Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Anemia hemolitik autoimun (AIHA) merupakan penyakit yang jarang
Batasan masalah
Referat ini membatasi pembahasan pada definisi, epidemiologi, etiologi,
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui mengenai diagnosis
Manfaat Penulisan
1. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
2. Menambah informasi bagi para pembaca mengenai definisi, epidemiologi,
faktor
1.4.
risiko,
patofisiologi,
manifestasi
klinis,
diagnosis,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120
hari (umur eritrosit normal). Anemia hemolitik dapat terjadi jika aktivitas
sumsum tulang tidak dapat mengimbangi hilangnya eritrosit. Anemia hemolitik
autoimun merupakan kelainan yang terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit
yang menyebabkan umur eritrosit memendek.1 Anemia hemolitik autoimun
(autoimmune hemolytic anemia = AIHA /AHA) merupakan suatu kelainan
dimana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit yang menganggap eritrosit
sebagai antigen non-selfnya sehingga umur eritrosit memendek.Antibodi yang
khas pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang
berbeda-beda.
2.2.
Epidemiologi
Anemia hemolitik automun (AHIA) merupakan penyakit yang langka.
2.3.
Etiologi
2.4.
Klasifikasi
2.5.
Patofisiologi
Patofisiologi anemia hemolitik autoimun ini terjadi melalui aktifasi sistem
Hal
ini
ditandai
dengan
hemoglobinemia
dan
hemoglobinuria.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik
adalah IgM, IgG1,IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin
oleh karena berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel
eritrosit pada suhu dibawah suhu tubuh, sedangkan IgG disebut aglutinin
hangat oleh karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada
suhu tubuh.
a. Aktifasi komponen jalur klasik
Reaksi diawali dengan aktifasi C1 (suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit). C1 berikatan dengan kompleks imun antigen
antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi reaksi
pada jalur klasik. C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi kompleks
C4b,2b (C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen
C3b dan C3a. C3b mengalami perubaha konformational sehingga
sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai oleh sel.
Immunoadherenceterutama yang diperantarai oleh IgG-FcR akan
menyebabkan fagositosis.
2.6.
disertai
menggigil,
panas,
mialgia,
sakit
kepala,
obat
yang
menyebabkan
hemolisis
oksidatif
ini
adalah
Pasien dengan
Hemoglobin
2.
Hematokrit
3.
4.
Trombosit (platelet)
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi sebagai
media transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa
karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru paru. Kandungan zat besi yang
terdapat dalam hemoglobin membuat darah berwarna merah.
Dalam menentukan normal atau tidaknya kadar hemoglobin seseorang kita harus
memperhatikan faktor umur, walaupun hal ini berbeda-beda di tiap laboratorium
klinik, yaitu :
Kadar hemoglobin dalam darah yang rendah dikenal dengan istilah anemia. Ada
banyak penyebab anemia diantaranya yang paling sering adalah perdarahan,
kurang gizi, gangguan sumsum tulang, pengobatan kemoterapi dan penyakit
sistemik (kanker, lupus,dll).
Sedangkan kadar hemoglobin yang tinggi dapat dijumpai pada orang yang tinggal
di daerah dataran tinggi dan perokok. Beberapa penyakit seperti radang paru paru,
tumor, preeklampsi, hemokonsentrasi, dll.
10
Hematokrit
Hematokrit merupakan ukuran yang menentukan banyaknya jumlah sel darah
merah dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam persent (%). Nilai normal
hematokrit untuk pria berkisar 40,7% - 50,3% sedangkan untuk wanita berkisar
36,1% - 44,3%.
Seperti telah ditulis di atas, bahwa kadar hemoglobin berbanding lurus dengan
kadar hematokrit, sehingga peningkatan dan penurunan hematokrit terjadi pada
penyakit-penyakit yang sama.
Leukosit (White Blood Cell / WBC)
Leukosit merupakan komponen darah yang berperanan dalam memerangi infeksi
yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll.
Nilai normal leukosit berkisar 4.000 - 10.000 sel/ul darah.
Penurunan kadar leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat infeksi virus,
penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan peningkatannya bisa ditemukan pada
penyakit infeksi bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut, leukemia,
gagal ginjal, dl
Trombosit (platelet)
Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu dalam
proses pembekuan darah dan menjaga integritas vaskuler. Beberapa kelainan
dalam morfologi trombosit antara lain giant platelet (trombosit besar) dan platelet
clumping (trombosit bergerombol).
11
Gambar 1. Trombosit
12
MCV = Hematokrit x 10
Eritrosit
Nilai normal = 82-92 fl
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) atau Hemoglobin Eritrosit RataRata (HER), yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut dengan
pikogram (pg)
MCH = Hemoglobin x 10
Eritrosit
Nilai normal = 27-31 pg
MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) atau Konsentrasi
Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER), yaitu kadar hemoglobin yang
didapt per eritrosit, dinyatakan dengan persen (%) (satuan yang lebih tepat
adalah gr/dl)
MCHC = Hemoglobin x 100
Hematokrit
Nilai normal = 32-37 %
13
14
akan
mengikat
benda
asing
seperti
bakteri
dan
virus
dan
Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan
dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.
17
Pada kasus AIHA yang ditemukan pada pasien tanpa riwayat tranfusi darah
sebelumnya adalah termasuk penyakit anemia yang disebabkan oleh kelainan
sistem imun di mana terbentuk anti bodi terhadap sel eritrositnya sendiri yang di
sebut dengan penyakit auto imun. Penyebab dari keadaan ini umumnya idiopatik.
Dari kasus AIHA dengan riwayat tranfusi darah yang kompatibel sebelumnya di
duga terjadi karena hal-hal sebagai berikut alloantibody induced haemolytik
anemia. Dari data yang di peroleh, darah yang ditranfusikan kepada 84% pasien
adalah darah lengkap (whole blood) dan kepada 16% pasien adalah eritrosit
(packed red cells). Dalam jenis darah ini terdapat bermacam-macam anti gen yang
bila ditranfusikan kepada pasien akan merupakan allogenic stimulant. Stimulasi
alogenik dapat mengganggu toleransi tubuh terhadap sel eritrositnya sendiri (self
tolerance), seperti pada interaksi graft versus host, di mana dalam serum dapat di
deteksi adanya auto anti bodi. Auto anti bodi terbentuk terhadap sel epitel, sel
eritrosit, timosit, anti gen nuklear dan DNA. Dalam hal AIHA auto anti bodi
terbentuk terhadap eritrosit, yang menyebabkan lisis dan destruksi dari eritrosit
tersebut. Oleh karena itu pemberian tranfusi darah haruslah aman, yaitu
18
kompatibel secara imunologi dan bebas infeksi. Hal yang akan bereaksi dengan
eritrosit donor. Di samping itu harus dipastikan bahwa eritrosit donor tidak akan
menyebabkan terbentuknya anti bodi yang tidak di inginkan pada resepien. Terjadi
kesalahan penentuan sistem rhesus pada waktu pemeriksaan rutin
Rh pre tranfusi dengan mempergunakan tes serum inkomplet dalam
albumin, di mana dapat terjadi reaksi positif yang tidak spesifik. Hal ini terjadi
karena reaksi langsung dengan albumin. Akibatnya pasien akan membentuk
antibodi isoimun terhadap anti gen eritrosit, sehingga self tolerance terganggu.
Hal ini diperlihatkan pada percobaan binatang, di mana jika tikus di suntik dengan
eritrosit rat, akan ditemukan adanya auto anti bodi terhadap eritrositnya sendiri
pada tikus.
Terjadinya reaksi hiper sensitifitas pada resepien yang mendapat tranfusi
lebih dari satu kantong, di mana reaksi terjadi secara individual pada kontak kedua
dengan partikel anti gen yang sudah di kenal pada tranfusi darah sebelumnya.
Acquired AIHA dapat terjadi secara primer (idiopatik) atau sekunder terhadap
penyakit yang di derita pasien. Auto anti bodi yang terbentuk pada AIHA, yang
terjadi secara sekunder terhadap penyakit tidak dapat dibedakan baik secara
serologis maupun imunokemikal dengan auto anti bodi yang terbentuk pada AIHA
primer. Auto anti bodi bebas dapat di lihat pada serum pasien dengan tes anti
globulin indirek. Pada sebagian besar kasus auto anti bodi klas IgG tidak
beraglutinasi, karena itu di sebut inkomplet. Hasil tes yang positif berhubungan
dengan beratnya hemolisa.
19
Anemia,
retikulosis,
MCV
tinggi,
tes
Coomb
positif,
lekopenia,
2.8.
modalitas lain.
Splenektomi
Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak dapat dilakukan tapering
dosis selama 3 bulan, maka perlu dpertimbangkan splenektomi.
Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel
darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah
splenektomi, tetapi akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit yang terikat
antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan
kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi
21
Terapi lain
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama
steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan
dosis danazol diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Kombinasi
danazol dan prednisone memberikan hasil yang bagus sebagai terapi
inisisal dan memberikan respon pada 80% kasus. Efek danazol
berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evans Syndrome.
Terapi immunoglobulin intravena (400mg/kgBB/hari selama 5 hari)
menunjukkan perrbaikan pada beberapa pasien, tetapi dilaporkan terapi
ini nuga tidak efekrif pada
respon hanya 40%. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan
reponnya bersifat sementara.
Mycophenolate mofetil 500 mg/hari sampai 1000 mg/hari dilaporkan
memberikan hasi yang bagus pada AIHA refrakter.
Rituximab dan Alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan
respon yang cukup menggembirakan sebagai salbage terapi. Dosis
Rituximab 100 mg/minggu selama 4 minggu tampa memperhitungkan
22
`
Prognosis anemia hemolitik autoimun
a. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan
23
BAB III
KESIMPULAN
anemia
yang
disebabkan
oleh
penghancuran
eritrosit
oleh
24
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Robins et al, Buku Saku Dasar Patologi Penyakit, Edisi V. EGC. Jakarta,
1996.
2. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit Buku FKUI. Jakarta,
1998.
3. Isselbacher et al., Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, alih bahasa
Ahmad H Asdi. EGC. Jakarta, 2000.
4. Jay H. Steinn, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III. EGC. Jakarta,
2001
5. Kapita Selekta Kedokteran ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1996
6. Holfbrand, A.V. , Essencial Haematology ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan,
Penerbit buku Kedokteran EGC , Jakarta, 1996
7. Hillman, Robert S. Dan Ault, Kenneth A. , Hematology in Clinical Practice
a Guide to Diagnosis and Management ed3, McGraw Hill Medical
Publishing Division, USA, 2000
8. Marshall A Lichtman et al, Manual of Hematology 6th ed. Mc Graw- Hill
Medical Publishing Division. USA, 2003
26
27