You are on page 1of 18

MAKALAH ISBD

(UPACARA ADAT HANTA UA PUA)

OLEH:
RIEZKA ZUHRIATIKA RASYDA
JIA012111

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2013

KATA PENGANTAR
Lantunan puji dan syukur senantiasa saya panjatkan bagi Allah SWT, atas
segala kenikmatan, kasih sayang dan pertolongan yang di berikan-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Makalah yang berjudul
UPACARA ADAT HANTA UA PUA ini saya buat sebagai salah satu bentuk
tanggungjawab sebagai mahasiswa terhadap mata kuliah ISBD.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kekeliruan, namun saya berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi saya pribadi dan mahasiswa lainnya. Pada kesempatan ini, tidak
lupa pula saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen yang telah
membagi ilmunya kepada saya melalui proses pembelajaran di dalam kelas dan
teman-teman yang turut membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Mataram, 30 Mei 2013

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
Bab I. Pendahuluan .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Metode Penelitian ........................................................................................ 2
Bab II. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 3
Bab III. Pembahasan ............................................................................................ 5
A. Sejarah Upacara Hanta Ua Pua .................................................................... 5
B. Rangkaian Upacara Hanta Ua Pua ................................................................ 7
C. Perlengkapan dan Atraksi dalam Upacara Hanta Ua Pua .............................. 8
Bab IV. Penutup ................................................................................................ 14
A. Kesimpulan ............................................................................................... 14
B. Saran ......................................................................................................... 14
Daftar Pustaka ................................................................................................... 15

ii

BAB I
PENDAHULUAN

Upacara Adat Hanta Ua Pua merupakan warisan turun-temurun budaya


Islam selama berabad-abad. Dalam perkembangan sejarah Bima, Upacara Adat
Hanta Ua Pua dilaksanakan pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Khair Sirajuddin, Sultan Bima kedua (1640-1682 M). Sejak saat itu, Upacara Adat
Hanta Ua Pua ditetapkan sebagai salah satu perayaan rutin kesultanan Bima yang
dikenal dengan Rawi Nae Ma Tolu Kali Sambaa (Upacara Besar yang
Dilaksanakan dalam Tiga Kali Setahun). Perayaan tersebut yaitu Ndiha Aru Raja
Nae (Perajaan Idul Adha), Ndiha Aru Raja Toi (Perayaan Idul Fitri), dan Ndiha
Ua Pua (Perayaan Hanta Ua Pua).
A. LATAR BELAKANG
Pelaksanaan Upacara Adat Hanta Ua Pua diisi dengan beragam kegiatan
seni budaya dan agama. Berbagai atraksi kesenian tradisional dan kegiatan
keagamaan dilaksanakan selama sepekan, sehingga Upacara Adat Hanta Ua Pua
betul-betul melekat dalam jiwa masyarakat Bima. Suksesnya Upacara Adat Hanta
Ua Pua di masa lalu tidaklah terlepas dari perhatian Sultan dan semangat gotong
royong masyarakat dalam mempersiapkan perayaan Hanta Ua Pua.
Namun, saat ini perayaan Upacara Adat Hanta Ua Pua itu belum betulbetul bergaung dan banyak masyarakat yang belum tahu kalau pada hari-hari itu
ada kegiatan Upacara Adat Hanta Ua Pua. Selain itu, banyak juga generasi muda
yang tidak mengetahui tentang Upacara Adat Hanta Ua Pua, baik generasi muda
Bima pada khususnya maupun generasi muda Indonesia pada umumnya, baik
sejarahnya maupun rangkaian acaranya.
Untuk itulah, penulis mencoba memaparkan mengenai Upacara Adat
Hanta Ua Pua, sejarah Upacara Adat Hanta Ua Pua, rangkaian Upacara Adat
Hanta Ua Pua, dan perlengkapan Upacara Adat HantaUa Pua.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah dimulainya Upacara Adat Hanta Ua Pua di Bima?
2. Bagaimana rangkaian Upacara Adat Hanta Ua Pua?

3. Apa saja perlengkapan Upacara Adat Hanta Ua Pua?


C. METODE PENELITIAN
Metode yang dilakukan dengan cara studi literatur, yaitu mempelajari dan
mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan permasalahan yang
diangkat, baik berupa buku maupun informasi dari internet.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Ua Pua yang dalam bahasa Melayu disebut Sirih Puan adalah satu
rumpun tangkai bunga telur berwarna-warni yang dimasukkan dalam satu wadah
segi empat berjumlah 99. Jumlah bunga telur tersebut berjumlah 99 tangkai yang
sesuai dengan nama Asmaul Husna. Kemudian ditengah-tengahnya ada sebuah
Kitab Suci Al-Quran. Ua Pua ditempatkan di tengah-tengah sebuah rumah
mahligai (Uma Lige) yang berbentuk segi empat berukuran 4x4 meter persegi.
Bentuk Uma Lige ini terbuka dari keempat sisinya. Atapnya bersusun dua,
sehingga para penari Lenggo Mbojo yang terdiri dari empat orang gadis, dan
penari Lenggo Melayu yang terdiri dari empat perjaka, beserta para Penghulu
Melayu dan pengikutnya yang berada di atas dapat dilihat oleh seluruh masyarakat
sepanjang jalan (Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, 2010).
Uma Lige diangkat oleh 44 orang perwakilan 44 Dari di Bima
melambangkan bahwa ajaran yang dibawa oleh para mubalig kelana didukung
oleh masyarakat Bima. Dari adalah klan atau kelompok masyarakat zaman dulu
yang dipimpin oleh Anangguru Dari. Di masyarakat Bima ada banyak Dari.
Dalam Majelis Hadat Lengkap, mereka diwakili oleh Rato Bumi Nae Nggeko
yang tergolong dalam keanggotaan Majelis Sara Tua. Dalam struktur
pemerintahan kesultanan, Majelis Sara Tua adalah majelis legislatif dan
konsultatif. Struktur kemasyarakatan dengan sistem Dari ini tidak ada lagi sekitar
tahun 1930.
Uma Lige diberangkatkan dari rumah Penghulu Melayu di Kampung
Melayu, mengingatkan kita bahwa dari orang-orang Melayulah Islam diterima
oleh orang Bima (Hamzah, 2004).
Kampung Melayu di tengah-tengah Kota Bima sekarang, dulunya
merupakan tempat khusus sebagai hadiah pemberian raja kepada para Datuk dan
rombongan orang-orang Melayu yang mengantar Islam masuk ke Bima. Kini,
keturunan orang Melayu asli yang mendiami tempat tersebut tidak lagi banyak,
hanya sekitar 50 KK. Orang-orang Melayu tersebut dipimpin oleh seorang
Penghulu Melayu. Sistem kepemimpinan ini terus berjalan secara turun temurun.

Setiap peringatan Upacara Adat Hanta Ua Pua, dari kampung sederhana itulah
Uma Lige (mahligai) yang merupakan icon utama dalam tradisi ini menjadi pusat
perhatian khalayak yang sengaja memenuhi ruas-ruas jalan dari kampung Melayu
menuju Istana Kesultanan Bima, untuk mengantarkan Ua Pua kepada raja muda di
Istana Tua Kesultanan Bima atau yang dikenal juga dengan ASI Mbojo (Taufan,
2012).

BAB III
PEMBAHASAN

A. SEJARAH UPACARA HANTA UA PUA


Di Bima peringatan maulud Nabi Muhammad saw. dirangkaikan dengan
Upacara Adat Hanta Ua Pua yang mulai dilaksanakan pada masa pemerintahan
Sultan Abdul Khair Sirajuddin, Sultan Bima II yang memerintah dari tahun 16401682. Pada awalnya pelaksanaan upacara Ua Pua dirintis serta dilaksanakan Datuk
Raja Lelo, Datuk Selangkota, Datuk Lela, dan Datuk Panjang. Kelima ulama
tersebut berasal dari Pagaruyung (Minangkabau) Sumatera barat, anak cucu dari
Abdurrahman (Datuk Di Banda) dan Abdurrahim (Datuk Di Tiro), keduanya
adalah guru dari Sultan Abdul Kahir I (Sultan Bima I). Datuk Raja Lelo dan
kawan-kawan datang ke Bima untuk meneruskan kegiatan dakwah yang telah
dirintis oleh Datuk di Banda dan Datuk di Tiro, karena ulama tersebut telah
kembali ke Gowa guna melanjutkan dakwah Islam di Sulawesi Selatan dan
sekitarnya.
Beberapa saat setelah Datuk Di Banda dan Datuk Di Tiro meninggalkan
Bima, Sultan Abdul Kahir Sirajuddin menghadap Yang Maha Kuasa yaitu pada
tanggal 8 Ramadhan 1050 H. Tampuk pemerintahan kesultanan diserahkan
kepada putranya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang masih muda (13 tahun),
usia yang sangat muda dan masih memerlukan bimbingan para ulama yang
berpengalaman, namun dalam kenyataannya Datuk Raja Lelo dan kawan-kawan
yang diharapkan menjadi guru dan pembimbing Sultan Muda terlambat sampai di
Bima. Hal inilah yang menyebabkan pada awal pemerintahannya, Sultan Abdul
Khair Sirajuddin kurang memahami agama Islam. Sultan Abdul Khair Sirajuddin
lebih mencintai seni budaya, bahkan sering melakukan perbuatan yang tidak
sesuai dengan tuntunan agama. Sangat berbeda dengan penampilan sang ayah
(Sultan Abdul Kahir I) yang terkenal taat pada agamanya.
Meskipun terlambat, akhirnya Datuk Raja Lelo dan kawan-kawan tiba
juga di Bima guna melaksanakan tugas mulia membimbing Sultan dan rakyatnya
ke jalan yang benar. Langkah awal yang dilakukan ialah menyadarkan Sultan atas
kelemahannya di bidang agama. Dengan modal keikhlasan, kesabaran dan kasih

sayang, akhirnya mereka berhasil menemukan pendekatan yang dapat diterima


oleh Sultan, Datuk Raja Lelo bersama empat temannya melaksanakan upacara
kelahiran junjungan Nabi Muhammad saw. bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul
Awwal di permukiman para ulama di Ule. Upacara Maulud Nabi yang pertama
kali diadakan di Bima, berkenan dihadiri oleh Sultan, maka oleh kelima ulama
tersebut dirancang berbagai jenis kegiatan yang dapat memikat hati Sultan yang
berdarah seni itu, sehingga selain melakukan kegiatan dakwah (tadarus Al-Quran,
tabligh dan ceramah), maka diadakan pula atraksi kesenian yang Islami.
Usaha mulia yang dirintis oleh para ulama itu tidak sia-sia. Sultan bersama
anggota majelis adat berkenan hadir di Ule, guna mengikuti upacara yang baru
pertama kali disaksikannya. Nasihat para ulama yang disampaikan melalui
ceramahnya melahirkan tekad untuk memperbaiki segala kekhilafannya. Akhirnya
di hadapan para ulama Sultan Muda berjanji untuk menjadi muslim sejati sesuai
dengan wasiat sang ayah yang tertuang dalam sumpah Oi Ule.
Menyadari besarnya pengaruh Upacara Hanta Ua Pua bagi kehidupan
budaya dan beragama, maka Sultan Abdul Khair Sirajuddin pada tahun 1070 H (
tahun 1660 M) menetapkan upacara bernuansa Islam itu sebagai upacara adat
resmi kesultanan. Biaya penyelenggaraan ditanggung oleh pemerintah Kesultanan
Bima yang bersumber dari hasil tanah seluas 200 Ha yang telah ditetapkan
sebagai tanah maulud (Dana Molu) yang hasilnya bukan hanya untuk kepentingan
Ua Pua, tetapi juga untuk kepetingan dakwah dan pendidikan Islam serta
pengembangan seni budaya.
Sebagai tanda penghormatan dan terima kasih kepada gurunya, Sultan
meminta kesediaan mereka agar berkenan pindah ke lokasi baru yang tidak jauh
dari istana, yaitu Kampo Malayu sekarang. Di samping itu, Sultan menghadiahkan
sejumlah lahan pertanian (sawah) yang berada di sebelah timur pemukiman baru
(Kampo Malayu). Namun, tanpa mengurangi penghargaan yang diberikan Sultan,
Datuk Raja Lelo dan kawan-kawannya terpaksa menolak hadiah tersebut dengan
alasan bahwa mereka tidak memiliki kemampuan dan bakat untuk bercocok
tanam. Areal persawahan yang dikembalikan oleh para ulama Melayu itu terkenal
dengan nama tolo bali (sawah yang dikembalikan), bukan tolo bali (sawah
orang Bali) seperti dugaan sementara orang.

B. RANGKAIAN UPACARA HANTA UA PUA


Dalam perayaan Hanta Ua Pua, terdapat rangkaian acara yang
dilaksanakan selama sepekan, diawali dengan pagelaran berbagai atraksi kesenian
di lapangan Sera Suba serta kegiatan upacara inti yaitu Jiki Molu yang
dilaksanakan pada malam hari sebelum perayaan Hanta Ua Pua dan prosesi inti
perayaan Hanta Ua Pua itu sendiri.
1. Jiki Molu
Jiki Molu dilangsungkan pada malam hari sebelum perayaan Hanta
Ua Pua. Hadir pada upacara tersebut majelis Hadat Kesultanan Bima yang
terdiri dari majelis Sara Tua, majelis Sara-Sara, dan majelis Sara Hukum
dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad saw. dengan
membacakan Barzanzi.
Dalam acara itu juga berlangsung acara adat Weha Tau Apa, yaitu
perjamuan kue apem yang dimakan dengan opor serta minum sorbet. Setiap
pejabat mempunyai satu perangkat hidangan yang ditata di atas talam dan
ditutup dengan Tonggo Apa. Penataan kue apem diatur menurut peringkat
kepangkatan masing-masing pejabat dalam persidangan. Perangkat hidangan
ini kemudian dibawa ke rumah masing-masing. Penutupan acara ini ditandai
dengan membagikan bunga rampai kepada hadirin.
2. Rangkaian Acara pada Upacara Inti
Jam 07.00, utusan Sultan yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, anggota
laskar kesultanan, beserta penari Lenggo Mbojo menjemput Penghulu
Melayu di kediamannya di kampung Melayu.
Jam 08.00, Penghulu Melayu bersama rombongan berangkat di
kampung Melayu menuju istana Bima yang ditandai dengan bunyi meriam.
Adapun tata urutan rombongan adalah sebagai berikut: pasukan Jara Wera
datang sebagai pasukan pengawal pembuka jalan lalu disusul oleh pasukan
Jara Sarau. Kemudian disusul dibelakangnya oleh anggota Laskar Suba
Nae dan penari Sere. Setelah itu adalah rombongan pengusung Uma Lige
(mahligai). Baru di belakangnya adalah rombongan pemuka adat Melayu
dan pemuka adat Mbojo.

Jam 09.00 rombongan Penghulu Melayu tiba di istana Bima yang


disambut dengan Tari Kanja, Tari Sere, dan Mihu. Kemudian Penghulu
menyerahkan Ua Pua kepada Sultan sebagai simbol kesepakatan Penghulu
(Ulama) dengan Sultan bersama seluruh rakyat Dana Mbojo untuk
mempelajari dan memahami serta mengamlkan isi Al-Quran dalam
kehidupan berbangasa dan bernegara demi terwujudnya kehidupan
masyarakat Mbojo yang Islami. Sultan bersama Penghulu Melayu duduk
berdampingan

di

tempat

yang

telah disediakan

sebagai

lambing

keharmonisan hubungan Ulama dan Umara. Setelah upacara usai, Bunga


Dolu berjumlah 99 tangkai, symbol Asmaul Husna (99 sifat Allah) dibagibagikan kepada hadirin.
C. PERLENGKAPAN DAN ATRAKSI DALAM HANTA UA PUA
1. Uma Lige
Uma Lige berbentuk segi empat berukuran 4x4 meter persegi.
Bentuk Uma Lige ini terbuka dari keempat sisinya. Atapnya bersusun dua,
sehingga para penari Lenggo Mbojo yang terdiri dari empat orang gadis, dan
penari Lenggo Melayu yang terdiri dari empat orang perjaka, beserta para
Penghulu Melayu dan pengikutnya yang berada di atas dapat dilihat oleh
seluruh masyarakat sepanjang jalan.
Uma Lige diusung oleh 44 orang pria sebagai simbol keberadaan 44
Dari Mbojo yang terbagi menurut 44 jenis keahlian dan keterampilan yang
dimilikinya sebagai bagian dari struktur pemerintahan Kesultanan Bima.
Ketika Uma Lige sudah berada di depan istana maka akan diputarputar kemudian diturunkan, Penghulu Melayu serta petugas pemayungnya
turun. Mereka pun menaiki tangga istana diikuti para penari dan Anangguru
Mpaa, serta Ua Pua yang ikut diusung dalam Uma Lige, Ua Pua diturunkan
dari usungan lalu diangkat ke ruang istana untuk diserahkan kepada sultan
oleh Penghulu.

UMA LIGE

2. Bunga Dolu
Bunga Dolu terbuat dari telur ayam yang dibungkus dengan kertas
minyak beraneka warna. Tangkainya terbuat dari kayu atau bambu
sepanjang 30 cm dan ditancapkan pada wadah segi empat panjang bersama
sirih pinang dan kitab suci Al-Quran di tengah-tengahnya. Bunga Dolu
yang berjumlah 99 itu melambangkan Asmaul Husna dan Al-Quran
sebagai kitabullah. Benda inilah yang dikelilingi oleh para penari.

PEMBAGIAN BUNGA DOLU

3. Pasukan Jara Wera dan Pasukan Jara Sarau


Pasukan Jara Wera dalam sejarahnya adalah pasukan yang memang
sebagian besar berasal dari Kecamatan Wera yang setia membela agama
Islam. Pasukan ini dibentuk sejak masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir,
Sultan Bima pertama. Seluruh pasukan berseragam putih-putih sebagai
lambang kesucian dan keikhlasan dalam membela agama, rakyat, dan negeri.
Para penunggangnya adalah para pendekar yang menunjukkan jalan serta
mengantar para datuk yang datang dari Makassar menuju Bima lewat Teluk
Bima ketika pertama kali membawa ajaran Islam di Kerajaan Bima. Itulah
sebabnya Jara Wera berada di posisi paling depan.
Di belakang pasukan Jara Wera diikuti oleh pasukan Jara Sarau,
yaitu pasukan elit berkuda Kesultanan Bima sebagai pengawal kehormatan.
Pasukan Jara Sarau yaitu pasukan berkuda yang terampil menunggang serta
mengatur irama serta gerak langkah kuda. Pasukan ini memiliki keahlian
dalam memainkan pedang, tombak, dan keris di atas kuda. Dalam Upacara
Hanta Ua Pua mereka menampilkan atraksi dengan cara mengatur hentakan
kaki kuda yang seirama dengan alunan gendang dan serunai serta gerakan
para penari Lenggo.

Pasukan Jara Wera dan Jara Sarau

10

4. Laskar Suba Nae


Laskar Suba Nae adalah pasukan prajurit Kesultanan Bima. Pasukan
perang ini membawa peralatan perang berupa tombak dan tameng sebagai
simbol kesiapsiagaan pasukan kerajaan mengamankan negeri. Di belakang
pasukan Laskar Suba Nae berjalan Uma Lige yang diiringi oleh keluarga
besar Kampung Melayu, mereka adalah tamu kehormatan dalam upacara
adat ini. Setelah Uma Lige sampai di tangga istana diturunkan lalu turunlah
Penghulu Melayu untuk mengantarkan rumpun Bunga Dolu dengan AlQuran yang diserahkan kepada Sultan Bima.

LASKAR SUBA NAE

5. Tari Lenggo
Tari Lenggo ada dua jenis yaitu Tari Lenggo Melayu dan Lenggo
Mbojo. Lenggo Melayu diciptakan oleh salah seorang mubalig dari
Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bernama Datuk Raja Lelo pada tahun
1070 H. Tarian ini memang khusus diciptakan untuk Upacara Adat Hanta
Ua Pua dan dipertunjukkan pertama kali di Oi Ule dalam rangka
memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Lenggo Melayu juga dalam
bahasa Bima disebut Lenggo Mone karena dibawakan oleh empat orang
remaja pria.
Terinspirasi dari gerakan Lenggo Melayu, setahun kemudian Sultan
Abdul Khair Sirajuddin menciptakan Lenggo Mbojo yang diperankan oleh
empat orang penari perempuan. Lenggo Mbojo disebut juga Lenggo Siwe.

11

Pada perkembangan selanjutnya, perpaduan antara Lenggo Melayu dan


Lenggo Mbojo akhirnya dikenal dengan Lenggo Ua Pua.

Tari Lenggo Mbojo dan Lenggo Melayu

6. Tari Kanja dan Mihu


Tari Kanja yakni tari perang yang dimainkan oleh seorang perwira
tinggi kesultanan sebagai pernyataan kesiapan menjaga keamanan dan
ketertiban jalannya upacara, sedangkan Mihu merupakan pernyataan
kesiapan sultan untuk menerima sekaligus memulai upacara penyerahan Ua
Pua yang berisi kitab suci Al-Quran.

PENYERAHAN AL-QURAN DARI


PENGHULU MELAYU KEPADA SULTAN

12

7. Tari Sere
Iring-iringan Uma Lige disambut Tari Sere yang mengantar Uma
Lige sampai ke tangga istana. Tari Sere adalah sejenis tari perang dimainkan
oleh enam orang penari bersama bintara Kesultanan Bima yang disebut
Bumi Sumpi sebagai tanda terjaminnya keamanan dan ketertiban jalannya
Upacara Hanta Ua Pua. Sambil memegang tombak, para penari Sere
mengacungkan tombak dan melangkah menuju tangga istana yang diiringi
musik tambur dan silu.

TARI SERE

13

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Upacara Adat Hanta Ua Pua merupakan media dakwah untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat serta menjadikan Al-Quran dan
Sunnah Rasul sebagai pedoman hidup. Selain itu, Upacara Adat Hanta Ua Pua
bisa melahirkan sikap menghargai sejarah. Upacara Adat Hanta Ua Pua juga
merupakan media yang paling efektif bagi seni budaya Mbojo yang Islami, sebab
mampu memotivasi seniman dan budayawan untuk menciptakan karya seni yang
bermutu yang layak untuk ditampilkan dalam Upaca Adat Hanta Ua Pua.
B. SARAN
Meskipun Upacara Adat Hanta Ua Pua terus dilaksanakan setiap tahun,
namun perlu ada pembenahan-pembenahan baik dari segi pendanaan, kepanitiaan
dan partisipasi masyarakat untuk mempertajam promosi wisata budaya daerah.
Selain itu, pelibatan seniman dan budayawan juga harus lebih dioptimalkan agar
kegiatan Upacara Adat Hanta Ua Pua ini semakin semarak dengan kreasi seni dan
budaya, sehingga gaung kegiatan ini diketahui oleh masyarakat luas, sebab selama
ini perayaan itu belum betul-betul bergaung dan banyak masyarakat yang belum
tahu kalau pada hari-hari itu ada kegiatan Upacara Adat Hanta Ua Pua.

14

DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, M. (2004). Ensiklopedia Bima. Bima: Pemkab Bima.
Majelis Adat Dana Mbojo. (2012). Upacara Adat Spektakuler Hanta Ua Pua.
Bima: Pemkab Bima.
Malingi, A. (2011, Juni 9). Mengenal Pakaian Adat Harian Pria Bima. Diakses
pada 28 Mei 2013, dari Romantika: http://alanmalingi.files.wordpress.com
Malingi, A. (2011, Mei 18). Mengenal Tari Sere. Diakses pada 28 Mei 2013, dari
Romantika: http://alanmalingi.files.wordpress.com
Malingi, A. (2010). Upacara Adat Hanta Ua Pua. Mataram: Maharani Persada.
Sarangge. (2012, Februari 21). Uma Lige Ua Pua. Diakses pada 28 Mei 2013, dari
Sarangge Mbojo: http://sarangge.files.wordpress.com
Taufan, N. I. (2012). Warna-Warni Tradisi Sasak Samawa Mbojo. Bima: Museum
Kebudayaan Samparaja Bima.

15

You might also like