Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Apriana Aidiyatul Fitri
(H1A008007)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Berkah, Rahmat dan
Karunia-Nya Laporan Responsi Kasus ini dapat tersusun tepat pada waktunya. Laporan
Responsi Kasus ini merupakan salah satu penugasan pada kepaniteraan klinik madya di
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU Provinsi NTB selama menjadi mahasiswa di
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.
Laporan Responsi Kasus ini akan membahas mengenai Pneumonia Berat disertai TB
Paru + Gagal Tumbuh + Anemia defisiensi besi pada anak yang ditemukan di bangsal Gili
Nangu RSU Provinsi NTB pada bulan Desember tahun 2015. Dari Laporan Responsi Kasus
ini diharapkan pembaca maupun penulis dapat mengetahui Gejala, Diagnosis dan
Penatalaksanaan dari TB pada anak, yang merupakan tujuan dan manfaat dari Responsi kasus
ini, sehingga kelak dapat bermanfaat.
Penulis menyadari dalam penyusunan Laporan Responsi Kasus ini masih terdapat
banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan
saran yang membangun dari para pembaca, guna perbaikan dan penyempurnaan penelitian
selanjutnya.
Semoga laporan penelitian ini memberikan manfaat untuk kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstisial. Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta perjalanan
penyakitnya. WHO mendefinisikan pneumonia hany berdasarkan penemuan klinis yang
didapat pada pemeriksaan insfeksi dan Frekuensi pernafasan.1, 3
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak
di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak
diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumoni,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan national (SKN)
2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balitadi Indonesia disebabkan oleh penyakit
system respiratori, terutama Pneumonia.
Terdapat berbgai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak blita di Negara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah pneumonia
yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat imunisasi, tidak
mendapat asi yang ade kuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi
bakteri pathogen di nasofaring dan tingginya pajanan polusi udara ((polusi industry atau asap
rokok).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. PNEUMONIA
1.1.
Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar terjadi
akibat infeksi oleh berbagai mikroorganisme terutama bakteri, virus, mikoplasma atau
campuran mikroorganisme tersebut. Gambaran inflamasi akut jaringan paru dapat juga
disebabkan oleh faktor non-infeksi misalnya aspirasi inhalasi hidrokarbon
atau gas-gas
toksik lainnya. Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting
adalah penyebab dari pneumonia (virus atau bakteri).1,2,3
Pneumonia seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami
komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan radiologi dan laboraturium tidak menunjukkan
perbedaan nyata. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologi.1
1.2.
Etiologi
Umur penderita merupakan faktor penting adanya perbedaan dan kekhasan dalam
spektrum etiologi, gambaran klinik dan strategi pengobatan pada pneumonia anak. Spektrum
mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih
besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptokokus grup B dan
bakteri Gram negatif seperti E coli, Pseudomonas atau Klebsiela. Pada bayi yang lebih besar
dan anak balita pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptokokus pneumonia,
Hemofilus influenzae tipe B dan Stafilokokus aureus; sedangkan pada anak yang lebih besar
dan remaja selain bakteri tersebut sering ditemukan infeksi dengan Mikoplasmapneumoniae.1
Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri.
Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptokokus pneumoniae, Hemofilus
influenzae dan Stafilokokus aureus. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri-bakteri ini
umumnya responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik beta-laktam. Di lain pihak
terdapat pula pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik beta laktam dan dikenal
sebagai pneumonia atipik. Pneumonia atipik terutama disebabkan oleh bakteri atipik seperti
Mikoplasma pneumoniae dan Klamidia pneumoniae.1
Di negara maju pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus disamping
bakteri atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk dalam penelitian pada pneumonia anak
menemukan etiologi virus saja 32%, campuran bakteri dan virus 30% dan bakteri saja 22%.
3
Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), virus Rino dan
virus Parainfluenza; bakteri yang terbanyak adalah Streptokus pneumoniae, Hemofilus
influenzae tipe B dan Mikoplasma pneumoniae. Anak usia 2 tahun ke atas mempunyai
etiologi infeksi bakteri lebih banyak dibandingkan anak usia di bawah 2 tahun.1
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok umur yang bersumber
dari data di negara maju dapat di lihat pada tabel berikut :18
Tabel 1: Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok umur di negara maju1
Umur
Lahir 20 hari
3 minggu-3 bulan
4 bulan-5 tahun
5 tahun- remaja
Bakteri
Klamidia trakomatis
Streptokokus pneumoniae
Virus
Virus Adeno
Virus Influenza
Virus Parainfluenza 1,2,3
Respiratory Syncytial Virus
Bakteri
Klamidia pneumoniae
Mikoplasma pneumoniae
Streptokokus pneumoniae
Virus
Virus Adeno
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Bakteri
Klamidia pneumoniae
Mikoplasma pneumoniae
Streptokokus pneumoniae
Bakteri
Hemofilus influenza
Legionela spp
Stafilokokus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
4
Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme penyebab terisap ke paru perifer melalui saluran napas.
Mula-mula terjadi udem karena reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan
penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi
yaitu terjadi sebukan sel polimorfonuklear, fibrin, eritrosit, cairan udem dan ditemukan
kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya terjadi deposisi
fibrin, terdapat fibrin dan leukosit polimorfonuklear di alveoli dan terjadi proses pagositosis
yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya jumlah sel makrofag
meningkat di alveoli, sel akan degenerasi dan fibrin menipis, kuman dan debris menghilang.
Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak
terkena akan tetap normal.1
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit
hingga stadium khas yang diuraikan di atas tidak terjadi.Beberapa bakteri tertentu sering
menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi
Streptokokus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata
di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa
konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumatokel atau abses-abses kecil sering
disebabkan oleh Stafilokokus aureus pada neonatus atau bayi kecil karena Stafilokokus
aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase
dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan kavitasi.
Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin hingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat
korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman. Stafilokokus yang tidak
menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumatokel dapat
menetap sampai berbulan-bulan tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut.1
1.4.
Gejala Klinis
Sebagian besar gambaran klinik pneumonia pada anak berkisar antara ringan sampai
sedang hingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil berupa penyakit berat dan
mengancam kehidupan serta mungkin berkomplikasi dengan penyakit lain hingga
memerlukan perawatan di rumah sakit.1
5
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinik pneumonia pada anak adalah
imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinik
yang kadang-kadang
diagnostik invasif, etiologi non-infeksi yang relatif lebih sering dan faktor patogenesis.
Disamping itu kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda; hingga perlu dipertimbangkan dalam penatalaksanaan
pneumonia.1
Tergantung berat ringannya penyakit secara umum gambaran klinik penumonia pada
bayi dan anak adalah sebagai berikut:1,3
Gejala infeksi umum seperti demam, sakit kepala, gelisah, malaise, nafsu makan
berkurang, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
Gejala gangguan respiratorik seperti batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnu,
napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik anak dengan pneumonia dapat ditemukan tanda klinik seperti
pekak perkusi, suara napas melemah dan ronki. Namun pada neonatus dan bayi kecil gejala
dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat; pada perkusi dan
auskultasi umumnya tidak ditemukan kelainan.1,3
Pneumonia pada Balita dan anak yang lebih besar
Spektrum etiologi pada anak meliputi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza
tipe B, Staphylococcus aureus. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, disamping
berbagai virus respiratori. Pada anak yang lebih besar dan remaja, Mycoplasma pneumoniae
merupakan etiologi pneumonia atipik yang cukup signifikan.1
Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang
keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis ditemukan gejala respiratori
seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), nafas cuping hidung, ronki, dan
sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media,
faringitis dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat
alveoler. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila
terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan
dada juga akan terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah,
sesak nafas akan semakin bertambah, tetapi nyeri plerua semakin berkurang dan berubah
menjadi nyeri tumpul.1
Kadan-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang
menimbulkan iritas diafragma. Nyeri abdomen dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan
menyerupai apendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang
disebabkan aerofagi atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma,
atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi
pneumonia.1
1.5.
Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologik dan/atau serologik
sebagai dasar terapi yang optimal. Namun penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah
oleh karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Oleh karena itu pneumonia
pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan
keterlibatan sistem pernapasan dan gambaran
pneumonia adalah demam, sianosis dan lebih dari satu gejala respiratorik sebagai berikut:
takipnu, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara napas melemah.1,2,3
1.5.1. Pemeriksaan Penunjang
Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Namun
pada
pneumonia bakteri
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respons
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat di stimulasi oleh sitokin, terutama
interleukin (IL)-6, IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi pastinya in vivo
belum
diketahui,
CRP
sangat
mungkin
mempunyai
peranan
dalam
opsonisasi
mikroorganisme atau sel yang rusak. Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik
untuk membedakan faktor infeksi dan non-infeksi; antara infeksi virus dan infeksi bakteri
atau infeksi bakteri superfisialis dan infeksi bakteri profunda. Kadar CRP biasanya lebih
rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan dengan infeksi
bakteri profunda. CRP kadang-kadang juga digunakan untuk mengevaluasi respons terapi
antibiotik. Suatu penelitian melaporkan bahwa CRP cukup sensitif tidak hanya untuk
diagnosis empiema torasis tetapi juga untuk memantau respons pengobatan. Dari 38 kasus
empiema yang diselidiki ternyata sebelum pengobatan semua kasus mempunyai CRP yang
tinggi. Dengan pengobatan antibiotik kadar CRP turun secara meyakinkan pada hari pertama
pengobatan. Hanya 4 pasien yang CRP nya tidak kembali normal pada waktu pulang dari
rumah sakit.1
Meskipun pemeriksaan CRP dapat memberikan kecenderungan namun secara umum
CRP belum terbukti secara konklusif dapat membedakan infeksi virus dan bakteri.1
Uji serologik
Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik
mempunyai sensitivitas dan spesivisitas yang rendah. Namun untuk diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi
seperti
Antistreptolisin O, streptozim atau anti Dnase B; walaupun peningkatan titer dapat juga
berarti adanya infeksi terdahulu. Perlu diingat untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut
dan serum fase konvalesen (paired sera).1
Secara umum uji serologik tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi
bakteri tipik. Tetapi
demikian juga untuk deteksi beberapa virus seperti RSV, Sitomegalo, campak, Parainfluenza
1,2,3,
mengkonfirmasi diagnosis.1
Pemeriksaan mikrobiologik
Umumnya pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin di
lakukan kecuali pada pneumonia berat yang di rawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan
bronkus, darah, pungsi pleura dan aspirasi paru. Diagnosis baru definitif bila kuman
8
ditemukan dari darah, cairan pleura atau aspirasi paru. Namun setelah masa neonatus,
kejadian bakteremia sangat rendah hingga kultur darah jarang yang positif. Pada pneumonia
anak dilaporkan hanya 10-30% ditemukan bakteri pada kultur darah. Pada anak besar dan
remaja spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologik dapat berasal dari sputum baik untuk
pewarnaan Gram maupun untuk kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang
mengandung lebih dari 25 leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada pemeriksaan
mikroskopis dengan pembesaran kecil. Disamping itu spesimen nasofaring untuk kultur
maupun untuk deteksi antigen bakteri kurang bermanfaat, karena tingginya prevalensi
kolonisasi bakteri di nasofaring.1
Pada infeksi mikoplasma dan klamidia kultur darah jarang yang positif oleh karena
itu tidak rutin dianjurkan. Pemeriksaan PCR memerlukan laboratorium yang canggih dan
disamping tidak selalu tersedia, hasil PCR positif pun tidak selalu menunjukkan diagnosis
pasti.1
Foto toraks
Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Kadang-kadang pada gambaran radiologis bercak - bercak sudah ditemukan sebelum
timbul gejala klinik. Namun resolusi infiltrat sering memerlukan waktu lebih lama setelah
gejala klinik menghilang. Pada pneumonia ringan foto toraks tidak rutin dilakukan; foto
toraks hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat.1
Pada pasien dengan pneumonia tidak terkomplikasi
diperlukan.Ulangan foto toraks atau CT scan diperlukan bila gejala klinik menetap, penyakit
memburuk atau untuk tindak lanjut.Umumnya untuk penunjang diagnosis pneumonia di
Instalasi Gawat Darurat hanya diperlukan foto toraks posisi AP saja. Lynch dkk, meneliti
bahwa tambahan posisi lateral pada foto toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto toraks AP dan lateral hanya
dibuat pada pasien yang menunjukkan tanda dan gejala klinik distres pernapasan seperti
takipnu, batuk, ronki dengan atau tanpa suara napas melemah.1
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :
infiltrat
intersisial,
ditandai
dengan
peningkatan
corakan
biasanya cukup besar, berbentuk sferis, dengan batas yang tidak terlalu tegas, menyerupai lesi
tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada ke dua paru, berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas sampai ke daerah perifer paru, disertai
peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu sisi
sampai perpadatan luas kedua sisi paru. Pada suatu penelitian ditemukan lesi pneumonia pada
anak terbanyak terdapat di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di paru kiri,
terbanyak di lobus bawah, merupakan prediktor perjalanan penyakit lebih berat dan risiko
terjadinya pleuritis lebih meningkat. Beberapa faktor teknik radiologik dan faktor non-infeksi
dapat menyerupai gambaran seperti pneumonia pada foto toraks sebagai berikut:1
1. Faktor teknik radiologik:
kurang inspirasi
2. Faktor non-infeksi:
bayangan timus
bayangan payudara
gambaran atelektasis
Gambaran atelektasis sukar dibedakan dengan gambaran pneumonia pada foto toraks.
Atelektasis disebabkan oleh berbagai penyebab seperti kompresi ekstrinsik pada bronkus
(malformasi kongenital, limfadenopati, tumor, penyakit kardiovaskuler, web atau ring) dan
obstruksi bronkial intrinsik (benda asing, udem, inflamasi, bronkomalasia atau stenosis,
tumor dan sumbatan mukus). Di samping itu penyakit paru non-infeksi dapat juga
menyebabkan atelektasis misalnya penyakit membran hialin atau udem paru. Gambaran foto
toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan
peribronkial, infiltrat intersisial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia
virus. Infiltrat alveoler berupa konsolidasi segmen atau lober,
bronkopneumonia, air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia stafilokokus sering
ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran.1
Gambaran foto toraks pada pneumonia mikoplasma sangat bervariasi. Pada beberapa
kasus kelihatan sangat mirip dengan gambaran foto toraks pneumonia virus. Dapat juga
10
ditemukan gambaran
retikulonoduler bilateral dan yang jarang ialah konsolidasi segmen atau sub segmen.
Biasanya lesi foto toraks lebih berat daripada gambaran kliniknya. Walaupun tidak terdapat
gambaran foto toraks yang khas namun bila terdapat perpadatan retikulonoduler fokal pada
satu lobus, cenderung disebabkan oleh infeksi mikoplasma. Demikian juga bila terlihat
gambaran perkabutan atau ground-glass consolidation, transient pseudoconsolidation karena
infiltrat intersisial yang konflueren, patut dipertimbangkan adanya infeksi mikoplasma.
Gambaran radiologik pneumonia klamidia sukar dibedakan dengan pneumonia mikoplasma.1
Walaupun terdapat beberapa pola yang memberikan kecenderungan, namun secara
umum gambaran foto toraks tidak dapat secara pasti membedakan pneumonia virus, bakteri,
mikoplasma atau campuran mikroorganisme tersebut.1
1.6.
Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat di Rumah Sakit. Indikasi
11
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat
diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Penelitian
multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan, pemberian
amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai efektivitas yang sama. Dosis
amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kg
TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol.1
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi
alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan mempertimbangkan
adanya aktivitas ganda terhadap S. pneumonia dan bakteri atipik.1
12
2.2 TUBERKULOSIS
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium TB yang
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di
paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.4
2.2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara
berkembang tetapi juga di negara maju. Sepanjang dasawarsa terakhir abad ke-20 ini, jumlah
kasus baru TB meningkat di seluruh dunia, 93% kasus terjadi di Negara berkembang.5
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium TB.
Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB
diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia,terjadi
pada negara berkembang.5
Selama tahun 1985 1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-14
tahun (54,5%), diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Di Amerika
Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak usia 0-4 tahun adalah 19% dan pada usia 515 tahun adalah 40%. WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus baru
TB anak dan 450.000 anak usia di bawah 15 tahun meninggal dunia karena TB. 5
13
10% dari total jumlah pasien TB didunia. Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak
berusia di bawah 15 tahun.5, 6
Di Indonesia, diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan
kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.
WHO memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak
menyebabkan kematian anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada
kematian akibat malaria dan AIDS. Pada manula, kematian karena TB lebih banyak dari pada
kematian karna kehamilan, persalinan, dan nifas.5
2.2.3 Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempermudah infeksi TB pada anak yaitu : 7
2.2.3.1 Risiko Infeksi TB7
Faktor-faktor risiko terjadinya infeksi TB adalah terpajan dengan orang dewasa dengan
TB aktif, daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat, dan tempat
penampungan umum yang banyak pasien TB dewasa aktif.
Sumber infeksi TB pada anak yang paling utama adalah kontak terhadap orang dewasa
yang infeksius. Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih
tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA Sputum positif, infiltrate luas atau kavitas
pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat
factor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa
disekitarnya karena kuman TB sangat jarang ditemukan didalam secret endobronkial pasien
anak. Ini dikarenakan jumlah kuman TB pada anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi
karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan
sakit. Selain itu, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi didaerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi
sputum. Disamping itu tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor
batuk didaerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.
2.2.3.2 Risiko Sakit TB7
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu mengalami sakit TB. Berikut ini adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB:
1. Anak berusia 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi
sakit TB karena imunitas selularnya belum sempurna. Bayi yang terinfeksi TB, 43%-nya
akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada
14
usia remaja 15%, dan pada dewasa 5-10%. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari
infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi, terutama 6 bulan
pertama.
2. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberculin (dari negative menjadi
positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada
infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes
mellitus, dan gagal ginjal kronik. Selain itu status sosioekonomi yang rendah, penghasilan
yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan
berkembannya infeksi TB menjadi sakit TB.
3. Virulensi dari M.TB dan dosis infeksinya.
Secara singkat resiko TB dijelaskan dalam skema berikut
2.2.4 Patogenesis
Paru merupakan port dentri lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil (<5m), kuman TB dalam percik renik (droplet nuklei) yang terhirup dapat
mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik. Akan
tetapi, pada sebagian kasus laninnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembangbiak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
15
makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat sersebut, yang dinamakan fokus
primer Ghon.5, 7,8
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kenlenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak dilobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).5,7,8
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.5,7,8
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular. Pada saat
terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks
primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji positif. Selama masa inkubasi, uji masih.
Pada sebagian besar individu dengan imun yang berfungsi baik, pada saat imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular
mediated immunity, CMI).7,8
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuk imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.7,8
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, akan tetapi penyembuhannya biasanya tiak sesempurna focus primer dijaringan
16
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.5, 6, 4
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat di paru atau di kelenjar
limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).5
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi
di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis,
yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 5,8
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 5,8
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal,
dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat
dewasa.5,8
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB
17
diseminata ini timbul dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. TB diseminata terjadi karena tidak adekuatnya imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua
tahun. 5,7,8
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar
ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. 5,7,8
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama) biasanya sering
terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. TB paru kronik adalah
TB pascaprimer sebagai reaktivasi kuman didalam focus yang tidak mengalami resolusi
sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan
dewasa muda.7,8
TB ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan menifestasi TB pascaprimer,
dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB system skeletal terjadi pada 5-10%
anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi juga 2-3 tahun setelah
infeksi primer.TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.7,8
18
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis pasti TB anak ditegakkan dengan ditemukannya M. TB pada pemeriksaan
sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, atau jaringan. Pada anak,
kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah
kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan (sputum).7
Kedua tersebut menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan pada penemuan
klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan
berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji, foto Rontgen thorax,
dan pemeriksaan laboratorium.7,8
19
Karena berbagai di atas, diagnosis TB Anak bergantung pada penemuan klinis dan
radiologi. Kadang-kadang. TB Anak ditemukan karena ditemukannya TB dewasa di
sekitarnya. I)iagnosis TB Anak dilentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemerikiaan
penunjang seperti, perneriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak
dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji positif. Dan foto paru yang mengarah pada TB
merupakan bukti kuat yang menyatakan anak tersebut sakit TB.5
2.2.6 Manifestasi Klinis
Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinisTB sangat bervariasi dan
bergantung pada beberapa (kuman TB, pejamu, serta interaksi antar keduanya). Manifestasi
klinis TB terbagi menjadi dua, yaitu manifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ.7
2.2.6.1 Manifestasi Sistemik7
1. Demam lama (2 minggu) dan/ atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih (ISK), malaria, dan lain-lain), yang dapat disertai dengan keringat
malam. Demam umumnya tidak tinggi.
2. Batuk lama > 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi yang adekuat.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik dengan
adekuat (failure to thrive).
5. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.
2.2.6.2 Manifestasi Spesifik Organ/Lokal7
1. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis TB otak dan saraf
a. Meningitis TB, dengan gejala berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk,
muntah proyektil dan kejang.
b. Tuberkuloma otak
2. TB skeletal
a. Tulang punggung: gibbus
b. Tulang panggul (koksitis): pincang
c. Tulang lutut (gonitis): pincang dan/atau bengkak
3. TB kulit: skrofuloderma (sering ditemukan pada leher dan wajah, daerah parotis,
submandibula, supraklavikula, dan lateral leher)
4. TB organ lainnya: TB mata seperti konjungtivitis fliktenuralis (conjungtivitis
phlyctenuralis) dan tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi), serta TB ginjal,
TB hepar, peritonitis, TB, dan lain-lain.
20
dan tanda yang mengarah ke TB, baik sistemik maupun local. Adanya kontak yang jelas
harus selalu dicari. Status diagnosis sumber penularan harus diklarifikasi sejelas mungkin,
apakah dilakukan pemeriksaan sputum dan bagaimana hasilnya.5, 7
Pada pusat kesehatan dengan sarana terbatas, dalam mendiagnosis TB pada anak
digunakan skoring sebagai berikut:
Tabel 2.1 Sistem Penilaian Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB di Sarana Kesehatan
Terbatas.8
Parameter
Kontak TB
0
Tidak jelas
1
-
Negatif
2
Laporan keluarga,
BTA (-)/BTA tidak
jelas/tidak tahu
-
Berat Badan/Keadaan
Gizi
BB/TB<90%
atau
BB/U<80%
> 2 minggu
> 3 minggu
> 1 cm, > 1,
tidak nyeri
Ada
pembengkakan
Normal/
kelainan
tidak jelas
Gambaran
sugestif TB
Uji Tuberkulin
(Mantoux)
3
BTA (+)
Skor
Positif (>
10 mm
atau > 5
mm pada
IMC)
-
Skor
Total
Catatan:
1. Diagnosis dengan skoring ditegakkan oleh dokter
2. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
3. Berat badan dinilai saat pasien (moment opname)
4. Demam dan batuk tidak respon terhadap terapi sesuai baku puskesmas
5. Foto thorax bukan merupakan alat dagnsotik utama pada TB anak
6. Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan skoring TB anak
7. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
8. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke Puskesmas untuk evaluasi lanjut.
9. Gambaran sugestif TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa,
atelectasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrate, tuberkuloma.
23
2.2.9 Tatalaksana TB
24
Dosis Harian
(mg/kgBB/hari)
10 (7-15)
15 (10-20)
Dosis Maksimal
(mg per hari)
300
600
Pirazinamid (Z)
Etambutol
35 (30-40)
20 (15-25)
2000
1250
Streptomisin (S)
15-40
1000
Efek Samping
Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
Toksisitas hati, arthralgia, gastrointestinal
Neuritis optic, ketajaman mata berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan
lapang
pandang,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Ototoksik, nefrotoksik
Catatan:
*Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui
gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).
25
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama
dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis
Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2
macam tablet, yaitu: Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif. Tablet RH yang
merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H (Isoniazid) yang digunakan pada
tahap lanjutan. Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut.7
Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet RHZ adalah R =
75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan komposisi tablet RH adalah R = 75 mg dan H = 50 mg.6
Tabel 2.3. Dosis Kombinasi pada TB Anak7
BB (Kg)
Fase intensif (2 bulan)
Fase lanjutan (4 bulan)
RHZ (75/50/150)
RH (75/50)
5-9
1 tablet
1 tablet
10-14
2 tablet
2 tablet
15-19
3 tablet
3 tablet
20-32
4 tablet
4 tablet
Catatan:
* Bila BB > 33 kg, dosis disesuaikan dengan (perhatikan dosis maksimal)
* Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS
* Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet
* Perhitungan pemberian tablet diatas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per kgBB
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier,
meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:
1.Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin, Pirazinamid,
Etambutol atau Streptomisin).
2.Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
3.Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial
dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4
minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tapering off selama 1-2 minggu.
2.2.10 Evaluasi Hasil Pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2
bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak
jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah
evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada
26
pentingnya rifampisin dalam panduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini
cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya disimpulkan bahwa paduan pengobatan dengan
isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan
dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.7
2.3 GAGAL TUMBUH
2.3.1
Definisi
Gagal tumbuh (failure to Thrive) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kenaikan
berat badan yang tidak sesuai dengan seharusnya, tidak naik (flat growth) atau bahkan turun
dibandingkan pengukuran sebelumnya (diketahui dari grafik pertumbuhan). Istilah yang lebih
tepat adalah fail to gain weight, tidak tepat jika diterjemahkan sebagai gagal tumbuh, karena
dalam hal ini yang dinilai hanyalah berat badan terhadap umur pada minimal 2 periode
pengukuran, sedangkan tinggi badan dan lingkar kepala yang juga merupakan parameter
pertumbuhan mungkin masih normal. Oleh sebab itu definisi yang tepat adalah perpindahan
posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil utama atau 2 standar
deviasi ke bawah jika diplot pada grafik BB menurut umur. Gagal tumbuh juga belum tentu
gizi kurang atau gizi buruk.9,10
Gagal tumbuh bukan merupakan suatu diagnosis tersendiri, akan tetapi gagal tumbuh
dapat menggambarkan bahwa seorang anak yang tidak dapat mencapai potensi pertumbuhan
sesuai usianya. Meskipun hal ini sering ditemukan pada usia di bawah 2 tahun, tetapi gagal
tumbuh dapat terjadi kapan saja pada masa anak-anak.10
Semua peneliti sepakat bahwa gagal tumbuh pada anak dapat dinilai secara akurat
dengan membandingkan tinggi dan berat badan menggunakan kurva pertumbuhan.Sejauh ini,
belum ada konsensus yang membahas mengenai kriteria antropometri yang spesifik,untuk
mempermudah hal tersebut, beberapa ahli menyimpulkan bahwa gagal tumbuh dapat
ditentukan dengan berat badan dibawah persentil 3 untuk umur pada kurva pertumbuhan atau
lebih dari dua standar deviasi dibawah rata-rata untuk anak dengan umur dan jenis kelamin
yang sama atau skor Z berat badan untuk umur (berat badan untuk tinggi badan) lebih kecil
dari -2SD.10
Berbagai rekomendasi telah dikemukakan oleh para ahli untuk mendefinisikan
seorang anak dengan gagal tumbuh. Ada tiga kriteria umum untuk menentukan gagal tumbuh
dengan menggunakan kurva pertumbuhan NCHS/CDC-2000.9
1. Anak umur kurang dari 2 tahun dengan berat badan di bawah persentil ke-3 sesuai
28
Epidemiologi
Insiden gagal tumbuh pada anak belum diketahui karena banyak anak dengan gagal
tumbuh tidak terdiagnosa, bahkan di negara maju sekalipun. Diperkirakan bahwa gagal
tumbuh terjadi pada 510% dari populasi anak kecil dan sekitar 35% dari anak tersebut di
bawa ke rumah sakit.Mitchel et al, menemukan bahwa hampir 10%pasien di bawah 5 tahun
yang mengunjugi pelayanan kesehatan primer menderita gagal tumbuh. Sekitar 5% dari
rawatan dokter anak di Amerika Serikat menderita gagal tumbuh. Prevalensi gagal tumbuh
pada anak bahkan lebih besar di negara berkembang dengan angka kemiskinan dan angka
malnutrisi yang tinggi. Dari data nasional, gagal tumbuh berkisar antara 20 hingga 50 persen
per provinsi, dan pada mayoritas provinsi lebih dari sepertiga anak usia 6-15 tahun terganggu
pertumbuhannya. Angka kejadian gagal tumbuh di tingkat provinsi Sumatera barat berkisar
40%. Anak yang lahir dari ibu remaja dan ibu yang bekerja dalam waktu lama berisiko utuk
menderita gagal tumbuh. Risikonya juga sama pada anak yang tumbuh di lembaga seperti
panti asuhan, dengan angka kejadian diperkirakan sekitar 15%. Sembilan puluh lima persen
dari kasus gagal tumbuh disebabkan oleh tidak adekuatnya makanan yang tersedia atau yang
dimakan dan hal ini disebabkan oleh faktor kemiskinan. Kejadian gagal tumbuh pada anak
antara umur 9 24 bulan tanpa perbedaan gender yang signifikan. Mayoritas anak yang gagal
tumbuh berumur kurang dari 18 bulan.9
2.3.3
Klasifikasi
kronik, stenosis pilorus, gastroesofageal refluks), gangguan saraf (serebral palsy, retardasi
mental), gangguan pada traktus urinarius (infeksi saluran kemih, gagal ginjal kronik),
penyakit jantung bawaan dan kelainan kromosom.
3. Mixed failure to thrive
Gagal tumbuh disebabkan oleh kombinasi antara penyebab organik dan non organik.
4. Failure to thrive with no spesific etiology
Dilihat dari literatur tentang gagal tumbuh terdapat 12-34% anak gagal tumbuh tidak
memiliki etiologi yang spesifik.
2.3.4
postnatal.9
1. Penyebab prenatal
Penyebab prenatal gagal tumbuh diantaranya sebagai berikut.
a. Prematuritas dan komplikasinya
b. Paparan uterus terhadap toxic agents seperti alkohol, rokok, obat-obatan
c. Infeksi (Rubella, CMV, HIV, dll)
d. Intra uterine growth retardation (IUGR) karena berbagai penyebab
e. Abnormalitas kromosom (Down syndrome, turner syndrom).
2. Penyebab postnatal
a. Intake kalori yang tidak adekuat
Intake kalori yang tidak adekuat merupakan penyebab gagal tumbuh pada anak
yang paling banyak.Pada anak usia di bawah 8 minggu, gangguan intake (cara hisapan
atau cara menelan yang salah) dan gangguan menyusui merupakan penyebab terbanyak.
Pada anak yang lebih besar, perubahan pola makan ke makanan padat, ASI yang tidak lagi
mencukupi, konsumsi susu formula, dan orang tua yang menghindari pemberian makanan
tinggi kalori sering menyebabkan anak menderita gagal tumbuh.
Faktor keluarga dapat berkontribusi terhadap intake kalori yang tidak adekuat
pada anak, hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan nutrisi dan masalah
keuangan keluarga, yang tidak kalah pentingnya, child abuse dan penelantaran anak harus
dipertimbangkan, karena anak yang menderita gagal tumbuh berkemungkinan menjadi
korban child abuse 4 kali lipat lebih besar dibandingkan anak normal.
b. Absorpsi yang tidak adekuat
Absorpsi kalori yang tidak adekuat mencakup penyakit yang menyebabkan sering
muntah seperti intoleransi makanan, alergi susu sapi atau malabsorpsi (diare kronis,
necrotizing enterocolitis).
c. Peningkatan kebutuhan kalori
Pengeluaran kalori yang berlebihan biasanya muncul pada kondisi kronis seperti
penyakit jantung kongenital, penyakit paru kronis dan hipertiroidisme.
d. Gangguan penggunaan kalori.
30
Gangguan penggunaan kalori misalnya seperti pada penyakit diabetes melitus tipe
1 atau renal tubular asidosis.
Faktor predisposisi gagal tumbuh dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.7 Faktor predisposisi gagal tumbuh pada anak
Kongenital
Displasia Skletal
Metabolik
Sistem Imun
Gastrointestinal
Renal
Kardiopulmonal
Neurologi
Sensoris
Endokrin
Lain lain
2.3.5
tuanya, tumbuh kembang anak sudah dapat dideteksi dengan memperhatikan penampilan
wajah, bentuk kepala, tinggi badan, proporsi tubuh, pandangan matanya, suara, cara bicara,
berjalan, perilaku, aktivitas dan interaksi dengan lingkungannya.Deteksi dini gangguan
tumbuh kembang balita sebaiknya dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
skrining perkembangan yang sistematis agar lebih obyektif.9
31
2.3.5.1 Anamnesis
Terkadang orangtua tidak menyadari perlambatan pertumbuhan pada anak mereka.
Oleh karena itu anamnesis secara teliti penting dilakukan untuk mengevaluasi gagal tumbuh
pada anak. Anamnesis yang perlu diperhatikan adalah9,10,11 :
1. Pemberian asupan: asupan makanan baik ASI, kekuatan menghisap ASI, susu formula,
makanan lunak atau makanan lain, jumlah asupan yang diberikan dan frekuensi
pemberian asupan.
2. Riwayat perkembangan: riwayat kehamilan ibu dan riwayat kelahiran anak (usia ketika
ibu hamil, komplikasi kehamilan ibu, penggunaan obat-obatan ketika ibu hamil,
konsumsi alkohol ketika ibu hamil, komplikasi ketika melahirkan), riwayat merokok ibu,
milestones perkembangan anak.
3. Perilaku anak: gangguan tidur pada anak, pola makan anak, perilaku penolakan.
4. Riwayat psikososial: komposisi keluarga, status pekerjaan dan ekonomi dan kekerasan
dalam rumah tangga.
5. Pengasuh: sangat penting untuk mengamati pengasuh anak ketika bermain dan memberi
makan. Hal ini memberikan petunjuk mengenai interaksi pengasuh dengan anak seperti
cara pengasuh menyuapi anak, respon pengasuh terhadap prilaku anak ketika bermain
atau menangis dan interaksi anak dengan pengasuh.
2.3.5.2 Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi badan
Tinggi/panjang badan pasien harus diukur pada tiap kunjungan. Hasil pengukuran
tinggi badan jika dikaitkan dengan hasil pengukuran berat badan akan memberikan informasi
yang bermakna tentang status nutrisi dan pertumbuhan fisis anak.12
Pengukuran tinggi/panjang badan pada bayi dilakukan dengan cara bayi ditidurkan
terlentang tanpa sepatu dan topi di atas tempat tidur yang keras, diusahakan agar tubuh bayi
dalam keadaan lurus. Panjang badan bayi dapat diukur secara akurat dengan melekatkan
verteks bayi pada kayu yang tetap, sedangkan kayu yang dapat bergerak menyentuh tumit
bayi.Pada anak tinggi badan diukur dalam posisi berdiri tanpa sepatu dan telapak kaki
dirapatkan dengan punggung bersandar pada dinding.12
Tinggi badan dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan pertumbuhan yaitu dengan
mengukur panjang/tinggi badan secara periodik, kemudian dihubungkan menjadi sebuah
garis pada kurva pertumbuhan. Dapat diinterpretasikan dengan11:
a. TB/U pada kurva :
< persentil 5
: defisit berat
32
persentil 5-10 : perlu evaluasi untuk membedakan apakah perawakan pendek akibat
defisiensi nutrisi kronik atau konstitusional
90-110%
70-89%
<70%
: baik / normal
: tinggi kurang
: tinggi sangat kurang
Anak laki-laki :
(tinggi ibu+13cm+ tinggi ayah) 8,5cm
-------------------------------------2
2. Berat badan
Berat badan adalah parameter pertumbuhan yang sederhana, mudah diukur dan di
ulang dan merupakan indeks untuk status nutrisi sesaat. Ukuran berat badan dipetakan pada
kurva standar berat badan/umur (BB/U) dan berat badan/tinggi badan (BB/TB).10
Interpretasi :
a. BB/U dipetakan pada kurva berat badan
BB < persentil 10
BB > persentil 90
: defisit
: kelebihan
> 120%
80-120%
60-80%
< 60 %
c. BB/TB
>120%
110-120%
90-110%
: gizi lebih
: gizi baik
: tanpa edem : gizi kurang
dengan udem : gizi buruk (kwashiorkor)
: gizi buruk : tanpa udem (marasmus)
dengan udem (marasmus-kwashiorkor)
: Obesitas
: overweight
: normal
33
70-90%
<70%
: gizi kurang
: gizi buruk
Berat badan bayi ditimbang dengan menggunakan timbangan bayi sedangkan pada
anak menggunakan timbangan berdiri. Bayi ditimbang dalam posisi terlentang atau duduk
tanpa menggunakan pakaian sedangkan anak ditimbang dalam posisi berdiri tanpa sepatu
dengan pakaian minimal.12
Sampai usia 1 tahun bayi ditimbang tiap bulan, kemudian akan ditimbang setiap tiga
bulan hingga usia tiga tahun dan akan dilanjutkan dua kali dalam setahun sampai usia 5
tahun. Di atas 5 tahun penimbangan dilakukan setiap tahun, kecuali bila terdapat kelainan
atau penyimpangan berat badan. Dalam keadaan normal berat badan bayi umur 4 bulan sudah
mencapai dua kali berat badan lahirnya dan pada umur satu tahun sudah mencapai tiga kali
berat badan lahirnya.12
3. Kepala
Lingkar kepala pada waktu lahir rata-rata 34 cm dan besarnya lingkar kepala ini lebih
besar dari lingkar dada. Pada anak umur 6 bulan, lingkar kepala rata-ratanya adalah 44 cm,
umur 1 tahun 47 cm, 2 tahun 49 cm dan dewasa 54 cm. Jadi pertambahan lingkar kepala pada
6 bulan pertama adalah 10 cm atau sekitar 50% dari pertambahan lingkar kepala dari lahir
sampai dewasa terjadi pada 6 bulan pertama kehidupan.12
Pertumbuhan tulang kepala mengikuti pertumbuhan otak demikian pula sebaliknya.
Pertumbuhan otak yang tercepat terjadi pada trimester ketiga kehamilan sampai 5 6 bulan
pertama setelah lahir. Pada trimester ketiga terjadi pembelahan sel-sel otak yang pesat,
setelah itu pembelahan melambat dan terjadi pembesaran sel-sel otak saja. Sehingga pada
waktu lahir berat otak bayi seperempat berat otak dewasa, tetapi jumlah sel nya sudah
mencapai 2/3 jumlah sel otak dewasa.12
4. Lingkar lengan atas
Lingkar lengan atas (LiLA) mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot
yang tidak terpengaruh oleh cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan. LiLA dapat
dipakai untuk menilai keadaan gizi atau pertumbuhan pada kelompok umur pra sekolah.
Kecepatan pertumbuhan LiLA dari 11 cm pada saat lahir menjadi 16 cm pada umur 1 tahun.
Selanjutnya tidak banyak perubahan selama 1 3 tahun.12
2.3.5.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hanya bermanfaat bila terdapat temuan signifikan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan labor meliputi darah perifer lengkap, laju
endap darah, urinalisis, kultur urin, tinja untuk melihat parasit dan malabsorbsi, ureum dan
kreatinin serum, analisa gas darah, elektrolit, tes fungsi hati. Pemeriksaan lain misalnya
34
skrining celiac dilakukan bila ada indikasi sesuai dengan hasil temuan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik.10
Jika dicurigai kelainan jantung dapat dilakukan echocardiography, jika dicurigai kelainan
paru dapat dilakukan pemeriksaan foto rontgen dan uji Mantoux. Jika dicurigai kelainan
endokrin atau tulang dapat dilakukan pemeriksaan usia tulang dan bone survey. Jika dicurigai
kelainan neurologis dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala.10
2.3.6
Untuk menentukan seorang anak mengalami gagal tumbuh maka harus dilakukan
pendekatan secara menyeluruh meliputi : 9
Menilai penanganan diet, pemberian makan atau kebiasaan makan, respon anak terhadap
pemberian makanan
Riwayat kelahiran (berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala saat lahir serta data
adalah
keadaan
transien
hipogonadisme
atau paralel dengan kurva pertumbuhan normal, failure to thrive (gagal tumbuh) tidak boleh
didiagnosa.9,11
4. Sindrom Diensefalik
Sindrom diensefalik disebabkan oleh neoplasma pada daerah hipotalamus dan ventrikel
ketiga.Sindrom diensefalik biasanya muncul pada pada tahun pertama kehidupan dengan
tampilan klinis gagal tumbuh, kurus, peningkatan nafsu makan, euforia, dan pergerakan mata
nystagmoid. Secara klinis, sindrom diensefalik berbeda dengan failure to thrive karena
disamping kondisi fisiknya yang kurang baik, anak dengan sindrom diensefalik aktif, dapat
berinteraksi dengan mudah, dan tidak depresi.9,11
5. Psychosocial Short Stature (Psychosocial Dwarfism)
Psychososcial dwarfism adalah sindrom perlambatan pertumbuhan linier yang
dikombinasikan dengan karakteristik gangguan prilaku seperti gangguan tidur dan kebiasaan
makan yang tidak biasa. Kedua hal ini bertanggung jawab dalam perubahan linkungan
psikososial anak. Biasanya onset sindrom ini di antara usia 18 bulan dan 24 bulan. Anak yang
mengalami psychosocial dwarfism biasanya pemalu, pasif, dan sering menarik diri dari
kehidupan sosial.11
2.3.7 Tatalaksana
Tatalaksana utama pada gagal tumbuh adalah mengetahui penyebab yang
mendasarinya dan memperbaiki keadaan tersebut. Sebagian besar kasus membutuhkan
intervensi nutrisi dan modifikasi perilaku yang bermakna. Edukasi keluarga mengenai
kebutuhan gizi dan cara pemberian makan pada anak sangat penting dalam tatalaksana anak
dengan gagal tumbuh. Anak yang tidak respon terhadap modifikasi nutrisi dan perilaku
membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Ada dua hal utama yang dibutuhkan anak dengan gagal
tumbuh yaitu kebutuhan akan diet tinggi kalori untuk tumbuh kejar dan pemantauan minimal
satu kali sebulan sampai tercapai pertumbuhan yang normal. Perawatan di rumah sakit jarang
dibutuhkan kecuali jika gagal dengan tatalaksana rawat jalan, pada gagal tumbuh yang berat
atau disertai penyakit berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.9,11
Gagal tumbuh pada bayi dan anak harus diintervensi sesegera mungkin terutama jika
kurva pertumbuhan berat badan berdasarkan panjang badan dibawah 70%. Malnutrisi yang
terjadi pada usia yang lebih dini dapat berakibat buruk pada perkembangan otak. Setelah
diatasi kedaruratannya, prioritas penanganan selanjutnya adalah observasi selama beberapa
minggu untuk memonitor asupan, keluaran, pertumbuhan, pola makan, interaksi dan ciri bayi
dan anak. Dahulu observasi ini dilakukan di rumah sakit, tetapi saat ini akan lebih baik
dilakukan di lingkungannya sendiri misal dirumah sampai penyebab gagal tumbuh dapat
diidentifikasi.9,11
36
Terapi ditujukan pada penyebab yang mendasari terjadinya gagal tumbuh. Terapi
substitusi hormon tiroid perlu diberikan jika gagal tumbuh disebabkan oleh hipotiroid,
demikian juga apabila disebabkan karena penyakit sistemik maka diatasi penyakitnya
tersebut. Terapi gagal tumbuh bersifat multifaktorial dan secara umum dibagi menjadi
pengobatan jangka panjang dan jangka pendek, melibatkan ibu dan lingkungan serta interaksi
ibu dan bayi. Pengobatan pada bayi termasuk nutrisi, terapi perkembangan dan tingkah laku,
serta mengatasi komplikasi yang terjadi. Pendekatan tatalaksana pada ibu dan lingkungan
memerlukan identifikasi dan modifikasi stressor lingkungan dan perbaikan sistem
perlindungan. Perbaikan interaksi ibu dan anak juga dibutuhkan jika keberhasilan perawatan
di RS akan dilanjutkan di rumah.9,11
Gagal tumbuh memiliki efek yang serius, terutama pada perkembangan otak. Jika
malnutrisi menjadi berat dan kronik pada setahun pertama kehidupan, perkembangan
neurologis anak akan terpengaruh secara permanen. Deteksi dini dan intervensi yang adekuat
sangat penting. Pendekatan multidisiplin sangat penting dalam penatalaksanaan anak dengan
gagal tumbuh. Tim multidisiplin yang terlibat terdiri dari gastroenterolog anak, ahli gizi,
terapis okupasi, fisioterapis, psikolog dan ahli terkait lain.9,11
Suplementasi berdasarkan kalori merupakan kontributor penting dalam tatalaksana
gagal tumbuh. Pada periode catch-up anak membutuhkan kalori tambahan sekitar 20-30%.
Penambahan kalori harus dilakukan dengan perlahan untuk menghindari sindrom re-feeding.
Sindrom re-feeding bisa mengancam nyawa. Salah satu dampak dari re-feeding yang terlalu
cepat adalah perubahan biokimia mendadak di dalam tubuh anak yang sedang mengalami
fase katabolik.9,11
Tabel 2.8 Perkiraan kebutuhan energi dan protein dari lahir hingga 48 bulan.
Age
REE
EER
DRI
Protein
Protein
(Month)
(kcal/kg/day (kcal/day) (kcal/kg/day
(g/day)
(g/kg/day)
)
)
0-3
52
610
102
9,1*
1,52
4-6
52
490
82
9,1*
1,52
7-12
55
720
80
11,0**
1,20
13-35
56
990
82
13,0**
1,05
36-48
64
1000
85
13,0**
1,05
Untuk perhitungan kalori catch-up pertumbuhan, dapat digunakan rumus:
37
Komplikasi
Prognosis
Untuk mencapai pertumbuhan dewasa normal, maka prognosis gagal tumbuh tergantung
dari penyebab gagal tumbuh itu sendiri. Intervensi dini sangat penting untuk mengurangi
resiko gangguan pertumbuhan yang berkelanjutan. Makin cepat timbulnya gangguan tumbuh
dan makin berat penyakit yang mendasarinya maka prognosisnya makin kurang baik.
Gangguan pertumbuhan selama bayi dan anak merupakan faktor resiko potensial untuk
pertumbuhan selanjutnya. Prognosisnya baik jika kebutuhan medis, nutrisi dan psikososial
anak serta keluarga tercukupi.9,11
38
Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh terhadap
infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar.
Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah,
rambut.
Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, makanan yang
menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras, gandum), serta
konsumsi susu sebagai sumber energy sejak bayi sampai usia 2 tahun (milkaholics).
Pemeriksaan Fisik13
Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh keluarga.
Bila kadar HB< 5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia.
39
Tanpa organomegali
Gangguan pertumbuhan
Pemeriksaan Penunjang13
Darah lengkap yang terdiri dari : hemoglobin rendah; MCV, MCH dan MCHC
rendah. Red Cell Distribution Width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah
merupakan salah satu skrining defisiensi besi.
o Niklai RDW tinggi > 14,5% pada defisiensi besi, bila RDW normal ( <13%)
pada talasemia trait.
o Ratio MCV/RBC (Mentzer Index >13 dan bila RDW indeks (MCV/RBC x
RDW 220 merupakan tanda anemia defisiensi besi, sedangkan jika kurang dari
220 merupakan thalassemia trait.
o Apusan darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis dan poikilositosis.
Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin < 12 mg/mL dipertimbangkan
sebagai diagnostic defisiensi besi.
Nilai aretikulosist:normal atau menurun, menunjukkan produksi sel darah merah yang
tidak adekuat.
40
Terapi besi (therapeutic trial): respon pemberian preparat besi dengan dosis 3
mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah retikulosit antara 5-10 hari diikuti
kenaikan kadar hemoglobin 1 g/dL atau hematocrit 3% setelah 1 bulan menyokong
diagnosis anemia defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan setelah terapi, hemoglobin dan
hematocrit dinilai kembali untuk menilai keberhasilan terapi.
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor 1, 3 dan 4. Tes yang paling efisien
untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum. Bila sarana terbatas, diagnosis
dapat ditegakkan berdasarkan:13
Tanpa organomegali
Tatalaksana13
Mengetahui faktor penyebab: riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya perdarahan yang
abnormal, pasca pembedahan.
Preparat besi
Preparat yang tersedia ferrous sulfat, ferrous glukonat, ferrous fumarat dan ferrous
suksinat. Dosis besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respon terapi dengan menilai
kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan. Yaitu kenaikan kadar HB sebesar 2 g/dL
atau lebih.
Bila respon ditemukan, terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan.
Komposisi besi elemental:
Ferous fumarat: 33% merupakan besi elemental
Ferrous glukonas: 11,6% merupakan besi elemental
41
Transfuse darah
Jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat dengan kadar
Hb < 4g/dL. Komponen darah yang diberi PRC.
2.4.2 Talasemia
Merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh efek genetik
pada pembentukan rantai globin. Penyebaran talasaemia meliputi daerah Mediterania, Afrika,
Timur Tengah, Asia Tenggara termasuk Cina, semenanjung Malaysia dan Indonesia.
Thalasemia beta banyak ditemukan di Asia Tenggara, sedangkan Talasemia alfa banyak
ditemukan didaerah timur termasuk Cina.14
Diagnosis
Anamnesis14
Terlihat kuning
Mudah infeksi
Pemeriksaan Fisik
Anemia/pucat
Icterus
Facies cooley
Hepatosplenomegali
42
Gizi kurang/buruk
Perawakan pendek
Hiperpigmentasi kulit
Pubertas terlambat
Pemeriksaan Penunjang14
Laboratorium
o Metode HPLC (beta Short variant Biorad): analisis kualitatif dan kuantitatif
Tatalaksana14
Transfuse darah
43
Fraktur tulang
Curiga
adanya
hematopoietik
ekstrameduler, antaralain
massa
mediastinum
Pada penanganan selanjutnya, transfusi darah diberikan Hb< 8 g/dL
sampai kadar Hb 10-11m g/dl
Bila tersedia, transfusi darah diberikan dalam bentuk PRC rendah leukosit.
Medikamentosa
o Asam folat 2 x 1 mg/hari
o Vitamin E: 2 x 200 IU/hari
o Vitamin C 2-3 mg/kg/hari (maksimal 50 mg pada anak <10 tahun dan 100 mg
pada anak lebih dari 10 tahun, tidak melebihi 200 mg/hari) dan hanya
diberikan saat pemakaian deferioksamin, tidak dipakai pada pasien dengan
gangguan fungsi jantung
o Kelasi besi
o Dimulai bila:
44
Dewasa dan anak >3 tahun: 30-50 mg/kg BB/hari, 5-7x seminggu subkutan selama 812 jam dengan syringe pump.
Pemakaian deferioksamin dihentikan pada pasien yang sedang hamil, kecuali pasien
menderita gangguan jantung yang berat dan diberikan kembali pada trimester akhir
deferioksamin 20-30 mg/kgBB/hari.
Jika tidak tersedia syringe pump dapat diberikan bersama NaCl 0,9% 500 ml melalui
infus selama 8-12 jam
kelasi
besi
dapat
berupa
dalam
bentuk
parenteral
atau
oral
Untuk jangka waktu tertentu (6-12 bulan) bergantung pada kadar feritin dan fungsi
jantung saat evaluasi.
45
46
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
1.1.
Identitas Pasien
Nama
: By. A
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 4 bulan
TTL
: Selong, 17 Agustus 2015
Status
: Anak Kandung
No. RM
: 571756
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Bapak
Dahri
38
SMP
Petani
Ibu
Muliati
33
SD
IRT
Tanggal MRS
Diagnosis MRS
Tanggal keluar RS
Lama Perawatan
: 27 Desember 2015
: Pneumonia Berat
:
: hari
1.2.
Ibu pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan sejak sakit. Menurut
penuturan ibu pasien selama sakit anakya malas menyusu dan biasanya hanya
menyusu sebentar-sebentar. Ibu pasien mengatakan anaknya buang air besar normal,
frekuensi rata-rata 1 kali sehari. Buang air kecil lancar dan normal, frekuensi 3-4 kali
sehari, warna kuning jernih.
Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu pasien mengatakan anaknya sering mengalami sesak, namun tidak pernah
sembuh sendiri.
Pasien sering mengalami demam tanpa sebab yang jelas.
Pasien tidak pernah mengalami kejang seperti ini sebelumnya.
Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya sempat dirawat di RS Swasta selama 4 hari karena demam
dan kejang. Setelah pulang dari RS orang tua asien dsarankan membawa anaknya
control 1 minggu kemudian. Pada saat kontrol orang tua pasien disarankan untuk
rawat inap kembali karena kondisi anaknya sesak, dan pada hari tersebut langsung
dirujuk ke RSUP NTB.
Terapi awal :
48
Riwayat kehamilan
Anak A merupakan anak ke empat. Ibu pasien pertama kali hamil dan
mengandung anak M di usia 21 tahun.Selama hamil, ibu pasien rutin memeriksakan
kehamilannya di puskesmas yaitu sebanyak lebih dari 6 kali. Selama hamil ibu pasien
mendapatkan vitamin penambah darah dan tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan
maupun jamu-jamuan, namun ibu pasien sering mengalami mual muntah yang
berlebihan pada bulan-bulan pertama kehamilannya. Ibu pasien juga sering
mengalami sesak dan batuk yang lama sejak awal kehamilannya. Riwayat hipertensi
dalam kehamilan(-), kejang selama kehamilan(Eklamsia), Anemia selama hamil(-),
Riwayat demam (-). konsumsi makanan dan minuman cukup.
Riwayat Persalinan
Ibu pasien lupa tanggal HPHT saat hamil anak keempat (pasien). Namun,ia
mengaku melahirkan pasien dengan usia kehamilan cukup bulan. Pasien lahir di RS
Swasta melalui persalinan normal ditolong dokter, langsung menangis dengan berat
badan lahir 2800 gram. Namun, Ibu pasien lupa panjang badan dan lingkar kepala
pasien saat baru lahir. Riwayat kejang (-), kulit biru (-), dan kulit kuning (+) setelah
lahir, sehingga pasien dirujuk ke NICU di RSUD DR Soejono, pasien dirawat selama
7 hari dan diperbolehkan pulang.
Ikhtisar Keluarga
49
Riwayat Imunisasi:
Menurut pengakuan Ibu pasien, pasien mendapat imunisasi dasar sebanyak
dua kali di Posyandu. Namun, tidak ada catatan di buku KIA, sehingga bukti autentik
tindakan imunisasi tidak dapat dilacak. Di deltoid kanan pasien terdapat skar bekas
imunisasi BCG.
Imunisasi
Dasar
HB 0
BCG, Polio 1
DPT/HB 1, Polio 2
DPT/HB 2, Polio 3
DPT/HB 3, Polio 4
tde
sudah
tde
tde
belum
Riwayat Nutrisi
Ibu pasien mengaku anaknya diberikan asi sejak lahir sampai sekarang. Ibu
pasien mengatakan berat badan anaknya tidak naik sejak usia 2 bulan, namun malah
mengalami penurunan, karena nafsu menyusu anaknya menurun.
seumuran dengannya.
-
Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda Vital
: berat
: CM/ E4V5M6
:
Frekuensi Nadi
SpO2
Suhu Aksilaris
: 38,4C
Penilaian Pertumbuhan
Berat Badan
Tinggi Badan
LiLa
Lingkar Kepala
Lingkar lengan
:3,95 kg
: 59 cm
: 10,5 cm
: 36,5 cm (mikrochepali)
: 10,5 cm
o PB/U
o BB/PB
51
Status Gizi pasien menurut CDC mendukung ke diagnosis gagal tumbuh, yaitu :
52
Anak umur kurang dari 2 tahun dengan berat badan di bawah persentil ke-3 sesuai
Status Generalis
Kepala:
Bentuk
Rambut
UUB
: Cekung
Mata
mata cowong (-/-), bercak Bitot (-), kornea dan konjungtiva kering (-),
ulkus kornea (-)
Mulut
: pucat (+), bibir kering (-), sianosis pada mukosa mulut (+).
THT
Leher
Thorax :
Inspeksi
: Bentuk dan ukuran normal, deformitas (-), iga gambang (-), gerakan
dinding dada kanan sedikit tertinggal, retraksi subcosta (+), retraksi suprasternal
(+)
Palpasi
Perkusi
:
Pulmo : Kanan : Terdengar suara sonor
Kiri
Cor
: tde
Auskultasi :
53
Abdomen :
Inspeksi
Perkusi
: timpani
Palpasi
: Supel, massa (-), Hepar tak teraba, lien tak teraba dan ren tak teraba,
Akral hangat
Edema
Baggy pants
Urogenital
Tungkai bawah
Kanan
Kiri
+
+
-
(27/12/2015)
9,9 g/dl
3,98 x 106/uL
28,6 %
73,7 Fl
25,5 pg
34,6 g/dl
16,39 x103 u/L
470 x103 u/L
(28/12/2015)
10,4 g/dl
3,92 x 106/uL
29,6 %
75,5 Fl
26,5 pg
35,1 g/dl
12,90 x103 u/L
198 x103 u/L
(27/12/2015)
77 mg/dl
(4/01/2016)
33 mg/dl
19 mg/dl
54
o Pemeriksaan laboratorium
Jenis pemeriksaan
SI
TIBC
Jumlah Retikulosit
(28/07/2015)
88 us/dl
328
1,8 %
o Lain-lain
trombosit besar
Kesimpulan: gambaran anemia mikrositik hipokromik disertai proses
infeksi bacterial + viral
55
56
57
Scoring TB Pasien
Parameter
Kontak TB
0
Tidak jelas
1
-
Negatif
2
Laporan keluarga,
BTA (-)/BTA tidak
jelas/tidak tahu
-
Berat Badan/Keadaan
Gizi
BB/TB<90%
atau
BB/U<80%
> 2 minggu
> 3 minggu
> 1 cm, > 1,
tidak nyeri
Normal/
kelainan
tidak jelas
Uji Tuberkulin
(Mantoux)
3
BTA (+)
Skor
3
Positif (>
10 mm
atau > 5
mm pada
IMC)
-
0
0
Ada
pembengkakan
Gambaran
sugestif TB
Skor
Total
3.6 Resume
Pasien merupakan rujukan dari RS Swasta dengan Pneumonia. Pasien dikeluhan sesak
sejak 2 bulan yang lalu, disertai dengan demam, dan batuk. Pasien mempunyai tetap kontak
dengan ibu pasien mempunyai sakit TB, dan dalam masa pengobatan. Nafsu menyusu
menurun selama sakit ini dan berat badan terus menurun. Pemeriksaan status gizi
menunjukkan status gizi dengan gizi kurang.
Pemerisaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran Compos Mentis,
E4V5M6, frekuensi nadi: 160 kali/menit, teratur, kuat angkat, frekuensi pernapasan:72
kali/menit, tidak teratur, suhu aksilaris 38,4C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kepala
mikrocephali, konjungtiva anemis, bibir pucat, dan sianosis, thoraks didapatkan retraksi
subcostal, ronkhi basah halus pada kedua lapang paru bagian bawah, stridor (+).
Berdasarkan hasil rongent didapatkan infitrat dan konsolidasi.
58
Pneumonia berat
Tb Paru
Gagal tumbuh
Anemia hipokromik mikrositik e.c defisiensi besi
3.8 Penatalaksanaan
Tatalaksana Medikamentosa
-
D5 NS 15 asal netes
Cefotaxim 3 x 150 mg
Parasetamol 60 mg bila perlu
Pemberian IF sebanyak 12 x 55 cc
2.
KIE:
Monitoring
1.
2.
3.
4.
Divisi Respiro
Oksigen 2 liter/menit
D5 NS asal netes
Cefotaxim 3 x 150 mg
Parasetamol 60 mg k/p
Divisi Gizi
- IF : 12 x 55 cc
KIE
- Meminta orang dewasa disekitar
tempat tinggal pasien untuk
membawa anak-anak disekitar
tempat tinggal agar dilakukan
pemeriksaan untuk TBC.
- Meminta orang dewasa yang
berada disekitar tempat tinggal
pasien melakukan pemeriksaan
untuk TBC seperti cek sputum
dan
pemeriksaan
rontgen
(sampaikan melalui orang tua
pasien)
59
3.9Follow Up Pasien
TGL
subjektif
28/12/15
Batuk
Pemeriksaa
demam
asssesment
Planning
(+), KU : Lemah
-Pneumonia
- O2 2 LPM
(+), T: 38,4
berat
- Raber Gizi
DD/ Tb paru
lain
-Gagal
- NGT
tumbuh
- Cefotaxim 3 x 150 mg
(+),
Objektif
malas N:150x/m
menyusu (+)
Thoraks :
-Anemia
def
Lab :
dd/APK
Fe,
HB : 10,4
MCV: 75,5
MCH: 26,5
MCHC: 35,1
WBC : 12,90
PLT : 198
SI : 88
29/12/2016
Batuk
TIBC : 328
(+), KU : Sedang
Pemeriksaa
demam
(+), T: 37,9
(+),
malas N:122x/m
menyusu (+)
O2 3 Lpm
Terapi lanjut
SpO2 : 93 (2 lpm)
Konjungtiva
Anemis +/+
Thoraks : retraksi
subcosta (+),
P: ves +/+, rh +/+,
60
stridor +
30/02/2015
Demam
Pemeriksaa
turun,
naik KU : Sedang
At risk CP +
Batuk T: 37,5
Epilepsi
kejang (+)
ml
-
N:140x/m
SpO2: 98 (3 lpm)
-
Terapi lanjut
Thoraks : retraksi
subcosta (+), Rh
+/+ basah halus,
31/12/2015
Demam
Pemeriksaa
turun,
wh +/+
naik KU : Sedang
Batuk T: 37
Mantoux
test
:
evaluasi
semua
region
volar
indurasi 0 mm
Terapi lanjut
kejang (-)
N:130x/m
SpO2 : 98 (2 lpm)
Thoraks : retraksi
subcosta, Rh +/+
basah halus
2/01/2016
Demam
Pemeriksaa
turun,
naik KU : Sedang
Visite Respirologi :
Batuk T: 37,9
kejang (-)
Terapi Lanjut
Ibu dapat OAT
Anak diberi OAT
N:131x/m
SpO2 : 96 (2 lpm)
Thoraks : retraksi
subkostal
Rh
+/+
basah
halus, wh +/61
4/01/2016
Demam
(+), KU : Sedang
Visite Respirologi
-
RR: 64x/m
N:124x/m
SPO2 : 98 (O2 1
lpm)
Bila
tidak
normal
diberikan
Thoraks : Retraksi
subkostal, Rh +/+
basah halus, wh +/
+
OAT
lepasan.
Terapi lanjut
Visite Gizi
Sama dengan respiro
IF 12x55 cc
5/01/2016
Demam
(+) KU : Sedang
sesak (+)
T: 36,8
RR: 60x/m
Terapi lanjut
KDT
anak
fase
N:136x/m
SPO2 : 98 (O2 1
lpm)
Thoraks : Rh +/+,
wh +/+
BB: 4,5 kg
SGOT : 33
6/01/2016
Demam
SGPT : 19
naik KU : sedang
T: 36,9
Terapi lanjut
RR: 60x/m
N:148x/m
SpO2 : 97 (1 lpm)
Thoraks : retraksi
62
subkostal
dan
suprasternal,
Rh basah halus +/
7/01/2016
Sesak
Demam (+)
+, wh +/+
(+), KU : Sedang
T: 37,2
RR: 60x/m
Terapi lanjut
Konsul rehab
N:149x/m
SpO2 : 95% (O2:
0,5 lpm)
Thoraks : retraksi
Positing
Bed terapi/2jam
Latihan breathing
Up chest thorax
subcosta(+),Pectus
excavatus (+), rh
8/01/2016
Demam
+/+, wh +/+
(+), KU : Sedang
sesak (+)
T: 37,9
Terapi lanjut
RR: 65x/m
N:150x/m
SpO2 : 97 (O2 0,5
lpm)
Thoraks
retraksisubcosta
(+) Rh basah halus
minimal +/+ wh
09/10/2015
Demam
+/+
(+) KU : Sedang
sesak (+)
T: 36,1
Terapi lanjut
RR: 48x/m
N:144x/m
SpO2 : 100 (O2 3
Terapi lanjut
lpm sungkup)
63
Thoraks : retraksi
subcosta (+) Rh +/
+ wh +/+
11/01/2016
Demam
(+) KU : Sedang
Pemeriksaa
sesak (+)
T: 37,1
n oleh orang
RR: 63x/m
lain
N:144x/m
SpO2 : 97 (O2 0,5
ganti lokasi
Cefotaxime
ceptriaxone 2x200mg
Terapi lain lanjut
lpm)
Thoraks : retraksi
diganti
subcosta(+) Rh +/
+ basah halus wh
12/01/2016
Demam
-/(+) KU : Sedang
Pemeriksaa
sesak (+)
T: 37,9
n oleh orang
RR: 55x/m
lain
N:134x/m
Visite Rehab
- Terapi lanjut
Visite Respirologi advice
-
O2 1 lpm
Terapi lanjut
SpO2 : 97 (O2 2
lpm)
Thoraks : retraksi
(+) Rh +/+ basah
halus
Rongent thorax :
Konsolidasi paru
kanan berkurang,
infiltrate
paracardial dextra
13/01/2016
Deman
Pemeriksaa
sesak (+)
et sinistra
(+), KU : Sedang
T: 37,6
n oleh orang
RR: 56x/m
lain
N:138x/m
Visite rehab :
-
Massage
Koreksi
punggung
Positioning
dada/
64
SpO2 : 96 (O2 1
lpm)
Visite Respirologi
-
Terapi lanjut
Thoraks : retraksi
(+) Rh +/+ basah
14/01/2016
Demam
halus
(+), KU : Sedang
Pemeriksaa
sesak (+)
T: 37,8
n oleh orang
RR: 55x/m
lain
N:129x/m
Cotrimoxazole
KDT lanjut
Nebulizer combiven
selang
SpO2 : 95 (O2 1
epinefrin
lpm)
Thoraks : retraksi
15/01/2016
Demam
Pemeriksaa
sesak (+)
T: 38,4
n oleh orang
RR: 50x/m
lain
N:147x/m
SpO2 : 94 (O2 1
Nebulizer
stop
Nebulizer combiven /
6 jam
Erytromicin syr 3x1,5
ml
Rencana steroid oral
Thoraks : retraksi
kasar
16/01/2016
Demam
Pemeriksaa
sesak (+)
(+) KU : Sedang
T: 38
n oleh orang
RR: 48x/m
lain
N:140x/m
epineftrin
ACC steroid
Terapi lanjut
Terapi lanjut
Metilprednisolone 3 x
1 mg
SpO2 : 95 (O2 1
lpm)
0,9%,
lpm)
NaCl
epinefrin 2 ampul +
dan
subcosta(+) Rh +/
+ wh +/+
(+) KU : Sedang
2x
(combiven 1 ampul +
3 cc
suprasternal
seling
Cek UL
65
Thoraks : retraksi
berkurang (+) Rh
+/+
18/01/2016
Demam
Pemeriksaa
Sesak (+)
(+), KU : Sedang
T: 37,8
n oleh orang
RR: 43x/m
lain
N:150x/m
SpO2 : 97 (O2 1
Terapi lanjut
Assisted breathing
Chest FT
lpm)
Thoraks : retraksi
(+) Rh +/+ basah
19/01/2016
Demam
Pemeriksaa
Sesakl (+)
halus
(-), KU : Sedang
T: 37,5
n oleh orang
RR: 51x/m
lain
N:150x/m
SpO2 : 95 (O2 1
lpm)
Cek TORCH
Tunggu hasil kultur
Thoraks : retraksi
(+) Rh +/+ basah
halus
naik KU : Sedang
20/01/2016
Demam
Pemeriksaa
T: 38,0
n oleh orang
RR: 56x/m
lain
N:144x/m
O2 0,5-1 lpm
Erytomisin stop
Terapi lain lanjut
SpO2 : 96 (O2 1
lpm)
Thoraks : retraksi
suprasternal
minimal (+) Rh +/
66
+ basah halus wh
-/-
BAB IV
PEMBAHASAN
Pneumonia pada pasien ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang mendukung
berupa gejala infeksi umum seperti demam, gelisah, nafsu menyusu berkurang, dan gejala
gangguan
dan
sianosis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan retraksi subcosta, suara napas melemah dan ronki
basah halus.
67
Sedangkan untuk diagnosis TB pada pasien ini dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis yang mendukung, yaitu demam tidak jelas penyebabnya sudah 2 bulan, berat badan
kurang, dan disertai dengan adanya riwayat kontak dengan ibu kandung pasien dengan BTA
(+) yang juga sedang minum obat OAT.
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan
orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif, yaitu Ibu pasien yang sedang dalam
pengobatan), kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik).
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien
dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas,
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan
yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik dan semua faktor resiko tersebut
ada pada pasien.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan vital sign nadi : 110 x/menit, RR : 60 x/menit,
suhu tubuh 38,2, SP02 : 97%, sianosis (+), napas cuping hidung (+), pemeriksaan fisik thorak
didapatkan retraksi subcosta pada dinding dada, simetris, ronki basah halus di kedua regio
paru.
Pada perhitungan status gizi, pasien dalam keadaan status gizi kurang. Pada pasien
dengan keadaan status gizi kurang kemungkinan untuk terjadinya penyakit TB semakin
meningkat. Sehingga penting untuk menatalaksanai kondisi tersebut. Dengan memperbaiki
status gizi, diharapkan respon terhadap obat-obatan yang diberikan juga menjadi lebih baik.
Pada pasien ini kemudian dilakukan penilaian dengan scoring TB dan didapatkan skor
6. Oleh karena skor 6, pasien dapat langsung diterapi dengan KDT anak untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan
jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap =
KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam
tablet, yaitu: Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif. Tablet RH yang
merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H (Isoniazid) yang digunakan pada
tahap lanjutan. Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut. Pada pasien diberikan KDT fase intensif dengan
dosis 1 tablet setiap hari selama 2 bulan.kemudian akan dilakukan evaluasi pengobatan dan
dilanjutkan dengan terapi fase lanjutan selama 4 bulan.
Selain itu pasien juga diberikan antibiotik untuk mengeliminasi infeksi bakteri sebelum
diberikan KDT, dan karena dicurigai infeksi tambahan dari bakteri lain pada awalnya
68
sehingga diberikan antibiotik Cefotaxime 3x150 mg pasien juga beberapa kali mendapatkan
pergantian antibiotik.
Selain itu pasien juga menderita gagal tumbuh, ini dapat dilihat dari grafik CDC BB/U
dibawah persentil 5. Diagnose ditegakkan berdasarkan 3 criteria berikut: Anak umur kurang
dari 2 tahun dengan berat badan di bawah persentil ke-3 sesuai usianya pada lebih dari satu
pengukuran, anak umur kurang dari 2 tahun dengan berat badan per umur kurang dari 80%,
anak umur kurang dari 2 tahun dengan penurunan berat badan memotong 2 persentil mayor
atau lebih pada kurva pertumbuhan.
Pada pasien ini gagal tumbuh yang diderita adalah gagal tumbuh tipe campuran
organik dan non organik. Penyebab organik yaitu diketahui kondisi medis yang menyebabkan
gagal tumbuhnya. Pada pasien ini disebabkan oleh infeksi tuberkulosis. Penyebab non
organik yaitu karena kemiskinan, masalah psikososial di dalam keluarga, kurangnya
pengetahuan tentang nutrisi dan cara pemberian makan anak yang berakibat penurunan nafsu
makan nya saat sakit juga mempengaruhinya. Kaitan antara infeksi dan kurang gizi maupun
gagal tumbuh sangat sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling
memperberat. Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan anak menjadi kurang gizi yang pada
akhirnya memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan tubuh sehingga memudahkan
terjadinya infeksi baru pada anak.
Karena menderita gizi kurang pasien dan gagal tumbuh pasien diberikan IF sebanyak
12 x 55 cc dan ditingkatkan jika penyerapan nutrisi sudah meningkat, seerta edukasi terhadap
ibu menyusui anaknya, evaluasi pemberian ASI pada bayi dengan cara memperbaiki
manajemen laktasi, selalu pastikan jumlah asupan serta jadwal pemberian ASI disesuaikan
dengan kebutuhan bayi. Frekuensi pemberian berkisar 8-12 kali dalam 24 jam dengan lama
pemberian minimal 10 menit disetiap payudara. Atasi masalah ibu dalam pemberian ASI.
Kebutuhan ASI pada balita kurang lebih 1/3 dari total kebutuhan kalori dalam sehari. Selain
itu disini diberikan D5 NS 20 tpm, dan parasetamol 50 mg bila perlu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Said Mardjanis. Pneumonia dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit
IDAI, Jakarta. 2012. p. 350-366
2. WHO. Pneumonia dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Jakarta.: Badan Penerbit WHO; 2005. p.86-93
69
3. IDAI. Pneumonia. In Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: IDAI; 2009. p. 250-255
4. WHO. Tuberkulosis dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Jakarta.: Badan Penerbit WHO; 2005. p.113-119
5. Kelompok Kerja TB anak-DepKes-IDAI. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis
Anak Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. 2nd ed. Aditama TY, Kamso S, Basri C, Surya A, editors. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006.
7. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 2nd ed. Jakarta:
IDAI; 2008.
8. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Manajemen Tb Anak Dinihari TN, Dewi
RK, editors. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.
9. Behrman RE, RM Kliegman, HB Jenson. Food Insecurity, Hunger, and
Undernutrition in Nelson Textbook of Pediatric 18th edition, 2004 . p. 225-232
10. IDAI. Failure to Thrive. In Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS,
Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: IDAI; 2009. p. 75-78
11. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. EGC:Jakarta. 1995. p. 1-43.
12. Matondang, Corry S., Wahidiyat, I., Sastroasmoro, S. Diagnosis fisik pada anak. Ed 2.
Jakarta: Sagung Seto. 2007. p. 32-182.
13. IDAI. Anemia Defisiensi Besi. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS,
Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: IDAI; 2009. p. 10-13
14. IDAI. Talasemia. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: IDAI; 2009. p. 299-302
15. Bakta I.M. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC. 2007. p. 42-44
70