepada-Nya sesuai
dengan kehendak hatinya secara jujur, dan memilih untuk taat kepada Allah SWT dengan dorongan
keimanannya itu.
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya".

Di sini, seakan-akan Allah SWT menjelaskan tentang beban-beban hukum yang telah diembankan-Nya
kepada manusia; seperti menjaga diri dari mencemarkan nama baik orang lain, menjaga diri dari
memakan harta orang lain dengan cara yang diharamkan, menjaga diri dari membunuh manusia dan
sebagainya; dengan penjelasan sebagai berikut: "Saat menghadapi suatu kenyataan yang
mengecewakan [seperti terlanjur mengerjakan suatu dosa kecil, misalnya], hendaknya kalian tidak
bersikap putus asa, karena Aku akan menutupi dosa-dosa kecil kalian jika kalian meninggalkan dosa-
dosa besar: ibadah shalat ke ibadah shalat yang lain adalah menjadi penghapus dosa-dosa kecil yang
terlanjur dilakukan di antara keduanya, shalat jum'at ke shalat jum'at yang berikutnya menjadi
penghapus dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan di antara kedua masa itu, dan dari satu ibadah
puasa Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi penghapus bagi dosa-dosa kecil yang terlanjur
dilakukan pada masa di antara keduanya. Namun dengan syarat kalian tidak terus menerus melakukan
dosa-dosa kecil itu. Mengapa? Karena saat engkau melakukan sesuatu perbuatan dosa kecil,
bayangkanlah jika tiba-tiba engkau meninggal dunia sebelum sempat beristighfar dan bertaubat atas
dosa itu. Oleh karena itu, janganlah engkau berkata: "aku akan lakukan dosa [kecil ini] dan nantinya
aku akan beristighfar dan bertaubat". Hal itu tidak terjamin dapat dilakukan olehmu, pada saat yang
sama engkau juga seperti sedang mengejek Tuhan-mu.
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya,
niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)"... yakni dosa-dosa kecil, Allah
SWT berfirman: "niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)". Dan seperti
telah kami katakan: pengertian kata "al kufr" adalah "as satru" 'penutup', artinya Allah SWT akan
menutupi dosa-dosa kecil itu. Dan makna Kami akan menutupinya artinya, Kami tidak akan
memberikan hukuman atasnya. Istilah "takfiir" bermakna menghilangkan siksa atasnya. Sedangkan
istilah "ihbaath" bermakna menghilangkan dan menggugurkan pahalannya.
Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dosa kecil yang membuat dia berhak dijatuhi hukuman,
namun ia meninggalkan dosa-dosa besar, maka Allah SWT akan menutupi dan menghapuskan
hukuman itu dari dirinya. Sedangkan jika seseorang melakukan amal kebaikan, namun Allah SWT
tidak menerima amalnya itu, maka berarti Allah SWT tidak memberikan pahala atas amal itu
kepadanya. Dengan demikian, istilah "takfiir" --seperti telah kami katakan tadi-- adalah menghilangkan
hukuman. Sementara istilah "ihbaath" bermakna: menghilangkan balasan pahala. Seperti terdapat
dalam firman Allah SWT.
"Maka mereka itulah yang sia-sia amalannya". (Al Baqarah: 217).

Artinya, mereka tidak mendapatkan pahala atas amal kebaikan yang mereka lakukan itu; karena saat
mereka mengerjakan amal kebaikan itu, mereka tidak meniatkannya untuk Allah SWT, Yang akan
memberikan pahala atas amal mereka itu. Namun mereka meniatkannya untuk mendapatkan pujian dari
manusia. Oleh karena itu, Nabi Saw bersabda:
"Engkau mengerjakan amal perbuatan itu untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian
itu pun telah engkau dapatkan [sehingga engkau tidak lagi berhak mendapatkan pahala dari
Allah SWT]".

Engkau mengerjakan amal kebaikan itu untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian itu telah
engkau dapatkan. Misalnya masyarakat memuji: "engkau adalah orang yang amat dermawan". Atau
mereka berkata: "hebat sekali, engkau telah membangun masjid". Dan mereka juga membaca spanduk
yang tertulis saat peresmian masjid itu, bahwa engkaulah yang telah menyumbang bagi pembangunan
masjid itu.
Allah SWT berfirman:
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan". (Al Furqaan: 23).
Engkau melakukan suatu amal kebaikan hanya semata untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian
itu telah engkau dapatkan [sehingga tidak berhak lagi mendapatkan pahala dari Allah SWT]; oleh
karena itu, orang yang menulis namanya besar-besar di masjid itu, hendaknya memperhatikan hal ini.
Dan bagi orang yang ingin mendapatkan pahala dari Allah SWT, hendaknya segera menghapus
namanya itu, sehingga harapannya untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT dapat terwujud. Karena
Allah SWT amat senang jika orang yang memberikan derma atau shadaqah, bertindak sesuai dengan
sabda Rasulullah Saw tentang tujuh macam orang yang mendapatkan naungan Allah SWT pada hari
kiamat nanti, saat tidak ada naungan selain naungan Allah SWT, di antara mereka adalah:
"Seseorang yang memberikan sadaqah dengan cara sembunyi, sehingga tangan kirinya
tidak mengetahui apa yang disadaqahkan oleh tangan kanannya itu".

Saat engkau memberikan shadaqah kepada seseorang, mengapa engkau perlu membuka identitas diri
orang yang menerima derma dan shadaqahmu itu?.
Sementara Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi". kata "ijtinaab" bermakna: memberikan
sesuatu dari samping [dengan tidak mencolok]. Dan yang dimaksud dengan redaksional: "in tajtanibuu"
bermakna: jika kalian menjauhkan diri kalian. Dan saat Allah SWT memerintahkan engkau agar tidak
melakukan sesuatu perbuatan, kemudian perintah itu disampaikan dalam bentuk yang lain, yakni
dengan perintah agar menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang itu, hal ini menunjukkan bahwa
tekanan larangan itu menjadi lebih besar. Karena perintah untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang
dilarang itu bermakna engkau diperintahkan untuk tidak berada di tempat yang sama dengan sesuatu
yang dilarang untuk dikerjakan itu.
Saat Allah SWT berfirman: "maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu". (Al
Hajj: 30)

dan saat Allah SWT berfirman:


"dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". Al Hajj: 30)

Perintah "ijtanibuu" dalam ayat itu bermakna: menjauhlah darinya. Mengapa? Karena batasan-batasan
Allah SWT yang tidak boleh dilanggar adalah apa-apa yang diharamkan-Nya.
Rasulullah Saw bersabda:
"Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan di antara keduanya adalah perkara-
perkara yang syubhat [yang tidak jelas] yang tidak diketahui oleh [hakikat hukumnya] oleh
banyak manusia. Maka orang yang menghindarkan diri dari perkara yang syubhat, berarti ia
telah menjaga nama baiknya dan agamanya. Dan siapa yang jatuh dalam perkara yang
syubhat, maka ia dipastikan akan segera jatuh dalam keharaman. Perumpamaannya adalah
seperti seseorang yang menggembala di pinggir kebun, ia amat dekat untuk memasuki
kebun itu. Dan setiap kerajaan memiliki batas-batas yang tidak boleh dilangkahi, dan batas-
batas Allah SWT di atas permukaan bumi ini adalah apa-apa yang diharamkan-Nya".

dan Allah SWT berfirman:


"Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan". (Al Maaidah: 90).

Cara penjauhan diri dari perbuatan yang dilarang itu adalah dengan tidak menempatkan diri dalam satu
tempat bersama dengan sesuatu yang dilarang itu, karena dikhawatirkan akan mendorongmu untuk
memikirkannya, menganggu konsentrasimu dan hal itu akan terbayang-bayang dalam pikiranmu.
Misalnya saat engkau berada di tempat orang minum minuman keras, saat itu Allah SWT
memerintahkan kepadamu: jauhilah tempat itu.
Artinya: jangan dekati tempat itu. Karena jika engkau berada di tempat orang minum minuman keras
itu, dan engkau melihat orang yang sedang minum itu tampak gembira dan amat menikmati
minumannya, hal itu bisa saja mendorongmu untuk turut meminumnya. Sedangkan jika engkau
menghindarkan diri dari minuman keras, dan tidak mendekat tempat meminum minuman keras itu,
maka engkau terjaga dari godaan-godaan seperti itu. oleh karena itu kami katakan: perintah untuk
menjauhkan diri dari sesuatu itu, makna redaksionalnya lebih berat dan lebih keras dari larangan atas
sesuatu itu sendiri. Ada orang yang beralasan bahwa minuman keras itu tidak diharamkan, dan berkata:
meminum minuman keras itu tidak pernah dilarang oleh sesuatu nash agama yang pasti!. Bagi orang
seperti ini kami menjawab: ingatlah, meminum minuman keras itu disejajarkan dengan penyembahan
berhala.
Allah SWT berfirman:
"dan jauhilah Thaghut itu". (An Nahl: 36).

Perintah untuk menjauhkan diri dari berhala itu tidak semata larangan untuk menyembah berhala itu,
namun juga berisi larangan untuk melihat dan mendekatinya. Dengan demikian, perintah untuk
menjauhkan diri dari minuman keras itu tidak semata larangan untuk meminumnya, namun juga
perintah agar tidak mendekatinya. Kata "al kabaair" adalah bentuk plural dari kata "kabiirah" 'dosa
besar'. Dan jika ada "kabiirah" 'dosa besar' berarti ada "shagiirah" 'dosa kecil' dan "ashgar" 'dosa paling
kecil'. Dosa yang lebih rendah dari "kabiirah" 'dosa besar' tidak semata "shagiirah" 'dosa kecil' saja,
namun juga termasuk dosa yang lebih kecil dari dosa kecil itu, yaitu "al lamam" 'kelalaian dan
kekhilafan'.
Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)". "as
Sayyiaat" 'Dosa-dosa kecil' berkaitan dengan pelanggaran terhadap hal-hal yang ringan atau yang
paling ringan. Namun tentang hal ini, para ulama memberikan catatan penting, yakni: hal itu tidak
berarti Allah SWT membolehkan manusia untuk melakukan dosa-dosa kecil itu, selama mereka
menjauhkan diri dari dosa besar. Karena perbuatan dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus dan
dengan kesengajaan, juga termasuk bagian dari dosa besar. Oleh karena itu jangan engkau lakukan
perbuatan dosa kecil, karena Allah SWT hanya menghapuskan dosa kecil yang dilakukan dengan tidak
sengaja atau karena kekhilafan. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera". (An Nisaa:
17),

yakni jika mereka mengerjakan dosa-dosa kecil itu dengan tanpa sengaja, dan karena kekhilafan
semata.
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan
(yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia
mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" ". (An Nisaa: 18)

Dengan demikian, jika engkau melakukan dosa kecil dengan sengaja dan secara terus menerus, maka
dosa kecil itu berubah statusnya menjadi dosa besar. Kemudian, jika kita tidak menjauhkan diri dari
dosa besar, dan kita juga melakukan dosa kecil, apa yang akan terjadi? Para ulama berpendapat: di
antara bentuk kasih sayang Allah SWT terhadap manusia adalah ketentuan berikut ini: tidak ada istilah
dosa besar selama pelakunya melakukan taubat dan istighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selama
pelakunya terus melakukan perbuatan dosa kecil itu secara sengaja.
Jika engkau mengambil hal tadi, maka ambillah dua ketentuan ini, yakni tidak ada istilah dosa besar
selama pelakunya melakukan taubat dan beristighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selama pelakukan
terus melakukan perbuatan dosa itu dengan sengaja. Dan tentang definisi dosa besar, para ulama
berpendapat sebagai berikut: dosa besar adalah suatu perbuatan yang pelakunya diberikan ancaman
oleh Allah SWT akan dijatuhi adzab di akhirat nanti, atau suatu perbuatan yang diancam akan
dikenakan hadd. Sedangkan suatu perbuatan dosa yang tidak diancam akan dikenakan hadd, maka
perbuatan itu termasuk dalam dosa kecil yang akan diampuni jika pelakunya menjauhkan diri dari
perbuatan dosa besar, atau dosa kecil, atau dosa yang paling kecil.
Adalah Amru bin Ubaid, seorang ulama Bashrah, dan seorang zahid. Yang dikatakan oleh para pejabat
pemerintah tentang dirinya sebagai berikut: "kalian semua adalah para pencari buruan, kecuali Amru
bin Ubaid". Artinya, seluruh ulama mendatangi para pejabat pemerintah untuk mendapatkan hadiah,
kecuali Amru bin Ubaid. Suatu saat, ulama kita ini ingin mengetahui definisi yang jelas tentang apa itu
dosa besar, secara langsung dari nash Al Quran, bukan dari pendapat para ulama.
Ia kemudian menemui Abu Abdillah Ja'far bin Muhammad Shadiq. Seperti kita ketahui, Ja'far Shadiq
adalah orang tokoh yang paling patut untuk ditanya tentang hal ini; karena ia adalah seorang ulama dari
ahlul bait, dan ia telah begitu mendalami rahasia-rahasia kandungan Al Quran. Setelah ia bertemu
dengannya, dan duduk bersamanya, ia kemudian membaca firman Allah SWT berikut ini:
"(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil". (An Najm: 32).

Sampai di sini ia berhenti dan berdiam!. Menyaksikan hal itu Abu Abdillah Ja'far Shadiq bertanya
kepadanya: "mengapa engkau terdiam, wahai Ibnu Ubaid?"
Ia menjawab: "aku ingin mengetahui secara pasti apa itu dosa-dosa besar, langsung dari keterangan
kitab Allah".
Abu Abdillah Ja'far Shadiq berkata: "engkau datang kepada orang tepat". Selanjutnya ia berkata
kembali: " [Dosa besar itu adalah, pertama:] syirik kepada Allah SWT. Tentang hal ini Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya". (An Nisaa: 48)

Dan Allah SWT berfirman:


"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga". (Al Maaidah: 72)

Selanjutnya ia menambahkan: [dosa besar yang kedua adalah] berputus asa dari mendapatkan rahmat
Allah SWT. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang
kafir"".(Yuusuf: 87).

Demikianlah, Abu Abdillah Ja'far Shadiq mengungkapkan hukum sambil menyebutkan dalilnya dari Al
Quran. Berikutnya ia memberikan penjelasan selanjutnya: [dosa besar yang berikutnya adalah:] merasa
aman dari ancaman Allah SWT. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (Al A'raaf:
99)

Dosa besar yang keempat adalah: berbuat durhaka kepada kedua orang tua. Karena Allah SWT
mensipati orang yang berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya sebagai orang yang jabbaar syaqiy
'orang yang sombong lagi celaka'. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi
celaka". (Maryam: 32).

Dosa besar yang berikutnya adalah: membunuh. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya". (An Nisaa: 93).

Dosa besar yang berikutnya adalah: menuduh wanita baik-baik berbuat zina. Tentang hal ini Allah
SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi
beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang
besar". An Nuur: 23)

Dosa besar berikutnya adalah: memakan riba. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila". (Al Baqarah:
275)

Dosa besar berikutnya adalah: lari dari medan pertempuran. Maksudnya, saat kaum Muslimin diserang
oleh musuh mereka, dan kaum Muslimin maju mempertahankan diri dari serangan musuh itu,
kemudian ada seseorang individu Muslim yang melarikan diri dari pertempuran itu. tentang hal ini
Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk
(siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka
sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya
ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya". (Al Anfaal: 16)

Dosa besar berikutnya adalah: memakan harta anak yatim. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)". (An Nisaa: 10)

Dosa besar berikutnya adalah: berbuat zina. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa
(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal
dalam azab itu". (Al Furqaan: 68-69)

Tentang menyembunyikan persaksian, adalah seperti difirmankan oleh Allah SWT:


"Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya". (Al
Baqarah: 283)

Dosa besar berikutnya adalah: sumpah palsu. Yaitu jika seseorang bersumpah untuk melakukan sesuatu
perbuatan, namun ternyata ia tidak melakukan perbuatan itu. atau ia bersumpah tidak akan melakukan
sesuatu perbuatan, namun nyatanya ia kemudian melakukan perbuatan itu. Tentang hal ini Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah
mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat,
dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka
pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih".
(Ali Imraan: 77 )

Dosa besar berikutnya adalah: berbuat khianat atas harta pampasan perang. Tentang hal ini Allah SWT
berfirman:
"Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu". (Ali Imraan: 161)

Dosa besar berikutnya adalah: meminum khamar [minuman keras]. Tentang hal ini Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan". (Al Maaidah: 90).

Dosa besar berikutnya adalah: meninggalkan shalat. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami
dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat". (Al Muddats-tsir: 42-43 )

Dosa besar berikutnya adalah: melanggar perjanjian dan memutuskan tali silaturahmi. Karena tali
silaturahmi adalah salah satu ikatan yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk disambung. Tentang hal
ini Allah SWT berfirman:
"(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan
memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan
membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi". (Al Baqarah:
27 )

Dengan demikian, semua perbuatan dosa tadi adalah bagian dari dosa besar, sesuai dengan keterangan
nash Al Quran. Dan masing-masing dosa besar tadi mengandung hikmah, seperti yang diungkapkan
oleh Ja'far Shadiq. Dan saat ia ditanya oleh Ibnu Ubaid tentang apa itu dosa besar, Ja'far Shadiq dengan
percaya diri menjawabnya dengan urutan seperti tadi. Dan penyebutan urutan tadi pun diungkapkannya
dengan tanpa perlu berpikir lama. Yang menunjukkan bahwa masalah ini telah tertanam dalam otaknya;
apalagi jika disadari bahwa ayat-ayat itu terdapat secara acak dalam pelbagai surah dalam Al Quran.
Sehingga untuk menyebutkannya ia harus mengutip dan mengumpulkannya dari sana sini; hal ini juga
menunjukkan bahwa ia benar-benar telah mendalami rahasia-rahasia kandungan Al Quran.
Dari buku: Dosa-dosa Besar
Penulis : Syekh M. Mutawalli Sya'rawi
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani dan Fithriah Wardie
Penerbit: Gema Insani Press, Jakarta

You might also like