You are on page 1of 40

CATATAN KEBUDAYAAN

Pindah Rumah
Muhammad Akhyar

PUISI

Manusia adalah makhluk


yang berkelindan di
antara begitu banyak
pilihan. Hal ini membuat
manusia dituntut untuk
menjalankan hidup yang
patah-patah. Tidak selalu
mulus. Pilihan-pilihan itu
bagaikan halte tempat
berhenti untuk
kemudian memutuskan
melanjutkan ke halte
berikutnya. Untuk inilah
ada agama, filsafat, dan
ilmu pengetahuan.

Namun, tentu saja


perjalanan
bukanlah melulu
bicara pemberhentian,
bukan pula hanya bicara tujuan. Pemandangan
di kiri-kanan, percakapan dengan penumpang
lain, suasana rasa tiap saatnya adalah bagian
perjalanan itu juga. Untuk inilah lahir sejarah,
tempat mengenang dan menjumput kata saat
berbincang. Untuk inilah hadir seni, sarana
merayakan detak perjalanan jiwa,
dalam cinta atau pun luka.

Nila Rahma
7 Hari

7
8
9

Hasrul Eka Putra


Dari Mata Sebuah Jendela
Ketapang yang Kehilangan
Sejak Kekasihnya Memintanya Menjadi Kemarau

10
12
13

Indra Eka Widya Jaya


Pertemuan
Merampas Prajnaparamitha
Maya

14

Indra El
Sesak

OPINI

15

Apa Pesannya?
Mulyadi Syamsuri

CERITA PENDEK

18

Angka Tercecer Kisah


Taufik Akbar

21

Bisnis
Alra Ramadhan

23

Panggilan Acak
Fina Febriani

KRITIK

26

Dimensi Keislaman dalam Kumpulan Puisi Modern


Tertua di Indonesia
Ibnu Wahyudi

RESENSI

30

Sebentuk Cinta dari Anak


Johan Rio Pamungkasi

PANTAU

31

Melihat Kembali Jejak Raden Saleh


Johan Rio Pamungkas

HER VOICE

34

Choice
Alfi Syahriyani

BIDIK

36
Koordinator Komunitas: Muhammad Akhyar
Pemimpin Redaksi: Johan Rio Pamungkas
Editor: Johan Rio Pamungkas, Fina Febriani,
Nila Rahma, Tery Marlita
Penata Letak: Vita Wahyu Hidayat, Dian Kusumawardhani
Ilustrator Kulit Muka: Dian Kusumawardhani
Pemasaran: Alfi Syahriyani, Danu Ardi Kuncoro
Tahun II, no.6/2012, September 2012

Independence
Hindun Wilda Risni

adalah salah satu produk dari

Komunitas Langit Sastra

email: katajiwa.langitsastra@gmail.com
twitter: @langitsastra
majalah-katajiwa.tumblr.com

Catatan Kebudayaan

Pindah Rumah

Muhammad Akhyar

asa lalu itu ada sejauh seberapa kuat


ingatan memakunya. Salah satu paku
terbaiknya bernama rumah. Kalimat-kalimat
ini mendapatkan bukti sahihnya pada uwak
perempuan saya setelah suaminya meninggal
dunia.
Cerita ini harus dimulai ketika saya
harus kembali ke kampung tempat uwak saya
itu tinggal di pesisir Timur Sumatera sana.
Baru dua hari saya pulang dari rumah uwak di
kampung sana, saya harus kembali lagi. Tentu
dengan perasaan yang berbeda. Sangat berbeda. Sebelumnya saya datang ke sana dengan
perasaan suka cita karena akan berkumpul
dengan keluarga besar. Bercengkrama ini-itu
tentang kisah perantauan beberapa tahun belakangan. Dan kini saya harus datang ke sini
dalam nuansa hitam pekat, duka luar biasa.
Saya masih ingat uwak laki-laki saya
itu. Dua hari sebelumnya ia masih bisa menebang pohon kelapa muda di depan rumahnya.
Pohon muda itu ditebang untuk kemudian
diambil umbutnya. Umbut adalah batang

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Catatan Kebudayaan
muda dari kelapa yang letaknya di pucuk kelapa. Bentuknya mirip dengan rebung bambu,
tetapi dengan rasa lebih manis. Oh saudara,
gulai umbut itu nikmatnya tiada tara. Masih
terasa di lidah saya sampai sekarang. Kala itu
saya masih ingat ujarannya sambil menepuk
pohon kelapa yang masih dua meter tingginya, di samping pohon kelapa yang sudah ia
buat rebah, nah, yang ini kita tebang untuk
hari raya tahun depan.
Kini, ketika saya sampai ke rumah ini,
ia telah terbujur kaku. Tak akan ada lagi
tangan yang menepuk batang kelapa dan
berjanji merubuhkannya di hari raya tahun
depan. Ia kini malah yang telah rubuh. Di
rumah itu kini yang tersisa hanyalah istrinya.
Semua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari rumah itu.
Tentu saja, anak yang berbudi tidak
akan membiarkan bunda kandung mereka
tinggal sendirian, tertatih di rumah tersebut.
Anak yang berbudi pastilah akan meminta
ibunda mereka tinggal bersama mereka.
Paling tidak mereka akan bersepakat untuk
bergantian merawat ibu mereka yang memang sudah sepuh itu.
Akan tetapi apa hendak dikata, niat
baik tak selamanya disambut manis saudara.
Uwak saya itu tak pernah mau mengikuti
ajakan anak-anaknya. Ia tak pernah bisa
meninggalkan rumah itu. Ah, inilah rumah
tempat ingatannya tentang suaminya tercinta
berkelindan.
Dari kisah ini saya baru mafhum
mengapa orang-orang dulu membuat prosesi pindah rumah itu begitu sulit dan rumit

untuk tidak dikatakan mustahil dieksekusi.


Bayangkan saja frase pindah rumah bukanlah metafora semacam licentia puitica, tetapi
benar-benar dihadirkan di dunia nyata. Pindah rumah bukanlah bermakna seseorang
pindah dari satu rumah ke rumah yang lain,
tetapi benar-benar satu rumah dipindahkan
ke lokasi yang baru. Pemindahannya bisa
dengan mengangkat satu rumah utuh secara
beramai-ramai, bisa pula dibongkar terlebih
dahulu kemudian dipasang kembali di tempat
yang lain. Benar-benar mencengangkan.
Satu hal yang bisa kita tarik: proses
pindah rumah adalah perkara pelik karena
memang manusia adalah makhluk yang tidak
dirancang untuk berpindah-pindah. Pindah
bagi manusia adalah perkara yang tak mudah.
Pindah selalu akan menerbitkan gundah.
Hukum kelembaman Newton sungguh pasti
berlaku di sini, tidak bisa tidak.
Kebiasaan-kebiasaan dalam hidup
mungkin juga seperti itu, seperti rumah. Kita
menganggapnya adalah hal yang layak untuk
dijalani begitu saja. Ia kita jalani karena itu
membuat kita nyaman, karena memang
seperti itu adanya. Ia kita jalani karena itu
adalah rumah kita, tempat bernaung, tempat
menanam ingatan, dan nanti kita akan menuai kisah darinya. Ia kita jalani tanpa ada
pretensi untuk menghilangkan kemisteriusannya.
Namun, belakangan ketika ajaranajaran agama, filsafat, psikologi popular, mulai
menggerogoti, kita mulai diancam untuk lebih memaknai hidup. Hidup tak boleh hanya
mengalir begitu saja. Hidup tak boleh
Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Catatan Kebudayaan
menjadi biasa-biasa saja. Hidup tak boleh
di situ-situ saja. Harus ada kemajuan. Harus
ada pindah rumah. Oh, tidak. Hidup rasanya
menjadi berat. Karena hal-hal baru tadi
menawarkan yang belum ada sebelumnya:
janji kebenaran.
Hanya saja, ketika kehidupan telah
mengantarkan kita kepada alat-alat untuk
mencapai kebenaran tadi, alih-alih
ketenangan, kecemasan yang makin menderadera kemanusiaan kita. Betapa banyak hal
yang disampaikan oleh janji-janji sebenarnya
menyimpan simulacrum pertanyaan yang tak
ada habisnya. Pada akhirnya hidup yang awalnya tenang menjadi gaduh oleh banyaknya
tanya yang menusuk-nusuk dinding kepala.
Lihatlah kabar yang mengatakan
bahwa ada kehidupan setelah kematian.
Bagaimana pula kita membuktikan ini
benar-benar ada. Bahkan hidup ini sendiri
pun jika kita pertanyakan belum tentu benar
keberadaannya. Bisa saja ini hanyalah mimpi
semalam yang berada di otak seseorang. Kemudian ketika orang itu terbangun, kita dan
orang-orang kita kenal akan hilang begitu
saja, seiring kerjap matanya. Tak usah jauh,
jika masih saja kita ingin benar-benar bertanya, bagaimana kita yakin bahwa orang yang
kita anggap orang tua selama ini benar-benar
adalah orang tua kita. Adakah di antara kita
yang tega, menyatakan begini duhai ayah

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

bunda, aku tak bisa begitu saja percaya pada


ucapan kalian yang mengatakan bahwa aku
adalah anak kandung kalian, ayolah kita buktikan itu dengan tes DNA.
Ah, di sela-sela himpitan itulah kita
hidup. Berpikir untuk mempertanyakan adakah ini benar adanya dan di sisi seberangnya
keinginan menjalani apa yang harus dijalani,
menganggapnya adalah hal yang pasti ada, hal
yang semestinya dilakoni. Di dua dinding inilah kita sehari-hari terpental-pental. Betapa
tidak nyamannya hidup, kita dipaksa untuk
pindah rumah terus-menerus.
Tentu saja kita tidak bisa membiarkan
sepanjang usia kita terombang-ambing seperti
ini. Kita perlu satu momen untuk melepaskan
tarikan-tarikan tadi. Kita perlu merayakan
hidup. Ya merayakan yang di sini. Merayakan
yang belum pasti. Merayakan yang mungkin.
Dengan merayakan kita bisa pergi sebentar dari rumah kita, tak perlu pindah memang. Tak usah khawatir dengan pergi kita
akan kehilangan cinta, karena sejatinya kisah
cinta yang mengerikan bukanlah yang pergi
tetapi yang di sini, yang tetap, tetapi ketika
kita tatap kita tak mengenalnya lagi. Ketika
perayaan usai kita bisa pulang ke rumah kita.
Karena pada akhirnya tidak ada rumah yang
membosankan. Itu sebabnya pulang kampung
adalah kala yang selalu dinanti.

Puisi

Nila Rahma

7 Hari
Aku selalu meminum air yang sejak lama kau suapkan padaku
air itu tak pernah habis sebab kau selalu berjaga
berjaga untuk selalu mengisi ulang wadah itu saat hampir habis
Tak pernah sekali pun kau terlambat mengisinya.
Kau selalu mengisinya dengan hati-hati
dan aku berpikir, bagaimana kau bisa sehati-hati itu menuangnya?
tak ada yang pernah tertumpah, sepercik pun.
Jika dihitung, 7 hari adalah jangka waktu airku habis
Tepat di hari keenam kau selalu datang untuk menuang
Aku bisa minum hari ini dan setidaknya 7 hari lagi
Itupun jika cuaca normal.
Dulu,
kau selalu mengirim pesan pendek dengan bilang,
Mbak, apakah air galonnya sudah mau diantar?
Ya, bisa. Antarkan saja ke rumah.
Berkali-kali demikian.
Aku tak sangka kau menghafal jangka waktunya, 7 hari.
Dengan hafalnya jangka waktu demikian,
tanpa diminta pun kau akan datang membawa air
tanpa ada pesan pendek lagi
dan tentunya tanpa balasan dariku.

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

Puisi
Itulah mengapa aku tak pernah menyimpan nomormu.
Sekilas membaca pesan pendek darimu, kujawab, hapus.
Selesai. Aku tak pernah menyimpan nomormu.
Kali ini cuacanya tidak normal
sedang begitu terik-teriknya
Biasanya, di hari keenam setelah kau datang menuang, kau akan datang lagi
tapi sekarang aku butuh kau lebih cepat
Aku tak menyimpan nomormu
Semua pesan pendekmu soal pemesanan air itu sudah kuhapus
Tidak ada rekaman di panggilan masuk ataupun keluar karena memang kita tidak pernah
berteleponan.
Ini sudah larut malam
Tak ada toko yang masih membuka layanan
Gas komporku habis
Aku tak mungkin memaksa untuk menaruh panci
di atas kompor tak bernyawa ini.
Terpaksa kali ini aku meminum air kran
karena kau tak datang.
Depok, 26 Mei 2012

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Puisi

Hasrul Eka Putra

Dari Mata Sebuah Jendela


jendela ini telah kehilangan separuh pembicaraan dan ucapan selamat tidur
dari kekasihnya, si burung merpati yang belang putih.
ia telah berubah jadi bingkai hitam
yang berisi temaram hujan dan bulan yang terombang-ambing di kota.
ia selalu mendengar sapaan suara dari jam wekernya
yang suka bermain biola dan punya radio di halaman belakang.
halaman tempat bendera menyapa lentik udara yang baru tiba dari atlantik.
bendera strip yang penuh bintang gemintang.
setiap kali pembicaraan usai. jendela itu selalu memanggilmanggil bendera.
apa yang dilakukan oleh kakikaki itu? melangkah, serius,
dan tidak pernah mengajak bicara aku dan temantemanku. keluh jendela.
ya, disini waktu adalah uang. dan kita cuma kunangkunang. jawab si bendera.
dari balik mata sebuah jendela.
Jersey, 200712

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

Puisi

Hasrul Eka Putra

Ketapang yang Kehilangan


kita hanyalah ketapang yang luruh oleh musimmusim tak berperasaan
daundaun yang saling melepas, saling mengikhlas
tanah kering dan langit yang keras kepala
rantingranting yang kehilangan rasa memiliki
angin yang terlalu rumit, yang terlalu ingin menjadi sebatang pohon ketapang.
kita lalu kalah oleh akar kita sendiri
akar yang kita tanam beberapa kemarau lalu
ia kini berubah pohon ketapang,
yang menggigil, saat musim panas kehilangan dirimu. lalu aku.
2012

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Puisi
Hasrul Eka Putra

Sejak Kekasihnya Memintanya


Menjadi Kemarau
sejak kekasihnya memintanya menjadi kemarau
ia memilih jadi langit agustus yang begitu pendiam.
ia irit bercerita. hanya berkata satu dua
agar segala berhenti menanyakan kabar dan perihal dirinya.
ia telah memutuskan untuk pulang lebih cepat dari senja
dari apapun yang terbang di langit agustus.
seolaholah, horizon hanyalah lapisan ozon kosong,
yang membuat dirinya terlalu kecil untuk menampung
kekasihnya dalam botol plastik pemberian ibu
saat ia berumur sepuluh, di saat yang sama ketika
ia belajar tentang matematika sederhana:
bahwa semua angka dibagi nol menjadi tiada berhingga
sejak itu pula, ia belajar mencintai angkaangka
sebab dengan begitu, ia bisa menghitung segala benda
ya, segala benda, termasuk rasa sakit yang tumbuh di lengannya
sejak kekasihnya memintanya menjadi kemarau
ia juga belajar tentang matematika sederhana:
bahwa semua dibagi hatinya yang kosong adalah sesak tak berhingga.
ia memilih menjadi kemarau yang sengau
setiap pagi ia bangun, sarapan, dan pergi
ia irit bercerita. hanya bernyayi dua tiga
agar ia bisa merasakan hujan deras di balik tirai hatinya yang kelelahan.
2012

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

Puisi

Indra Eka Widya Jaya

Pertemuan
Kisah apa yang kau ceritakan kali ini
Apakah sama
Kita itu sama
Mengumbar janji sebebasnya
Seperti itik diantara perdu ilalang
Di padang
Kita akan sama kali ini
Seberapabanyak yang kau keluarkan, aku tak akan kalah
Aku tak akan mati dalam chandradimukha
Aku tak akan musnah sayang
Aku akan bergelut pada mu itu
Hingga phallusku bergesek dengan phallus mu
Hingga keringatku menghapus dengan keringatmu
Kepal akan bertemu tinju
Sayang
Dengan mesra sampai desah terakhir

10

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Puisi

Aku tak akan pernah menyesal


Ketika aku mulai berniat untuk menebahmu
Hingga bonggol dan akarmu tercabut
Walau kau tahu, nyatanya aku tak bertangan kuat
selayaknya kau
Dengarlah
Semangatku tak pernah menggelinjang sampai kini
Lawanlah aku
Tj.Priok 2012
Menjelang Pilkada

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

11

Puisi
Indra Eka Widya Jaya

Merampas Prajnaparamitha
Aku
Perampok
Pemerkosa
Penodong
Pembunuh
Bajingan
Namun aku tak pernah membunuh
Kupu-kupu dan bunga
Pulung kerajaan itu ada dan tepat
Dibalik badong mu!
Kuteteskan darah,
Si pembuat keris
Dan suamimu yang merampas mu
Sampai aku tidak disebut
Perampok
Pembunuh
Pemerkosa
Penodong
Hingga
Anak tiriku
Selesai mem
Buka pintu
Aku masih
Bisa men
Nuliskan
Ini aaa
Aaaaa
Aaaaa
Aaaa
Aaaa
Aaaa
Aaa
Aaa
Aa
Aa
a
Pararaton
Pupuh Pratama

12

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Puisi
Indra Eka Widya Jaya

Maya
Aku masih melihatmu dan menelusup kedalam mimpi yang sama
Ketika kau menunjukkan geligimu yang tersemat dibalik lambe merah
Kau selalu menginterupsi setiap langkah ya
Langkah bodoh ini
Aku ingin sekali menghisap wangi keringatmu
Dari ujung tudungmu itu
Kau tahu aku menahan setiap cipratan testosteron
Dalam tahun tahun ini
Hingga mengecil
Ingin sekali ku kecup dan melumat setiap langkah
Yang kutulis bersamamu
Dan setiap pandangan yang mengarah ke bawah lehermu
Kurantai dengan paksa
Namun persetan
Tak peduli Tuhan
Seribu tahun pun
Aku tetap sama
Tj. Priok 2012
Di balik bantal

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

13

Puisi

Indra El

Sesak
ketika arus datang
awas kepala mu terbang
labrak tumbang bukan kepalang
merekah kau terjang
hingga nadi - nadi pun tegang
tak jua dan tak ada memang
tak tau kau butuh gagang
makin kau pegang
meradang
marah
dan tangan mu melayang
pecah
dan nafas pun hilang
lelah
kau tak pulang
naik turun mata mu jelang
lepas
berharap semua hilang
lepas
biarkan dia terbang
lepas
dan kau tenang

14

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Opini

Mulyadi Syamsuri

Apa Pesannya?
M

ata adalah jendela jiwa, begitulah pesan yang pernah saya


baca dalam sebuah tulisan. Orang yang sedang berbahagia,
bersedih, atau menyimpan amarah, memiliki ekspresi matanya
masing-masing. Bahkan perilaku jujur atau bohongnya seseorang
konon dapat dibaca dan dideteksi dari pergerakan matanya. Mata
bisa jadi adalah salah satu media penyampai pesan yang meski
implisit dan subtil namun teramat jujur karena sulit dimanipulasi
dan oleh karena itu tidak selayaknya diabaikan begitu saja dari
perhatian kita. Terkait hal tersebut, ada sebuah iklan provider
telepon seluler 3 yang menarik, yakni iklan 3 Always On (versi
cewek) Iklan ini memiliki total durasi 60 detik. Namun, dari 60
detik itu, ada potongan gambar berdurasi 3 detik yang menarik
perhatian saya melebihi potongan gambar dari 57 detik sisanya.
Saya selalu menunggu iklan itu diputar di televisi. Dan tiap kali
iklan itu diputar, saya selalu menanti potongan gambar berdurasi
Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

15

Opini
3 detik itu sampai akhirnya saya mengunduh
sendiri iklan tersebut sehingga tidak perlu
lagi berlama-lama menonton televisi.
Dalam potongan gambar yang
muncul pada detik 55 hingga 57 itu,
tampak wajah seorang manusia. Kita dapat
melihat keseluruhan wajahnya mulai dari
rambutnya, dahinya, alisnya, matanya,
hidungnya, pipinya kecuali mulutnya yang
agak tertutup oleh tangannya. Apa yang
paling menarik perhatian saya adalah mata
manusia itu.Honestly, itu adalah sebuah mata
yang sangat cantik. Bentuknya pipih sedang
memanjang (namun tidak terlalu pipih)
dengan sorot mata yang hitam dan tajam.
Pada potongan gambar detik 556, pandangan
matanya tampak ke samping. Pada detik
558 hingga 561, ia memejamkan matanya
(sepertinya ketika memejamkan matanya
inilah, ia memindahkan arah pandangannya
dari samping ke tengah). Pada detik 562 ia
mulai membuka matanya perlahan dengan
arah pandangan menuju ke tengah (Tidak!
Jika anda perhatikan dengan lebih seksama,
arah pandangan itu tidak menuju ke tengah,
tapi ke arah mata anda para pemirsa !)
disertai dengan tarikan halus garis wajah ke
atas pada pipi dan bibirnya yang membentuk
bulan sabit.
Pada potongan gambar detik 562
ini, gambar mata yang tampak seperti mata
seseorang yang baru saja bangun tidur atau
mata seseorang yang baru saja kembali
terbuka setelah mengalami pengembaraan
yang dalam ketika terpejam. Pada detik 563
kelopak matanya terbuka semakin lebar,
16

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

lebih lebar dari gambar 562 sayangnya


saya tidak dapat melihat ke dalam pupil
matanya: apakah ikut membesar atau tidak.
Dalam tayangan cepat, potongan gambar
562 dan 563 berganti sangat cepat dan
menghasilkan kesan seseorang yang tibatiba saja secara mengagetkan membuka
matanya setelah dipejamkan. Pada
potongan gambar detik 564 hingga 569,
ia tampak menarik nafas semakin dalam
(terlihat dari hidungnya yang semakin ia
benamkan dan senyumnya yang tidak lagi

kelihatan) sedangkan matanya semakin lama


semakin tajam menatap kita, seakan-akan
mata itu hendak mengatakan:Hei kamu,
lihatlah aku !Potongan gambar detik 570
hingga 579 koreksi jika pengamatan saya
salahmenampilkan gambar yang sama
dengan potongan gambar detik 569 namun
dengananglekamera yang bergerak dan
berpindah secara halus menangkap gambar
wajah.
Hanya inilah yang dapat saya
deskripsikan dan ceritakan pada Anda. Saya
mencoba mengurai sebuah pesan berdurasi
sekitar 3 detik yang ditampilkan lewat
sepasang mata (didukung dengan properti
wajah yang lain tentunya) dengan cara
mengurai elemen-elemen pesan menjadi
potongan-potongan gambar. Namun cara ini,
mengacu Roland Barthes, adalah cara yang
berisiko karena rentan terhadap pereduksian
makna pesan yang hendak disampaikan.
Contohnya seperti ini: Saya melihat mobil
BMW dalam mimpi saya kemudian saya
menceritakan mimpi saya ini kepada seorang

Opini
teman. Saya tidak menyebutkan bahwa
saya melihat mobil BMW secara langsung
kepadanya, namun memecah tiap bagian
dari mobil BMW menjadi bagian-bagian.
Saya katakan pada teman saya ini bahwa
saya melihat sebuah benda bermesin,
memiliki empat roda, memiliki setir di
dalamnya dan merupakan kendaraan yang
diimpor dari luar negeri. Teman saya ini
kemudian menggabungkan setiap deskripsi
yang tadi telah saya sebutkan dengan rinci
itu kemudian ia konstruksikan menjadi
sebuah gambaran imajiner sebuah kendaraan
yang memiliki nama: mobil MercedezBenz. Lihatlah, saya telah mendeskripsikan
kendaraan yang saya lihat dalam mimpi secara
benar lewat informasi yang saya dekonstruksi
(potong-potong jadi beberapa bagian) dan
teman saya juga telah mengkonstruksikan
kembali potongan-potongan informasi itu

menjadi satu kendaraan yang utuh kembali.


Namun, gambaran yang kami hasilkan
ternyata berbeda.
Cara yang saya lakukan ini bisa
jadi dan sangat mungkin terjaditidak
mampu menyampaikan pesan secara utuh
dan lengkap. Kesan yang saya tangkap dari
potongan gambar berdurasi 3 detik itu
pada akhirnya tidak mampu saya jabarkan,
saya jelaskan kepada Anda lewat tulisan.
Anda harus melihat, memperhatikan, dan
menangkap kesan itu sendiri. Semoga kesan
yang kelak kita hasilkan nanti akan sama:
bahwa sepasang mata pada potongan gambar
berdurasi 3 detik itu bukanlah sepasang
mata polos dan hampa yang tanpa sengaja
tertangkap oleh kamera. Sepasang mata itu
hendak menyampaikan sebuah pesan.

Tapi, apa pesannya ?

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

17

Cerpen

Taufik Akbar

Angka
Tercecer Kisah
Hari ketiga puluh satu, minggu ke empat, luna kelima1, Pukul 11.11 WIB.
i hadapan saya terpancang sepucuk nisan. Nisan yang masih basah oleh kesedihan
yang dihasilkan kelenjar air mata. Dalam ingatan yang tak pernah benar-benar ada,
beberapa hari yang lalu segalanya tumpah ruah: wajah muram, bunga kembang rupa, doadoa sendu, sendal-sendal yang penuh lumpur lalu orang-orang mulai senyap, pergi berlahan
meningalkan tapak-tapak. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah. Entah apa
yang sedang dikerjakan tumbuh ringkih itu di bawah sana. Adakah ia mendengar, adakah
yang ingin ia katakan, adakah ia menyerah, adakah ia marah pada saya sebelum saya pergi jua
dari sini.
Betapa hari sebelumnya Dayang meminta saya untuk pulang, ia katakan ayah sedang
bersiap melunasi umurnya, sakitnya kian parah dan seluruh keluarga sudah berkumpul
bersiap mengikhlaskannya. Saya diam tak berkomentar banyak, dayang memohon-mohon

1 Hari tanpa tembakau sedunia

18

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Cerpen
meminta saya pulang.
Saya bergeming hingga
ia katakan bahwa ayah
ingin berjumpa. Nama saya
selalu disebut-sebut.
71 % keluarga di
Indonesia memiliki 1
orang anggota keluarga
yang perokok2
Sewaktu kecil, saya
selalu mengulang-ngulang
pertanyaan yang sama,
Yah, mengapa
senang mengisap
benda aneh itu dan
mengeluarkan asap dari
mulut?
Ia pun akan
menjawab dengan
pertanyaan yang selalu
sama,
Mengisap benda
ini membuat ayah merasa
tenang dan bisa berpikir
lebih baik.
Tiap subuh ia
akan duduk di teras
rumah menyerumput
secangkir kopi sambil
menyalakan benda aneh
itu, mengisapnya dalamdalam dan mengembuskan
asapnya pelan-pelan.
2 Majalah Tempo edisi 28 mei -3
juni 2012

Wajahnya menggambarkan
nikmat yang tiada dua.
Bisanya ibu akan datang
setelah pekerjaannya di
dapur selesai dan mereka
mengobrol entah tentang
apa.
Pun sehabis makan
malam, menonton televisi,
selesai beribadah, saat
buang air besar, sehabis
mandi, benda beberapa

ketika saya menikah nanti


istri saya harus seperti ibu,
minimal mendekati ibu.
Saat kenaikan kelas
6 SD adalah pembuktian
pada Ibu bahwa rangking
satu adalah hadiah yang
ingin saya beri. Namun
saat itu ibu dirawat di
rumah sakit. Pingsan
setelah muntah darah.
Esok harinya ibu tiada.

sentimeter itu yang selalu


bersamanya. Selalu. Tak ada
pengecualian.

Kehilangan paling besar


dan membekas paling
dalam.
Tak ada yang pernah
bercerita mengapa ibu bisa
tiba-tiba meninggal. Ayah
hanya bungkam saat saya
tanya,
Ayah, ibu sakit apa?
Satu tahun berselang.
Tanpa meminta pendapat
saya, ayah menikah lagi
dan lahirlah Dayang. Saya
menjadi pendiam. Saya
menjadi pemarah. Merasa
kerdil tak dianggap, tak
mengerti, apakah ayah
begitu cepat melupakan
ibu. Saya berteriak di
depannya bahwa Ibu tak
akan bisa digantikan.
Saya bertekad tak akan
mengajaknya bercakapcakap lagi. Berbicara hanya

66 % perokok pasif di
Indonesia adalah kaum
hawa.3
Ibu saya seorang ibu
rumah tangga, mengurus
keperluan anaknya
mengurus keperluan
suaminya. Perhatiannya
bak embun di tengah
gersangnya gurun
sahara, tatapan matanya
riuh rendah dendang
paling indah, ucapannya
ibarat madu yang paling
manis. Begitulah saya
memandang ibu. Seorang
hawa yang sangat saya
cintai tiada banding di
dunia. Sampai-sampai
3 ibid

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

19

Cerpen
seperlunya saja antara kata
iya dan diksi tidak.
Kelas 1 SMA saya
tahu ibu menderita
kanker paru-paru dan ia
menyembunyikannya dari
saya.
Satu orang meregang jiwa
setiap 5,8 detik karena
rokok.4
Ayah, di depan nisan
ini aku ingin mengatakan
bahwa aku menyerah.
Akhirnya aku datang juga
setelah berhari-hari didera
rasa tak nyaman. Aku tahu
tatapan mata orang-orang
ketika aku ke sini: Anak
durjana, anak durhaka,
anak tak tahu adat. Tapi
sayang sekali mereka tak
benar-benar mengerti
bagaimana perasaanku
saat engkau merenggut
ibu dariku dengan

kebiasaanmu itu.
Aku marah ayah.
Terlampau marah
untuk meminta
pertanggungjawaban
darimu. Di benakku hanya
ada kesangsian apakah
engkau mencintai aku
dan ibu. Apakah orang
yang mencintai begitu
tega merengkuh jiwa
yang dicintainya. Apakah

berdamai saja. Ku pikir


tak perlu mengungkit
kemarahan yang lalulalu. Kita lunasi sampai
disini. Kaupun kini boleh
mengisap benda itu di
bawah sana. Aku tak akan
menggangu. Aku punya
kehidupan yang harus
kujalani kini. Terima kasih
telah melahirkanku dan
memberikan contah ayah

orang yang mencintai tak


sedikitpun mau mengubah
kebiasaan durjananya
dengan benda jahanam itu.
Ayah aku tak pernah
mengerti bagaimana
perasaanmu dan mengapa
tak kau tak pernah
menceritakan perasaanmu?
Sungguh, apakah aku
sekerdil itu.
Ayah, sebelum
aku pergi sebaiknya kita

yang takkan kutiru.


Dan sebagai
penghormatan terakhir,
kupersembahkan
sebungkus rokok
keluaran terbaru rasa kopi
kesukaanmu. Semoga kau
menyukainya.

4 ibid

20

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Cerpen
Alra Ramadhan

Bisnis

ungguh aku membenci


hal ini: kelas...
Dalam kelas lah kita
dipisah, dipilah, mungkin
juga disendirikan. Seperti
aku kini, ada dalam sebuah
kelas yang menyendirikanku. Tak ada obrolan
berarti. Apalagi kemerdekaan untuk tertawa. Juga
kebebasan untuk sekedar meluruskan kaki dengan
nyaman.
Yang ada di hadapan mataku adalah kursi
kulitentah kulit macan, entah kulit badak, entah
cicakyang di dalamnya terdapat busa, atau gabus,
atau bulu-bulu kapuk yang tiada pernah dijemur di
terik matahari. Keras...
Dan kebebasanku kembali berkurang satu
lagi: kebebasan untuk dapat menyandarkan
punggungku dengan nyaman.
Di sebelahku adalah seorang tua. Sejak aku
datang, orang itu mempergunakan jatah tempatku
duduk untuk meletakkan kakinya, bukti bahwa ia
tak juga nyaman dengan tempat duduknya bukan?
Orang itu terpaksa ku bangunkan. Bagaimana
pun itu tempat dudukku, dalam tiketku: gerbong
dua, nomor 13 D. Ia terbangun dengan polos,
sungguh, seperti tatapan kosong pada cicak yang

mati. Ia memandangiku
sesaat. Matanya sayu,
setidaknya itu yang terlihat
dibalik kacamatanya. Detik
selanjutnya dipindahkannya
kakinya itu dari kulit-kulit
berkapuk keras menuju
lantai.
Aku duduk...
Saat inilah
ketakbebasanku mulai
muncul. Saat aku menyadari
bahwa kakiku tiada dapat
dengan bebas berselonjor.
Dan punggungku, ah..
tak bertemu dengan kulit
berkapuk empuk. Aku tak
lagi merdeka, aku terbatasi.
Dan dalam keterbatasan ini
aku tak nyaman. Sungguh.
Bila saja tak karena keperluan
mendesak, tak ku duduki
bangku ini. Bukankah
manusia selalu membatasi?
Ah...
Harusnya lah aku

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

21

Cerpen
berbahagia dengan ini:
ketika aku ada pada gerbong
yang tak hendak aku
kehendaki. Ketika aku ada
dalam ketidakmerdekaanku.
Ketika aku sadar bahwa aku
dalam keterbatasan, dan
ada yang lebih tak terbatas.
Ketika semua itu berkumpul,
lalu menjadi kelas, dan
lantas semakin membatasi.
Harusnya aku bersuka cita
dengan hal ini.
Ah, tidak... batinku.
Aku benar-benar
terkurung. Jarak mataku
dengan kursi di depanku tak
lebih dari satu meter. Dan
ketika aku melihat sekeliling,
benar-benar tak ada yang
menarik perhatianku. Ya,
tentu saja, aku tak bisa
bahagia dengan itu. Aku tak
bisa terus terkurung dan
terpasung dalam hidup dan
pemikiran rasio.
Tapi, mereka di
sekelilingku bahagia.
Mereka tertidur lelap
dalam kekangan. Mereka
mendengkur keras dengan
tangan bersedeku, kaki
menumpang kursi depannya,

keterbatasan.
Mereka mungkin tak
sadar bahwa sesungguhnya
mereka terkurung. Ah,
bagaimana mungkin?
Atau mereka merasa harga
kursi inikau tentu tahu
kawan, perbandingan harga
kursi kereta bisnis dengan
ekonomilebih mahal
daripada kelas di bawah,
sehingga mereka dapat tidur
nyenyak. Mereka menerima
segala kungkungan.
Atau mungkin mereka
tahu mereka terkurung?
Mungkin mereka tahu
bahwa mereka terbatas.
Lantas mereka memaksakan
bahagia ada pada mereka,
dalam diri mereka, dan di
sekitar mereka. Mereka
menganggapnya lumrah
dan telah sesuai. Entahlah.
Manusia memang lebih
sering menerima tanpa
mempertanyakan.
Tapi aku rasa opsi
kedua tadi patutlah jadi
pertimbanganku. Aku
tetap harus berbahagia,
bersyukur, meski dalam
keterbatasanku. Aku harus

juga dengan posisi yang


tak seberapa nyaman:
bahasa resminya adalah

bangga bahwa aku ada


dalam kelas yang tak nyaman
ini. Aku yang terbatas dalam

22

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

perbandingan baik buruk,


benar salah. Kita memerlukan
itu. Aku mesti menyadarinya.
Aku harus menyadari, dalam
arti sebenarnya, bahwa
kemerdekaan itu ada dalam
keterbatasan.
Ya, batinku. Aku harus
demikian..
Tapi bagaimana
mungkin? Di kelas ini, di
gerbong kehidupan ini,
sejauh mataku aku lesatkan
ke depan, yang aku lihat
adalah belakang. Pentolan
kerudung, botak bapakbapak, atau ujung rambut
ibu-ibu. Perhatikanlah
susunan tempat duduk
kereta ini, bukankah ketika
setiap manusia menghadap
ke depan dan ber-shaf, yang
terlihat adalah belakang.
Kita perlu melepasnya.
Membebaskan. Dan tiada
lagi membatasinya dengan
rasio.
Karena inilah yang aku
benci dari kelas: batas...
Malang, 30 Mei 2012

Cerpen

Fina Febriani

Panggilan Acak

Ujung Nusa, 21 Mei 2012,


pukul 23.00
ulilit tulilit
Kulirik ponselku.
Private number. Hanya ada
satu kemungkinan.
Panggilan itu datang!
Ya Tuhan, apa aku
bermimpi?
Tidak ada waktu
menjawab pertanyaan itu.
Tombol hijau di hadapanku
harus segera kutekan, jika
tak ingin ini benar-benar
menjadi mimpi.
Halo sapaku.
Halo Ah. Aku
tersenyum sendiri.
Apa kabar? tanyaku.
Standar sekali.
Baik. Bagaimana
studimu? tanyamu lagi. Itu
lagi.
Kenapa selalu tanya
itu? kataku sambil tertawa.

Karena tidak tahu


harus bicarakan apa lagi.
ujarmu polos. Tawaku
terhenti seketika.
Fin
Ya?
Berceritalah kau
meminta dengan tulus.
Tentang apapun.
Aa hmm...
Aaaaah, mengapa
begini? Kurutuki diriku
sendiri.
Bukankah telah
kusiapkan berjuta cerita
untuk kubagi denganmu?
Mana kisah tentang angin
yang membawa cita-citaku
terbang tinggi? Mana
keluhan tentang dingin yang
meremukkan tulang-tulang
jemari? Mana dongeng
tentang daun, hujan, petir,
debu?
Hmm, cerita apa ya?
Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

23

Cerpen
Ugh, jawaban yang
memalukan! Seketika saja
aku begitu membenci diriku.
Hidupku datar saja. Tak
ada yang menarik.
Astaga! Mengapa itu
yang keluar?
Fiiiin! Tak adakah yang
lebih bodoh dari itu?
Kau diam. Hening pun
mengambil alih.
Kau saja yang cerita.

dalam hati. Kecewa.


Halo?
Halo.
Belum tidur, Fin?
Belum. Ada apa?
tanyaku tak bersemangat.
Aku mau tanya soal
Panjang kalimat Dina.
Uuuh, sudah dong. Jika tidak
segera kututup, panggilan itu
akan
Oke. Terimakasih, Fin.

kataku menetralisasi
penyesalan. Kau punya
cerita apa?
Ah ya, jadi di sini
mengalirlah cerita itu dari
mulutmu. Kudengarkan
saksama. Kata demi kata.
Benarkah ini nyata?
tanyaku pada malam.
Kuraba hatiku. Hangat.

Sama-sama.
Klik. Aku menghela
napas. Semoga masih ada
kesempatan.
Kuletakkan ponselku.
Menunggu. Lima menit,
sepuluh menit, tiga puluh
menit. Sepi. Akhirnya,
kuputuskan berbaring.
Dengan nelangsa dan sejuta
tanya. Ini malam ketiga. Ke
mana dia?

Malam sebelumnya, pukul


23.10
Kulirik jam di dinding.
Resah. Sudah lewat sepuluh
menit. Mengapa masih
hening?
Sungguh, aku
menunggu sebuah suara.
Tulilit tulilit
Ah, itu dia!
Kuraih ponselku cepat.
Dina.
Eh, kok Dina? tanyaku
24

***
Seberang Nusa, 5 Mei 2012,
pukul 23.00
Tut tit tut tit
tut
Kurapatkan ponselku
ke telinga. Menunggu
jawaban.
Tuuut tuuut
tuuut

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Hmm, halo?
Halo.
Ini siapa ya?
Seorang teman.
Teman?
Ah, tepatnya seseorang
yang ingin menjadi teman
Anda.
Aduh, serius dong. Ini
siapa?
Teman.
Akh!
Tut tut tut
Sambungan terputus.
Malam berikutnya, pukul
23.00
Tut tit tut tit
tut
Kurapatkan ponselku ke
telinga. Menunggu jawaban.
Dari orang yang berbeda.
Tuuut tuuut
tuuut
Hello?
Halo.
Who is this?
A friend.
Hah?
Tut tut tut
Lagi. Terputus. Lebih
cepat dari sebelumnya.
Malam berikutnya, pukul
23.00
Tut tit tut tit

Cerpen
tut
Kurapatkan ponselku ke
telinga. Menunggu jawaban.
Dari orang yang berbeda.
Tuuut tuuut
tuuut
Halo, selamat malam.
Selamat malam.
Ya? Dengan siapa?
Seorang teman.
Teman?
Ya. Aku ingin menjadi
temanmu.
Oh, baiklah.
Aku terdiam sejenak.
Terhenyak oleh tanggapan
yang berbeda dari biasanya.
Boleh tahu namamu?
tanyaku memberanikan diri.
Fin.
Hmm. Maaf
mengganggumu, Fin.
Oh, tak masalah. Ada
yang ingin kau sampaikan?
Aku hanya ingin
berbincang. kataku bingung.
Hmm. Baiklah. Tentang
apa?
Ah ya, tentang
Sambungan berlanjut.
Malam berikutnya, pukul
23.00
Tut tit tut tit
tut
Kurapatkan ponselku ke

telinga. Menunggu jawaban.


Kali ini, dari orang yang sama.
Tuuut tuuut
tuuut
Halo, selamat malam.
Hai, Fin.
Oh, hai.
Apa kabarmu hari ini?
Baik sekali. Bagaimana
denganmu?
Aku
Sambungan berlanjut.
***
Ujung Nusa, 21 Mei 2012,
pukul 23.30
Fin ia
memanggil lagi. Tepatnya,
mengingatkanku bahwa ia
masih di seberang sana.
Ya?
Terimakasih telah mau
mendengarkanku selama ini.
Tak perlu begitu.
Bukankah kita teman?
kataku sambil tersenyum.
Senyum yang mustahil
dilihatnya.
Sesungguhnya
ini sulit, tapi aku harus
mengatakannya.
Katakanlah ujarku.
Ini akan menjadi
perbincangan kita yang
terakhir.

Dahiku seketika
mengernyit.
Mengapa?
Sebab aku
Tut tut tut
Sambungan terputus.
Hei! Tunggu! Aaa
Kalimatku terhenti.
Larut oleh hening yang
mematikan.
Malam berikutnya, pukul
23.45
Benar. Aku tidak sadar.
Entah sejak kapan dan entah
karena apa, perbincangan
acak itu begitu kunikmati.
Kulirik ponselku untuk
kesekian kali malam ini.
Masih sepi. Dan mungkin,
akan terus sepi.
Rumah, 5 Juli 2012

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

25

Kritik

Dimensi Keislaman
dalam Kumpulan
Puisi Modern
Tertua di Indonesia
A

Ibnu Wahyudi

26

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

gak mengherankan bahwa kumpulan


puisi tertua dalam khazanah sastra
modern di Indonesia menyuratkan nada keislaman. Dikatakan demikian sebab prosa tertua di Indonesia, Tjerita Nyai Dasima, yang
ditulis dan diterbitkan sendiri oleh G. Francis
pada tahun 1896, cukup terasa nada
ketidakislamannya. Simak saja nama yang
menyiratkan sisi negatif dalam novel itu,
misalnya pembunuh bayaran yang menghabisi nyawa Dasima, bernama Bang Puase.
Juga Wak Salihun, yang haji, mempraktikkan
tatacara yang dalam konteks Islam harus dihindari, yaitu mengguna-gunai Dasima.
Namun kumpulan puisi pertama di Indonesia ini, Boek Saier oetawa Terseboet Pantoen
yang terbit tahun 1857 dan ditulis oleh
SaOrang jang Bangsjawan, kental dengan
nuansa keislaman. Bait pertama dari 80 syair

Kritik
yang ada, dimulai dengan //Bismillah itoe
moela dikata/ Rahman dan rahim kedoewanja serta/ Mengarang sair soewatoe tjeritta/
Dengen pitoeloeng Toehan kitta//.
Karya bernuansa Islam seperti ini akhirnya
menjadi sesuatu yang langka pada masa awal
pertumbuhan sastra modern Indonesia itu,
yaitu pada pertengahan sampai akhir abad
XIX. Yang lebih mendominasi adalah karyakaryakhususnya syairyang ditulis oleh
peranakan Cina atau orang Indo-Eropa, yang
cenderung menulis hal-hal biasa dan netral
saja atau mengisahkan cerita yang berkaitan
dengan relasi pribumi dan nonpribumi, khususnya yang berhubungan dengan masalah
pernyaian.
Kecenderungan tematik yang sarat dengan
ajaran moral atau keislaman secara khusus,
dapat dikatakan sebagai sesuatu yang hampir-hampir tidak lagi kental. Kenyataan ini
menarik dan menimbulkan tanda tanya. Apa
gerangan yang terjadi? Jangan-jangan, tema
seperti ini masih ditulis dan banyak, namun
terwadahi dalam karya-karya yang ditulis
dengan huruf Jawi sebagai naskah atau sebagi
kirografik. Demikian pula dengan identitas
pengarangnya, yang agaknya pribumi atau
sekurang-kurangnya bukan keturunan Cina
atau Indo-Eropamerupakan pula sesuatu
yang istimewa sebab pengarang pribumi
pertama yang selama ini luas dikenal adalah
R.M. Tirto Adhisoerjo dengan karya-karyanya yang terbit pada awal abad XX.

Didaktis
Syair yang terhimpun dalam buku ini lebih

tepat disebut sebagai syair didaktis atau


boleh juga masuk kelompok syair agama.
Dikatakan demikian, mengingat bahwa tema
yang ada di dalam kumpulan syair ini berisi
ajaran atau arahan moralitas yang bertolak
dari keharusan bagi berbagai pihak. Sebagai
misal, di dalam kumpulan ini tersurat keharusan bagi seorang anak untuk berbakti dan
menurut kepada orangtuanya, petunjuk kepada para murid untuk selalu menghormati dan
menghargai gurunya, anjuran kepada para
bangsawan dan hartawan agar tidak takabur

dan tinggi hati, awas-awas kepada siapa saja


untuk menghindari berjudi, main perempuan,
berdusta, berhutang sana-sini, boros, serta
melakukan kebiasaan kawin-cerai. Dapat dijumpai di dalam bait-bait syair ini, pada
akhirnya, suatu ajakan untuk menghindari
semua perbuatan buruk dan tercela ini
dengan cara selalu memohon petunjuk Sang
Pencipta agar selamat di dunia dan akhirat
nanti.
Apa-apa yang dipesankan melalui syair
tersebut merupakan hal-hal yang sangat
sehari-hari, manusiawi, dan bukan sesuatu
yang luar biasa. Berkenaan dengan tema yang
sedemikian ini, maka jelas bahwa syair dalam
buku ini berbeda dengan syair-syair sebelumnya yang biasanya ditulis dengan huruf Jawi
dan cenderung berisi hal-hal yang bersinggungan dengan mitos, sejarah, serta melukiskan dunia antah-berantah. Kenyataan ini
setidak-tidaknya menunjukkan bahwa kumpulan syair ini telah berhasil keluar dari konvensi penulisan sastra lama, baik dari sisi tema
maupun stilistikanya. Oleh sebab itu, tidak
Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

27

Kritik
ada kesangsian lagi di sini untuk menyatakan
bahwa buku kumpulan puisi yang berupa syair
ini adalah khazanah sastra modern atau lebih
tepatnya disebut sebagai pemula khazanah
sastra modern di Indonesia.
Secara tematik, keseluruhan bait syair ini
dapat dipilah ke dalam
beberapa topik utama, yaitu
topik yang berkaitan dengan ajakan untuk berbuat
kebajikan dalam hidup
keseharian, topik yang berhubungan dengan sikap
yang selayaknya ditunjukkan oleh murid terhadap
gurunya atau topik yang
berhubungan dengan dunia pendidikan, dan topik
yang berhubungan
dengan persoalan
spiritualitas atau
religiusitas.

terbukti berakibat buruk untuk diri sendiri di


dalam pergaulan dan di masa depan, adalah
mengonsumsi candu, bermain judi, suka berbohong, suka berhutang, suka melancong tak
berketentuan, dan punya kebiasaan kawincerai. Kesemua tabiat atau pola hidup manusia yang harus dijauhi ini terekspresikan
dalam bait-bait berikut ini.

Pertama madat k
edoewa maen
Sentiijasa lakoen
ja soedalah an
Ahirnja itoe men
tjoerie kaen
Modalnja abis tiij
ada laen
Katiga orang soek
a berdoesta
Apa lah segala am
poenja kata
Terboleh pertjaija
semata-mata
Ketieganja itoe b
ersama serta

Kampat soeka b
eroetang oetanga
n
Yang tiijada kira
dengen itoengan
Kelima orang soek
a pelantjong ngan
Lawan nja itoe ber
sama timbangan.

Ajakan untuk Berbuat


Kebajikan
Kaanemnja orang
Bait-bait yang di
serieng bebinie
Sabentar bertjer
dalamnya mengandung
sabentar bebinie
P
ik
ie
r
m
aspek moralitas, dalam
oe tratetep kesan
a kesinie
S
o
esah dipertjaija o
arti memberi ajaran
rang beginie
moral kehidupan yang
selayaknya dipahami
dan sedapat mungkin
diikuti oleh pembaca-sasaran, intinya
menegaskan akan bahayanya enam kebiasaan
buruk manusia. Keenam perilaku negatif
Bait-bait ini secara cukup terang mengeyang harus dijauhi atau dihindari ini, karena
mukakan perihal sisi buruk dari tabiat manu28

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Kritik
sia, tapi kesemuanya itu baru berupa pengetahuan atau hal-hal yang perlu diindahkan,
sementara alasan yang mendasari kenegatifan
kebiasaan-kebiasaan tersebut belum secara
langsung disebutkan. Dasar argumen yang
menyebabkan keenam perilaku itu buruk,
baru disebutkan pada bait-bait selanjutnya,
seperti bahwa orang akan berpenyakitan jika
suka menghisap madat, atau orang akan
semakin miskin jika perilaku berhutang sudah
menjadi kebiasaan.
Dipraktikkan atau munculnya perilaku
buruk seperti telah ditunjukkan, tentu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Hal itu bisa
sebagai akibat pergaulan yang tidak baik, bisa
karena ketidaktahuan akan bahaya keenam
faktor negatif tadi karena lingkungan yang
tidak sehat, bisa pula diakibatkan oleh faktor
pendidikan. Dengan penjelasan lain, perilaku
atau tabiat seperti itu barangkali bukan
sesuatu yang disengaja atau dicita-citakan,
melainkan akibat tingkat pendidikan yang
rendah atau akibat dari tidak adanya atmosfir
didaktis yang mengitarinya. Secara tersurat,
bair-bait syair ini menyatakan bahwa aspek
pendidikan itu sangat penting dan memegang
peran utama dalam pembentukan kepribadian
manusia.
Keislaman sebagai Landasan Spiritualitas
Selama ini, karya-karya sastra yang terbit
pada awal keberadaan sastra Indonesia

modern, lazimnya ditulis oleh peranakan


Cina atau Indo-Eropa, yang (hampir
semuanya) tidak beragama Islam. Beberapa di
antara mereka malahan memperlihatkan nada
merendahkan Islam. Hampir tiadanya karya
sastra di masa itu yang menyiratkan atau juga
menyuratkan keislaman, sesungguhnya dapat
dipahami.
Mereka yang berkiprah dalam penulisan
biasanya adalah orang-orang non-Islam yang
umumnya berpendidikan Eropa atau bersekolah secara formal dalam format sekolah modern, bukan di pesantren. Berdasarkan realitas
itu maka cukup mengherankan ketika membaca buku syair ini, dan lebih-lebih sebagai
karya yang sementara ini disebut sebagai yang
pertama dalam peta sastra Indonesia modern,
ternyata sarat dengan nada keislaman atau
ungkapan-ungkapan yang khas Islam.
Bukti mengenai hal ini terlihat pada baitbait syairnya. Bukan hanya dengan sematamata menyebut Allah misalnya, melainkan
juga karena berhubungan dengan hal-hal
dogmatis yang operasional-keseharian sifatnya. Sebagai contoh saja, perhatikan bait syair
ini: //Sabda rasoel penghoeloe kitta/ Goeroe
itoepoen toean kitta/ Goeroe itoe tamsil
pellitta/ Manerangken hattie ijang gelap
goelitta//.

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

29

Resensi
Johan Rio Pamungkas

Sebentuk Cinta dari Anak


Judul Buku : Surat Cinta Untuk Ayah Bunda
Penulis : Muhammad Akhyar (@muhammadakhyar)
Penerbit : Langit Sastra Publishing
Tahun Terbit
: 2012
Tebal : vi+141 Halaman
Harga
: Rp 50. 000

bu dan
Bapak
atau
Papa
dan

Mama
atau
apapun sebutan kita untuk mereka adalah
orang pertama yang melihat kita di dunia.
Orang yang utama kita berikan bakti serta
cinta yang kita miliki. Buku ini adalah
sebentuk bakti dan cinta dari seorang anak
untuk kedua orang tuanya.
Buku bertajuk Surat Cinta untuk Ayah
Bunda buah karya Muhammad Akhyar
ini merupakan usaha untuk memberikan
sebuah cinta walau hanya dalam sebentuk
surat atau tulisan. 14 tulisan di sini seakan
mengajarkan pembaca tanpa menggurui
bagaimana berdialog dengan orang tua dan
bagaimana orang tua menghadapi anak.
Rasa cinta antara anak dan orang tua yang

30

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

menjadi inti cerita tentu saja ada dalam


cerita-cerita di dalamnya.
Entahkah cerita-cerita dalam buku
ini adalah benar terjadi, semi-fiksi atau fiksi
murni tapi Akhyar dengan buku ini mampu
membawa pembaca (minimal saya pribadi)
ke dalam tempat dan waktu di tulisannya.
Contohnya dalam Risalah Pahlawan
Akhyar menuliskan, 10 November 1997
Nak, ke sini kau dulu! Bapak tiba-tiba saja
memintaku untuk duduk di sampingnya.
Mulai senja saat itu, langit agak merah,
lumayan cerah memang hari ini.
Cukup cepat untuk bisa langsung
menyelesaikan buku ini. Saya sendiri hanya
menghabiskan waktu 47 menit untuk
membaca buku ini secara keseluruhan.
Muhammad Akhyar sudah menyampaikan
rasa cintanya kepada orang tuanya walau,
sekali lagi, hanya dalam bentuk surat atau
tulisan. Sudahkah kita ?

Pantau
Johan Rio Pamungkas

Melihat Kembali Jejak


Raden Saleh

Dok. Langit Sastra / Vita Wahyu Hidayat

ada suatu waktu di Belanda, beberapa pelukis muda Belanda, yang sedang belajar untuk
melukis, melukis beberapa bunga dan memperlihatkannya kepada pemuda Indonesia.
Lalu, kumbang-kumbang dan kupu-kupu hinggap di atas lukisan bunga para pemuda Belanda.
Lukisan tersebut untuk merendahkan kemampuan melukis pemuda Indonesia tersebut.
Terhina dan sangat marah, pemuda Indonesia itu kemudian mengurung diri berhari-hari.
Para pemuda Belanda tersebut di atas lantas mengunjungi rumah pemuda Indonesia itu karena
Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

31

Pantau
diketuk tidak ada juga jawaban dari dia, mereka lantas masuk dengan mendobrak pintu.
Mereka terkejut dan menjerit mengira bahwa
pemuda Indonesia itu telah mati. Sebelum
suasana bertambah panik, sang pemilik
rumah muncul dan berkata, Lukisan kalian
hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu,
tapi gambar saya bisa menipu manusia.
Itulah kisah Raden Saleh yang termak-

Raden Saleh di lantai rumahnya dan benarbenar mirip dengan lantai rumah dan dirinya
yang mati.
Raden Saleh, pelukis kenamaan
Indonesia yang secara istimewa mengeyam
pendidikan di Eropa pada masa kolonial,
membawa pemahaman baru mengenai seni
visual.
Karya-karyanya yang tidak biasa
menunjukkan perpaduan
nilai Jawa dan
budaya Eropa.
Menjadikannya kiblat bagi para pecinta
seni. Sebanyak 40
lukisan cat minyak
dan sketsa buah
karya Raden Saleh
dipamerkan di Galeri
Nasional, Jakarta,
Indonesia pada tanggal 3-17 Juni 2012.
Contohnya
pada karya Singa
dan Ular Gaya
Romantisme sangat
terlihat pada lukisan
ini. Bagaimana
Dok. Langit Sastra / Vita Wahyu Hidayat
lukisan ini bisa membangkitkan kenangan
tub dalam brosur pameran Raden Saleh dan
romantis dan keindahan pada objek lukisanAwal Seni Lukis Modern Indonesia Lukisan
nya, yakni ular yang ingin mematuk singa
yang mengelabui para koleganya, pelukisdan dua ekor singa yang ingin menerkam ular
pelukis muda Belanda, itu sendiri bertajuk
dilatarbelakangi pemandangan yang sangat
Mayat Raden Saleh yang saat itu, belum
indah. Lukisan ini juga adalah simbolisasi
dibingkai tentu saja, dibentangkan oleh
peperangan antara yang baik dan jahat.
32

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

Pantau

Dok. Langit Sastra / Vita Wahyu Hidayat

Lukisan Penangkapan Diponegoro


sudah pasti adalah lukisan yang paling banyak
menyedot perhatian para pengunjung. Galeri
Nasional tentu
tahu telah memperkirakan bahwa
lukisan tersebut
akan paling banyak
diapresiasi, maka
dengan cerdik,
pihak penyelenggara menempatkan
lukisan master piece
Raden Saleh itu
tepat di tengah
Galeri Nasional.
Dalam pameran ini juga
diputar film

biografi tentang
Raden Saleh. Film
biografi tersebut cukup detail
menceritakan
kehidupan Raden
Saleh sejak dia
lahir, belajar lukis
di Belanda dan
berkeliling negaranegara Eropa,
hingga Pelukis
Sang Raja itu meninggal dunia di
Bogor.

Dok. Langit Sastra / Vita Wahyu Hidayat

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

33

Her Voice

Choice
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;
(Robert Frost,The Road Not Taken, 1920)

Alfi Syahriyani

34

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

ife teaches us through experiences.


Sometimes in life, we dont always get
what we want, or realize the plans that
weve made. However, every step we choose
always brings wisdom. One point that we
should remember is that our life is made
up of a series of choices that bear a consequence.
The consequences then lead us to
learn. We learn how to tackle a problem,
we learn how to be patient, we learn how
to be realistic instead of too idealistic, and
in the end, we conclude that the bigger the
goal, the bigger the consequence; the bigger therisk,the bigger thereward. After
all, maturity is about how we can take full
responsibility for the consequences that

Her Voice
we receive, and stop blaming others for the
results.
When we get older, we realize that
life is about making a decision. Age talks,
choices talk as well. They go hand in hand.
The choices will be more varied and complicated when we get older, unlike when we
were a child, we can ask our parents which
ones the best. The choice is merely like,
Which dress do you like? or Which dress I
should wear now? However, when we grow
older, we can rely on others forever, because
the question is not only about the things
that we use temporarily, but its about a
path that will create another path, a path of
our life, a path that will be brought us until
the end of our life. We are the one who control our life.
In the middle of process, of course we
will find many challenges to ride. We find
that to reach our dream or to create a big
leap, we cant start from a big step, but a
small step instead. We also find that we cant
only rely on ourselves because there is an
invisible hand playing around our own life,
the Power that easily changes everything.

We never know what will happen tomorrow,


so we should take control of our choice.
Sometimes we make minor mistake
when we choose. We get despair and hopeless for the incorrect choice. However, the
process actually can make us stronger and
of course we get better understanding to fix
the problem.
David and Bruce McArthur, in their
book titledThe Intelligent Heart: Transform
Your Life With the Laws of Lovesaid Many
people are afraid to forgive because they
feel they must remember the wrong or they
will not learn from it. The opposite is true.
Through forgiveness, the wrong is released
from its emotional stranglehold on us so
that we can learn from it. Through the power and intelligence of the heart, the release
of forgiveness brings expanded intelligence
to work with the situation more effectively.
Therefore, one of the important things
in life is that we have to forgive our mistakes, our incorrect choice in the past, no
matter how we berate the misdeeds.

Tahun II, no. 6/2012, Agustus 2012

35

Bidik

Independence

aR
Hindun Wild

Independence means free from corruption


Free from the hands of irresponsible politician
Free from ignorance, free from the fear of starvation
Free from foreigners hands plundering the country, free from poverty
One day, Indonesian will together carry a torch, the sign of freedom
Indonesia will soon be free.
Photo taken at New York City with Ipod 4G, edited by Instagram

36

Tahun II, no. 6/2012, September 2012

isni

You might also like