You are on page 1of 41

KDRT

KASUS 1
Seorang wanita 30 tahun P2TD2A tindakan suaminya sering memukulinya, istri tidak
kuat lagi dengan tindakan suaminya itu. Dia sering dipukuli dengan menggunakan tangan
atau benda - benda sekitar. Suami sering memukuli bila istri tidak memenuhi kebutuhan
suami dan terkadang suaminya sering melakukan kekerasan dalam hubungan sex, tidak hanya
tindakan memukuli istri namun perilaku dan ucapan kasar dari suami pun kerap kali
dilontarkan pada sang istri. Mata pencaharian suami terkadang adalah becak yang sudah
sering tidak bekerja karena sepi penumpang, maka istri sudah tidak menerima nafkah lagi
dari suaminya. Mereka tinggal di perkampungan kumuh pinggiran sungai alinjung, anak
mereka 5 orang yang tidak melanjutkan mereka sekolah karena biaya. Sang istri
menceritakan bahwa suami sering memukuli istrinya karena masalah sepele, suaminya mulai
sering memukuli mulai usia pernikahan 3 tahun lalu saat. Saat dilakukan pemeriksaan
terdapat luka lebam disekujur badan, tampak sering menangis dan ketakutan, sering
menyendiri dan tampak murung.

STEP I
1. P2TP2 ? (suci) LO

STEP II
1. Penyebab suami sering memukuli istrinya? (Novi)
2. Peran perawat dalam kasus ini? (Herti)
3. Tanda, gejala, dan jenis KDRT? (Restu)
4. Dampak pada anak dan keluarga? (Jelita)
5. Organ reproduksi yang terganggu? (Aisah)

6. Komplikasi pada alat kelamin kekerasan saat berhubungan sex? (Anah)


7. Solusi apa yang harus dilakukan? (Tri nur)
8. UU yang mengatur KDRT? (Suci)
9. Alasan sang istri tidak melawan KDRT? (novi)
10. Adakah peran perawat terhadap suami? Kalau ada apa? (sherly) LO
11. Mungkin/ tidak ada pengaruh budaya yang menyebabkan istri tidak melawan? (Suci)
12. Asuhan keperawatan pada KDRT? LO
13. Apa ada pengaruh keadaan lingkungan dengan psikologis suami? (Suci)
14. Badan hukum yang terlibat dalam kasus KDRT? (Dea)
15. Peran perawat dalam mengaasi masalah ekonomi? (Aisah)
16. Terapi untuk mengatasi KDRT? (Annisa)
17. Mitos KDRT di masyarakat?

STEP III & IV


1. (Novi):

Bawaan suami yang oregan (peny. Mental)

Riwayat hipertensi

Istri yang bersifat propokasi

Pengaruh alkohol

Budaya : karena istri dari keluarga miskin

(suci)

Wajar bila istri banyak menuntut (anak 5, perlu sekolah, faktor ekonomi)

2. (anah)

Advokator (hukum-hukum KDRT)

Kolaborator (dengan tenaga kesehatan)

Konselor

3. (Tri nur)

Kekerasan:
-

Fisik

= luka, lebam

Psikis

= cemas, takut

Seksual

= tidak dipenuhi kebutuhan sex

Ekonomi

= tidak di nafkahi

(suci) seksual : dipaksa berhubungan sex


4. (anah)
-

Anak lebih dekat dengan salah satu orang tua

Kesejahteraan keluarga terganggu

Bercerai

Besan tidak akur

(Restu)
-

Anak tertutup

Anak diam dan murung

Di pandang negatif

(aisyah)
-

Karena tidak punya pekerjaan anank bisa jadi pemurung, dll

(Suci)
-

Utrisi dan tambang anak terganggu

5. (restu)
-

Saat berhubungan sex, akan terganggu salah satu pihak

Tidak ada rangsangan saat berhubungan sex

(dea)
-

Stress -> hormon terganggu

6. (jawaban sama dengan no 5)


7. (anah)
-

Spiritual

Penkes tentang peran dalam keluarga

8. (tri nur) UU no. 23 tahun 2004


(novi) segala hal bentuk kekerasan, diancam tergantung bentuk kekerasan (fisik,
psikis, sex, ekonomi) akan di denda dan kurungan penjara
9. (Aisyah)
-

Dari segi agama

Wanita makhluk yang lemah

(Jelita)
-

Karena istri membutuhkan biaya/ uang dari suami -> nurut

(Annisa)
-

Untuk mempertahankan keluarga

(Sherly)
-

Karena tertekan dengan sikap kasar/ kekerasan fisik dari suami

Depresi

10. LO
11. (jawaban sana dengan no 9)
12. LO
13. (restu)
-

Ada, biasanya yang tinggal dilingkungan tersebut lebih brutal

Hubungan dengan teman teman

Ekonomi terganggu

(Anah) kepribadian dibentuk oleh lingkungan)


14. (restu)
-

Komnas HAM

Perlindungan wanita

Komnas perlindungan anak

15. (herti) membantu mengeksplor keterampilan yang dimiliki klien


16. (novi) rehabilitas -> agar fisik dan psikis klien membaik, belajar keterampilan.
17. LO

STEP V (LO)
-

STEP I

STEP II

: 1, 10, 12, 17

MIND MAP

DEFINISI

JENIS

PENCEGAHAN

ASKEP

TANDA&GEJALA

KDRT

FAKTOR PENYABAB

MITOS

PENATALAKSANAAN

BADAN HUKUM

UU

A. DEFINISI

Suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan


secara fisik baik terhadap perempuan maupun anak. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan
Sundeen, 1995)

Undang-Undang PKDRT = setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,


yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).

Menurut WHO (WHO, 1999), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan,

ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan

atau

sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar


mengakibatkan

memar/trauma,

kematian,

kerugian

psikologis,

kelainan

perkembangan atau perampasan hak.

B. ETIOLOGI
Faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga
1. Dari sisi mikro, faktor penyebabnya yaitu :
- Keteladanan perilaku orang tua yang kurang dalam sifat yang bijak,
santun, kasih saying dan setia pada istri atau suami serta sesame anggota
-

keluarga. Bahkan sering kali kita dengar terjadi kenakalan orang tua
Kepemimpinan otoriter, Orang tua dalam mengasuh anak

dan

membimbing isteri dengan cara memaksakan kehendak sendiri tanpa


-

memertimbangkan kedaulatan isteri dan anak untuk berpendapat


Rendahnya dalam pemahaman fungsi masing-masing anggot keluarga
antara lain karena rendahnya faktor silahturahmi dan pendidikan sehingga

sering terjadi konflik.


Unsure keegoan sehingga sering muncul sifat ingin mmenang dan benar
sendiri yang lebih dominan ketimbang saling pengrtian. Disini bisa jadi

wibawa orang tua menjadi lemah karena tidak mmpu menjadi panutan atau
-

penengah.
Rendahnya interaksi, kesibukan masing-masing anggota keluarga di luar
rumah yang begitu tinggi menyebabkan kesempatan untuk berinteraksi
positif akan semakin rendah. Mereka mengalami kesulitan dalam
merangkai kebersamaan stau rantai kehidupan yang harmonis.

2. Dari sisi makro


- Faktor pembelann atas kekuasan laki-laki diman laki-laki dianggap
superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu
-

mengatur dan mengendalikan wanita.


Faktor diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, dimana diskriminasi
dan pembatasna kesempatan agi perempuan untuk bekerja mengakibatkan
perempuan (istri) ketergntungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan

pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.


Saya sedang dlam proses move on dalam kehiduan ini. Move dari semua

keindahan di masa lalu.


Faktor beban pengasuhan anak dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya
menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak
diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga

tejadi kekerasan dalam rumah tangga.


Faktor wanita sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik
bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk
mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki
merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak

melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib,


Orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di
dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima
sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda
atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu
adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang

bertindak dalam konteks harmoni keluarga.


C. FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor pencetus terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai
berikut :
a. Faktor Masyarakat

- Kemiskinan
- Urbanisasi yang terjadi keenjangan pendapatan di antara penduduk kota.
- Masyarakat keluarga ketergantungan obat
- Lingkungan dengan frekuensi dan kriminalitas yang tinggi
b. Faktor Keluarga
- Adanya anggota keluarga yang sakit dan membutuhkan bantuan terusmenerus, misalnya anak dengan kelainan mental dan orang lanjut usia
-

(lansia).
Kehidupan keluarga yang kacau, tidak saling mencintai dan menghargai

serta tidak menghargai peran wanita.


- Kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga
- Sifat kehidupan keluarga inti bukan keluarga luas.
c. Faktor Individu
Di Amerika Serikat, mereka yang mempunyai resiko lebih besar mengalami
kekerasan dalam rumah tangga ialah sebagai berikut :
-

Wanita yang lajang, bercerai, atau ingin bercerai

Berumur 17-28 tahun

Ketergantungan obat atau alkohol atau riwayat ketergantungan kedua zat


tersebut

Sedang hamil

Mempunyai partner dengan sifat memiliki dan cemburu berlebihan.

D. MANIFESTASI KLINIS

Perubahan fisiologi
Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, pupil dilatasi,
tonus otot meningkat, mual, frekuensi buang air besar meningkat, kadang-kadang
konstipasi, refleks tendon tinggi.

Perubahan Emosional
Mudah tersinggung, tidak sabar, frustasi, ekspresi wajah nampak tegang, bila
mengamuk kehilangan kontrol diri.

Perubahan Perilaku
Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis, curiga, mengamuk, nada suara keras
dan kasar.

Menyerang atau menghindar (fight of flight)

Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi
terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi,
wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun,
pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat
diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku
dan disertai reflek yang cepat.

Menyatakan Secara Asertif (Assertiveness)

Memberontak (acting out)

Perilaku kekerasan

E. JENIS-JENIS KDRT
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat)
macam , antara lain:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan
lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga
menyebabkan kematian.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina,
berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri,
meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya.
Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin
tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain,
kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri
untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak
memenuhi kebutuhan seksual istri.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di
dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan

istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena
istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak
memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali,
menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk
meningkatkan karirnya.

F. MITOS SEPUTAR KDRT


1. Mitos : Lelaki pelaku kekerasan memiliki penyakit mental
Realitas : Jika lelaki benar-benar sakit mental, dia tidak memiliki kemampuan untuk
memilih sasaran atau mengendalikan pola perilaku kekerasan. Sementara yang terjadi
dalam

KDRT,

sebagian

besar

lelaki

yang

melakukan

kekerasan

akan

menyembunyikan tindakan di dalam rumah. Serangan diarahkan ke bagian yang tidak


terlihat bekasnya. Artinya pelaku sudah memiliki perencanaan dan pemikiran tentang
pola kekerasannya. Suami pelaku KDRT juga tidak akan menyerang orang lain,
misalnya teman kerja, bila mengatami frustrasi dan hanya menyasar istrinya di rumah.
2. Mitos : Alkohol menyebabkan lelaki memukul pasangannya
Realitas : Alkohol memfasilitasi penggunaan kekuatan fisik dengan memungkinkan
pelaku melepaskan tanggungjawab perilakunya pada hal lain, dalam hal ini alkohol.
3. Mitos : Hanya perempuan miskin yang dipukuli
Realitas : Kekerasan terhadap perempuan terjadi di semua kalangan dan kelas sosial.
Korban kekerasan yang kebanyakan perempuan tak hanya perempuan putus sekolah,
namun juga berpendidikan tinggi, ibu rumah tangga, hingga pekerja di perkotaan.
Kekerasan yang dialami perempuan dari kelas sosial atas seringkali disembunyikan
atau tersembunyi. Karena pihak perempuan akan mengalami banyak kehilangan jika
membuka situasi yang dialaminya.
4. Mitos : Pihak perempuan yang memprovokasi sehingga pantas memperoleh
perlakuan kekerasan
Realitas : Tidak ada seorangpun yang pantas dipukuli. Provokasi hanyalah sekadar
alasan dari pelaku untuk melepaskan diri dari tanggungjawab tindakannya. Pandangan
ini hanya mencari kesalahan korban. Jika pelaku dibenarkan tindakannya dan
dimaklumi, kekerasan akan terus meningkat dan membuat kekerasan menjadi metode

penyelesaian masalah yang dapat diterima. Pelaku lantas semakin yakin bahwa ia
boleh dan berhak menggunakan kekerasan.
5. Mitos : Jika perempuan terganggu oleh kekerasan, harusnya bicara tak hanya diam
Realitas : Korban kekerasan merahasiakan apa yang dialaminya. Mereka percaya
bahwa mereka dan orang-orang yang dicintai, termasuk anak-anak, akan berada dalam
risiko besar jika berbicara tentang kejadian yang dialami. Korban juga sangat malu
membicarakannya dan berpikir kekerasan terjadi karena kesalahan perempuan sendiri.
Posisi perempuan semakin rentan karena mereka kerapkali pasif dan penurut, karena
peran yang dibentuk sejak lama yang dilabelkan pada perempuan.
G. DAMPAK KDRT
1)

Dampak terhadap wanita

Terus menerus mengalami ketakutan dan kecemasan, hilangnya rasa


percaya diri, hilang kemampuan untuk berindak dan rasa tidak berdaya

Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri

Trauma fisik berat : memar berat luar/dalam, patah tulang, cacat

Trauma fisik dalam kehamilan yang berisiko terhadap ibu dan janin

Kehilangan akal sehat atau gangguan kesehatan jiwa

Curiga terus menerus dan tidak mudah percaya kepada orang lain
(paranoid)

Gangguan psikis berat (depresi, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual,
kurang nafsu makan, kelelahan kronis, ketagihan alkohol dan obat-obatan
terlarang)

2)

Dampak terhadap anak-anak

Perilaku yang agresif atau marah-marah

3)

Meniru tindakan kekerasan yang terjadi di rumah

Menjadi sangat pendiam dan menghindar

Mimpi buruk dan ketakutan

Sering tidak makan dengan benar

Menghambat pertumbuhan dan belajar

Menderita banyak gangguan kesehatan

Dampak terhadap masyarakat

Siklus kekerasan akan terus berlanjut ke gerasi yang akan datang

Anggapan yang keliru akan tetap lestari bahwa pria lebih baik dari wanita

Kualitas hidup manusia akan berkurang karena wanita tidak berperan serta
dalam aktivitas masyarakat bila wanita tersebut dilarang berbicara atau
terbunuh karena tindakan kekerasan

Efek terhadap produktifitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya


kontribusi terhadap masyarakat, kemampuan realisasi diri dan kinerja, dan
cuti sakit bertambah sering

H. PEMERIKSAAN
Korban KDRT biasanya cenderung menutupi penderitaan fisik dan psikologis yang
dilakukan pasangannya, karena KDRT dianggap sebagai suatu hal yang tabu. Adanya
sikap posesif terhadap korban ataupun perilaku mengisolasi korban dari dunia luar dapat
dilihat sebagai tanda awal KDRT. Korban biasanya tampak depresi, sangat takut pada
pengunjung/pasien lainnya dan yang merawatnya, termasuk pegawai rumah sakit. Mereka
akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka umumnya tak ingin orang
sekitarnya melihat tanda-tanda kekerasan pada diri mereka. Kontak mata biasanya buruk.
Korban menjadi pendiam. Korban harus diperiksa secara menyeluruh untuk memeriksa

dengan teliti tanda-tanda kekerasan yang pada umumnya tersembunyi. Korban juga akan
mencoba untuk menyembunyikan atau menutupi luka-lukanya dengan memakai riasan
wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu atau perhiasan.

Karakteristik Luka
Orang yang mendapat siksaan fisik dari pasangannya sering mengalami cedera, namun
mereka cenderung menutupinya dengan mengatakan bahwa luka tersebut akibat
terjatuh/kecelakaan umum. Untuk membedakannya, perlu diketahui ciri-ciri khusus luka
akibat kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga. Karakteristik luka akibat KDRT,
biasanya menunjukkan gambaran sebagai berikut:
1. Luka bilateral, terutama pada ekstremitas.
2. Luka pada banyak tempat.
3. Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau bekas tali yang
terbakar.
4. Luka lecet, luka gores minimal, bilur.
5. Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya perlawanan yang kuat antara
korban dengan pelaku.

Bentuk-Bentuk Luka
Adanya bentukan luka memberi kesan adanya kekerasan. Bentukan luka merupakan
tanda, cetakan atau pola yang timbul dengan segera di bawah epitel oleh senjata
penyebab luka. Bentuk luka dapat karena benda tumpul, benda tajam (goresan atau
tikaman) atau karena panas.
1. Kekerasan Tumpul
Kekerasan tumpul yang melukai kulit merupakan luka yang paling sering terjadi,
berupa luka memar, lecet, dan luka goresan. Adanya luka memar yang sirkuler
ataupun yang linier memberi kesan adanya penganiayaan. Luka memar parallel
dengan sentral yang bersih memberi kesan adanya penganiayaan dari objek linear.
Adanya bekas tamparan dengan bentukan jari juga harus dicatat. Luka memar
sirkuler dengan diameter 11,5 cm dengan tekanan ujung jari mungkin terlihat sama
dengan bentuk penjambretan. Bentukan-bentukan tersebut sering tampak pada
lengan atas bagian dalam dan area-area yang tidak terlihat waktu pemeriksaan fisik.
Penganiayaan dengan menggunakan ikat pinggang/kawat menyebabkan luka memar

yang datar, dan penganiayaan dengan sol/hak sepatu akan menyebabkan luka memar
pada korban yang ditendang.
2. Memar
Beberapa faktor mempengaruhi perkembangan luka memar, meliputi kekuatan
kekerasan tumpul yang diterima oleh kulit, kepadatan vaskularisasi jaringan,
kerapuhan pembuluh darah, dan jumlah darah yang keluar ke dalam jaringan sekitar.
Luka memar yang digunakan untuk identifikasi umur dan penyebab luka, tidak
selalu menunjukkan kesamaan warna pada tiap orang dan tidak dapat berubah dalam
waktu yang sama antara satu orang dengan orang lain. Beberapa petunjuk dasar
tentang penampakan luka memar sebagai berikut:
a. Waktu merah, biru, ungu, atau hitam dapat terjadi kapan saja dalam waktu 1 jam
setelah trauma sebagai resolusi dari memar. Gambaran warna merah tidak dapat
digunakan untuk memperkirakan umur memar.
b. Memar dengan gradasi warna kuning umurnya lebih dari 18 jam.
c. Meskipun warna memar kuning, coklat, atau hijau merupakan indikasi luka
yang lama, tetapi untuk mendapatkan waktu yang spesifik sulit.
3. Bekas Gigitan
Merupakan bentuk luka lain yang sering ada pada domestic violence. Beberapa
bentukan gigitan ini sulit untuk dikenali, misalnya penampakan memar semisirkuler
yang non spesifik, luka lecet, atau luka lecet memar, dan masih banyak lagi
gambaran yang dapat dikenali karena lokasi anatomi dari gigitan dan pergerakan
tidak tetap pada kulit.
4. Bekas Kuku
Ada 3 macam tanda bekas kuku yang mungkin terjadi, bisa tunggal atau kombinasi,
yaitu sebagai berikut:
a. Impression marks: Bentukan ini merupakan akibat patahnya kuku pada kulit.
Bentuknya seperti koma atau setengah lingkaran.
b. Scratch marks: Bentuk ini superficial dan memanjang, kedalamannya sama
dengan kedalaman kuku. Bentukan ini terjadi karena wanita yang menjadi
korban berkuku panjang.
c. Claw marks: Bentukan ini terjadi ketika kulit terkoyak, dan tampak lebih
menyeramkan.
5. Strangulasi

Hanging, ligature, atau manual adalah 3 tipe dari strangulasi (penjeratan). Dua tipe
terakhir mungkin berhubungan dengan domestic violence.4
a. Ligature strangulation (garroting) dan Manual strangulation (throttling).
Ligature strangulation (garroting) merupakan bentuk strangulasi dengan
menggunakan tali, seperti kabel telepon/tali jemuran. Sedangkan Manual
strangulation (throttling) biasanya menggunakan tangan, dilakukan dengan
tangan depan sambil berdiri atau berlutut di depan tenggorokan korban.
b. Strack dan McLane melakukan penelitian pada 100 wanita yang dilaporkan
mengalami pencekikan oleh pasangan mereka dengan tangan kosong, lengan
ataupun menggunakan alat (kabel listrik, ikat pinggang, tali, peralatan mandi).
Petugas kepolisian melaporkan luka tidak tampak pada 62% wanita, luka
tampak minimal pada 22% dan luka yang signifikan seperti warna merah,
memar ataupun bekas tali yang terbakar pada 16% sisanya. Hampir 50% dari
para korban mengalami perubahan suara dari disfonia sampai afonia.
c. Disfagia, odinofagia, hiperventilasi, dispneu, dan apneu dilaporkan atau
ditemukan. Dengan catatan, laporan menunjukkan bahwa beberapa korban
dengan keadaan awal ringan, dapat meninggal dalam waktu 36 jam setelah
strangulasi.
d. Pada ligature strangulation sering tampak petechiae. Petechiae pada
konjungtiva terlihat sama banyaknya dengan petechiae pada daerah jeratan,
seperti wajah dan daerah periorbita.
e. Pada leher mungkin ditemukan goresan dan luka lecet dari kuku korban atau
kombinasi dari luka yang dibuat oleh pelaku dan korban. Lokasi dan luas
bervariasi dengan posisi pelaku (depan atau belakang) dan apakah korban atau
pelaku menggunakan satu atau dua tangan. Pada Manual strangulation korban
sering merendahkan dagunya dalam upaya melindungi leher, hal ini akan
mengaakibatkan luka lecet pada dagu korban dan tangan pelaku.
f. Luka memar tunggal atau area eritematous sering terlihat pada ibu jari pelaku.
Area dari luka memar dan eritema sering terlihat bersama, berkelompok pada
bagian samping leher, sepanjang mandibula, bagian atas dagu, dan di bawah
area supraklavikula.
g. Ligature mark terlihat dari halus sampai keras. Menyerupai lipatan kulit. Tanda
(misalnya pola seperti gelombang kabel telepon, seperti jalinan pita dari tali)
dapat memberi kesan korban telah dicekik. Sifat dan sudut pola ini diperlukan

untuk membedakan penggantungan dengan Ligature strangulation. Pada


Ligature strangulation, penekanan dari penjeratan biasanya horizontal pada
level yang sama dengan leher, dan tanda penjeratan biasanya di bawah kartilago
thyroid dan sering tulang hyoid patah. Pada penggantungan, penekanan
cenderung vertical dan berbentuk seperti air mata, di atas kartilago thyroid,
dengan simpul pada daerah tengkuk, di bawah dagu, atau langsung di depan
telinga. Tulang hyoid biasanya masih utuh.
h. Keluhan lainnya termasuk kehilangan kesadaran, defekasi, muntah yang tidak
terkontrol, mual dan kehilangan ingatan.

Distribusi Luka
Luka-luka pada KDRT biasanya mempunyai distribusi tertentu, sebagai berikut:
1. Luka pada domestic violence biasanya sentral.
2. Tempat luka yang umum adalah daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian
(misalnya dada, payudara dan perut).
3. Wajah, leher, tenggorokan dan genitalia juga tempat yang sering mengalami
perlukaan.
4. Lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada kepala dan leher. Pelaku
laki-laki menghindari untuk menyerang wajah, tetapi kemudian memukul kepala
bagian belakang.
5. Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban domestic violence.
6. Trauma pada maxillofacial termasuk luka pada mata dan telinga, luka pada jaringan
lunak, kehilangan pendengaran, dan patah pada mandibula, patah tulang hidung,
orbita dan zygomaticomaxillary complex.
Luka karena perlawanan, misalnya patah tulang, dislokasi sendi, keseleo, dan atau luka
memar dari pergelangan tangan atau lengan bawah dapat mendukung adanya tanda dari
korban untuk menangkis pukulan pada wajah atau dada. Termasuk luka pada bagian
ulnar dari tangan dan telapak tangan (yang mungkin digunakan untuk menahan
serangan). Luka lain yang umum ada termasuk luka memar pada punggung, tungkai
bawah, bokong, dan kepala bagian belakang (yang disebabkan karena korban
membungkuk untuk melindungi diri).
Luka lecet yang banyak atau luka memar pada tempat yang berbeda sering terjadi
memperkuat kecurigaan adanya domestic violence. Peta tubuh dapat membantu
penemuan fisik adanya kekerasan termasuk dengan memperhatikan kemungkinan tanda-

tanda kekerasan pada daerah-daerah yang tersembunyi. Terdapatnya luka yang banyak
dengan tahap penyembuhan yang bervariasi memperkuat dugaan adanya KDRT yang
berulang.

Kekerasan Selama Kehamilan


Kekerasan umumnya meningkat selama kehamilan. Luka-luka kekerasan yang terjadi
selama kehamilan biasanya terdapat pada bagian payudara atau perut. Pasien juga dapat
memperlihatkan trauma pada genitalia, nyeri yang tidak dapat dijelaskan, serta
kekurangan gizi. Kekerasan selam kehamilan dapat membawa dampak yang fatal bagi
ibu maupun janin, seperti aborsi spontan yang tidak dapat dijelaskan, keguguran, atau
kelahiran prematur.4

Penganiayaan Seksual
Bagi korban penganiayaan seksual perlu dilakukan pemeriksaan untuk menemukan bukti
penganiayaan seksual jika diindikasikan oleh gambaran klinik. Beberapa bukti dari luka
genital seperti hematom vagina, luka lecet kecil pada vagina, atau benda asing pada
rectovagina, dapat diajukan untuk menentukan kekerasan seksual. Adanya darah yang
mengering dan semen juga harus dicatat. Perlu diindentifikasi pula adanya penyakit
menular seksual yang dapat diduga akibat kekerasan seksual.
I. PENANGANAN
Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat
dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan preventif.
Pendekatan preventif:
1. Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan
memperlakukan anak-anaknya secara humanis
2. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya
melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika
sewaktu-waktu terjadi KDRT
3. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang
terjadinya KDRT
4. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat
yang ditimbulkan dari KDRT

5.

Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang
harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT

6. Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang
menampilkan informasi kekerasan.
7. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin,
kondisi, dan potensinya.
8. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT,
tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
9. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan
responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.
Pendekatan kuratif:
1. Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan
tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya
berarti bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat
lainnya
2. Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi,
mengeliminir, dan menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti, sehingga
terjadi proses kehidupan yang tenang dan membahagiakan
3. Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT
dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya memiliki
efektivitas yang tinggi
4.

Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan


penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai serius

5. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan


keselamatan korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa
dendam bagi pelakunya.
6. Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri
kepada Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam
rumah tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga
7. Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT
dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak buruk bagi
kehidupan masyarakat. Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat

tergantung pada kondisi riil KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga
untuk keluar dari praketk KDRT, kepedulian masyarakat sekitarnya, serta ketegasan
pemerintah menindak praktek KDRT yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
Upaya Pemulihan dan Preventif
Beberapa upaya pemulihan dan preventif terhadap kekerasan terhadap perempuan dan
KDRT adalah:
1. Dharma Wanita/BKOW atau LSM yang perduli pada perempuan
Membuka HOTLINE sebagai wadah curhat dan konsultasi para korban kekerasan.
Mengkoordinir suatu wadah atau asosiasi para korban kekerasan. Wadah seperti ini
mengadakan pertemuan secara rutin untuk bertukar pikiran, berdiskusi, dan sharing
tentang berbagai masalah yang dihadapi dan bagaimana jalan keluar yang baik dari
masalah yang dihadapi oleh perempuan.
2. Menjalin hubungan keluarga yang harmonis dan terbuka antara suami-istri-anak dan
keluarga lainya.
3. Menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai agama
4. Perempuan harus berani dan tegas dalam menghadapi laki-laki agar mereka segan
pada perempuan
5. Kendatipun suami dan isteri sama-sama sibuk, cobalah beri perhatian pada anakanak dan luangkan waktu untuk berdiskusi dan bercanda dalam keluarga
6. Jangan menghadapi masalah dalam rumah tangga dengan emosi, atau menaruh
curiga yang berlebihan pada istri/suami. Bila salah satu pasangan sedang
marah/emosi, sebaiknya yang lain menggunakan ilmu Silence is golden, baru
kemudian melakukan

dialog

mendiskusikannya

pada

saat-saat

yang

memungkinkan.

J. PERAN PERAWAT
1. Perawat sebagai Educator
Disini perawat berperan memberikan pendidikan kepada klien tentang apa yang
dimaksud dengan KDRT dan mensosialisasikan undang-undang KDRT baik
kepada klien ataupun masyarakat disekitar.
2. Perawat sebagai Collaborator

Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban


dengan pihak kepolisian, dinas sosial, relawan pendamping, dan pembimbing
rohani (UU No 23 tahun 2004 Pasal 17).
3. Perawat sebagai Care Giver
Perawat sebagai tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya. Selain itu, perawat memberikan perawatan kepada korban,
mengadakan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi
korban, serta memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban (UU No 23 tahun
2004 Pasal 40).
4. Perawat sebagai advocator
Bagi klien perawat juga bisa memberikan informasi mengenai hak-hak korban
untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.

Seorang perawat diharapkan mampu menerapkan pendekatan keperawatan dengan


melakukan tindakan pencegahan dan kesehatan masyarakat pada praktik yang
dilakukan terhadap klien dan keluarganya. Perawat puskesmas yang jumlahnya cukup
besar di daerah perkotaan dapat memberikan bantuan yang bermakna bagi kesehatan
keluarga dan masyarakat yang dilayaninya yang lebih jauh lagi dapat diharapkan ikut
mengatasi masalah kesehatan perkotaan di tingkat keluarga dan perorangan. Secara
umum, peran perawat dalam kasus KDRT di antaranya sebagai berikut:

Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi (anjurkan segera

lakukan pemeriksaan visum).


Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban.
Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari

pengadilan.
Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif (ruang

Pelayanan Khusus).
Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pihak kepolisian, dinas sosial, serta lembaga sosial yang dibutuhkan

korban.
Sosialisasi Undang-Undang KDRT kepada keluarga dan masyarakat.

K. UU KDRT
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh
negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga.
4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada
korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian
dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk
memberikan perlindungan kepada korban.
7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pemberdayaan perempuan.
Pasal 2

(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :


a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas :
a. penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. nondiskriminasi; dan
d. perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :
a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.

Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan :
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebu?tuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.

BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pemerintah :
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga;
c. menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
dan
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam
rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif
gender.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya :
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan
yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing, dapat melakukan kerja
sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;

c. memberikan pertolongan darurat; dan


d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
BAB VI
PERLINDUNGAN
Pasal 16
(1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan
perlindungan sementara pada korban.
(2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7
(tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
(3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian
perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat
pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan
tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang :
a. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
b. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
c. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus :
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;

b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum
atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki
kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan
milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus :
a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan
dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman
milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat :
a. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau
beberapa orang pendamping;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan
pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman
didampingi oleh pendamping; dan
d. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai
hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib :
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak korban dan
proses peradilan;

b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang


pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam
rumah tangga yang dialaminya; atau
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja
sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada
kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan
kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada
maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali,
pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib
mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota
keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh :
a. korban atau keluarga korban;
b. teman korban;
c. kepolisian;
d. relawan pendamping; atau
e. pembimbing rohani.
Pasal 30
(1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
(2) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib
mencatat permohonan tersebut.
(3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban,
kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus
memberikan persetujuannya.
(4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.

Pasal 31
(1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk :
a. menetapkan suatu kondisi khusus;
b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersamasama dengan
proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 32
(1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
(3) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum
berakhir masa berlakunya.
Pasal 33
(1) Pengadilan dapat menyatakan satu a?tau lebih tambahan perintah perlindungan.
(2) Dalam

pemberian

tambahan

perintah

perlindungan,

pengadilan

wajib

mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan


pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
(1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan
satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan.
(2) Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib
mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 35
(1) (1)Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat
perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun
pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.
(2) Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat
perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
(3) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat
(1) dan ayat (2).
Pasal 36
(1) Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku
dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.

(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan
yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)
jam.
Pasal 37
(1) Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis
tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
(2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat)
jam guna dilakukan pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat
pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
(1) Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah
(1) perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan
dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa
kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
(2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
(3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah
penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari :
a. tenaga kesehatan;
b. pekerja sosial;
c. relawan pendamping; dan/atau
d. pembimbing rohani.
Pasal 40
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya.
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan
merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 41

Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan


pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau
memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda
paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
(1) (1)Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda
paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan
hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan
korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus
menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan,
atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa :
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban
dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan
delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan
delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut
ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang
sah lainnya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

L. MEKANISME MASALAH
Stressor dan penyebab lainnya yang menyebabkan
terjadinya kekerasan (lihat etiologi)
Mekanisme koping tdk
M.adekuat
Hub. tdk seimbang
suami&istri

N.

Pandangan laki-laki lebih


berkuasa

cemas
stress
marah

O.

Merasa kuat

diungkapkan

Merasa tidak adekuat

menentang

Sadar akan kebutuhan

Melarikan diri

Pemecahan masalah
negatif
Marah berkepanjangan

lega

Menolak kemarahan

Ketegangan menurun

Ekspresi marah negatif

P.

Rasa marah teratasi


Agresif atau mengamuk dan melakukan tindakan kekerasan (perilaku
kekerasan oleh suami)

Q.
Kekerasan fisik: Istri
R. sering dipukuli

Kekerasan seksual:
kekerasan saat
berhub.seksual

Kekerasan ekonomi:
istri sering tidak diberi
nafkah

Dampak negatif
fisik

psikis

Luka lebam disekujur


badan

Sering menangis dan ketakutan, sering


menyendiri

Kekerasan oleh suami

Isolasi sosial

Tindakan agresif atau


mengamuk tidak juga
berhenti atau belum
menukan solusi

Resiko perilaku kekerasan

M. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Identitas
Nama

: Ny. W

Usia

: 30 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Status

: Sudah menikah

Alamat

:-

b. Keluhan utama :
Datang ke P2TP2A karena tindakan suaminya sering memukulinya.
c. Riwayat kesehatan
-

Riwayat kesehatan sekarang :


Klien sering dipukuli dengan tangan atau benda-benda di sekitarnya.
Suami seringa memukuli bila istri tidak memenuhi kebutuhan suami dan
kadang suaminya sering melakukan kekerasan dalam hubungan seksual.

Tidak hanya tindakan memukul istri namun perilaku dan ucapan kasar dari
suami pun kerap kali dilontarkan pada sang istri.
-

Riwayat kesehatan masa lalu :


Suaminya mulai sering memukuli mulai usia pernikahan 3 tahun

Riwayat kesehatan keluarga : -

d. Riwayat psikologis
Klien tampak sering menangis dan ketakutan, sering menyendiri dan tampak
murung.
e. Riwayat ekonomi
Mata pencaharian suami adalah tukang becak yang sudah sering tidak bekerja
karena sepi penumpang, maka istri sudah tidak menerima nafkah lagi dari
suaminya.
f. Riwayat sosial
Keluarga klien tinggal di perkampungan kumuh pinggiran sungai Ciliwung.
Anak mereka 5 orang yang tidak melanjutkan sekolah karena biaya.
g. Riwayat spiritual: -

h. Pemeriksaan
-

Pemeriksaan TTV

TD (tekanan darah): -

P (nadi)

:-

R (respirasi)

:-

S (suhu)

:-

Pemeriksaan fisik
Terdapat luka lebam di sekujur badan.

Pemeriksaan penunjang

N. DIAGNOSA, INTERVENSI DAN RASIONAL


1. Resiko Prilaku kekerasan b.d kekerasan dalam rumah tangga
Diagnosa

Rencana keperawatan

keperawatan
Tujuan
Perilaku
kekerasan

Intervensi
Identifikasi

Rasional
1.

Pasien dapat

penyebab tanda

suami

mengidentifi

berhubungan

kasi

gejala PK
Jelaskan

dengan stress

penyebab

mengontrol PK
Latihan
cara

akibat keadaan
ekonomi yang

PK
Pasien dapt
kasi tanda-

tanda PK
Pasien dapat
menyebutka
yang

cara

selama

pukul kasur
Evaluasi latian

fisik, beri pujian


Latih
cara

tanda

pk
Jelaskan cara

merawat pk
Latihan cara

kegiatan

a
Pasien dapat

dan obat
Latih

mengontrol

dengan obat
Evaluasi

dilakukanny

gejala

mengontrol PK

merawat klien
Jelaskan
pengertian,

tarik napas dan

n jenis PK

Diskusikan
masalah

mengontrol PK

mengidentifi

rendah

PK tarik napas
dan

fisik
cara

pukul

kasur
Anjurkan

menyebutka

mengontrol

pk

keluarga

n akibat dari

dengan

membantu

PK yang

mengungkapkan

pasien

dilakukanny

, meminta, dan

a
Pasien

menolak

latihan
Evaluasi

dalam

bantuan
.

mampu

keluarga

mencegah

dalam

PK

fisik,

latian
beri

pujian

2. Resiko Prilaku kekerasan berulang b.d kekerasan dalam rumah tangga


Diagnosa

Rencana keperawatan

keperawatan
Tujuan
Resiko Prilaku

Intervensi
1

Rasional
1.

kekerasan

Klien

1. member materi tentang 1. Pengetahuan

berulang

mengembangkan

penganiayaan dan

tentang sumber-

rencana

mendiskusikannya

sumber yang tersedia

pengamanan dan

dapat membantu

menggunkannya

penyelesaian

bila diperlukan

masalah,
meringankan
ketegangan dan
member klien cara
yang konkret untuk
menghindari
penganiayaan
selanjutnya

2. Menganjurkan klien

2. Agar tidak

membuat dan

terdapat banyak

mengembangkan rencana

bekas luka

untuk mengeluarkan
dirinya dan anak-anaknya
dari situasi tersebut
ketika ia
mempersiapakan bahaya 1
atau penganiayaan

3. Memberi sebuah

3.Agar segera dapat

nomor telepon hotline

tertolong jika terjadi

dan layanan untuk wanita

penganiayaan yang

yang dianiaya

menggunakan benda
tajam

4. Mendiskusikan dan

4.Agar tidak terjadi

bermain peran tentang

kekerasan yang lebih

cara mengatasi

parah

peningkatan ketegangan
yang mengarah ke tindak
kekerasan.

3. Isolasi Diri berhubungan dengan trauma psikologis


Diagnosa

Rencana keperawatan

keperawatan
Tujuan

Intervensi

Rasional

Isolasi Diri
berhubungan

1.
-

dengan trauma

membina

Bina hubungan

- Memberikan

saling percaya
Bantu
klien

penyuluhan

hubungan

psikologis

saing
-

mengenal

percaya
Pasien

menyadari

keluarga

penyebab isos
Bantu
pasien

tentang
masalah isos,

mengenal

penyebab
-

kepada

penyebab dan

keuntungan dan

isos
Pasien

cara merawat

keruguan

mampu

berhubungan/td

berinteraksi

k berhubungan

dengan

dengan

orang lain

orng

lain

pasien isos
Membantu
keluarga
mempraktekk
an

cara

merawat
pasien dengan
masalh

isos

langsung
dihadapan
pasien

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, F., Makhfudli. 2009. Keperawatan kesehatan komunitas: teori dan praktik dalam
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Kperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan Kekuasaan.
Yogyakarta: UGM.
Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep. Kes. RI

Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung,
2000

You might also like