You are on page 1of 2

Empat puluh hari setelah paskah atau tepatnya Kamis (17/5) umat Kristiani

mengenang kenaikan Yesus ke surga. Mengenang ajaran Yesus berarti


mengamalkan perintah dan anjuranNya. Konteks saat ini, pengamalan adalah
dengan melakukan refleksi terhadap kehidupan riil.
Sangat jelas bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis kepemimpinan.
Pemimpin lebih mengutamakan kepentingan pribadi dari rakyatnya. Rakyat kian
miskin, terlantar, bahkan menderita, sementara pemimpin asyik berfoya-foya
berbelanja keluar negeri. Padahal mereka semua adalah pemeluk suatu agama.
Kita pasti yakin bahwa semua agama mengajarkan kebajikan pada umatnya.
Bahkan doktrin-doktrin agama sudah dimiliki individu sejak kecil. Mencuri, berzina,
merampok merupakan larangan agama. Begitu pula sebaliknya dermawan, santun,
peduli terhadap sesama adalah anjuran agama. Norma-norma seperti ini tentu
sudah melekat sejak usia dini pada masing-masing individu.
Pendidikan informal maupun formal sudah barang tentu mengajarkan normanorma tersebut. Lebih-lebih pendidikan informal (orangtua) yang selalu mencekoki
anak dengan wejangan-wejangan agama sejak kecil, baik berupa keTauhidan
maupun yang berkaitan dengan moral yang dijadikan bekal bagi si anak untuk
hidup. Mustahil orang tua akan mengajarkan hal yang negative kepada anaknya.
Sehingga tak bisa dipungkiri bahwa etika dan moral sudah melekat dalam diri
seorang individu sejak dini.
Namun lagi-lagi jika menilik kondisi real sungguh sangat ironis. Seolah
banyak orang yang sudah menggadaikan agamanya hanya untuk kepentingan
individu maupun kelompok tertentu. Sehingga korupsi, suap menyuap, palsu
memalsu dan tindakan amoral lainnya sudah menjadi sebuah kenyataan yang tidak
asing lagi. Nahasnya semua itu dilakukan oleh orang yang beragama.
Lebih miris lagi jika tindakan tersebut dilakukan oleh elit penguasa
(pemimpin) yang seharusnya menjadi public figure bagi rakyat. Stephen Covey
dalam bukunya Principle-Centered Leadership mengemukakan tujuh dosa dari
pemimpin masa kini, yaitu; kaya tanpa kerja, hiburan tanpa hati nurani,
pengetahuan tanpa karakter, perdagangan dan bisnis tanpa moralitas atau etika,
Iptek tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip.
Bukan hanya itu, hasil penemuan penelitian (disertasi) wakil ketua DPR
Pramono Anung sangat mengejutkan. Pramono mengatakan motif seseorang
menjadi calon anggota legislatif terkait kepentingan ekonomi. Ada motif ekonomi
tapi bukan persoalan cari makan. Bahwa ada sebagian anggota DPR berkepentingan
ekonomi wajar-wajar saja. Bahkan ada beberapa orang yang idealis dan membela
minoritas, terangnya.
Melihat kondisi real di atas, tentu timbul beberapa hal yang patut direnungi
khususnya terkait agama mereka. Di sisi lain, Karl Marx dan Neitzche yang

notabene seorang atheism pun dengan getol memperjuangkan kaum marjinal


(rakyat kecil). Lantas mengapa orang yang beragama dengan pikiran sehat
melakukan hal tersebut. pertanyaannya dimana peran agama dalam kehidupan
mereka.
Agama Modern
Ada tiga asumsi jawaban atas polemik di atas, pertama, agama saat ini sudah
dianggap otonom. Agama berdiri sendiri jauh dari masalah moral maupun etika dan
bersifat relatif. Jadi sangat wajar ketika seorang beragama namun ia masih mencuri,
merampok, dan melakukan tindakan asusila lainnya. Ditambah lagi manusia saat ini
mempunyai sikap individualis-hedonistik sehingga mereka punya asumsi bahwa
agama dengan doktrinnya hanya akan mempersulit manusia untuk hidup bahagia.
Dari situ dogma agama, seperti janji adanya surga dan neraka, sama sekali tidak
membekas dalam diri seseorang.
Kedua, agama sebatas ritual mekanistik. Selama ini pemeluk agama hanya
mengartikan agama sebagai rutinitas mekanistik religious. Artinya agama dianggap
sama halnya seperti rutinitas formal, atau dengan kata lain agama bak upacara
bendera. Sehingga dampak bagi kehidupan penganutnya pun nihil. Daniel Bell
(1980), agama di tengah dunia modern, tidak akan mampu berperan dalam
memberikan jawaban atas berbagai persoalan secara matematis dan praktis.
Ketiga, adanya konsep Tuhan maha pengampun. Dengan maha
pengampunnya Tuhan tentunya orang akan berasumsi bahwa mereka melakukan
perbuatan dosa apapun, pintu maaf Tuhan akan selalu terbuka. Sehingga dari sini
orang akan melakukan tindakan apapun yang dapat menyenangkan diri walaupun
itu melanggar norma agama, dan baru bertobat kemudian. Makanya sering kita
melihat koruptor melakukan ibadah haji sebagai bentuk penebusan dosa.
Momentum hari kenaikan Isa Al-Masih layak dijadikan refleksi. Khususnya,
Umat Kristiani dan umat beragama umumnya Secara prinsipil, tujuan agama adalah
mewujudkan keharmonisan dan kedamaian. Kita tentu berharap nilai substansial
agama mampu diinternalisasikan ke dalam masing-masing individu, khususnya
pemimpin kita. Sehingga tercipta suatu bangsa yang damai dan sejahtera.
Semoga!!!

You might also like