You are on page 1of 30

REFERAT

MALARIA DALAM KEHAMILAN

Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik


SMF Ilmu Obsteri dan Ginekologi
RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh
Bagaskoro Gigih Prakoso
112011101047

Pembimbing
dr. Gogot Suharyanto, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


LAB/SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2015

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..........................................................................................................2


BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................4
2.1.

Definisi Malaria .....................................................................................4

2.2.

Epidemiologi .........................................................................................4

2.3.

Etiologi ...................................................................................................6

2.4.

Patofisiologi ...........................................................................................8

2.5.

Manifestasi Klinis ...............................................................................16

2.6.

Diagnosis ..............................................................................................18

2.7.

Penatalaksaan Malaria dalam Kehamilan ........................................21

2.8.

Komplikasi ...........................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................30

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Malaria dalam kehamilan merupakan masalah obstetrik, sosial dan medis yang
membutuhkan penanganan multidisipliner dan multidimensional.

Wanita hamil

merupakan kelompok usia dewasa yang paling tinggi berisiko terkena penyakit ini
dan diperkirakan 80% kematian akibat malaria di Afrika terjadi pada ibu hamil dan
anak balita. Di Afrika kematian perinatal akibat malaria diperkirakan terjadi sebanyak
1500 kasus/hari. Di daerah-daerah endemik malaria, 20-40% bayi yang dilahirkan
mengalami berat lahir rendah.
Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara-negara seluruh dunia, baik di daerah tropis maupun sub tropis, terutama di
negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit malaria disebabkan oleh parasit
protozoa dari genus plasmodium. Empat spesies yang ditemukan pada manusia
adalah Plasmodium vivax, Plasmodium. ovale, Plasmodium malariae, dan
Plasmodium falciparum. Badan kesehatan dunia (WHO) melaporkan tiga juta anak
meninggal setiap tahun karena menderita malaria. Dan tiap tahun terdapat 110 juta
penderita malaria, 280 juta orang dinyatakan sebagai carrier, dan 2/5 penduduk dunia
selalu kontak dengan malaria.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Malaria


Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari
genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan
gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa,
dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ
misalnya otak, hati, dan ginjal.
Malaria adalah penyakit protozoa yang disebarkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles.

Protozoa penyebab malaria adalah genus plasmodium yang dapat

menginfeksi manusia maupun serangga. Diduga penyakit ini berasal dari Afrika dan
menyebar mengikuti gerakan migrasi manusia melalui pantai Mediterania, India dan
Asia Tenggara.

2.2 Epidemiologi
Setiap spesies Plasmodium memiliki daerah endemik tertentu walaupun
seringkali memiliki geografi yang saling tumpang tindih. Infeksi malaria tersebar
pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika Selatan, Amerika Tengah,
Hispaniola, India, Timur Tengah, dan Oceania serta Kepulauan Caribia.
Lebih dari 1,6 triliun manusia terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas
200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1 juta pertahun. Beberapa daerah yang bebas
malaria yaitu Amerika Serikat, Kanada, negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel,
Singapura, Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea, Brunei dan Australia. Negara tersebut
terhindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik. Walaupun demikian, di
negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang dibawa oleh pendatang
dari negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah malaria.

Gambar 2.1 Peta Penyebaran Infeksi Malaria

Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae umumnya dijumpai pada


semua negara dengan malaria. Di Afrika, Haiti, dan Papua Nugini umumnya
disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Adapun Plasmodium vivax banyak
ditemukan di Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tenggara, Oceania, dan India
umumnya disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.
Plasmodium ovale biasanya hanya dapat ditemukan di Afrika.
Di Indonesia, kawasan Kalimantan, Sulawesi Tengah-Utara, Maluku, Irian
Jaya, Lombok, dan Nusa Tenggara Timur merupakan daerah endemis malaria dengan
Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai
dari Lampung, Riau, Jambi, dan Batam juga mulai ditemukan peningkatan kasus
malaria.

2.3 Etiologi
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium
yang masuk ke dalam tubuh manusia, ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina.

Gambar 2.2 Plasmodium spp

Empat spesies Plasmodium penyebab malaria pada manusia adalah:


a. Plasmodium vivax
Spesies ini cenderung menginfeksi sel-sel darah merah yang muda (retikulosit),
Dengan demikian menyebabkan tingkat parasitemia yang lebih rendah. Kira-kira 43%
dari kasus malaria di seluruh dunia disebabkan oleh Plasmodium vivax. Dari semua
pasien yang terinfeksi P. vivax, 50% gejala berulang dalam beberapa minggu sampai
5 tahun setelah gejala awal. Ruptur splen mungkin berhubungan dengan infeksi
sekunder P. vivax, yakni splenomegali yang merupakan hasil sekuestrasi sel darah
merah.
b. Plasmodium malariae
Mempunyai kecenderungan untuk menginfeksi sel-sel darah merah yang tua.
Seseorang yang terinfeksi jenis Plasmodium ini biasanya tetap asimptomatik untuk

jangka waktu yang jauh lebih lama dibandingkan orang yang terinfeksi P. vivax dan
P. ovale. Kekambuhan biasanya terjadi pada penderita P. malariae dan berhubungan
dengan sindrom nefrotik yang mungkin akibat dari pengendapan kompleks antigenantibodi di glomerulus.
c. Plasmodium ovale
Predileksinya dalam sel-sel darah merah mirip dengan Plasmodium vivax
(menginfeksi sel-sel darah muda) walaupun gejalanya lebih ringan karena
parasitemianya lebih ringan. P. ovale sering sembuh tanpa pengobatan. Ada juga
seorang penderita terinfeksi lebih dari satu spesies Plasmodium secara bersamaan.
d. Plasmodium falciparum
Sering menjadi malaria cerebral dengan angka kematian yang tinggi.
Merozoitnya menginfeksi sel darah merah dari segala usia (baik muda maupun tua)
sehingga menyebabkan tingkat parasitemia jauh lebih tinggi dan cepat (> 5% sel
darah merah terinfeksi). Spesies ini menjadi penyebab 50% malaria di seluruh dunia.
Sekuestrasi merupakan sifat khusus dari P. falciparum. Selama berkembang dalam 48
jam, parasit terebut melakukan proses adhesi yang menyebabkan sekuestrasi parasit
pada pembuluh darah kecil. Karena hal tersebut, hanya bentuk awal yang dapat
dilihat pada darah tepi sebelum sekuestrasi berlangsung, hal ini merupakan petunjuk
diagnostik penting seorang pasien terinfeksi P. falciparum. Sekuestrasi parasit dapat
menyebabkan perubahan status mental dan bahkan koma. Selain itu, sitokin dan
parasitemia berkontribusi pada organ target. Gangguan pada organ target dapat
berlangsung sangat cepat dan secara khusus melibatkan sistem saraf pusat, paru-paru,
dan ginjal.
Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina.
Terdapat lebih dari 400 spesies Anopheles di dunia, dan hanya sekitar 67 spesies yang
terbukti mengandung sporozoit dan dapat menularkan ke manusia. Di setiap daerah
dimana terjadi transmisi malaria biasanya hanya ada satu atau paling banyak 3 spesies
Anopheles yang menjadi vektor penting. Di Indonesia telah ditemukan 24 spesies
nyamuk Anopheles.

Gambar 2.3 Anopheles betina

Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Plasmodium


falciparum dan Plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan Plasmodium
malariae hanya ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Plasmodium ovale
ditemukan di Papua. Morfologi spesies Plasmodium dapat dibedakan dari
pemeriksaan apusan darah. P. falciparum dibedakan dari jenis Plasmodium lainnya
oleh tingkat parasitemia dan bentuk gametosit yang menyerupai pisang.

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi malaria dalam kehamilan sangat dipengaruhi oleh perubahan
sistem imunologis oleh adanya organ baru yaitu plasenta. Terjadi penurunan sistem
imunitas didapat yang dramatis selama kehamilan, terutama pada nulipara (efek
imunitas antimalaria ditransfer kepada janin).
Terdapat sejumlah hipotesa
kehamilan, yaitu:

yang menjelaskan patofisiologi malaria dalam

a. Hipotesis l
Hilangnya kekebalan antimalaria secara konsisten berhubungan dengan
terjadinya

imunosupresi

selama

kehamilan,

misalnya

penurunan

respon

limfoproliferatif dan peningkatan level kortisol serum. Hal ini dikondisikan untuk
mencegah penolakan terhadap janin. Akan tetapi, kejadian ini tidak menurunkan
reaksi imunologis pada ibu multigravida yang pernah menderita malaria.
b. Hipotesis 2
Apakah yang hilang adalah cell mediated immunity saja, atau transfer antibodi
mediated immunity secara pasif juga terganggu sehingga ibu hamil mudah terkena
malaria.
c. Hipotesis 3
Plasenta adalah organ yang baru bagi seorang primigravida sehingga
memungkinan adanya imunitas host yang langsung menerobos atau adanya zat
tertentu pada plasenta yang memudahkan P. falciparum untuk memperbanyak diri.

2.4.1 Siklus Hidup Aseksual Plasmodium


Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina masuk ke
dalam darah manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Dalam waktu tiga puluh
menit, parasit tersebut memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai stadium
eksoeritrositik dari daur hidupnya. Di dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon
dan berkembang menjadi merozoit (10.000-30.000 merozoit, tergantung spesiesnya).
Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas,
sebagian di fagosit. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka
disebut stadium preeritrositik atau eksoeritrositik yang berlangsung selama 2 minggu.
Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang
menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit.
Hipnozoit dapat tinggal didalam hati sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila

10

imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps
(kekambuhan).
Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel-sel darah merah. Parasit
tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang membesar, bentuk
tidak teratur dan mulai membentuk tropozoit, tropozoit berkembang menjadi skizon
muda, kemudian berkembang menjadi skizon matang dan membelah banyak menjadi
merozoit. Dengan selesainya pembelahan tersebut sel darah merah pecah yang
menyebabkan penderita demam. Selanjutnya merozoit, pigmen dan sisa sel keluar
dan memasuki plasma darah. Parasit memasuki sel darah merah lainnya untuk
mengulangi siklus skizogoni. Beberapa merozoit memasuki eritrosit dan membentuk
skizon dan lainnya membentuk gametosit yaitu bentuk seksual (gametosit jantan dan
betina) setelah melalui 2-3 siklus skizogoni darah.

2.4.2 Siklus Hidup Seksual Plasmodium


Siklus aseksual terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk anopheles betina
menghisap darah yang mengandung gametosit. Gametosit yang bersama darah tidak
dicerna. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi menjadi 6-8 inti yang bergerak
ke pinggir parasit. Dipinggir ini beberapa filamen dibentuk seperti cambuk dan
bergerak aktif disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet
kedalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing
pendek disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membran basal
dinding lambung. Ditempat ini ookinet membesar dan disebut ookista. Didalam
ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar liur
nyamuk dan bila nyamuk menggigit/menusuk manusia maka sporozoit masuk
kedalam darah dan mulailah siklus preeritrositik.

11

Gambar 2.4 Siklus seksual Plasmodium

P. falciparum dapat menyebabkan malaria serebral, edem paru, anemia dan


gangguan ginjal. Hal tersebut akibat kemampuan menginfeksinya yang hebat dengan
melekat dan bertahan pada dinding sel endotel dan menyebabkan obstruksi vaskular.
Ketika sel darah merah terinfeksi P. falciparum, organisme tersebut menghasilkan
protein yang berikatan dengan sel endotelial. Hal tersebut menyebabkan sel darah
merah menyumbat pembuluh darah di berbagai bagian tubuh menyebabkan kerusakan
mikrovaskuler dan memperberat kerusakan yang ditimbulkan parasit.

12

Gambar 2.5 Siklus hidup Plasmodium

2.4.3 Respon Imun Terhadap Infeksi Malaria


Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler oleh limfosit T dan imunitas
humoral oleh limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD4+)
dan sitotoksik (CD8+), sedangkan berdasarkan sitokin yang dihasilkannya dibedakan
menjadi subset Th-1 (menghasilkan IFN dan TNF) dan subset Th-2 (menghasilkan
IL-4, IL-5, IL-6, IL10). Sitokin tersebut berperan mengaktifkan imunitas humoral.
CD4+ berfungsi sebagai regulator membantu produksi antibodi dan aktivasi fagosit
lain sedangkan CD8+ berperan sebagai efektor langsung untuk fagositosis parasit dan
menghambat perkembangan parasit dengan menghasilkan IFN.
Epitop-epitop antigen parasit akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang
berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini CD4+.

13

Selanjutnya sel T akan berdiferensiasi menjadi sel Th-1 dan Th-2. Sel Th-2 akan
menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig oleh limfosit B. Ig
tersebut

juga

meningkatkan

kemampuan

fagositosis

makrofag.

Sel

Th-1

menghasilkan IFN dan TNF yang mengaktifkan komponen imunitas seluler seperti
makrofag dan monosit serta sel NK.

2.4.4 Malaria Dalam Kehamilan


Di daerah endemik malaria, wanita hamil lebih mudah terinfeksi parasit malaria
dibandingkan wanita tidak hamil. Kemudahan infeksi itu terjadi karena kekebalan
yang menurun selama kehamilan, akibatnya dapat terjadi peningkatan prevalensi
densitas parasit malaria berat. Laporan dari berbagai negara menunjukan insidens
malaria pada wanita hamil umumnya cukup tinggi, dari El vador 55,75% yaitu 63
kasus dari 113 wanita hamil; dari berbagai tempat bervariasi antara 2-76%. Adapun
kematian ibu hamil akibat malaria di benua Afrika mencapai puluhan ribu tiap
tahunnnya, 8-14 % ibu hamil melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah, selain
itu 3-8% mengalami kematian janin dalam rahim.
Di Indonesia sendiri, angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi terutama
di daerah Indonesia Timur. Di daerah endemis malaria masih sering terjadi letusan
kejadian luar biasa (KLB) malaria. Di daerah Timika, 20% ibu hamil yang
melahirkan positif malaria. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001, 70 juta penduduk tinggal di daerah endemik malaria dan 56,3 juta
penduduk diantaranya tinggal pada daerah endemik malaria sedang sampai tinggi
dengan 15 juta kasus malaria klinis dan 43 ribu di antaranya meninggal. Dari datadata yang lain, jumlah penderita malaria cenderung mengalami kenaikan
pertahunnya. Tahun 2006, wabah malaria dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa
(KLB) di 7 provinsi, 7 kabupaten, 7 kecamatan, dan 10 desa dengan jumlah penderita
mencapai 1.107 orang, 23 di antaranya meninggal. Tahun berikutnya (2007) KLB
terjadi di 8 provinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan, dan 30 desa, dengan jumlah

14

penderita mencapai 1.256 orang dan mengakibatkan 74 penderitanya meninggal


dunia.
Penyakit malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi.
Perubahan fisiologis pada kehamilan dan perubahan patologis akibat malaria
mempunyai efek sinergis pada kondisi masing-masing, sehingga semakin menambah
masalah baik bagi ibu hamil, janin maupun dokter yang menanganinya. Malaria pada
kehamilan dapat disebabkan oleh keempat spesies Plasmodium, tetapi Plasmodium
falciparum merupakan parasit yang dominan dan mempunyai dampak paling berat
terhadap morbiditas dan mortalitas ibu dan janinnya.

Pengaruh malaria selama

kehamilan membahayakan hasil kehamilan yang melibatkan ibu dan janin. Gejala dan
komplikasi malaria selama kehamilan berbeda-beda tergantung pada intensitas dan
berhubungan langsung dengan tingkat imunitas ibu hamil.
a. Pengaruh pada Ibu
Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan tergantung pada
tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit malaria dan paritas dimana
gejala malaria akan lebih berat pada primigravida dan menurun seiring jumlah paritas
karena kekebalan pada ibu telah dibentuk dan meningkat.
Perempuan dewasa yang belum pernah terkena parasit dalam jumlah banyak
(tinggal di daerah epidemik atau transmisi malaria rendah), seringkali menjadi sakit
bila terinfeksi oleh parasit pertama kali. Ibu hamil yang tinggal di daerah dengan
transmisi rendah mempunyai resiko 2 sampai 3 kali lipat untuk menjadi sakit yang
berat dibandingkan dengan perempuan dewasa tanpa kehamilan. Kematian ibu hamil
biasanya diakibatkan oleh penyakit malarianya sendiri atau akibat langsung anemia
yang berat. Masalah yang biasa timbul pada kehamilannnya adalah meningkatnya
kejadian berat bayi lahir rendah, prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, infeksi
malaria dan kematian janin.
Pada daerah dengan transmisi malaria sedang sampai tinggi, kebanyakan ibu
hamil telah mempunyai kekebalan yang cukup karena telah sering mengalami infeksi.
Gejala biasanya tidak khas untuk penyakit malaria. Yang paling sering adalah berupa

15

anemia berat dan ditemukan parasit dalam plasentanya. Janin biasanya mengalami
gangguan pertumbuhan dan selain itu menimbulkan gangguan pada daya tahan
neonatus.
b. Pengaruh pada Janin
Seorang ibu yang terinfeksi parasit malaria, parasit tersebut akan mengikuti
peredaran darah sehingga akan ditemukan pada plasenta bagian maternal. Bila terjadi
kerusakan pada plasenta, barulah parasit malaria dapat menembus plasenta dan masuk
ke sirkulasi darah janin sehingga terjadi malaria kongenital. Beberapa peneliti
menduga hal ini terjadi karena adanya kerusakan mekanik, kerusakan patologi oleh
parasit, fragilitas dan permeabilitas plasenta yang meningkat akibat demam akut dan
akibat infeksi kronis.
Kekebalan ibu berperan menghambat transmisi parasit ke janin. Oleh sebab itu
pada ibu-ibu yang tidak kebal atau dengan kekebalan rendah terjadi transmisi malaria
intra-uretrin ke janin walaupun mekanisme transplasental dari parasit ini masih belum
diketahui.
Abortus, kematian janin, bayi lahir mati dan prematuritas dilaporkan terjadi
pada malaria berat dan resiko ini meningkat sampai tujuh kali, walaupun apa yang
menyebabkan terjadinya kelainan tersebut diatas juga masih belum diketahui. Malaria
maternal dapat menyebabkan kematian janin karena terganggunya transfer makanan
secara transplasental, demam yang tinggi (hiperpireksia) atau hipoksia karena anemia.
Kemungkinan lain adalah Tumor Necrosis Factor (TNF) yang dikeluarkan oleh
makrofag bila di aktivasi oleh antigen merupakan salah satu faktor yang dapat
menimbulkan berbagai kelainan pada malaria, antara lain demam, kematian janin dan
abortus.
Umumnya infeksi pada plasenta lebih berat daripada darah tepi. Kortmann
(1972) melaporkan bahwa plasenta dapat mengandung banyak eritrosit yang
terinfeksi (sampai 65%), meskipun pada darah tepi tidak ditemukan parasit. Hal ini
mungkin terjadi karena plasenta merupakan tempat parasit berkembang biak, seperti
pada kapiler alat dalam lainnya.

16

Pada semua daerah, malaria maternal dapat dihubungkan dengan berkurangnya


berat badan lahir, terutama pada kelahiran anak pertama. Hal ini mungkin akibat
gangguan pertumbuhan intra-uretrin, persalinan prematur atau keduanya akibat
berkurangnya transfer makanan dan oksigen dari ibu ke janin. Namun patofisiologi
pertumbuhan lambat intra-uretrin pada malaria adalah multifaktor.
Insidens malaria plasenta dipengaruhi oleh paritas ibu yaitu lebih tinggi pada
primipara (persalinan pertama) dan makin rendah sesuai dengan peningkatan paritas
ibu. Demikain pula berat badan lahir dipengaruhi oleh paritas ibu, ini dapat
diterangkan bahwa pada multigravida kekebalan pada ibu telah dibentuk dan
meningkat.

2.4.5 Imunitas Wanita Hamil Yang Terinfeksi Malaria


Konsentrasi eritrosit yang terinfeksi parasit banyak ditemukan di plasenta
sehingga diduga respon imun terhadap parasit di bagian tersebut mengalami supresi.
Hal tersebut berhubungan dengan supresi sistem imun baik humoral maupun seluler
selama kehamilan sehubungan dengan keberadaan fetus sebagai "benda asing" di
dalam tubuh ibu. Supresi sistem imun selama kehamilan berhubungan dengan
keadaan hormonal. Konsentrasi hormon progesteron yang meningkat selama
kehamilan berefek menghambat aktifasi limfosit T terhadap stimulasi antigen. Selain
itu efek imunosupresi kortisol juga berperan dalam menghambat respon imun.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala utama infeksi malaria adalah demam yang diduga berhubungan dengan
proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin dan atau
toksin lainnya. Pada daerah hiperendemik sering ditemukan penderita dengan
parasitemia tanpa gejala demam. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam
periodik, anemi dan splenomegali. Sering terdapat gejala prodromal seperti malaise,

17

sakit kepala, nyeri pada tulang/otot, anoreksi dan diare ringan. Namun sebenarnya
efek klinik malaria pada ibu hamil lebih tergantung pada tingkat kekebalan ibu hamil
terhadap penyakit itu sedangkan kekebalan terhadap malaria lebih banyak ditentukan
dari tingkat transmisi malaria tempat wanita hamil tinggal/berasal, yang dibagi
menjadi 2 golongan besar :
a. Stable transmission/transmisi stabil, atau endemik
Orang-orang di daerah ini (contoh: Afrika Sub-Sahara) terus-menerus terpapar
malaria karena sering menerima gigitan nyamuk infektif setiap bulannya. Kekebalan
terhadap malaria terbentuk secara signifikan.
b. Unstable transmission/transmisi tidak stabil, epidemik atau non-endemik
Orang-orang di daerah ini (contoh: Asia Tenggara dan Amerika Selatan) jarang
terpapar malaria dan hanya menerima rata-rata < 1 gigitan nyamuk infektif/tahun.
Wanita hamil (semi-imun) di daerah transmisi stabil/endemik tinggi akan
mengalami peningkatan parasite rate (pada primigravida di Afrika parasite rate pada
wanita hamil meningkat 3040% dibandingkan wanita tidak hamil), peningkatan
kepadatan (densitas) parasitemi perifer, serta menyebabkan efek klinis lebih sedikit,
kecuali efek anemi maternal sebagai komplikasi utama yang sering terjadi pada
primigravida. Anemia tersebut dapat memburuk sehingga menyebabkan akibat serius
bagi ibu dan janin.
Sebaliknya di daerah tidak stabil/non-endemik/endemik rendah yang sebagian
besar populasinya merupakan orang-orang non-imun terhadap malaria, kehamilan
akan meningkatkan risiko penyakit maternal berat, kematian janin, kelahiran
prematur dan kematian perinatal. Ibu hamil yang menderita malaria berat di daerah
ini memiliki risiko fatal lebih dari 10 kali dibandingkan ibu tidak hamil yang
menderita malaria berat di daerah yang sama.

18

2.6 Diagnosis
Gambaran klinik malaria pada wanita non-imun (di daerah non-endemik)
bervariasi dari Malaria ringan tanpa komplikasi (uncomplicated malaria) dengan
demam tinggi, sampai Malaria berat (complicated malaria) dengan risiko tinggi pada
ibu dan janin (maternal mortality rate 20-50 % dan sering fatal bagi janin).
Sedangkan gambaran klinik malaria pada wanita di daerah endemik sering tidak jelas,
mereka biasanya memiliki kekebalan yang semi-imun, sehingga tidak menimbulkan
gejala, misal demam dan tidak dapat didiagnosis klinik.

2.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


a. Malaria klinis ringan/tanpa komplikasi
1) Anamnesis
Harus dicurigai malaria pada seseorang yang berasal dari daerah endemis
malaria dengan demam akut dalam segala bentuk, dengan/tanpa gejala-gejala lain.
Selain itu harus dicari adanya riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria dalam 2
minggu terakhir, riwayat tinggal di daerah malaria, maupun riwayat pernah mendapat
pengobatan malaria.
2) Pemeriksaan fisik
a) Suhu > 37,5oC
b) Dapat ditemukan pembesaran limpa
c) Dapat ditemukan anemi
d) Gejala klasik malaria khas terdiri dari 3 stadium yang berurutan, yaitu
menggigil (15-60 menit), demam (2-6 jam), berkeringat (2-4 jam).
Di daerah endemis malaria, pada penderita yang telah mempunyai imunitas
terhadap malaria, gejala klasik di atas tidak timbul berurutan, bahkan tidak semua
gejala tersebut dapat ditemukan. Selain gejala klasik di atas, dapat juga disertai gejala
lain/gejala khas setempat, seperti lemas, sakit kepala, mialgia, sakit perut,
mual/muntah, dan diare.

19

b. Malaria klinis berat/dengan komplikasi


Malaria berat/severe malaria/complicated malaria adalah bentuk malaria
falsiparum serius dan berbahaya, yang memerlukan penanganan segera dan intensif.
Oleh karena itu, pengenalan tanda-tanda dan gejala-gejala malaria berat sangat
penting bagi unit pelayanan kesehatan untuk menurunkan mortalitas malaria.
Beberapa penyakit penting yang mirip dengan malaria berat adalah meningitis,
ensefalitis, septikemi, demam tifoid, infeksi viral, dll. Hal ini menyebabkan
pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan untuk menambah kekuatan diagnosis.
WHO mendefinisikan Malaria berat sebagai ditemukannya P. falciparum bentuk
aseksual dengan satu atau beberapa komplikasi/manifestasi klinik berat, yaitu:
1) Gangguan kesadaran sampai koma (malaria serebral)
2) Anemi berat (Hb < 5 g%, Ht < 15 %)
3) Hipoglikemi (kadar gula darah < 40 mg%)
4) Udem paru/ARDS
5) Jaundice (bilirubin > 3 mg%)
6) Kejang umum berulang ( > 3 kali/24 jam)
7) Asidosis metabolik
8) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam-basa.
9) Perdarahan abnormal dan gangguan pembekuan darah.
10) Hemoglobinuri
11) Kelemahan yang sangat (severe prostration)
12) Hiperparasitemi
13) Hiperpireksi (suhu > 40oC)
Malaria

falciparum

tanpa

komplikasi

(uncomplicated)

dapat

menjadi

berat(complicated) jika tidak diobati secara dini dan semestinya. Semua wanita hamil
yang menderita malaria harus diskrining HIV sebagai koinfeksi malaria dan karena
HIV meningkatkan kematian bayi secara signifikan.

20

2.6.2 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan mikroskopik masih merupakan yang terpenting pada penyakit
malaria karena selain dapat mengidentifikasi adanya parasit, juga dapat
mengidentifikasi jenis Plasmodium secara tepat sekaligus juga dapat menghitung
jumlah parasit sehingga derajat parasitemi dapat diketahui. Pada umumnya apusan
darah tepi dan tebal harus dilakukan. Jika apusan darah awal negatif, spesimen baru
harus diperiksa dalam interval 6 jam. Diantara pasien malaria, 5-7% terinfeksi lebih
dari satu spesies Plasmodium.
Pemeriksaan dengan mikroskop:
a) Pewarnaan Giemsa pada sediaan apusan darah untuk melihat parasit
b) Pewarnaan Acridin Orange untuk melihat eritrosit yang terinfeksi
c) Pemeriksaan Fluoresensi Quantitative Buffy Coat (QBC)
Pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis dipuskesmas/lapangan/rumah sakit
digunakan untuk menentukan nilai ambang parasit dan mengetahui kepadatan parasit
(terutama penderita rawat inap) pada sediaan darah. Identifikasi pemeriksaan ini
sangat bergantung pada pengalaman ahli mikroskopi yang mengetahui morfologi
parasit.

Gambar 2.6 Merozoit pada darah tepi: beberapa merozoit telah berpenetrasi ke membran
eritrosit dan memasuki sel

21

Gambar 2.7 Bentuk trofozoit (kiri) dan skizon matur dalam eritrosit (kanan)

Metode diagnostik yang lain adalah:


a) Deteksi antigen HRP II dari parasit dengan metode Dipstick test
b) Tes radio immunologik (RIA)
c) Tes immuno enzimatik (ELISA)
Para wanita hamil yang tinggal di daerah yang banyak terdapat malaria berada
dalam risiko tinggi dan risiko tersebut bahkan semakin besar dalam dua bulan setelah
mereka melahirkan. Di masa lalu, kita sering menduga bahwa peningkatan kepekaan
terhadap malaria pada para wanita hamil akan berakhir seiring dengan terjadinya
kelahiran. Ternyata dibandingkan dengan setahun sebelum mereka hamil, para wanita
memiliki kemungkinan sekitar 4 kali lebih besar untuk terjangkit malaria dalam 60
hari setelah melahirkan.

2.7 Penatalaksanaan Malaria dalam Kehamilan


Ada 3 aspek yang sama pentingnya untuk menangani malaria dalam kehamilan,
yaitu:
a. Pengobatan malaria
b. Penanganan komplikasi
c. Penanganan proses persalinan

22

2.7.1 Pengobatan Malaria


Pengobatan malaria dalam kehamilan harus energetik, antisipatif dan seksama:
a. Energetik
Tidak membuang-buang waktu, lebih baik memperlakukan semua kasus
sebagai kasus malaria falciparum, dan memeriksa tingkat keparahan penyakit dengan
melihat keadaan umum, pucat, ikterus, tekanan darah, suhu, hemoglobin, hitung
parasit, SGPT, bilirubin dan kreatinin serum serta glukosa darah.
b. Antisipatif
Malaria dalam kehamilan dapat tiba-tiba memburuk dan menunjukkan
komplikasi yang dramatik. Oleh karena itu harus dilakukan monitoring ketat serta
me nilai kemungkinan timbulnya komplikasi pada setiap pemeriksaan/visite rutin.
c. Seksama
Perubahan fisiologis dalam kehamilan menimbulkan masalah yang khusus
dalam penanganan malaria. Selain itu, sejumlah obat anti malaria merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan atau dapat menimbulkan efek samping yang berat.
Semua faktor tersebut harus selalu dipertimbangkan saat memberikan terapi pada
pasien-pasien malaria dengan kehamilan, sebagai berikut:
1) Pilih obat yang sesuai dengan tingkat keparahan penyakit dan pola sensitivitas di
daerah tersebut (terapi empiris)
2) Hindari obat yang menjadi kontra indikasi
3) Hindari kelebihan/kekurangan dosis obat
4) Hindari pemberian cairan yang berlebihan/kurang.
5) Pertahankan asupan kalori yang adekuat.
Antimalaria yang dapat digunakan dalam kehamilan, yaitu:
a. Semua trimester

: Quinine: Artesunate/artemether/arteether

b. Trimester dua

: Mefloquine; pyrimethamine/sulfadoxine

c. Trimester tiga

: Sama dengan trimester 2

d. Kontraindikasi

: Primaquine; tetracycline; doxycycline; dan halofantrine

23

2.7.2 Penanganan Komplikasi


a. Edema paru akut
Pemberian cairan yang dimonitor dengan ketat; tidur dengan posisi setengah
duduk, pemberian oksigen, diuretik dan pemasangan ventilator bila diperlukan.
b. Hipoglikemia
Dekstrosa 25-50%, 50-100 cc i.v., dilanjutkan infus dekstrosa 10%.

Bila

sebabnya adalah kelebihan cairan, dapat diberikan glukagon 0,5-l mg intramuskuler.


Glukosa darah harus dimonitor setiap 4-6 jam untuk mencegah rekurensi
hipoglikemia.
c. Anemia
Harus di berikan transfusi bila kadar hemoglobin <5 g%.
d. Gagal Ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi pre prenal karena dehidrasi yang tidak terdeteksi atau
renal karena parasitemia berat. Penanganannya meliputi pemberian cairan yang
seksama, diuretik dan dialisa bila diperlukan.
e. Syok septikemia
Infeksi bakterial sekunder seperti infeksi saluran kemih, pneumonia dll, sering
menyertai kehamilan dengan malaria. Sebagian dari pasien-pasien tersebut dapat
mengalami syok septikemia, yang disebut algid malaria. Penanganannya adalah
dengan pemberian cephalosporin generasi ketiga, pemberian cairan, monitoring
tanda-tanda vital dan intake-output.
f. Transfusi ganti
Transfusi ganti diindikasikan pada kasus malaria falciparum berat untuk
menurunkan jumlah parasit. Darah pasien dikeluarkan dan diganti dengan packed sel.
Tindakan ini terutama bermanfaat pada kasus parasitemia yang sangat berat
(membantu membersihkan) dan impending odema paru (membantu menurunkan
jumlah cairan).

24

2.7.3 Penanganan Proses Persalinan


Anemia, hipoglikemia, edema paru dan infeksi sekunder akibat malaria pada
kehamilan aterm dapat menimbulkan masalah baik bagi ibu maupun janin. Malaria
falciparum berat pada kehamilan aterm menimbulkan risiko mortalitas yang tinggi.
Distres maternal dan fetal dapat terjadi tanpa terdeteksi. Oleh karena itu perlu
dilakukan monitoring yang baik, bahkan untuk wanita hamil dengan malaria beat
sebaiknya dirawat di unit perawatan intensif.
Malaria falciparum merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan persalinan
prematur. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya berhubungan dengan
tingginya demam. Gawat janin sering terjadi dan seringkali tidak terdeteksi. Oleh
karena itu perlu dilakukan monitoring terhadap kontraksi uterus dan denyut jantung
janin untuk menilai adanya

ancaman persalinan prematur dan takikardia, serta

bradikardia atau deselerasi lambat pada janin yang berhubungan dengan kontraksi
uterus karena hal ini menunjukkan adanya gawat janin. Harus diupayakan segala cara
untuk menurunkan suhu tubuh dengan cepat, baik dengan kompres dingin, pemberian
antipiretika seperti parasetamol.
Pemberian cairan dengan seksama juga merjupakan hal penting.

Hal ini

disebabkan baik dehidrasi maupun overhidrasi harus dicegah karena kedua keadaan
tadi dapat membahayakan baik bagi ibu maupun janin. Pada kasus parasitemia berat,
harus dipertimbangkan tindakan transfusi ganti.
Bila diperlukan, dapat dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan.
Kala II harus dipercepat dengan persalinan buatan bila terdapat indikasi pada ibu atau
janin. Seksio sesarea ditentukan berdasarkan indikasi obstetrik.

2.7.4 Penanganan Malaria Vivax dalam Kehamilan


Penggunaan

primaquine

dalam

kehamilan

merupakan

kontraindikasi.

Pemberian primaquine dalam masa laktasi juga merupakan kontraindikasi. Oleh


karena itu untuk mencegah reaktivasi malaria vivax dari reaktivasi hipnozoit di hepar,

25

harus diberikan kemoprofilaksis dengan memakai klorokuin. Diberikan klorokuin


500 mg per minggu hingga masa laktasi selesai. Selanjutnya dapat diberikan dosis
terapeutik klorokuin dan primaquine.

2.7.5 Kemoprofilaksis dalam Kehamilan


Malaria dapat menimbulkan masalah yang fatal bagi ibu hamil dan janinnya,
oleh karena itu setiap ibu hamil yang tinggal di daerah endemis malaria selama masa
kehamilannya harus dilindungi dengan kemoprofilaksis terhadap malaria. Hal ini
merupakan bagian penting dari perawatan antenatal di daerah yang tinggi penyebaran
malarianya.
Pilihan antimalaria untuk kemoprofilaksis dalam kehamilan adalah klorokuin
karena obat ini paling aman untuk dipergunakan selama hamil. Klorokuin 500 mg
harus diberikan satu kali setiap minggu. Namun, pemberian klorokuin saat ini
dibatasi karena risiko timbulnya resistensi obat. Di daerah yang diketahui telah
resisten terhadap klorokuin dapat digunakan pirimetamin/sulfadoksin atau meflokuin.
Akan tetapi obat-obat alternatif tersebut baru dapat diberikan pada trimester kedua.
Dosis meflokuin mungkin perlu ditingkatkan pada trimester ketiga karena
peningkatan klirens obat pada saat ini.

2.8 Komplikasi
a. Anemia
Menurut definisi WHO, anemia dalam kehamilan adalah bila kadar hemoglobin
(Hb) < 11 g/dL. Gregor (1984) mendapatkan data bahwa penurunan kadar Hb dalam
darah hubungannya dengan parasetimia, terbesar terjadi pada primigravida dan
berkurang sesuai dengan peningkatan paritas. Malaria dapat menyebabkan atau
memperburuk anemia. Hal ini disebabkan:
1) Hemolisis eritrosit yang terinfeksi parasit

26

2) Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil


3) Penekanan hematopoeisis
4) Peningkatan klirens sel darah merah oleh limpa
5) Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat yang mampu
memperberat anemia.
Anemia yang disebabkan oleh malaria lebih sering dan lebih berat antara usia
kehamilan 16-29 minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya dapat
memperberat anemia ini. Brabin (1990) menyatakan bahwa makin besar ukuran limpa
makin rendah nilai Hb-nya, dan anemia yang terjadi pada trimester I kehamilan
sangat menentukan apakah wanita tersebut akan melahirkan bayi dengan berat badan
rendah atau tidak karena kecepatan pertumbuhan maksimal janin terjadi sebelum
minggu ke 20 usia kehamilan. Seiring dengan berlangsungnya infeksi, parasit tersebut
dapat menyebabkan trombositopenia. Laporan WHO menyatakan bahwa anemia
berpengaruh terhadap morbiditas ibu hamil dan secara tidak langsung

dapat

menyebabkan kematian ibu dengan meningkatnya angka kematian kasus yang


disebabkan oleh pendarahan setelah persalinan.
Anemia meningkatkan kematian perinatal dan morbiditas serta mortalitas
maternal.

Kelainan ini meningkatkan risiko edema paru dan perdarahan pasca

persalinan secara tidak langsung akibat perubahan hemodinamik. Transfusi yang


terlalu cepat, khususnya whole blood dapat menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler dan edema paru berat.
b. Hipoglikemia
Mekanisme terjadinya hipoglikemi sangat kompleks dan belum diketahui
secara pasti. Komplikasi hipoglikemia lebih sering ditemukan pada wanita hamil
daripada yang tidak hamil. Diduga pada wanita hamil terjadi perubahan metabolisme
karbohidrat yang cenderung menyebabkan terjadinya hipoglikemia, terutama
trimester akhir kehamilan. Selain itu, parasit memperoleh energinya hanya dari
glukosa dan organisme tersebut memetabolisme 7075 kali lebih cepat sehingga
menyebabkan hipoglikemia dan asidosis laktat serta pada wanita hamil terjadi

27

peningkatan fungsi sel B pankreas terhadap stimulus sekresi (misalnya guinine)


sehingga pembentukan insulin bertambah.
Hipoglikemia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat tetap asimtomatik dan
dapat luput terdeteksi karena gejala-gejala hipoglikemia juga menyerupai gejala
infeksi malaria, yaitu: takikardia, berkeringat, menggigil dll. Akan tetapi sebagian
pasien dapat menunjukkan tingkah laku yang abnormal, kejang, penurunan
kesadaran, pingsan, bahkan sampai koma yang hampir menyerupai gejala malaria
serebral. Bila sebelumnya penderita sudah dalam keadaan koma karena malaria
serebral maka komanya akan lebih dalam lagi. Penderita ini bila diinjeksikan glukosa
atau diinfus dengan dekstrosa maka kesadarannya akan pulih kembali, tetapi karena
hiperinsulinemi, keadaan hipoglikemi dapat kambuh dalam beberapa hari. Oleh
karena itu semua wanita hamil yang terinfeksi malaria falciparum, khususnya yang
mendapat terapi quinine harus dimonitor kadar gula darahnya setiap 4-6 jam sekali
dan sebaiknya monitor kadar gula darah harus konstan dilakukan.
Kadang-kadang hipoglikemia dapat berhubungan dengan laktat asidosis dan
pada keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat meningkat. Hipoglikemia
maternal juga dapat menyebabkan gawat janin tanpa ada tanda-tanda yang spesifik.
c. Edema paru akut
Mekanisme terjadinya edema paru masih belum diketahui secara pasti,
kemungkinan terjadi karena autotransfusi darah post-partum yang penuh dengan sel
darah merah yang terinsfeksi. Keadaan edema paru akut bisa ditemukan saat pasien
datang atau baru terjadi setelah beberapa hari dalam perawatan. Kejadiannya lebih
sering pada trimester 2 dan 3 dan setelah persalinan.
Edema paru akut bertambah berat karena adanya anemia sebelumnya dan
adanya perubahan hemodinamik dalam kehamilan. Kelainan ini sangat meningkatkan
risiko mortalitas. Gejalanya mula-mula frekuensi pernafasan meningkat, kemudian
terjadi dispneu dan penderita dapat meninggal dalam waktu beberapa jam.

28

d. Imunosupresi
Imunosupresi dalam kehamilan menyebabkan infeksi malaria yang terjadi
menjadi lebih sering dan lebih berat. Lebih buruk lagi, infeksi malaria sendiri dapat
menekan respon imun. Perubahan hormonal selama kehamilan menurunkan sintesis
imunoglobulin.Penurunan

fungsi

sistem

retikuloendotelial

adalah

penyebab

imunosupresi dalam kehamilan. Hal ini menyebabkan hilangnya imunitas didapat


terhadap malaria sehingga ibu hamil lebih rentan terinfeksi malaria. Infeksi malaria
yang diderita lebih berat dengan parasitemia yang tinggi. Pasien juga lebih sering
mengalami demam paroksismal dan relaps. Infeksi sekunder (infeksi saluran kencing
dan pneumonia) dan pneumonia algid (syok septikemia) juga lebih sering terjadi
dalam kehamilan karena imunosupresi ini.
e. Gagal Ginjal
Hemoglobinuri (blackwater fever) merupakan kondisi urin yang berwarna gelap
akibat hemolisis sel darah merah dan parasitemia yang hebat dan sering merupakan
tanda gagal ginjal.
f. Risiko Terhadap Janin
Malaria dalam kehamilan adalah masalah bagi janin.

Tingginya demam,

insufisiensi plasenta, hipoglikemia, anemia dan komplikasi-komplikasi lain dapat


menimbulkan efek buruk terhadap janin. Baik malaria P. vivax dan P. falciparum
dapat menimbulkan masalah bagi janin, akan tetapi jenis infeksi P. falciparum lebih
serius (dilaporkan insidensinya mortalitasnya l5,7% vs 33%). Akibatnya dapat terjadi
abortus spontan, persalinan prematur, kematian janin dalam rahim, insufisiensi
plasenta, gangguan pertumbuhan janin (kronik/temporer), berat badan lahir rendah
dan gawat janin. Selain itu penyebaran infeksi secara transplasental ke janin dapat
menyebabkan malaria kongenital.
g. Malaria kongenital
Malaria kongenital sangat jarang terjadi, diperkirakan timbul pada <5%
kehamilan. Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus plasenta
dapat melindungi janin dari keadaan ini. Akan tetapi pada populasi non imun dapat

29

terjadi malaria kongenital, khususnya pada keadaan epidemi malaria. Kadar quinine
plasma janin dan klorokuin sekitar l/3 dari kadarnya dalam plasma ibu sehingga kadar
subterapeutik ini tidak dapat menyembuhkan infeksi pada janin. Keempat spesies
plasmodium dapat menyebabkan malaria kongenital, tetapi yang lebih sering adalah
P. malariae.

Neonatus dapat menunjukan adanya demam, iritabilitas, masalah

minum, hepatosplenomegali, anemia, ikterus dll. Diagnosis dapat ditegakkan dengan


melakukan apus darah tebal dari darah umbilikus atau tusukan di tumit, kapan saja
dalam satu minggu pascanatal. Diferensial diagnosisnya adalah inkompatibilitas Rh,
infeksi CMV, Herpes, Rubella, Toksoplasmosis dan sifilis.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Sulaeman J, Pribadi A. Demam Dalam Kehamilan dan Persalinan: Malaria Dalam


Kehamilan. Dalam: Ilmu Kandungan. Edisi IV. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirodihardjo.
2. Bruce LJ, Chwatt. Malaria and pregnancy. England: British Medical Journal;
1983. Volume 286.
3. Chahaya I. Pengaruh Malaria Selama Kehamilan.
4. Harijanto, N Paul. Malaria. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta: 2007.
5. Rijken MJ Rijken JA Papageorghiu AT etc. Malaria in pregnancy: the difficulities
in measuring birthweight. England: BJOG An International Journal of Obstetric
and Gynecology; 2011. p.671-77.
6. Suparman E., Suryawan A. Malaria pada Kehamilan. 2004.
7. Knirsch DGH. The Malaria. In: Parasitic Disease. 5th Ed. USA: Apple Trees
Productions L.L.C.NY
8. Ukaga CN, Nowke BEB, et al. Placental malaria in Owerri, Imo State, southeastern Nigeria. 2007.
9. Krishnan S, Cheripalli P, Tangella K. Placental Malaria. 2009.
10. Bardaji A, Sigauque B, Sanz S, et al. Impact of Malaria at the End of Pregnancy
on Infant Mortality and Morbidity. USA Journal of Infectious Disease; 2011.
11. Hanretty KP. Obstetric Illustrated.

6th

Ed. British: Crurchill Livingstone; 2003.

p.152-55.
12. Surya I.G.P .Penyakit Infeksi : Infeksi Malaria. Ilmu Kandungan Edisi IV.
Jakarta: P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo.

You might also like