You are on page 1of 71

Responsi Kasus

Pnemonia Berat + TB Paru + Gagal Tumbuh + Anemia


Defisiensi Besi

Oleh:
Apriana Aidiyatul Fitri
(H1A008007)

Pembimbing: dr. Sang Ayu K. Indriyani, Sp.A, M. Kes

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSU PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Berkah, Rahmat dan
Karunia-Nya Laporan Responsi Kasus ini dapat tersusun tepat pada waktunya. Laporan
Responsi Kasus ini merupakan salah satu penugasan pada kepaniteraan klinik madya di
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU Provinsi NTB selama menjadi mahasiswa di
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.
Laporan Responsi Kasus ini akan membahas mengenai Pneumonia Berat disertai TB
Paru + Gagal Tumbuh + Anemia defisiensi besi pada anak yang ditemukan di bangsal Gili
Nangu RSU Provinsi NTB pada bulan Desember tahun 2015. Dari Laporan Responsi Kasus
ini diharapkan pembaca maupun penulis dapat mengetahui Gejala, Diagnosis dan
Penatalaksanaan dari TB pada anak, yang merupakan tujuan dan manfaat dari Responsi kasus
ini, sehingga kelak dapat bermanfaat.
Penulis menyadari dalam penyusunan Laporan Responsi Kasus ini masih terdapat
banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan
saran yang membangun dari para pembaca, guna perbaikan dan penyempurnaan penelitian
selanjutnya.
Semoga laporan penelitian ini memberikan manfaat untuk kita semua.

Mataram, 11 Januari 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstisial. Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta perjalanan
penyakitnya. WHO mendefinisikan pneumonia hany berdasarkan penemuan klinis yang
didapat pada pemeriksaan insfeksi dan Frekuensi pernafasan.1, 3
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak
di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak
diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumoni,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan national (SKN)
2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balitadi Indonesia disebabkan oleh penyakit
system respiratori, terutama Pneumonia.
Terdapat berbgai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak blita di Negara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah pneumonia
yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat imunisasi, tidak
mendapat asi yang ade kuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi
bakteri pathogen di nasofaring dan tingginya pajanan polusi udara ((polusi industry atau asap
rokok).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. PNEUMONIA

1.1.

Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar terjadi

akibat infeksi oleh berbagai mikroorganisme terutama bakteri, virus, mikoplasma atau
campuran mikroorganisme tersebut. Gambaran inflamasi akut jaringan paru dapat juga
disebabkan oleh faktor non-infeksi misalnya aspirasi inhalasi hidrokarbon

atau gas-gas

toksik lainnya. Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting
adalah penyebab dari pneumonia (virus atau bakteri).1,2,3
Pneumonia seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami
komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan radiologi dan laboraturium tidak menunjukkan
perbedaan nyata. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologi.1
1.2.

Etiologi
Umur penderita merupakan faktor penting adanya perbedaan dan kekhasan dalam

spektrum etiologi, gambaran klinik dan strategi pengobatan pada pneumonia anak. Spektrum
mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih
besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptokokus grup B dan
bakteri Gram negatif seperti E coli, Pseudomonas atau Klebsiela. Pada bayi yang lebih besar
dan anak balita pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptokokus pneumonia,
Hemofilus influenzae tipe B dan Stafilokokus aureus; sedangkan pada anak yang lebih besar
dan remaja selain bakteri tersebut sering ditemukan infeksi dengan Mikoplasmapneumoniae.1
Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri.
Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptokokus pneumoniae, Hemofilus
influenzae dan Stafilokokus aureus. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri-bakteri ini
umumnya responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik beta-laktam. Di lain pihak
terdapat pula pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik beta laktam dan dikenal
sebagai pneumonia atipik. Pneumonia atipik terutama disebabkan oleh bakteri atipik seperti
Mikoplasma pneumoniae dan Klamidia pneumoniae.1
Di negara maju pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus disamping
bakteri atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk dalam penelitian pada pneumonia anak
menemukan etiologi virus saja 32%, campuran bakteri dan virus 30% dan bakteri saja 22%.
3

Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), virus Rino dan
virus Parainfluenza; bakteri yang terbanyak adalah Streptokus pneumoniae, Hemofilus
influenzae tipe B dan Mikoplasma pneumoniae. Anak usia 2 tahun ke atas mempunyai
etiologi infeksi bakteri lebih banyak dibandingkan anak usia di bawah 2 tahun.1
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok umur yang bersumber
dari data di negara maju dapat di lihat pada tabel berikut :18
Tabel 1: Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok umur di negara maju1
Umur

Etiologi yang sering


Bakteri
E coli
Streptokokus grup B
Listeria monositogenes

Lahir 20 hari

3 minggu-3 bulan

4 bulan-5 tahun

5 tahun- remaja

Bakteri
Klamidia trakomatis
Streptokokus pneumoniae
Virus
Virus Adeno
Virus Influenza
Virus Parainfluenza 1,2,3
Respiratory Syncytial Virus
Bakteri
Klamidia pneumoniae
Mikoplasma pneumoniae
Streptokokus pneumoniae
Virus
Virus Adeno
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Bakteri
Klamidia pneumoniae
Mikoplasma pneumoniae
Streptokokus pneumoniae

Etiologi yang jarang


Bakteri
Bakteri anaerob
Streptokokus grup D
Hemofilus influenzae
Streptokokus pneumoniae
Ureaplasma urealitikum
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
Bakteri
Bordetela pertusis
Hemofilus influenzae tipe B
Moraksela kataralis
Stafilokokus aureus
Ureaplasma urealitikum
Virus
Virus Sitomegalo
Bakteri
Hemofilus influenzae tipe B
Moraksela kataralis
Neiseria meningitis
Stafilokokus aureus
Virus
Virus Varisela-Zoster

Bakteri
Hemofilus influenza
Legionela spp
Stafilokokus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
4

Respiratory Syncytial Virus


VirusVarisela-zoster
1.3.

Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme penyebab terisap ke paru perifer melalui saluran napas.

Mula-mula terjadi udem karena reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan
penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi
yaitu terjadi sebukan sel polimorfonuklear, fibrin, eritrosit, cairan udem dan ditemukan
kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya terjadi deposisi
fibrin, terdapat fibrin dan leukosit polimorfonuklear di alveoli dan terjadi proses pagositosis
yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya jumlah sel makrofag
meningkat di alveoli, sel akan degenerasi dan fibrin menipis, kuman dan debris menghilang.
Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak
terkena akan tetap normal.1
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit
hingga stadium khas yang diuraikan di atas tidak terjadi.Beberapa bakteri tertentu sering
menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi
Streptokokus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata
di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa
konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumatokel atau abses-abses kecil sering
disebabkan oleh Stafilokokus aureus pada neonatus atau bayi kecil karena Stafilokokus
aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase
dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan kavitasi.
Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin hingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat
korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman. Stafilokokus yang tidak
menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumatokel dapat
menetap sampai berbulan-bulan tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut.1
1.4.

Gejala Klinis
Sebagian besar gambaran klinik pneumonia pada anak berkisar antara ringan sampai

sedang hingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil berupa penyakit berat dan
mengancam kehidupan serta mungkin berkomplikasi dengan penyakit lain hingga
memerlukan perawatan di rumah sakit.1
5

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinik pneumonia pada anak adalah
imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinik
yang kadang-kadang

tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur

diagnostik invasif, etiologi non-infeksi yang relatif lebih sering dan faktor patogenesis.
Disamping itu kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda; hingga perlu dipertimbangkan dalam penatalaksanaan
pneumonia.1
Tergantung berat ringannya penyakit secara umum gambaran klinik penumonia pada
bayi dan anak adalah sebagai berikut:1,3

Gejala infeksi umum seperti demam, sakit kepala, gelisah, malaise, nafsu makan
berkurang, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

Gejala gangguan respiratorik seperti batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnu,
napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.

Pada pemeriksaan fisik anak dengan pneumonia dapat ditemukan tanda klinik seperti
pekak perkusi, suara napas melemah dan ronki. Namun pada neonatus dan bayi kecil gejala
dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat; pada perkusi dan
auskultasi umumnya tidak ditemukan kelainan.1,3
Pneumonia pada Balita dan anak yang lebih besar
Spektrum etiologi pada anak meliputi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza
tipe B, Staphylococcus aureus. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, disamping
berbagai virus respiratori. Pada anak yang lebih besar dan remaja, Mycoplasma pneumoniae
merupakan etiologi pneumonia atipik yang cukup signifikan.1
Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang
keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis ditemukan gejala respiratori
seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), nafas cuping hidung, ronki, dan
sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media,
faringitis dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat
alveoler. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila
terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan
dada juga akan terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah,

sesak nafas akan semakin bertambah, tetapi nyeri plerua semakin berkurang dan berubah
menjadi nyeri tumpul.1
Kadan-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang
menimbulkan iritas diafragma. Nyeri abdomen dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan
menyerupai apendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang
disebabkan aerofagi atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma,
atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi
pneumonia.1
1.5.

Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologik dan/atau serologik

sebagai dasar terapi yang optimal. Namun penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah
oleh karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Oleh karena itu pneumonia
pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan
keterlibatan sistem pernapasan dan gambaran

radiologis. Prediktor paling kuat adanya

pneumonia adalah demam, sianosis dan lebih dari satu gejala respiratorik sebagai berikut:
takipnu, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara napas melemah.1,2,3
1.5.1. Pemeriksaan Penunjang
Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Namun

pada

pneumonia bakteri

didapatkan leukositosis, berkisar antara 15 000 - 40 000l/mm3 dengan predominan


polimorfonuklir. Bila terdapat leukopenia (< 5 000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk.
Leukositosis hebat (> 30 000/mm3) hampir selalu menunjukkan infeksi bakteri, sering
ditemukan pada keadaan bakteremia dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada
infeksi dengan Klamidia pneumoniae kadang kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura
merupakan cairan eksudat dengan sel polimofonuklir berkisar 300 100.000/mm3, protein >
2,5 g/dl dan glukose relatif rendah dari glukose darah. Kadang-kadang terdapat anemia ringan
dan Laju Endap Darah (LED) meningkat.1
Walaupun terdapat kecenderungan namun secara umum pemeriksaan darah perifer
lengkap dan LED tidak dapat membedakan infeksi virus dengan infeksi bakteri secara pasti.1
C-reactive protein (CRP)

CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respons
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat di stimulasi oleh sitokin, terutama
interleukin (IL)-6, IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi pastinya in vivo
belum

diketahui,

CRP

sangat

mungkin

mempunyai

peranan

dalam

opsonisasi

mikroorganisme atau sel yang rusak. Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik
untuk membedakan faktor infeksi dan non-infeksi; antara infeksi virus dan infeksi bakteri
atau infeksi bakteri superfisialis dan infeksi bakteri profunda. Kadar CRP biasanya lebih
rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan dengan infeksi
bakteri profunda. CRP kadang-kadang juga digunakan untuk mengevaluasi respons terapi
antibiotik. Suatu penelitian melaporkan bahwa CRP cukup sensitif tidak hanya untuk
diagnosis empiema torasis tetapi juga untuk memantau respons pengobatan. Dari 38 kasus
empiema yang diselidiki ternyata sebelum pengobatan semua kasus mempunyai CRP yang
tinggi. Dengan pengobatan antibiotik kadar CRP turun secara meyakinkan pada hari pertama
pengobatan. Hanya 4 pasien yang CRP nya tidak kembali normal pada waktu pulang dari
rumah sakit.1
Meskipun pemeriksaan CRP dapat memberikan kecenderungan namun secara umum
CRP belum terbukti secara konklusif dapat membedakan infeksi virus dan bakteri.1
Uji serologik
Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik
mempunyai sensitivitas dan spesivisitas yang rendah. Namun untuk diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi

seperti

Antistreptolisin O, streptozim atau anti Dnase B; walaupun peningkatan titer dapat juga
berarti adanya infeksi terdahulu. Perlu diingat untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut
dan serum fase konvalesen (paired sera).1
Secara umum uji serologik tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi
bakteri tipik. Tetapi

untuk deteksi infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma, Klamidia

demikian juga untuk deteksi beberapa virus seperti RSV, Sitomegalo, campak, Parainfluenza
1,2,3,

Influenza A dan B dan

Adeno, peningkatan antibodi IGM dan IgG dapat

mengkonfirmasi diagnosis.1
Pemeriksaan mikrobiologik
Umumnya pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin di
lakukan kecuali pada pneumonia berat yang di rawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan
bronkus, darah, pungsi pleura dan aspirasi paru. Diagnosis baru definitif bila kuman
8

ditemukan dari darah, cairan pleura atau aspirasi paru. Namun setelah masa neonatus,
kejadian bakteremia sangat rendah hingga kultur darah jarang yang positif. Pada pneumonia
anak dilaporkan hanya 10-30% ditemukan bakteri pada kultur darah. Pada anak besar dan
remaja spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologik dapat berasal dari sputum baik untuk
pewarnaan Gram maupun untuk kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang
mengandung lebih dari 25 leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada pemeriksaan
mikroskopis dengan pembesaran kecil. Disamping itu spesimen nasofaring untuk kultur
maupun untuk deteksi antigen bakteri kurang bermanfaat, karena tingginya prevalensi
kolonisasi bakteri di nasofaring.1
Pada infeksi mikoplasma dan klamidia kultur darah jarang yang positif oleh karena
itu tidak rutin dianjurkan. Pemeriksaan PCR memerlukan laboratorium yang canggih dan
disamping tidak selalu tersedia, hasil PCR positif pun tidak selalu menunjukkan diagnosis
pasti.1
Foto toraks
Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Kadang-kadang pada gambaran radiologis bercak - bercak sudah ditemukan sebelum
timbul gejala klinik. Namun resolusi infiltrat sering memerlukan waktu lebih lama setelah
gejala klinik menghilang. Pada pneumonia ringan foto toraks tidak rutin dilakukan; foto
toraks hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat.1
Pada pasien dengan pneumonia tidak terkomplikasi

ulangan foto toraks tidak

diperlukan.Ulangan foto toraks atau CT scan diperlukan bila gejala klinik menetap, penyakit
memburuk atau untuk tindak lanjut.Umumnya untuk penunjang diagnosis pneumonia di
Instalasi Gawat Darurat hanya diperlukan foto toraks posisi AP saja. Lynch dkk, meneliti
bahwa tambahan posisi lateral pada foto toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto toraks AP dan lateral hanya
dibuat pada pasien yang menunjukkan tanda dan gejala klinik distres pernapasan seperti
takipnu, batuk, ronki dengan atau tanpa suara napas melemah.1
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :

infiltrat

intersisial,

ditandai

dengan

peningkatan

corakan

bronkovaskuler,peribronchial cuffing dan hiperaerasi

infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi


dapat mengenai satu lobus disebut pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal,

biasanya cukup besar, berbentuk sferis, dengan batas yang tidak terlalu tegas, menyerupai lesi
tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.

Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada ke dua paru, berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas sampai ke daerah perifer paru, disertai
peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu sisi

sampai perpadatan luas kedua sisi paru. Pada suatu penelitian ditemukan lesi pneumonia pada
anak terbanyak terdapat di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di paru kiri,
terbanyak di lobus bawah, merupakan prediktor perjalanan penyakit lebih berat dan risiko
terjadinya pleuritis lebih meningkat. Beberapa faktor teknik radiologik dan faktor non-infeksi
dapat menyerupai gambaran seperti pneumonia pada foto toraks sebagai berikut:1
1. Faktor teknik radiologik:

intensitas sinar rendah (underpenetration)

grid pada film tidak merata

kurang inspirasi

2. Faktor non-infeksi:

bayangan timus

bayangan payudara

gambaran atelektasis
Gambaran atelektasis sukar dibedakan dengan gambaran pneumonia pada foto toraks.

Atelektasis disebabkan oleh berbagai penyebab seperti kompresi ekstrinsik pada bronkus
(malformasi kongenital, limfadenopati, tumor, penyakit kardiovaskuler, web atau ring) dan
obstruksi bronkial intrinsik (benda asing, udem, inflamasi, bronkomalasia atau stenosis,
tumor dan sumbatan mukus). Di samping itu penyakit paru non-infeksi dapat juga
menyebabkan atelektasis misalnya penyakit membran hialin atau udem paru. Gambaran foto
toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan
peribronkial, infiltrat intersisial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia
virus. Infiltrat alveoler berupa konsolidasi segmen atau lober,

bronkopneumonia, air

bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia stafilokokus sering
ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran.1
Gambaran foto toraks pada pneumonia mikoplasma sangat bervariasi. Pada beberapa
kasus kelihatan sangat mirip dengan gambaran foto toraks pneumonia virus. Dapat juga
10

ditemukan gambaran

bronkopneumonia terutama di lobus bawah, infiltrat intersisial

retikulonoduler bilateral dan yang jarang ialah konsolidasi segmen atau sub segmen.
Biasanya lesi foto toraks lebih berat daripada gambaran kliniknya. Walaupun tidak terdapat
gambaran foto toraks yang khas namun bila terdapat perpadatan retikulonoduler fokal pada
satu lobus, cenderung disebabkan oleh infeksi mikoplasma. Demikian juga bila terlihat
gambaran perkabutan atau ground-glass consolidation, transient pseudoconsolidation karena
infiltrat intersisial yang konflueren, patut dipertimbangkan adanya infeksi mikoplasma.
Gambaran radiologik pneumonia klamidia sukar dibedakan dengan pneumonia mikoplasma.1
Walaupun terdapat beberapa pola yang memberikan kecenderungan, namun secara
umum gambaran foto toraks tidak dapat secara pasti membedakan pneumonia virus, bakteri,
mikoplasma atau campuran mikroorganisme tersebut.1
1.6.

Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat di Rumah Sakit. Indikasi

perawatan terutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksik, distres


pernafasan, tidak mau makan/minum atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi dan
terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan
klinis pneumonia harus rawat inap. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah
pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam-basa, elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penyakit penyerta harus
ditanggulangi dengan adekuat, kompllikasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan
diatasi.1,2,3
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.
Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga
disebabkan oleh bakteri.1
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak
tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan
pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada etiologi
penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor
epidemiologis.1
Pneumonia Rawat Jalan

11

Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat
diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Penelitian
multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan, pemberian
amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai efektivitas yang sama. Dosis
amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kg
TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol.1
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi
alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan mempertimbangkan
adanya aktivitas ganda terhadap S. pneumonia dan bakteri atipik.1

Pneumonia Rawat Inap


Plilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta-laktam
atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta laktam dan
kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin,
sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10
hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol
mengenai lama terapi antibiotik yang optimal.1
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah
antibiotik beta-laktam dengan/atau tanpa klavulanat, pada kasus yang lebih berat diberikan
beta-laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau sefalosporin
generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil antibiotik dengan
antibiotik oral dan berobat jalan.1
Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik betalaktam, ampisilin, atau amoksisilin dikombinasikan dengan kloramfenikol. Feyzullah dkk.
Melaporkan hasil perbandingan pemberian antibiotik pada anak dengan pneumonia berat usia
2-24 bulan. Antibiotik yang dibandingkan adalah gabungan penisilin G intravena (25.000
U/kgBB setiap 4 jam) dan kloramfenikol (15 mg/kgBB setiap 6 jam), dan seftriakson
intravena (50 mg/kgBB setiap 12 jam). Keduanya diberikan selama 10 hari, dan ternyata
mempunyai efektivitas yang sama. Akan tetapi, banyak peneliti melaporkan resistensi
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae mikroorganisme paling penting
penyebab pneumonia pada anak terhadap kloramfenikol.1,2,3

12

2.2 TUBERKULOSIS
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium TB yang
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di
paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.4
2.2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara
berkembang tetapi juga di negara maju. Sepanjang dasawarsa terakhir abad ke-20 ini, jumlah
kasus baru TB meningkat di seluruh dunia, 93% kasus terjadi di Negara berkembang.5
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium TB.
Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB
diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia,terjadi
pada negara berkembang.5
Selama tahun 1985 1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-14
tahun (54,5%), diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Di Amerika
Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak usia 0-4 tahun adalah 19% dan pada usia 515 tahun adalah 40%. WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus baru
TB anak dan 450.000 anak usia di bawah 15 tahun meninggal dunia karena TB. 5

Gambar 2.1 Jumlah Populasi berdasarkan Usia di Negara Berkembang 5


Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB (0.4 juta kasus
baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus) dengan jumlah pasien sekitar

13

10% dari total jumlah pasien TB didunia. Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak
berusia di bawah 15 tahun.5, 6
Di Indonesia, diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan
kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.
WHO memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak
menyebabkan kematian anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada
kematian akibat malaria dan AIDS. Pada manula, kematian karena TB lebih banyak dari pada
kematian karna kehamilan, persalinan, dan nifas.5
2.2.3 Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempermudah infeksi TB pada anak yaitu : 7
2.2.3.1 Risiko Infeksi TB7
Faktor-faktor risiko terjadinya infeksi TB adalah terpajan dengan orang dewasa dengan
TB aktif, daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat, dan tempat
penampungan umum yang banyak pasien TB dewasa aktif.
Sumber infeksi TB pada anak yang paling utama adalah kontak terhadap orang dewasa
yang infeksius. Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih
tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA Sputum positif, infiltrate luas atau kavitas
pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat
factor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa
disekitarnya karena kuman TB sangat jarang ditemukan didalam secret endobronkial pasien
anak. Ini dikarenakan jumlah kuman TB pada anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi
karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan
sakit. Selain itu, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi didaerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi
sputum. Disamping itu tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor
batuk didaerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.
2.2.3.2 Risiko Sakit TB7
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu mengalami sakit TB. Berikut ini adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB:
1. Anak berusia 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi
sakit TB karena imunitas selularnya belum sempurna. Bayi yang terinfeksi TB, 43%-nya
akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada
14

usia remaja 15%, dan pada dewasa 5-10%. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari
infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi, terutama 6 bulan
pertama.
2. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberculin (dari negative menjadi
positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada
infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes
mellitus, dan gagal ginjal kronik. Selain itu status sosioekonomi yang rendah, penghasilan
yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan
berkembannya infeksi TB menjadi sakit TB.
3. Virulensi dari M.TB dan dosis infeksinya.
Secara singkat resiko TB dijelaskan dalam skema berikut

Gambar 2.2 Faktor resiko TB 7

2.2.4 Patogenesis
Paru merupakan port dentri lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil (<5m), kuman TB dalam percik renik (droplet nuklei) yang terhirup dapat
mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik. Akan
tetapi, pada sebagian kasus laninnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembangbiak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis

15

makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat sersebut, yang dinamakan fokus
primer Ghon.5, 7,8
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kenlenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak dilobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).5,7,8
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.5,7,8
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular. Pada saat
terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks
primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji positif. Selama masa inkubasi, uji masih.
Pada sebagian besar individu dengan imun yang berfungsi baik, pada saat imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular
mediated immunity, CMI).7,8
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuk imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.7,8
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, akan tetapi penyembuhannya biasanya tiak sesempurna focus primer dijaringan
16

paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.5, 6, 4
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat di paru atau di kelenjar
limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).5
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi
di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis,
yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 5,8
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 5,8
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal,
dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat
dewasa.5,8
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB
17

diseminata ini timbul dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. TB diseminata terjadi karena tidak adekuatnya imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua
tahun. 5,7,8
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar
ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. 5,7,8
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama) biasanya sering
terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. TB paru kronik adalah
TB pascaprimer sebagai reaktivasi kuman didalam focus yang tidak mengalami resolusi
sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan
dewasa muda.7,8
TB ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan menifestasi TB pascaprimer,
dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB system skeletal terjadi pada 5-10%
anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi juga 2-3 tahun setelah
infeksi primer.TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.7,8

18

Gambar 2.3 Patogenesis TB8

2.2.5 Diagnosis
Diagnosis pasti TB anak ditegakkan dengan ditemukannya M. TB pada pemeriksaan
sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, atau jaringan. Pada anak,
kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah
kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan (sputum).7
Kedua tersebut menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan pada penemuan
klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan
berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji, foto Rontgen thorax,
dan pemeriksaan laboratorium.7,8

19

Karena berbagai di atas, diagnosis TB Anak bergantung pada penemuan klinis dan
radiologi. Kadang-kadang. TB Anak ditemukan karena ditemukannya TB dewasa di
sekitarnya. I)iagnosis TB Anak dilentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemerikiaan
penunjang seperti, perneriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak
dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji positif. Dan foto paru yang mengarah pada TB
merupakan bukti kuat yang menyatakan anak tersebut sakit TB.5
2.2.6 Manifestasi Klinis
Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinisTB sangat bervariasi dan
bergantung pada beberapa (kuman TB, pejamu, serta interaksi antar keduanya). Manifestasi
klinis TB terbagi menjadi dua, yaitu manifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ.7
2.2.6.1 Manifestasi Sistemik7
1. Demam lama (2 minggu) dan/ atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih (ISK), malaria, dan lain-lain), yang dapat disertai dengan keringat
malam. Demam umumnya tidak tinggi.
2. Batuk lama > 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi yang adekuat.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik dengan
adekuat (failure to thrive).
5. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.
2.2.6.2 Manifestasi Spesifik Organ/Lokal7
1. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis TB otak dan saraf
a. Meningitis TB, dengan gejala berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk,
muntah proyektil dan kejang.
b. Tuberkuloma otak
2. TB skeletal
a. Tulang punggung: gibbus
b. Tulang panggul (koksitis): pincang
c. Tulang lutut (gonitis): pincang dan/atau bengkak
3. TB kulit: skrofuloderma (sering ditemukan pada leher dan wajah, daerah parotis,
submandibula, supraklavikula, dan lateral leher)
4. TB organ lainnya: TB mata seperti konjungtivitis fliktenuralis (conjungtivitis
phlyctenuralis) dan tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi), serta TB ginjal,
TB hepar, peritonitis, TB, dan lain-lain.

20

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


2.2.7.1 Uji Tuberkulin7
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat yang kuat. Jika
disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan terjadi
reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Hal ini terjadi karena vasodilatasi N, edema,
endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan
bentuk reaksi tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit. Berikut
interpretasi hasil uji tuberkulin:
1. Secara umum, hasil uji tuberculin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan positif
tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi
TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette Guerin
(BCG) atau infeksi M.Atipik.
2. Indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberculin negatif. Sedangkan,diameter 5-9 mm
dinyatakan positif meragukan.
3. Pada keadaan imunokompromise, cut off-point hasil positif yang digunakan adalah 5mm.
4. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm dinyatakan uji
tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin
disebabkan oleh BCGnya.
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:
1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. Infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi mikobakterium atipik
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut:
1. Tidak ada infeksi TB
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi (keadaan penekanan system imun oleh berbagai keadaan)
2.2.7.2 Uji Interferon7
Uji interferon dianggap tidak praktis karena pasien harus dua kali untuk, yaitu saat
penyuntikan dan saat pembacaan. Disamping itu, pemeriksaan imunitas selular yang ada
biasanya tidak dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Oleh karena itu, telah
dikembangkan suatu pemeriksaan imunitas selular yang lebih praktis yaitu dengan memeriksa
darah, dan diharapkan dapat membedakan infeksi TB dan sakit TB. Pemeriksaan yang
dimaksud adalah uji interferon (Interferon Gamma Release Assay, IGRA). Terdapat dua jenis
IGRA, pertama adalah inkubasi darah dengan Early Secretory Antigenic Target-6 (ESAT-6)
21

dan Culture Filtrate Protein-10 (CFP-10). Kedua adalah pemeriksaan Enzyme-Linked


Immuno spot.
2.2.7.3 Radiologi7
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut:
1.Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
2.Konsolidasi segmental/lobar
3.Milier
4.Kalsifikasi dengan infiltrate
5.Atelektasis
6.Kavitas
7.Efusi pleura
8.Tuberkuloma
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara anteroposterior (AP), tetapi harus disertai
dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB didaerah hilus biasanya lebih jelas
pada foto lateral.
2.2.7.4 Mikrobiologi7
Diagnosis pasti TB paru ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada pemeriksaan
mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu
pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan
kuman M.TB. Pemeriksaan tersebut sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan
specimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan pemeriksaan bilas lambung (gastric
lavage) 3 hari berturut-turut. Minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada
anak sebagian besar negative, sedangkan hasil biakan M. TB memerlukan waktu yang lama
yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya diperoleh lebih cepat
(1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal da secara teknologi lebih
rumit.
2.2.7.5 Patologi Anatomik (PA)7
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,
terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut
memiliki karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Diagnosis
histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid,
limfosit, dan sel datia Langerhans. Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.
2.2.8 Penegakkan Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur yang dapat dilakukan
sebaiknya diperiksa selengkap mungkin, mulai dari anamnesis untuk mencari adanya gejala
22

dan tanda yang mengarah ke TB, baik sistemik maupun local. Adanya kontak yang jelas
harus selalu dicari. Status diagnosis sumber penularan harus diklarifikasi sejelas mungkin,
apakah dilakukan pemeriksaan sputum dan bagaimana hasilnya.5, 7
Pada pusat kesehatan dengan sarana terbatas, dalam mendiagnosis TB pada anak
digunakan skoring sebagai berikut:
Tabel 2.1 Sistem Penilaian Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB di Sarana Kesehatan
Terbatas.8
Parameter
Kontak TB

0
Tidak jelas

1
-

Negatif

2
Laporan keluarga,
BTA (-)/BTA tidak
jelas/tidak tahu
-

Berat Badan/Keadaan
Gizi

Demam yang tidak


diketahui penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran kelenjar
limfe kolli, aksila,
inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi panggul,
lutut, falang
Foto thorax

BB/TB<90%
atau
BB/U<80%
> 2 minggu

Klinis gizi buruk


atau BB/TB<70%
atau BB/U<60%
-

> 3 minggu
> 1 cm, > 1,
tidak nyeri

Ada
pembengkakan

Normal/
kelainan
tidak jelas

Gambaran
sugestif TB

Uji Tuberkulin
(Mantoux)

3
BTA (+)

Skor

Positif (>
10 mm
atau > 5
mm pada
IMC)
-

Skor
Total

Catatan:
1. Diagnosis dengan skoring ditegakkan oleh dokter
2. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
3. Berat badan dinilai saat pasien (moment opname)
4. Demam dan batuk tidak respon terhadap terapi sesuai baku puskesmas
5. Foto thorax bukan merupakan alat dagnsotik utama pada TB anak
6. Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan skoring TB anak
7. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
8. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke Puskesmas untuk evaluasi lanjut.
9. Gambaran sugestif TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa,
atelectasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrate, tuberkuloma.

23

2.2.9 Tatalaksana TB

24

Gambar 2.4 Tatalaksana TB8


Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara
pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu,
penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan sumber infeksi juga
harus mendapatkan pengobatan.7
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah
pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.
Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.7
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan pertama) dan
sisanya tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase
awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4
bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif
maupun tahap lanjutan.7
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan dalam bentuk
paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket OAT anak
berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid(Z);
sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin(R) dan Isoniasid(H).7
Tabel 2.2 OAT yang biasa dipakai dan Dosisnya8
Nama Obat
Isoniazid (H)
Rifampisin

Dosis Harian
(mg/kgBB/hari)
10 (7-15)
15 (10-20)

Dosis Maksimal
(mg per hari)
300
600

Pirazinamid (Z)
Etambutol

35 (30-40)
20 (15-25)

2000
1250

Streptomisin (S)

15-40

1000

Efek Samping
Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
Toksisitas hati, arthralgia, gastrointestinal
Neuritis optic, ketajaman mata berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan
lapang
pandang,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Ototoksik, nefrotoksik

Catatan:
*Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui
gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).

25

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama
dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis
Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2
macam tablet, yaitu: Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif. Tablet RH yang
merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H (Isoniazid) yang digunakan pada
tahap lanjutan. Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut.7
Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet RHZ adalah R =
75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan komposisi tablet RH adalah R = 75 mg dan H = 50 mg.6
Tabel 2.3. Dosis Kombinasi pada TB Anak7
BB (Kg)
Fase intensif (2 bulan)
Fase lanjutan (4 bulan)
RHZ (75/50/150)
RH (75/50)
5-9
1 tablet
1 tablet
10-14
2 tablet
2 tablet
15-19
3 tablet
3 tablet
20-32
4 tablet
4 tablet
Catatan:
* Bila BB > 33 kg, dosis disesuaikan dengan (perhatikan dosis maksimal)
* Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS
* Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet
* Perhitungan pemberian tablet diatas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per kgBB
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier,
meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:
1.Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin, Pirazinamid,
Etambutol atau Streptomisin).
2.Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
3.Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial
dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4
minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tapering off selama 1-2 minggu.
2.2.10 Evaluasi Hasil Pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2
bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak
jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah
evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada
26

pada awal pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam,


hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik,
maka pengobatan dilanjutkan.7
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,
kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura,
atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto toraks perlu diulang setelah 1 bulan
untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto toraks
dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila
pada awal pengobatan nilainya tinggi.7
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi
penambahan BB, maka OAT tetap dilanjutkan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut
mengapa tidak ada perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment,
atau resisten terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangai disarana kesehatan terbatas, maka
pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang
dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,
kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah
pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan.7
2.2.11 Evaluasi Efek Samping Pengobatan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai efek
samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin
adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam. Salah satu
efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.7
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian isoniazid yang tidak melebihi
10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam
kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT hingga 5kali tanpa
gejala, atau 3 kali disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl,
serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai dengan ikterus,
anoreksia, nausea dan muntah.7
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.
Anak dengan gangguan fungsi ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi.
Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminasi yang tidak terlalu tinggi
dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan lebih
dari 5 kali tanpa gejala, atau 3 kali batas normal disertai dengan gejala memerlukan
penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi, mengingat
27

pentingnya rifampisin dalam panduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini
cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya disimpulkan bahwa paduan pengobatan dengan
isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan
dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.7
2.3 GAGAL TUMBUH
2.3.1

Definisi
Gagal tumbuh (failure to Thrive) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kenaikan

berat badan yang tidak sesuai dengan seharusnya, tidak naik (flat growth) atau bahkan turun
dibandingkan pengukuran sebelumnya (diketahui dari grafik pertumbuhan). Istilah yang lebih
tepat adalah fail to gain weight, tidak tepat jika diterjemahkan sebagai gagal tumbuh, karena
dalam hal ini yang dinilai hanyalah berat badan terhadap umur pada minimal 2 periode
pengukuran, sedangkan tinggi badan dan lingkar kepala yang juga merupakan parameter
pertumbuhan mungkin masih normal. Oleh sebab itu definisi yang tepat adalah perpindahan
posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil utama atau 2 standar
deviasi ke bawah jika diplot pada grafik BB menurut umur. Gagal tumbuh juga belum tentu
gizi kurang atau gizi buruk.9,10
Gagal tumbuh bukan merupakan suatu diagnosis tersendiri, akan tetapi gagal tumbuh
dapat menggambarkan bahwa seorang anak yang tidak dapat mencapai potensi pertumbuhan
sesuai usianya. Meskipun hal ini sering ditemukan pada usia di bawah 2 tahun, tetapi gagal
tumbuh dapat terjadi kapan saja pada masa anak-anak.10
Semua peneliti sepakat bahwa gagal tumbuh pada anak dapat dinilai secara akurat
dengan membandingkan tinggi dan berat badan menggunakan kurva pertumbuhan.Sejauh ini,
belum ada konsensus yang membahas mengenai kriteria antropometri yang spesifik,untuk
mempermudah hal tersebut, beberapa ahli menyimpulkan bahwa gagal tumbuh dapat
ditentukan dengan berat badan dibawah persentil 3 untuk umur pada kurva pertumbuhan atau
lebih dari dua standar deviasi dibawah rata-rata untuk anak dengan umur dan jenis kelamin
yang sama atau skor Z berat badan untuk umur (berat badan untuk tinggi badan) lebih kecil
dari -2SD.10
Berbagai rekomendasi telah dikemukakan oleh para ahli untuk mendefinisikan
seorang anak dengan gagal tumbuh. Ada tiga kriteria umum untuk menentukan gagal tumbuh
dengan menggunakan kurva pertumbuhan NCHS/CDC-2000.9
1. Anak umur kurang dari 2 tahun dengan berat badan di bawah persentil ke-3 sesuai
28

usianya pada lebih dari satu pengukuran.


2. Anak umur kurang dari 2 tahun dengan berat badan per umur kurang dari 80%
3. Anak umur kurang dari 2 tahun dengan penurunan berat badan memotong 2 persentil
mayor atau lebih pada kurva pertumbuhan.
2.3.2

Epidemiologi
Insiden gagal tumbuh pada anak belum diketahui karena banyak anak dengan gagal

tumbuh tidak terdiagnosa, bahkan di negara maju sekalipun. Diperkirakan bahwa gagal
tumbuh terjadi pada 510% dari populasi anak kecil dan sekitar 35% dari anak tersebut di
bawa ke rumah sakit.Mitchel et al, menemukan bahwa hampir 10%pasien di bawah 5 tahun
yang mengunjugi pelayanan kesehatan primer menderita gagal tumbuh. Sekitar 5% dari
rawatan dokter anak di Amerika Serikat menderita gagal tumbuh. Prevalensi gagal tumbuh
pada anak bahkan lebih besar di negara berkembang dengan angka kemiskinan dan angka
malnutrisi yang tinggi. Dari data nasional, gagal tumbuh berkisar antara 20 hingga 50 persen
per provinsi, dan pada mayoritas provinsi lebih dari sepertiga anak usia 6-15 tahun terganggu
pertumbuhannya. Angka kejadian gagal tumbuh di tingkat provinsi Sumatera barat berkisar
40%. Anak yang lahir dari ibu remaja dan ibu yang bekerja dalam waktu lama berisiko utuk
menderita gagal tumbuh. Risikonya juga sama pada anak yang tumbuh di lembaga seperti
panti asuhan, dengan angka kejadian diperkirakan sekitar 15%. Sembilan puluh lima persen
dari kasus gagal tumbuh disebabkan oleh tidak adekuatnya makanan yang tersedia atau yang
dimakan dan hal ini disebabkan oleh faktor kemiskinan. Kejadian gagal tumbuh pada anak
antara umur 9 24 bulan tanpa perbedaan gender yang signifikan. Mayoritas anak yang gagal
tumbuh berumur kurang dari 18 bulan.9
2.3.3

Klasifikasi

Gagal tumbuh dapat diklasifikasikan sebagai berikut.11


1. Non organic (psychosocial) failure to thrive
Pada gagal tumbuh non organik, tidak diketahui kondisi medis yang menyebabkan gagal
tumbuh, namun penyebabnya diantaranya karena kemiskinan, masalah psikososial di
dalam keluarga, kurangnya pengetahuan tentang nutrisi dan cara pemberian makan anak,
penelantaran anak, dan single parent.
2. Organic failure to thrive
Gagal tumbuh organik diketahui kondisi medis yang menyebabkan gagal tumbuhnya.
Biasanya disebabkan oleh infeksi (HIV, tuberkulosis), gangguan pada saluran cerna (diare
29

kronik, stenosis pilorus, gastroesofageal refluks), gangguan saraf (serebral palsy, retardasi
mental), gangguan pada traktus urinarius (infeksi saluran kemih, gagal ginjal kronik),
penyakit jantung bawaan dan kelainan kromosom.
3. Mixed failure to thrive
Gagal tumbuh disebabkan oleh kombinasi antara penyebab organik dan non organik.
4. Failure to thrive with no spesific etiology
Dilihat dari literatur tentang gagal tumbuh terdapat 12-34% anak gagal tumbuh tidak
memiliki etiologi yang spesifik.
2.3.4

Etiologi dan Faktor Predisposisi


Etiologi pada anak dapat dikelompokkan menjadi dua penyebab, yaitu prenatal dan

postnatal.9
1. Penyebab prenatal
Penyebab prenatal gagal tumbuh diantaranya sebagai berikut.
a. Prematuritas dan komplikasinya
b. Paparan uterus terhadap toxic agents seperti alkohol, rokok, obat-obatan
c. Infeksi (Rubella, CMV, HIV, dll)
d. Intra uterine growth retardation (IUGR) karena berbagai penyebab
e. Abnormalitas kromosom (Down syndrome, turner syndrom).
2. Penyebab postnatal
a. Intake kalori yang tidak adekuat
Intake kalori yang tidak adekuat merupakan penyebab gagal tumbuh pada anak
yang paling banyak.Pada anak usia di bawah 8 minggu, gangguan intake (cara hisapan
atau cara menelan yang salah) dan gangguan menyusui merupakan penyebab terbanyak.
Pada anak yang lebih besar, perubahan pola makan ke makanan padat, ASI yang tidak lagi
mencukupi, konsumsi susu formula, dan orang tua yang menghindari pemberian makanan
tinggi kalori sering menyebabkan anak menderita gagal tumbuh.
Faktor keluarga dapat berkontribusi terhadap intake kalori yang tidak adekuat
pada anak, hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan nutrisi dan masalah
keuangan keluarga, yang tidak kalah pentingnya, child abuse dan penelantaran anak harus
dipertimbangkan, karena anak yang menderita gagal tumbuh berkemungkinan menjadi
korban child abuse 4 kali lipat lebih besar dibandingkan anak normal.
b. Absorpsi yang tidak adekuat
Absorpsi kalori yang tidak adekuat mencakup penyakit yang menyebabkan sering
muntah seperti intoleransi makanan, alergi susu sapi atau malabsorpsi (diare kronis,
necrotizing enterocolitis).
c. Peningkatan kebutuhan kalori
Pengeluaran kalori yang berlebihan biasanya muncul pada kondisi kronis seperti
penyakit jantung kongenital, penyakit paru kronis dan hipertiroidisme.
d. Gangguan penggunaan kalori.
30

Gangguan penggunaan kalori misalnya seperti pada penyakit diabetes melitus tipe
1 atau renal tubular asidosis.
Faktor predisposisi gagal tumbuh dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.7 Faktor predisposisi gagal tumbuh pada anak
Kongenital
Displasia Skletal
Metabolik
Sistem Imun

Gastrointestinal

Renal
Kardiopulmonal

Neurologi
Sensoris
Endokrin

Lain lain

2.3.5

Kelainan Kromosom (Sindrom Down, Sindrom PraderWilli)


Disgenesis Gonad (Sindrom Turner)
Akondroplasia
In born error of metabolism
Imunodefisiensi kronik
HIV
TB
Infeksi berulang
ISK kronik (pyelonephritis)
Stenosis pylorus
Kelainan anatomi oral atau esophagus
Trauma oral atau esophagus
GERD
Inflamatory Bowel Disease (IBD)
Alergi
Penyakit saluran empedu
Penyakit hepar kronik
Insufisiensi pancreas
Parasite atau infeksi usus kronik
Karies dentis
Renal Tubular Asidosis
Gagal ginjal kronik
Gagal jantung
Asma
Displasia bronkopulmoner
Fibrosis kistik
Tonsilitis dan adenoid kronik
Cerebral Palsy
Gangguan perkembangan
Anosmia
Buta
Diabetes Mellitus
Hipotiroid
Insufisiensi Adrenal
Kelainan Hipofisis
Defisiensi GH
Kanker
Sindrom Diensefalik
Penyakit Rematik
Keracunan timbal

Manifestasi Klinis dan Deteksi Dini


Pengamatan dapat dilakukan saat balita memasuki ruang pemeriksaan bersama orang

tuanya, tumbuh kembang anak sudah dapat dideteksi dengan memperhatikan penampilan
wajah, bentuk kepala, tinggi badan, proporsi tubuh, pandangan matanya, suara, cara bicara,
berjalan, perilaku, aktivitas dan interaksi dengan lingkungannya.Deteksi dini gangguan
tumbuh kembang balita sebaiknya dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
skrining perkembangan yang sistematis agar lebih obyektif.9
31

2.3.5.1 Anamnesis
Terkadang orangtua tidak menyadari perlambatan pertumbuhan pada anak mereka.
Oleh karena itu anamnesis secara teliti penting dilakukan untuk mengevaluasi gagal tumbuh
pada anak. Anamnesis yang perlu diperhatikan adalah9,10,11 :
1. Pemberian asupan: asupan makanan baik ASI, kekuatan menghisap ASI, susu formula,
makanan lunak atau makanan lain, jumlah asupan yang diberikan dan frekuensi
pemberian asupan.
2. Riwayat perkembangan: riwayat kehamilan ibu dan riwayat kelahiran anak (usia ketika
ibu hamil, komplikasi kehamilan ibu, penggunaan obat-obatan ketika ibu hamil,
konsumsi alkohol ketika ibu hamil, komplikasi ketika melahirkan), riwayat merokok ibu,
milestones perkembangan anak.
3. Perilaku anak: gangguan tidur pada anak, pola makan anak, perilaku penolakan.
4. Riwayat psikososial: komposisi keluarga, status pekerjaan dan ekonomi dan kekerasan
dalam rumah tangga.
5. Pengasuh: sangat penting untuk mengamati pengasuh anak ketika bermain dan memberi
makan. Hal ini memberikan petunjuk mengenai interaksi pengasuh dengan anak seperti
cara pengasuh menyuapi anak, respon pengasuh terhadap prilaku anak ketika bermain
atau menangis dan interaksi anak dengan pengasuh.
2.3.5.2 Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi badan
Tinggi/panjang badan pasien harus diukur pada tiap kunjungan. Hasil pengukuran
tinggi badan jika dikaitkan dengan hasil pengukuran berat badan akan memberikan informasi
yang bermakna tentang status nutrisi dan pertumbuhan fisis anak.12
Pengukuran tinggi/panjang badan pada bayi dilakukan dengan cara bayi ditidurkan
terlentang tanpa sepatu dan topi di atas tempat tidur yang keras, diusahakan agar tubuh bayi
dalam keadaan lurus. Panjang badan bayi dapat diukur secara akurat dengan melekatkan
verteks bayi pada kayu yang tetap, sedangkan kayu yang dapat bergerak menyentuh tumit
bayi.Pada anak tinggi badan diukur dalam posisi berdiri tanpa sepatu dan telapak kaki
dirapatkan dengan punggung bersandar pada dinding.12
Tinggi badan dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan pertumbuhan yaitu dengan
mengukur panjang/tinggi badan secara periodik, kemudian dihubungkan menjadi sebuah
garis pada kurva pertumbuhan. Dapat diinterpretasikan dengan11:
a. TB/U pada kurva :

< persentil 5

: defisit berat

32

persentil 5-10 : perlu evaluasi untuk membedakan apakah perawakan pendek akibat
defisiensi nutrisi kronik atau konstitusional

b. TB/U dibandingkan standar baku (%)

90-110%
70-89%
<70%

: baik / normal
: tinggi kurang
: tinggi sangat kurang

Untuk menyimpulkan status pertumbuhan seorang anak harus dibandingkan perkiraan


tinggi akhir anak tersebut dengan potensi tinggi akhir genetiknya. Perkiraan tinggi akhir anak
dilakukan dengan melanjutkan kurva pertumbuhan anak tersebut dengan menarik garis
lengkung sampai memotong garis umur 19-20 tahun sejajar dengan kurva terdekat.
Penghitungan prediksi tinggi akhir anak sesuai dengan potensi genetiknya berdasarkan data
tinggi badan orang tua dengan asumsi bahwa semuanya tumbuh optimal sesuai dengan
potensinya. Potensi tinggi akhir genetik anak dihitung dari rata-rata tinggi badan kedua
orangtua dengan rumus di bawah ini :12
Anak perempuan:
(tinggi ayah-13 cm+tinggi ibu) 8,5cm
-----------------------------------2

Anak laki-laki :
(tinggi ibu+13cm+ tinggi ayah) 8,5cm
-------------------------------------2

2. Berat badan
Berat badan adalah parameter pertumbuhan yang sederhana, mudah diukur dan di
ulang dan merupakan indeks untuk status nutrisi sesaat. Ukuran berat badan dipetakan pada
kurva standar berat badan/umur (BB/U) dan berat badan/tinggi badan (BB/TB).10
Interpretasi :
a. BB/U dipetakan pada kurva berat badan

BB < persentil 10
BB > persentil 90

: defisit
: kelebihan

b. BB/U dibandingkan acuan standar, dinyatakan dalam persentase

> 120%
80-120%
60-80%

< 60 %

c. BB/TB
>120%
110-120%
90-110%

: gizi lebih
: gizi baik
: tanpa edem : gizi kurang
dengan udem : gizi buruk (kwashiorkor)
: gizi buruk : tanpa udem (marasmus)
dengan udem (marasmus-kwashiorkor)
: Obesitas
: overweight
: normal
33

70-90%
<70%

: gizi kurang
: gizi buruk

Berat badan bayi ditimbang dengan menggunakan timbangan bayi sedangkan pada
anak menggunakan timbangan berdiri. Bayi ditimbang dalam posisi terlentang atau duduk
tanpa menggunakan pakaian sedangkan anak ditimbang dalam posisi berdiri tanpa sepatu
dengan pakaian minimal.12
Sampai usia 1 tahun bayi ditimbang tiap bulan, kemudian akan ditimbang setiap tiga
bulan hingga usia tiga tahun dan akan dilanjutkan dua kali dalam setahun sampai usia 5
tahun. Di atas 5 tahun penimbangan dilakukan setiap tahun, kecuali bila terdapat kelainan
atau penyimpangan berat badan. Dalam keadaan normal berat badan bayi umur 4 bulan sudah
mencapai dua kali berat badan lahirnya dan pada umur satu tahun sudah mencapai tiga kali
berat badan lahirnya.12
3. Kepala
Lingkar kepala pada waktu lahir rata-rata 34 cm dan besarnya lingkar kepala ini lebih
besar dari lingkar dada. Pada anak umur 6 bulan, lingkar kepala rata-ratanya adalah 44 cm,
umur 1 tahun 47 cm, 2 tahun 49 cm dan dewasa 54 cm. Jadi pertambahan lingkar kepala pada
6 bulan pertama adalah 10 cm atau sekitar 50% dari pertambahan lingkar kepala dari lahir
sampai dewasa terjadi pada 6 bulan pertama kehidupan.12
Pertumbuhan tulang kepala mengikuti pertumbuhan otak demikian pula sebaliknya.
Pertumbuhan otak yang tercepat terjadi pada trimester ketiga kehamilan sampai 5 6 bulan
pertama setelah lahir. Pada trimester ketiga terjadi pembelahan sel-sel otak yang pesat,
setelah itu pembelahan melambat dan terjadi pembesaran sel-sel otak saja. Sehingga pada
waktu lahir berat otak bayi seperempat berat otak dewasa, tetapi jumlah sel nya sudah
mencapai 2/3 jumlah sel otak dewasa.12
4. Lingkar lengan atas
Lingkar lengan atas (LiLA) mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot
yang tidak terpengaruh oleh cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan. LiLA dapat
dipakai untuk menilai keadaan gizi atau pertumbuhan pada kelompok umur pra sekolah.
Kecepatan pertumbuhan LiLA dari 11 cm pada saat lahir menjadi 16 cm pada umur 1 tahun.
Selanjutnya tidak banyak perubahan selama 1 3 tahun.12
2.3.5.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hanya bermanfaat bila terdapat temuan signifikan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan labor meliputi darah perifer lengkap, laju
endap darah, urinalisis, kultur urin, tinja untuk melihat parasit dan malabsorbsi, ureum dan
kreatinin serum, analisa gas darah, elektrolit, tes fungsi hati. Pemeriksaan lain misalnya
34

skrining celiac dilakukan bila ada indikasi sesuai dengan hasil temuan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik.10
Jika dicurigai kelainan jantung dapat dilakukan echocardiography, jika dicurigai kelainan
paru dapat dilakukan pemeriksaan foto rontgen dan uji Mantoux. Jika dicurigai kelainan
endokrin atau tulang dapat dilakukan pemeriksaan usia tulang dan bone survey. Jika dicurigai
kelainan neurologis dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala.10
2.3.6

Diagnosis dan Diagnosis Banding

Untuk menentukan seorang anak mengalami gagal tumbuh maka harus dilakukan
pendekatan secara menyeluruh meliputi : 9
Menilai penanganan diet, pemberian makan atau kebiasaan makan, respon anak terhadap

pemberian makanan
Riwayat kelahiran (berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala saat lahir serta data

riwayat kehamilan ibu


Data tinggi badan orang tua untuk menilai tinggi potensi genetik anak
Data pertumbuhan sebelumnya, riwayat perkembangan, gambaran pola tidur anak,
riwayat kesehatan anak untuk mengetahui apakah terdapat penyakit kronis, penyakit
genetik, alergi atau adanya suatu sindrom atau adanya gangguan gizi sebagai penyebab

dari gagal tumbuh


Riwayat pengobatan sebelumnya maupun pengobatan yang didapat pada saat ini
Faktor sosial keluarga, interaksi ibu dan anak, serta lingkungan tempat anak dibesarkan.
Diferensial Diagnosis Gagal Tumbuh
1. Familial Short Stature
Anak dengan perawakan pendek, kurva pertumbuhannya sering kali sangat dekat dengan
peesentil 3. Anak tersebut memiliki kecepatan pertumbuhan dan rasio berat badan menurut
tinggi badan yang normal. Kurva pertumbuhan anak dengan perawakan pendek masih paralel
dengan kurva pertumbuhan normal. Selain itu, usia tulang anak dengan perawakan pendek
sesuai dengan usia kronologisnya.9,11
2. Constitutional Growth Delay
Constitutional growth delay

adalah

keadaan

transien

hipogonadisme

hipogonadotropik terkait dengan perpanjangan fase pertumbuhan, penundaan maturasi tulang,


penurunan kecepatan pertumbuhan pada masa pubertas (pubertal growth spurt), dan
penurunan sekresi insulin-like growth factor-1. Tinggi anak dengan constitutional growth
delay pada umumnya tidak akan mencapai tinggi potensial genetik pada saat dewasa, namun
beberapa kasus dapat mencapai tinggi normal menurut potensi genetiknya.9,11
3. Anak Pada Populasi Tertentu
Bayi preterm dan bayi yang mengalami intra uterine growth restriction (IUGR) biasanya
akan menunjukkan tanda-tanda gagal tumbuh langsung pada masa postnatal, tetapi catch-up
pertumbuhan akan terjadi pada 2-3 tahun pertama kehidupan. Selama pertumbuhan mengikuti
35

atau paralel dengan kurva pertumbuhan normal, failure to thrive (gagal tumbuh) tidak boleh
didiagnosa.9,11
4. Sindrom Diensefalik
Sindrom diensefalik disebabkan oleh neoplasma pada daerah hipotalamus dan ventrikel
ketiga.Sindrom diensefalik biasanya muncul pada pada tahun pertama kehidupan dengan
tampilan klinis gagal tumbuh, kurus, peningkatan nafsu makan, euforia, dan pergerakan mata
nystagmoid. Secara klinis, sindrom diensefalik berbeda dengan failure to thrive karena
disamping kondisi fisiknya yang kurang baik, anak dengan sindrom diensefalik aktif, dapat
berinteraksi dengan mudah, dan tidak depresi.9,11
5. Psychosocial Short Stature (Psychosocial Dwarfism)
Psychososcial dwarfism adalah sindrom perlambatan pertumbuhan linier yang
dikombinasikan dengan karakteristik gangguan prilaku seperti gangguan tidur dan kebiasaan
makan yang tidak biasa. Kedua hal ini bertanggung jawab dalam perubahan linkungan
psikososial anak. Biasanya onset sindrom ini di antara usia 18 bulan dan 24 bulan. Anak yang
mengalami psychosocial dwarfism biasanya pemalu, pasif, dan sering menarik diri dari
kehidupan sosial.11
2.3.7 Tatalaksana
Tatalaksana utama pada gagal tumbuh adalah mengetahui penyebab yang
mendasarinya dan memperbaiki keadaan tersebut. Sebagian besar kasus membutuhkan
intervensi nutrisi dan modifikasi perilaku yang bermakna. Edukasi keluarga mengenai
kebutuhan gizi dan cara pemberian makan pada anak sangat penting dalam tatalaksana anak
dengan gagal tumbuh. Anak yang tidak respon terhadap modifikasi nutrisi dan perilaku
membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Ada dua hal utama yang dibutuhkan anak dengan gagal
tumbuh yaitu kebutuhan akan diet tinggi kalori untuk tumbuh kejar dan pemantauan minimal
satu kali sebulan sampai tercapai pertumbuhan yang normal. Perawatan di rumah sakit jarang
dibutuhkan kecuali jika gagal dengan tatalaksana rawat jalan, pada gagal tumbuh yang berat
atau disertai penyakit berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.9,11
Gagal tumbuh pada bayi dan anak harus diintervensi sesegera mungkin terutama jika
kurva pertumbuhan berat badan berdasarkan panjang badan dibawah 70%. Malnutrisi yang
terjadi pada usia yang lebih dini dapat berakibat buruk pada perkembangan otak. Setelah
diatasi kedaruratannya, prioritas penanganan selanjutnya adalah observasi selama beberapa
minggu untuk memonitor asupan, keluaran, pertumbuhan, pola makan, interaksi dan ciri bayi
dan anak. Dahulu observasi ini dilakukan di rumah sakit, tetapi saat ini akan lebih baik
dilakukan di lingkungannya sendiri misal dirumah sampai penyebab gagal tumbuh dapat
diidentifikasi.9,11
36

Terapi ditujukan pada penyebab yang mendasari terjadinya gagal tumbuh. Terapi
substitusi hormon tiroid perlu diberikan jika gagal tumbuh disebabkan oleh hipotiroid,
demikian juga apabila disebabkan karena penyakit sistemik maka diatasi penyakitnya
tersebut. Terapi gagal tumbuh bersifat multifaktorial dan secara umum dibagi menjadi
pengobatan jangka panjang dan jangka pendek, melibatkan ibu dan lingkungan serta interaksi
ibu dan bayi. Pengobatan pada bayi termasuk nutrisi, terapi perkembangan dan tingkah laku,
serta mengatasi komplikasi yang terjadi. Pendekatan tatalaksana pada ibu dan lingkungan
memerlukan identifikasi dan modifikasi stressor lingkungan dan perbaikan sistem
perlindungan. Perbaikan interaksi ibu dan anak juga dibutuhkan jika keberhasilan perawatan
di RS akan dilanjutkan di rumah.9,11
Gagal tumbuh memiliki efek yang serius, terutama pada perkembangan otak. Jika
malnutrisi menjadi berat dan kronik pada setahun pertama kehidupan, perkembangan
neurologis anak akan terpengaruh secara permanen. Deteksi dini dan intervensi yang adekuat
sangat penting. Pendekatan multidisiplin sangat penting dalam penatalaksanaan anak dengan
gagal tumbuh. Tim multidisiplin yang terlibat terdiri dari gastroenterolog anak, ahli gizi,
terapis okupasi, fisioterapis, psikolog dan ahli terkait lain.9,11
Suplementasi berdasarkan kalori merupakan kontributor penting dalam tatalaksana
gagal tumbuh. Pada periode catch-up anak membutuhkan kalori tambahan sekitar 20-30%.
Penambahan kalori harus dilakukan dengan perlahan untuk menghindari sindrom re-feeding.
Sindrom re-feeding bisa mengancam nyawa. Salah satu dampak dari re-feeding yang terlalu
cepat adalah perubahan biokimia mendadak di dalam tubuh anak yang sedang mengalami
fase katabolik.9,11

Tabel 2.8 Perkiraan kebutuhan energi dan protein dari lahir hingga 48 bulan.
Age
REE
EER
DRI
Protein
Protein
(Month)
(kcal/kg/day (kcal/day) (kcal/kg/day
(g/day)
(g/kg/day)
)
)
0-3
52
610
102
9,1*
1,52
4-6
52
490
82
9,1*
1,52
7-12
55
720
80
11,0**
1,20
13-35
56
990
82
13,0**
1,05
36-48
64
1000
85
13,0**
1,05
Untuk perhitungan kalori catch-up pertumbuhan, dapat digunakan rumus:

37

Catch-up growth requirement (kcal/kg/hari) = [kalori yang dibutuhkan berdasarkan


usia (kcal/kg/hari) x berat ideal berdasarkan usia (kg) / [berat sekarang (kg)]
Makanan dengan kalori tinggi dapat diberikan selama periode catch-up. Anak yang
lebih besar dapat diberikan, selai kacang, keju, buah kering, dan saus krim. Pemberian
makanan selama periode catch-up harus sangat diperhatikan, sebab anak dengan gizi kurang
memiliki risiko tinggi diare.9,11
Untuk orang tua yang menyusui anaknya, evaluasi pemberian ASI pada bayi dengan
cara memperbaiki manajemen laktasi, selalu pastikan jumlah asupan serta jadwal pemberian
ASI disesuaikan dengan kebutuhan bayi. Frekuensi pemberian berkisar 8-12 kali dalam 24
jam dengan lama pemberian minimal 10 menit disetiap payudara. Atasi masalah ibu dalam
pemberian ASI. Kebutuhan ASI pada balita kurang lebih 1/3 dari total kebutuhan kalori
dalam sehari. Makanan pendamping dapat diberikan pada bayi di atas 6 bulan. Pastikan
pemberian makanan cukup, pemberian makanan pada balita sebaiknya 3 kali makan, 3 kali
snack bergizi per hari, susu sebanyak 480-960 ml/hari. hentikan pemberian jus, punch, dan
soda sampai target catch-up tercapai dan jangan memberikan makanan secara paksa.9,11
2.3.8

Komplikasi

Gangguan pertumbuhan dalam 6 bulan pertama berhubungan dengan gangguan mental


dan psikomotor pada tahun kedua. Dampak terhambatnya pertumbuhan terhadap
perkembangan intelektual dan tingkah laku tergantung dari penyebabnya. Malnutrisi berat
yang lama dan timbul dini berhubungan dengan gangguan perkembangan sistem saraf.9,11
2.3.9

Prognosis

Untuk mencapai pertumbuhan dewasa normal, maka prognosis gagal tumbuh tergantung
dari penyebab gagal tumbuh itu sendiri. Intervensi dini sangat penting untuk mengurangi
resiko gangguan pertumbuhan yang berkelanjutan. Makin cepat timbulnya gangguan tumbuh
dan makin berat penyakit yang mendasarinya maka prognosisnya makin kurang baik.
Gangguan pertumbuhan selama bayi dan anak merupakan faktor resiko potensial untuk
pertumbuhan selanjutnya. Prognosisnya baik jika kebutuhan medis, nutrisi dan psikososial
anak serta keluarga tercukupi.9,11

2.4 ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER

38

Mikrositik berarti kecil, hipokrom artinya mengandung hemoglobin dalam jumlah


yang kurang dari normal.19
Etiologi
Kemungkinan yang terjadi pada anemia hipokromik mikrositer adalah:19

Anemia defisiensi besi (gangguan besi)

Anemia pada penyakit kronik (gangguan besi)

Thalasemia (gangguan globin)

Anemia sideroblastik (gangguan protoporfirin)

2.4.1 Anemia Defisiensi Besi


ADB adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin dan
merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan masalah
kesehatan paling besar di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk
Indonesia adalah 55%. Komplikasi ADB akibat jumlah total besi tubuh yang rendah dan
gangguan pembentukan hemoglobin (Hb) dihubungkan dengan fungsi kognitif, perubahan
tingkah laku, tumbuh kembang yang terlambat, dan gangguan fungsi imun pada anak.13
Diagnosis13

Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan

Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh terhadap
infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar.

Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah,
rambut.

Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, makanan yang
menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras, gandum), serta
konsumsi susu sebagai sumber energy sejak bayi sampai usia 2 tahun (milkaholics).

Infeksi malaria,infestasi parasite seperti akylosyoma dan shistosoma.

Pemeriksaan Fisik13

Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh keluarga.
Bila kadar HB< 5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia.
39

Pucat ditemukan bila kadar Hb < 7 g/dL

Tanpa organomegali

Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardia, gagal


jantung,mprotein losing enteropathy

Rentan terhadap infeksi

Gangguan pertumbuhan

Penurunan aktivitas kerja

Pemeriksaan Penunjang13

Darah lengkap yang terdiri dari : hemoglobin rendah; MCV, MCH dan MCHC
rendah. Red Cell Distribution Width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah
merupakan salah satu skrining defisiensi besi.
o Niklai RDW tinggi > 14,5% pada defisiensi besi, bila RDW normal ( <13%)
pada talasemia trait.
o Ratio MCV/RBC (Mentzer Index >13 dan bila RDW indeks (MCV/RBC x
RDW 220 merupakan tanda anemia defisiensi besi, sedangkan jika kurang dari
220 merupakan thalassemia trait.
o Apusan darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis dan poikilositosis.

Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin < 12 mg/mL dipertimbangkan
sebagai diagnostic defisiensi besi.

Nilai aretikulosist:normal atau menurun, menunjukkan produksi sel darah merah yang
tidak adekuat.

Serum transferrin reseptor (STfR): sensitive untuk menentukan defisiensi besi,


mempunyai nilai tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi anemia akibat
penyakit kronik.

Kadar zinc protoporfirin (ZPP) meningkat

40

Terapi besi (therapeutic trial): respon pemberian preparat besi dengan dosis 3
mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah retikulosit antara 5-10 hari diikuti
kenaikan kadar hemoglobin 1 g/dL atau hematocrit 3% setelah 1 bulan menyokong
diagnosis anemia defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan setelah terapi, hemoglobin dan
hematocrit dinilai kembali untuk menilai keberhasilan terapi.

Kriterian diagnosis ADB menurut WHO:13

Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia

Konsentrasi HB eritrosit rata-rata 31% (N: 32-35%)

Kadar Fe serum <50 ug/dL (N: 80-180 ug/dL)

Saturasi transferrin <15% (N10-50%)

Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor 1, 3 dan 4. Tes yang paling efisien
untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum. Bila sarana terbatas, diagnosis
dapat ditegakkan berdasarkan:13

Anemia tanpa perdarahan

Tanpa organomegali

Gambaran darah tepi; mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target

Respon terhadap pemberian terapi besi.

Tatalaksana13
Mengetahui faktor penyebab: riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya perdarahan yang
abnormal, pasca pembedahan.

Preparat besi
Preparat yang tersedia ferrous sulfat, ferrous glukonat, ferrous fumarat dan ferrous
suksinat. Dosis besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respon terapi dengan menilai
kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan. Yaitu kenaikan kadar HB sebesar 2 g/dL
atau lebih.
Bila respon ditemukan, terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan.
Komposisi besi elemental:
Ferous fumarat: 33% merupakan besi elemental
Ferrous glukonas: 11,6% merupakan besi elemental
41

Ferrous sulfat: 20% merupakan besi elemental

Transfuse darah
Jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat dengan kadar
Hb < 4g/dL. Komponen darah yang diberi PRC.

2.4.2 Talasemia
Merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh efek genetik
pada pembentukan rantai globin. Penyebaran talasaemia meliputi daerah Mediterania, Afrika,
Timur Tengah, Asia Tenggara termasuk Cina, semenanjung Malaysia dan Indonesia.
Thalasemia beta banyak ditemukan di Asia Tenggara, sedangkan Talasemia alfa banyak
ditemukan didaerah timur termasuk Cina.14
Diagnosis
Anamnesis14

Pucat yang lama (kronis)

Terlihat kuning

Mudah infeksi

Perut membesar akibat hepatosplenomegali

Pertumbuhan terhambat/pubertas terlambat

Riwayat transfuse berulang (jika sudah pernah transfuse sebelumnya)

Riwayat keluarga yang menderita talasemia

Pemeriksaan Fisik

Anemia/pucat

Icterus

Facies cooley

Hepatosplenomegali
42

Gizi kurang/buruk

Perawakan pendek

Hiperpigmentasi kulit

Pubertas terlambat

Pemeriksaan Penunjang14
Laboratorium

Darah tepi lengkap:


o Hemoglobin
o Sediaan apus darah tepi (mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel
eritrosit muda/normoblas, fragmentosist, sel target)
o Indeks eritrosit : mCV, MCH dan MCHC menurun, RDW meningkat. Bila
tidak menggunakan cell counter, dilakukan uji resistemsi osmotic 1 tabung
(fragilitas)

Konfirmas;I dengan analisis hemoglobin menggunakan:


o Elektroforesis hemoglobin: tidak ditemukannya HbA dan meningkatnya HbA2
dan HbF.

Jenis Hb kualitatif: menggunakan elektroforesis cellulose acetate

HbA2 kuantitatif: menggunakan metode mikrokolom

HbF: menggunakan alkali denaturasi modifikasi Betke

HbH badan inklusi: menggunakan pewarnaan suparavital (retikulosit)

o Metode HPLC (beta Short variant Biorad): analisis kualitatif dan kuantitatif
Tatalaksana14

Transfuse darah

43

Prinsipnya: pertimbangkan matang-matang sebelum memberikan transfusi darah.


Transfuse darah pertamakali diberikan bila:
o Hb <7 g/dL yang diperiksa 2 kali berturutan dengan jarak 2 minggu
o Hb >7 g/dL disertai gejala klinis:

Perubahan muka/facies Cooley

Gangguan tumbuh kembang

Fraktur tulang

Curiga

adanya

hematopoietik

ekstrameduler, antaralain

massa

mediastinum
Pada penanganan selanjutnya, transfusi darah diberikan Hb< 8 g/dL
sampai kadar Hb 10-11m g/dl
Bila tersedia, transfusi darah diberikan dalam bentuk PRC rendah leukosit.

Medikamentosa
o Asam folat 2 x 1 mg/hari
o Vitamin E: 2 x 200 IU/hari
o Vitamin C 2-3 mg/kg/hari (maksimal 50 mg pada anak <10 tahun dan 100 mg
pada anak lebih dari 10 tahun, tidak melebihi 200 mg/hari) dan hanya
diberikan saat pemakaian deferioksamin, tidak dipakai pada pasien dengan
gangguan fungsi jantung
o Kelasi besi
o Dimulai bila:

Feritin >1000 ng/mL

Bila pemeriksaan feritin tidak tersedia, dapat digantikan dengan


pemeriksaan saturasi transferin >55%

44

Bila tidak memungkinakan dilakukannnya pemeriksaan laboratorium,


maka digunakan kriteria sudah menerima 3-5 liter atau 10-20 kali
trasnfusi.
Kelasi besi pertama kali dimulai dengan deferioksamin :

Dewasa dan anak >3 tahun: 30-50 mg/kg BB/hari, 5-7x seminggu subkutan selama 812 jam dengan syringe pump.

Anak usia kurang dari 3 tahun;15-25 mg/kgBB/hari dengan monitoring ketat.

Pasien dengan gangguan fungsi jantung 60-100 mg/kgBB/hari IV kontinu selama 24


jam.

Pemakaian deferioksamin dihentikan pada pasien yang sedang hamil, kecuali pasien
menderita gangguan jantung yang berat dan diberikan kembali pada trimester akhir
deferioksamin 20-30 mg/kgBB/hari.

Jika tidak tersedia syringe pump dapat diberikan bersama NaCl 0,9% 500 ml melalui
infus selama 8-12 jam

Jika kesediaan federoksamin terbatas: dosis dapat diturunkan tanpa mengubah


frekuensi pemberian.
Pemberian

kelasi

besi

dapat

berupa

dalam

bentuk

parenteral

atau

oral

(deferiprone/deferasiorox) ataupun kombinasi.


Terapi kombinasi (desferioksamin dan deferiprone) hanya diberikan pada keadaan:

Feritin >3000 ng/ml yang bertahan minimal selama 3 bulan

Adanya gangguan fungsi jantung/kardimiopati akibat kelebihan besi

Untuk jangka waktu tertentu (6-12 bulan) bergantung pada kadar feritin dan fungsi
jantung saat evaluasi.

2.4.3 Anemia Sideroblastik

45

Anemia ini merupakan kelompok anemia yang heterogen. Gambaran laboratoriumnya


tergantung dari kausa yang mendasari. Gambaran klinis bervariasi, terdapat riwayat tidak
respon terhadap terapi besi jangka lama, timbul hepatosplenomegali, terdapat gambaran yang
berhubungan dengan penyakit (seperti leukimia, penyakit general, keracunan obat) dan
timbul penumpukan besi progresif pada saat transfusi.15
Pada gambaran darah tepi tampak menunjukkan mikrositosis dan hipokromik. Anemia
sering timbul pada anak-anak dan menjadi parah saat dewasa.15
Anemia sideroblastik jarang terjadi pada pasien dengan anemia defisiensi vitamin B6.
Anemia sideroblastik dapat terjadi sekunder akibat obat-obatan tertentu atau penyakit
sistemik maupun hematologik.15
Gambaran klinis serrta hematologis sangat mirip dengan talasemia dan anemia karena
terjadi diseritropoietik sehingga pemeriksaan secara kuantitatif kadar HbA2 dan HbF baik
pada anak maupun dewasa atau anggota keluarga lain mungkin sangat dibutuhkan untuk
membedakannya.15
Anemia sideroblastik diklasifikasikan dalam 2 bentuk:15
1. Herediter: yang dibagi menjadi x-linked dan autosomal
2. Didapat, yang dibagi lagi menjadi:
1. Idiopatik
Sekunder akibat dari pemberian obat (INH, kloramfenikol, sitotoksik), penyakit hematologik,
penyakit neoplastik, dan inflamatorik.

46

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
1.1.
Identitas Pasien
Nama
: By. A
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 4 bulan
TTL
: Selong, 17 Agustus 2015
Status
: Anak Kandung
No. RM
: 571756
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan

Bapak
Dahri
38
SMP
Petani

Ibu
Muliati
33
SD
IRT

Tanggal MRS
Diagnosis MRS
Tanggal keluar RS
Lama Perawatan

: 27 Desember 2015
: Pneumonia Berat
:
: hari

1.2.

ANAMNESIS (tanggal 28 Desember 2015, Heteroanamnesis


dari ibu pasien)

Keluhan Utama : sesak


Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari RS Swasta Lombok Timur dengan pneumonia. Pasien,
dikeluhkan sesak sejak 2 bulan yang lalu. Sesak dikeluhkan semakin memberat sejak 4
hari yang lalu sebelum dibawa kontol berobat ke RS Swasta. Sesak nafas tidak disertai
bunyi ngik. Sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi tubuh, cuaca atau makanan.
Ibu pasien mengatakan sesak anaknya bertambah setelah mengalami batuk. Batuk
dikeluhkan ibu pasien sejak 4 hari sebeum dibawa berobat. Batuk disertai dahak namun
tidak dapat keluar.
Pasien juga dikeluhkan demam sejak 4 minggu SMRS sampai sekarang. Demam
dikeluhkan naik-turun tanpa sebab yang jelas. Selama demam ibu pasien tidak pernah
memberikan obat penurun panas biasanya hanya dikompres sehingga panas dapat
menurun, namun karena anaknya sempat kejang sebanyak >5 kali, selama 2 menit
setiap kejang, sehingga ibu pasien membawa anaknya ke RS Swasta dan dirawat
selama 4 hari.
47

Ibu pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan sejak sakit. Menurut
penuturan ibu pasien selama sakit anakya malas menyusu dan biasanya hanya
menyusu sebentar-sebentar. Ibu pasien mengatakan anaknya buang air besar normal,
frekuensi rata-rata 1 kali sehari. Buang air kecil lancar dan normal, frekuensi 3-4 kali
sehari, warna kuning jernih.
Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu pasien mengatakan anaknya sering mengalami sesak, namun tidak pernah

separah ini sebelumnya.


Pasien hanya terkadang mempunyai batuk pilek tiap bulannya, tetapi biasanya

sembuh sendiri.
Pasien sering mengalami demam tanpa sebab yang jelas.
Pasien tidak pernah mengalami kejang seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien menderita batuk lama, namun hanya melakukan pemeriksaan
rongent dan tidak datang ke dokter kembali untuk pemeriksaan lanjutan. Saudara dari
ibu pasien pernah menderita batuk lama dan telah didiagnosa TB, dan menjalani
pengobatan 6 bulan, namun pasien jarang kontak dengannya karena tempat tinggalnya
jauh. Saat anaknya sedang dirawat di RSUP NTB ibu pasien kembali memeriksakan
dirinya ke poli paru. Setelah menjalani pemeriksaan sputum dan rongent thorak ibu
pasien di diagnose mengalami Tb paru dan diberikan pengobatan selama 6 bulan.
-

Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya sempat dirawat di RS Swasta selama 4 hari karena demam
dan kejang. Setelah pulang dari RS orang tua asien dsarankan membawa anaknya
control 1 minggu kemudian. Pada saat kontrol orang tua pasien disarankan untuk
rawat inap kembali karena kondisi anaknya sesak, dan pada hari tersebut langsung
dirujuk ke RSUP NTB.
Terapi awal :

IVFD mikro D51/4 NS 12 tpm


Inj. Dexamethason 3 x 1/3 amp
Inj cefotaxim 2 x200 mg
Nebulizer Combivent 3 x sehari

48

Riwayat kehamilan
Anak A merupakan anak ke empat. Ibu pasien pertama kali hamil dan
mengandung anak M di usia 21 tahun.Selama hamil, ibu pasien rutin memeriksakan
kehamilannya di puskesmas yaitu sebanyak lebih dari 6 kali. Selama hamil ibu pasien
mendapatkan vitamin penambah darah dan tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan
maupun jamu-jamuan, namun ibu pasien sering mengalami mual muntah yang
berlebihan pada bulan-bulan pertama kehamilannya. Ibu pasien juga sering
mengalami sesak dan batuk yang lama sejak awal kehamilannya. Riwayat hipertensi
dalam kehamilan(-), kejang selama kehamilan(Eklamsia), Anemia selama hamil(-),
Riwayat demam (-). konsumsi makanan dan minuman cukup.

Riwayat Persalinan
Ibu pasien lupa tanggal HPHT saat hamil anak keempat (pasien). Namun,ia
mengaku melahirkan pasien dengan usia kehamilan cukup bulan. Pasien lahir di RS
Swasta melalui persalinan normal ditolong dokter, langsung menangis dengan berat
badan lahir 2800 gram. Namun, Ibu pasien lupa panjang badan dan lingkar kepala
pasien saat baru lahir. Riwayat kejang (-), kulit biru (-), dan kulit kuning (+) setelah
lahir, sehingga pasien dirujuk ke NICU di RSUD DR Soejono, pasien dirawat selama
7 hari dan diperbolehkan pulang.

Ikhtisar Keluarga

49

Riwayat Imunisasi:
Menurut pengakuan Ibu pasien, pasien mendapat imunisasi dasar sebanyak
dua kali di Posyandu. Namun, tidak ada catatan di buku KIA, sehingga bukti autentik
tindakan imunisasi tidak dapat dilacak. Di deltoid kanan pasien terdapat skar bekas
imunisasi BCG.

Imunisasi

Dasar

HB 0
BCG, Polio 1
DPT/HB 1, Polio 2
DPT/HB 2, Polio 3
DPT/HB 3, Polio 4

tde
sudah
tde
tde
belum

Riwayat Nutrisi
Ibu pasien mengaku anaknya diberikan asi sejak lahir sampai sekarang. Ibu
pasien mengatakan berat badan anaknya tidak naik sejak usia 2 bulan, namun malah
mengalami penurunan, karena nafsu menyusu anaknya menurun.

Riwayat Tumbuh Kembang


Orang tua pasien menyatakan perkembangan anaknya sedikit terlambat, mulai
dari saat duduk kepala belum bisa tegak, respon berteriak kurang, respon memegang
keicikan kurang,

respon tersenyum spontan kurang tidak sesuai dengan anak

seumuran dengannya.
-

Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Pasien berasal dari keluarga sosial ekonomi menengah kebawah. Pasien
tinggal bersama orang tua dan dua orang kakaknya. Orang tua pasien bekerja sebagai
petani dengan penghasilan tidak menentu rata-rata Rp. 750.000,- Rp. 1.000.000
Keluarga pasien biasa memasak di dapur dengan menggunakan kompor.
Sumber air di rumah pasien berasal dari sumur dan PDAM. Kebutuhan untuk masak
menggunakan air PDAM dan kebutuhan MCK menggunakan air sumur. Kamar mandi
pasien dilengkapi dengan septic tank yang berjarak > 10 m dari sumber air.
Di lingkungan rumah pasien, ada anggota keluarga yang merokok. Tetangga
pasien tidak ada yang menderita batuk dan ada yang sedang dalam masa minum obat
TB yaitu tante pasien namun tempat tinggalnya tidak dekat denga pasien.
50

3.4 Pemeriksaan Fisik(tanggal 6/08/15)


-

Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda Vital

: berat
: CM/ E4V5M6
:

Frekuensi Nadi

: 160 kali/menit, teratur, dan kuat angkat.

Frekuensi Pernapasan : 72kali/menit, tidak teratur, pernapasan thorakoabdominal

SpO2

: 90% (O2 2 Lpm)

Suhu Aksilaris

: 38,4C

Penilaian Pertumbuhan

Berat Badan
Tinggi Badan
LiLa
Lingkar Kepala
Lingkar lengan

:3,95 kg
: 59 cm
: 10,5 cm
: 36,5 cm (mikrochepali)
: 10,5 cm

Kesimpulan status gizi menggunakan WHO:


o BB/U

= - 3 SD sampai dengan <-2 SD (Gizi kurang)

o PB/U

= - 2 SD sampai dengan 2 SD (Normal)

o BB/PB

- 2 SD sampai dengan 2 SD (Normal)

51

Status Gizi pasien menurut CDC mendukung ke diagnosis gagal tumbuh, yaitu :
52

Anak umur kurang dari 2 tahun dengan berat badan di bawah persentil ke-3 sesuai

usianya pada lebih dari satu pengukuran.


Anak umur kurang dari 2 tahun dengan berat badan per umur kurang dari 80%
Anak umur kurang dari 2 tahun dengan penurunan berat badan memotong 2 persentil
mayor atau lebih pada kurva pertumbuhan.

Pemeriksaan Fisik Umum

Status Generalis
Kepala:

Bentuk

: Mikrochepali (36,5 cm)

Rambut

: hitam, lurus, distribusi tidak merata dan tidak mudah dicabut

UUB

: Cekung

Mata

: Anemis +/+, ikterik -/-, RP (+), Isokor, Edema palpebra -/-,

mata cowong (-/-), bercak Bitot (-), kornea dan konjungtiva kering (-),
ulkus kornea (-)

Mulut

: pucat (+), bibir kering (-), sianosis pada mukosa mulut (+).

THT

: otorhea (-), rinorhea (-), faring hipemis (-), tonsil eutrofi.

Leher

: Pembesaran KGB (-)

Thorax :

Inspeksi

: Bentuk dan ukuran normal, deformitas (-), iga gambang (-), gerakan

dinding dada kanan sedikit tertinggal, retraksi subcosta (+), retraksi suprasternal
(+)

Palpasi

: Pergerkan dinding dada kanan sedikit tertinggal

Perkusi

:
Pulmo : Kanan : Terdengar suara sonor
Kiri
Cor

: Terdengar suara sonor

: tde

Auskultasi :

53

Pulmo : bronkovesikuler +(menurn)/+, rhonki kasar +/+, Rhonki basah


halus +/+ pada kedua lapang paru bawah, wheezing -/-,
stridor +/+
Cor

: S1S2, tunggal, reguler, murmur (-), galop (-)

Abdomen :

Inspeksi

: distensi (+), massa (-), jejas (-), pelebaran vena (-)

Auskultasi : Bunyi usus (+) normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: Supel, massa (-), Hepar tak teraba, lien tak teraba dan ren tak teraba,

turgor kulit normal.


Ekstremitas :
Tungkai Atas
Kanan
Kiri
+
+
-

Akral hangat
Edema
Baggy pants
Urogenital

Tungkai bawah
Kanan
Kiri
+
+
-

: dalam batas normal

Anal perianal : dalam batas normal


3.5Pemeriksaan penunjang
o Darah Lengkap
PARAMETER
HGB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCHC
WBC
PLT

(27/12/2015)
9,9 g/dl
3,98 x 106/uL
28,6 %
73,7 Fl
25,5 pg
34,6 g/dl
16,39 x103 u/L
470 x103 u/L

(28/12/2015)
10,4 g/dl
3,92 x 106/uL
29,6 %
75,5 Fl
26,5 pg
35,1 g/dl
12,90 x103 u/L
198 x103 u/L

o Pemeriksaan Kimia Klinik


PARAMETER
GDS
SGOT
SGPT

(27/12/2015)
77 mg/dl

(4/01/2016)
33 mg/dl
19 mg/dl

54

o Pemeriksaan laboratorium
Jenis pemeriksaan
SI
TIBC
Jumlah Retikulosit

(28/07/2015)
88 us/dl
328
1,8 %

o Lain-lain

Mantoux Tes :28 Desember 2015


Parameter
Mantoux

Evaluasi semua region volar kesan


indurasi 0 mm

Pemeriksaan Hapusan Darah Tepi : 29 Desember 2015

Kesan Eritrosit: Mikrositik hipokromik


Kesan lekosit: Jumlah meningkat, neutrofil absolute, limfosit atipik
Kesan trombosit: jumlah cukup, penyebaran tidak merata, clumps ++ .

trombosit besar
Kesimpulan: gambaran anemia mikrositik hipokromik disertai proses
infeksi bacterial + viral

Rontgen Thorax AP : (28/12/2015)

55

Rontgen Thorax LAT : (28/12/2015)

Foto thoraks proyeksi AP - LAT


Insipirasi : cukup
Kondisi foto cukup
Diafragma dextra et sinistra mendatar
Sudut costrophrenicus yang tajam
Kesan : Infiltrat perihiler bilateral (+), konsolidasi paru pracardial Dextra (+)
Rontgen Thorax LAT : (12/01/2016)

56

57

Kesan : konsolidasi paru kanan bawah menurun, Infiltrat perihiler dextra et


sinistra (+)

Scoring TB Pasien
Parameter
Kontak TB

0
Tidak jelas

1
-

Negatif

2
Laporan keluarga,
BTA (-)/BTA tidak
jelas/tidak tahu
-

Berat Badan/Keadaan
Gizi

Demam yang tidak


diketahui penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran kelenjar
limfe kolli, aksila,
inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi panggul,
lutut, falang
Foto thorax

BB/TB<90%
atau
BB/U<80%
> 2 minggu

Klinis gizi buruk


atau BB/TB<70%
atau BB/U<60%
-

> 3 minggu
> 1 cm, > 1,
tidak nyeri

Normal/
kelainan
tidak jelas

Uji Tuberkulin
(Mantoux)

3
BTA (+)

Skor
3

Positif (>
10 mm
atau > 5
mm pada
IMC)
-

0
0

Ada
pembengkakan

Gambaran
sugestif TB

Skor
Total

3.6 Resume
Pasien merupakan rujukan dari RS Swasta dengan Pneumonia. Pasien dikeluhan sesak
sejak 2 bulan yang lalu, disertai dengan demam, dan batuk. Pasien mempunyai tetap kontak
dengan ibu pasien mempunyai sakit TB, dan dalam masa pengobatan. Nafsu menyusu
menurun selama sakit ini dan berat badan terus menurun. Pemeriksaan status gizi
menunjukkan status gizi dengan gizi kurang.
Pemerisaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran Compos Mentis,
E4V5M6, frekuensi nadi: 160 kali/menit, teratur, kuat angkat, frekuensi pernapasan:72
kali/menit, tidak teratur, suhu aksilaris 38,4C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kepala
mikrocephali, konjungtiva anemis, bibir pucat, dan sianosis, thoraks didapatkan retraksi
subcostal, ronkhi basah halus pada kedua lapang paru bagian bawah, stridor (+).
Berdasarkan hasil rongent didapatkan infitrat dan konsolidasi.
58

3.7 Diagnosis kerja


-

Pneumonia berat
Tb Paru
Gagal tumbuh
Anemia hipokromik mikrositik e.c defisiensi besi

3.8 Penatalaksanaan
Tatalaksana Medikamentosa
-

D5 NS 15 asal netes
Cefotaxim 3 x 150 mg
Parasetamol 60 mg bila perlu

Tatalaksana Non Medikamentosa


1.

Pemberian IF sebanyak 12 x 55 cc

2.

KIE:

Cara minum obat, Lama pengobatan

Monitoring
1.
2.
3.
4.

Keluhan (sesak, demam, batuk, nafsu makan)


Tanda-tanda vital
Respon terapi
Efek samping obat

Divisi Respiro
Oksigen 2 liter/menit

D5 NS asal netes

Cefotaxim 3 x 150 mg

Parasetamol 60 mg k/p

Divisi Gizi
- IF : 12 x 55 cc

KIE
- Meminta orang dewasa disekitar
tempat tinggal pasien untuk
membawa anak-anak disekitar
tempat tinggal agar dilakukan
pemeriksaan untuk TBC.
- Meminta orang dewasa yang
berada disekitar tempat tinggal
pasien melakukan pemeriksaan
untuk TBC seperti cek sputum
dan
pemeriksaan
rontgen
(sampaikan melalui orang tua
pasien)

59

3.9Follow Up Pasien
TGL

subjektif

28/12/15

Batuk

Pemeriksaa

demam

asssesment

Planning

(+), KU : Lemah

-Pneumonia

- O2 2 LPM

(+), T: 38,4

berat

- Raber Gizi

n oleh orang sesak (+), rewel RR: 70x/m

DD/ Tb paru

- D51/4 NS asal netes

lain

-Gagal

- NGT

tumbuh

- Cefotaxim 3 x 150 mg

(+),

Objektif

malas N:150x/m

menyusu (+)
Thoraks :

-Anemia

Rongent thorak AP-Lat


- Mantoux tes
P: ves +/+, rh +/+, hipokromik
- MDT retikulosit, SI, TIBC
stridor +
mikrositik e.c BB: 4,1 kg

def

Lab :

dd/APK

Fe,

HB : 10,4
MCV: 75,5
MCH: 26,5
MCHC: 35,1
WBC : 12,90
PLT : 198
SI : 88
29/12/2016

Batuk

TIBC : 328
(+), KU : Sedang

Pemeriksaa

demam

(+), T: 37,9

n oleh orang sesak (+), rewel RR: 72x/m


lain

(+),

malas N:122x/m

menyusu (+)

Visite Respirologi, advice :


-

O2 3 Lpm

Terapi lanjut

SpO2 : 93 (2 lpm)
Konjungtiva
Anemis +/+
Thoraks : retraksi
subcosta (+),
P: ves +/+, rh +/+,
60

stridor +

30/02/2015

Demam

Pemeriksaa

turun,

naik KU : Sedang

At risk CP +

Batuk T: 37,5

Epilepsi

n oleh orang (+), sesak (+), RR: 68x/m


lain

kejang (+)

ml
-

N:140x/m

Asam valproat 2 x 0,6

Jika kejang, diazepam iv


1,5 mg

SpO2: 98 (3 lpm)
-

Terapi lanjut

Thoraks : retraksi
subcosta (+), Rh
+/+ basah halus,
31/12/2015

Demam

Pemeriksaa

turun,

wh +/+
naik KU : Sedang

Visite Respirologi advice :

Batuk T: 37

Mantoux
test
:
evaluasi
semua
region
volar

indurasi 0 mm

Terapi lanjut

n oleh orang (+), sesak (+), RR: 68x/m


lain

kejang (-)

N:130x/m
SpO2 : 98 (2 lpm)
Thoraks : retraksi
subcosta, Rh +/+
basah halus

2/01/2016

Demam

Pemeriksaa

turun,

naik KU : Sedang

Visite Respirologi :

Batuk T: 37,9

n oleh orang (+), sesak (+), RR: 60x/m


lain

kejang (-)

Terapi Lanjut
Ibu dapat OAT
Anak diberi OAT

N:131x/m
SpO2 : 96 (2 lpm)
Thoraks : retraksi
subkostal
Rh

+/+

basah

halus, wh +/61

4/01/2016

Demam

(+), KU : Sedang

Batuk (+) sesak T: 37,8


(+)

Visite Respirologi
-

Cek SGOT, SGPT,

RR: 64x/m

bila normal diberikan

N:124x/m

OAT KDT anak fase

SPO2 : 98 (O2 1

intensif 1x1 tablet.

lpm)

Bila

tidak

normal

diberikan
Thoraks : Retraksi
subkostal, Rh +/+
basah halus, wh +/
+

OAT

lepasan.
Terapi lanjut

Visite Gizi
Sama dengan respiro
IF 12x55 cc

5/01/2016

Demam

(+) KU : Sedang

sesak (+)

T: 36,8
RR: 60x/m

Visite Respirologi advice


-

Terapi lanjut
KDT
anak

fase

intensif 1x1 tablet

N:136x/m
SPO2 : 98 (O2 1
lpm)
Thoraks : Rh +/+,
wh +/+
BB: 4,5 kg
SGOT : 33
6/01/2016

Demam

SGPT : 19
naik KU : sedang

turun, Sesak (+)

Visite Respirologi advice

T: 36,9

Terapi lanjut

RR: 60x/m

Rencana konsul rehab


jika tidak demam

N:148x/m
SpO2 : 97 (1 lpm)
Thoraks : retraksi

62

subkostal

dan

suprasternal,
Rh basah halus +/
7/01/2016

Sesak
Demam (+)

+, wh +/+
(+), KU : Sedang

Visite Respirologi advice

T: 37,2

RR: 60x/m

Terapi lanjut
Konsul rehab

N:149x/m
SpO2 : 95% (O2:
0,5 lpm)
Thoraks : retraksi

Visite rehab advice


-

Positing
Bed terapi/2jam
Latihan breathing
Up chest thorax

subcosta(+),Pectus
excavatus (+), rh
8/01/2016

Demam

+/+, wh +/+
(+), KU : Sedang

sesak (+)

T: 37,9

Visite Respirologi advice


-

Terapi lanjut

RR: 65x/m
N:150x/m
SpO2 : 97 (O2 0,5
lpm)
Thoraks

retraksisubcosta
(+) Rh basah halus
minimal +/+ wh
09/10/2015

Demam

+/+
(+) KU : Sedang

sesak (+)

T: 36,1

Visite Respirologi advice


-

Terapi lanjut

RR: 48x/m
N:144x/m
SpO2 : 100 (O2 3

Visite rehab advice


-

Terapi lanjut

lpm sungkup)

63

Thoraks : retraksi
subcosta (+) Rh +/
+ wh +/+
11/01/2016

Demam

(+) KU : Sedang

Pemeriksaa

sesak (+)

T: 37,1

n oleh orang

RR: 63x/m

lain

N:144x/m
SpO2 : 97 (O2 0,5

Visite Respirologi advice


-

Ro. Thorax ulang


Cek DL sekalian

ganti lokasi
Cefotaxime

ceptriaxone 2x200mg
Terapi lain lanjut

lpm)
Thoraks : retraksi

diganti

subcosta(+) Rh +/
+ basah halus wh
12/01/2016

Demam

-/(+) KU : Sedang

Pemeriksaa

sesak (+)

T: 37,9

n oleh orang

RR: 55x/m

lain

N:134x/m

Visite Rehab
- Terapi lanjut
Visite Respirologi advice
-

O2 1 lpm
Terapi lanjut

SpO2 : 97 (O2 2
lpm)
Thoraks : retraksi
(+) Rh +/+ basah
halus
Rongent thorax :
Konsolidasi paru
kanan berkurang,
infiltrate
paracardial dextra
13/01/2016

Deman

Pemeriksaa

sesak (+)

et sinistra
(+), KU : Sedang
T: 37,6

n oleh orang

RR: 56x/m

lain

N:138x/m

Visite rehab :
-

Massage
Koreksi

punggung
Positioning

dada/

64

SpO2 : 96 (O2 1
lpm)

Visite Respirologi
-

Terapi lanjut

Thoraks : retraksi
(+) Rh +/+ basah
14/01/2016

Demam

halus
(+), KU : Sedang

Pemeriksaa

sesak (+)

T: 37,8

n oleh orang

RR: 55x/m

lain

N:129x/m

Visite Respiro, advice :


-

Cotrimoxazole
KDT lanjut
Nebulizer combiven
selang

SpO2 : 95 (O2 1

epinefrin

lpm)
Thoraks : retraksi

15/01/2016

Demam

Pemeriksaa

sesak (+)

T: 38,4

n oleh orang

RR: 50x/m

lain

N:147x/m
SpO2 : 94 (O2 1

Terapi lain lanjut.


Visite Respiro, advice :
-

Nebulizer

stop
Nebulizer combiven /

6 jam
Erytromicin syr 3x1,5

ml
Rencana steroid oral

Thoraks : retraksi
kasar
16/01/2016

Demam

Pemeriksaa

sesak (+)

(+) KU : Sedang
T: 38

n oleh orang

RR: 48x/m

lain

N:140x/m

epineftrin

konfirmasi devisi gizi


Visite gizi :
-

ACC steroid
Terapi lanjut

Visite respiro, advice ::


-

Terapi lanjut
Metilprednisolone 3 x
1 mg

SpO2 : 95 (O2 1
lpm)

0,9%,

2cc NaCl 0,9%)

lpm)

(+) Rh +/+ basah

NaCl

epinefrin 2 ampul +

dan

subcosta(+) Rh +/
+ wh +/+
(+) KU : Sedang

2x

(combiven 1 ampul +
3 cc

suprasternal

seling

Visite Gizi, advice:


-

Cek UL
65

Thoraks : retraksi
berkurang (+) Rh
+/+
18/01/2016

Demam

Pemeriksaa

Sesak (+)

(+), KU : Sedang
T: 37,8

n oleh orang

RR: 43x/m

lain

N:150x/m
SpO2 : 97 (O2 1

Visite respiro, advice:


-

Terapi lanjut

Visite rehab, advice :


-

Assisted breathing
Chest FT

lpm)
Thoraks : retraksi
(+) Rh +/+ basah
19/01/2016

Demam

Pemeriksaa

Sesakl (+)

halus
(-), KU : Sedang
T: 37,5

n oleh orang

RR: 51x/m

lain

N:150x/m
SpO2 : 95 (O2 1
lpm)

Visite respiro , advice :


Terapi lanjut
Visite gizi, advice:
-

Cek TORCH
Tunggu hasil kultur

Thoraks : retraksi
(+) Rh +/+ basah
halus
naik KU : Sedang

20/01/2016

Demam

Pemeriksaa

turun, sesak (+)

T: 38,0

n oleh orang

RR: 56x/m

lain

N:144x/m

Visite Respiro, advice


-

O2 0,5-1 lpm
Erytomisin stop
Terapi lain lanjut

SpO2 : 96 (O2 1
lpm)
Thoraks : retraksi
suprasternal
minimal (+) Rh +/
66

+ basah halus wh
-/-

BAB IV
PEMBAHASAN
Pneumonia pada pasien ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang mendukung
berupa gejala infeksi umum seperti demam, gelisah, nafsu menyusu berkurang, dan gejala
gangguan

respiratorik seperti batuk, sesak napas, napas cuping hidung, merintih

dan

sianosis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan retraksi subcosta, suara napas melemah dan ronki
basah halus.
67

Sedangkan untuk diagnosis TB pada pasien ini dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis yang mendukung, yaitu demam tidak jelas penyebabnya sudah 2 bulan, berat badan
kurang, dan disertai dengan adanya riwayat kontak dengan ibu kandung pasien dengan BTA
(+) yang juga sedang minum obat OAT.
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan
orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif, yaitu Ibu pasien yang sedang dalam
pengobatan), kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik).
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien
dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas,
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan
yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik dan semua faktor resiko tersebut
ada pada pasien.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan vital sign nadi : 110 x/menit, RR : 60 x/menit,
suhu tubuh 38,2, SP02 : 97%, sianosis (+), napas cuping hidung (+), pemeriksaan fisik thorak
didapatkan retraksi subcosta pada dinding dada, simetris, ronki basah halus di kedua regio
paru.
Pada perhitungan status gizi, pasien dalam keadaan status gizi kurang. Pada pasien
dengan keadaan status gizi kurang kemungkinan untuk terjadinya penyakit TB semakin
meningkat. Sehingga penting untuk menatalaksanai kondisi tersebut. Dengan memperbaiki
status gizi, diharapkan respon terhadap obat-obatan yang diberikan juga menjadi lebih baik.
Pada pasien ini kemudian dilakukan penilaian dengan scoring TB dan didapatkan skor
6. Oleh karena skor 6, pasien dapat langsung diterapi dengan KDT anak untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan
jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap =
KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam
tablet, yaitu: Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif. Tablet RH yang
merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H (Isoniazid) yang digunakan pada
tahap lanjutan. Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut. Pada pasien diberikan KDT fase intensif dengan
dosis 1 tablet setiap hari selama 2 bulan.kemudian akan dilakukan evaluasi pengobatan dan
dilanjutkan dengan terapi fase lanjutan selama 4 bulan.
Selain itu pasien juga diberikan antibiotik untuk mengeliminasi infeksi bakteri sebelum
diberikan KDT, dan karena dicurigai infeksi tambahan dari bakteri lain pada awalnya
68

sehingga diberikan antibiotik Cefotaxime 3x150 mg pasien juga beberapa kali mendapatkan
pergantian antibiotik.
Selain itu pasien juga menderita gagal tumbuh, ini dapat dilihat dari grafik CDC BB/U
dibawah persentil 5. Diagnose ditegakkan berdasarkan 3 criteria berikut: Anak umur kurang
dari 2 tahun dengan berat badan di bawah persentil ke-3 sesuai usianya pada lebih dari satu
pengukuran, anak umur kurang dari 2 tahun dengan berat badan per umur kurang dari 80%,
anak umur kurang dari 2 tahun dengan penurunan berat badan memotong 2 persentil mayor
atau lebih pada kurva pertumbuhan.
Pada pasien ini gagal tumbuh yang diderita adalah gagal tumbuh tipe campuran
organik dan non organik. Penyebab organik yaitu diketahui kondisi medis yang menyebabkan
gagal tumbuhnya. Pada pasien ini disebabkan oleh infeksi tuberkulosis. Penyebab non
organik yaitu karena kemiskinan, masalah psikososial di dalam keluarga, kurangnya
pengetahuan tentang nutrisi dan cara pemberian makan anak yang berakibat penurunan nafsu
makan nya saat sakit juga mempengaruhinya. Kaitan antara infeksi dan kurang gizi maupun
gagal tumbuh sangat sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling
memperberat. Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan anak menjadi kurang gizi yang pada
akhirnya memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan tubuh sehingga memudahkan
terjadinya infeksi baru pada anak.
Karena menderita gizi kurang pasien dan gagal tumbuh pasien diberikan IF sebanyak
12 x 55 cc dan ditingkatkan jika penyerapan nutrisi sudah meningkat, seerta edukasi terhadap
ibu menyusui anaknya, evaluasi pemberian ASI pada bayi dengan cara memperbaiki
manajemen laktasi, selalu pastikan jumlah asupan serta jadwal pemberian ASI disesuaikan
dengan kebutuhan bayi. Frekuensi pemberian berkisar 8-12 kali dalam 24 jam dengan lama
pemberian minimal 10 menit disetiap payudara. Atasi masalah ibu dalam pemberian ASI.
Kebutuhan ASI pada balita kurang lebih 1/3 dari total kebutuhan kalori dalam sehari. Selain
itu disini diberikan D5 NS 20 tpm, dan parasetamol 50 mg bila perlu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Said Mardjanis. Pneumonia dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit
IDAI, Jakarta. 2012. p. 350-366
2. WHO. Pneumonia dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Jakarta.: Badan Penerbit WHO; 2005. p.86-93

69

3. IDAI. Pneumonia. In Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: IDAI; 2009. p. 250-255
4. WHO. Tuberkulosis dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Jakarta.: Badan Penerbit WHO; 2005. p.113-119
5. Kelompok Kerja TB anak-DepKes-IDAI. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis
Anak Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. 2nd ed. Aditama TY, Kamso S, Basri C, Surya A, editors. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006.
7. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 2nd ed. Jakarta:
IDAI; 2008.
8. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Manajemen Tb Anak Dinihari TN, Dewi
RK, editors. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.
9. Behrman RE, RM Kliegman, HB Jenson. Food Insecurity, Hunger, and
Undernutrition in Nelson Textbook of Pediatric 18th edition, 2004 . p. 225-232
10. IDAI. Failure to Thrive. In Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS,
Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: IDAI; 2009. p. 75-78
11. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. EGC:Jakarta. 1995. p. 1-43.
12. Matondang, Corry S., Wahidiyat, I., Sastroasmoro, S. Diagnosis fisik pada anak. Ed 2.
Jakarta: Sagung Seto. 2007. p. 32-182.
13. IDAI. Anemia Defisiensi Besi. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS,
Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: IDAI; 2009. p. 10-13
14. IDAI. Talasemia. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: IDAI; 2009. p. 299-302
15. Bakta I.M. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC. 2007. p. 42-44

70

You might also like