You are on page 1of 12

AYAT TENTANG KEPEMIMPINAN

A.

Pendahuluan
Kepemimpinan sebagai proses mengerakkan orang lain, dan pada dasarnya
merupakan rangkaian interaksi antara manusia, interaksi itu bersumber dari seseorang
yang berani dan bersedia tampil yang mempelopori dan mengajak orang lain berbuat
sesuatu melalui kerja sama satu dengan yang lain. Dengan berada di depan seorang
pemimpin akan jadi ikutan yang sikap dan berada di tengah keteladanan, bersamaan
dengan itu bahwa pemimpin juga harus mampu berada di tengah orang yang
memimpinnya.1 Kemampuan menjalankan fungsi kepemimpinan, sesuai dengan gaya dan
tipe kepemimpinan masing-masing, bagi pemimpin yang beriman sandarannya tidak dapat
lain dari pada petunjuk/tuntutan Allah SWT.
Namun jika diminta seseorang untuk memimpin itu lebih baik, maka kondisi
seperti ini akan memungkinkan lebih baik dan memungkinkan kepemimpinan yang
berlangsung secara efektif. Namun antara pemimpin dak rakyat haruslah saling hormatmenghormati dan meningkatkan rasa hormat yang segan, ketaatan dan kepatuhan,
kepercayaan pada pemimpin dan saling mempercayai, bukanlah dalam Alquran juga
Allah menyuruh untuk menaatinya dan menaati rasul serta para pemimpin. Maka sebagai
pemimpin yang punya prinsip untuk mengarahkan kepada jalan Allah dan berbuat pada
kebaikan, bahwa kerja sama dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan perseorangan yang
saling meunjang yang dilakukan secara bersama-sama guna mencapai untuk keberkahan
kita dalam dunia ini yang akhirnya dalam kegiatan yang efektif.
Pemimpin adalah sosok yang sangat penting dalam sebuah kelompok baik lingkup
sempit maupun luas, eksistensi dan orientasi kelompok sangat ditentukan oleh
pemimpinnya, apakah nanti akan dibawa ke arah kebaikan, kesejahteraan dan
kemakmuran ataukah diarahkan menuju kehancuran. Oleh karena itu, sudah merupakan
tanggung jawab setiap personal untuk selektif dan berhati-hati dalam memilih pemimpin.
Al-mawardi dalam bukunya Mawathin la dzimmah menganalogikan pentingnya
keberadaan pemimpin dengan pentingnya agama dalam melanjutkan tugas kenabian.
Pemimpin adalah komponen yang paling urgen yang harus melanggengkan keadilan,
prinsip persamaan sebagaimana yang diajarkan al-quran dan merupakan pemegang
amanah dari Tuhan. Prinsip kepemimpinan yang paling pokok adalah keadilan, jadi setiap
personal memiliki porsi hak dan kewajiban yang linear.

Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1993), hlm. 42.

B.

Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok
sehingga tercapai tujuan dari kelompok itu, yaitu tujuan bersama. Kepemimpinan adalah
kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi,
mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, orang lain agar ia menerima pengaruh
itu.2
Kepemimpinan harus ada jika suatu organisasi hendak berjalan efektif. Oleh sebab
itu

kepemimpinan

dalam

organisasi

adalah

kepemimpinan

administratif

atau

kepemimpinan manajerial. Karena pemimpin dalam organisasi merupakan manajer yang


menjalankan

fungsi-fungsi

manajemen

sejak

dari

perencanaan

(planning),

pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating) dan pengawasan (controling)


dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efesien.
Dalam bahasa Arab, kepemimpinan sering diterjemahkan sebagai al-Riayah, alimaroh, al-qiyadah, atau al-zaamah. Kata-kata tersebut memiliki satu makna sehingga
disebut sinonim atau murodif, sehingga kita bisa menggunakan salah satu dari keempat
kata tersebut untuk menerjemahkan kata kepemimpinan. Sementara itu, untuk menyebut
istilah kepemimpinan pendidikan, para ahli lebih memilih istilah qiyadah tarbawiyah.3
Dalam Islam, kepemimpinan begitu penting sehingga mendapat perhatian yang
sangat besar. Begitu pentingnya kepemimpinan ini, mengharuskan perkumpulan untuk
memiliki pimpinan, bahkan perkumpulan dalam jumlah yang kecil sekalipun

Nabi

Muhammad s.a.w. bersabda:


Dari Abu Said dari Abu Hurairah bahwa keduanya berkata, Rasulullah bersabda,
apabila tiga orang keluar bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu
sebagai pemimpin. (HR.Abu Dawud).4
Model keberadaan seorang pemimpin sebagaimana terdapat dalam hadis tersebut
adalah model pengangkatan. Model ini merupakan model yang paling sederhana karena
populasinya hanya tiga orang. Jika populasinya banyak, mungkin saja modelnya lebih
sempurna karena ada beberapa model perwujudan pemimpin. Jamal Madhi menjelaskan
bahwa hasil studi menyatakan bahwa yang terbaik dalam pelaksanaan tugas adalah

Hendiet Soetopo, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 1.
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2007), hlm. 268-269.
4
Abu Dawud Sulaiman Ibnu al-Asyats al-Sajistami al-Azdiy, Sunan Abi Dawud, (Indonesia: Maktabah
Dahlan, tt), hlm. 125.
3

pemimpin yang dipilih langsung, selanjutnya pemimpin yang memenangkan suara


terbanyak, lalu yang terakhir pemimpin yang diangkat.5
Kepemimpinan dalam defenisi di atas memiliki konotasi general, bisa
kepemimpinan Negara, oraganisasi politik, organisasi social, perusahaan perkantoran,
maupun pendidikan. Madhi selanjutnya menegaskan bahwa di antara jenis kepemimpinan
yang paling spesifik adalah kepemimpinan pendidikan (qiyadah tarbiyah atau educative
leadership), karena kesuksesan mendidik generasi, membina umat, dan berusaha dan
membangkitkannya terkait erat dengan pemenuhan kepemimpinan pendidikan yang
benar.6
Dengan demikian, jika kita memperhatikan keadaan pendidikan Islam sebaiknya
melihat tipologi pemimpinnya. Dari tipologi pemimpin ini segera didapatkan gambaran
tentang kualitas pendidikan Islam tersebut. Ismail Raji Al-Faruqi menegaskan,
pemimpin-pemimpin pendidikan di dunia Islam adalah orang-orang yang tidak
mempunyai ide, kultur, atau tujuan.7 Gambaran tipologi pemimpin seperti ini
melambangkan pemimpin yang pasif, jauh dari kreativitas, solusi, inovasi, produktivitas
dan lain sebagainya. Dengan pengertian lain, pemimpin-pemimpin yang hanya secara
formalitas menduduki jabatannya sebagai pemimpin dan bekerja secara rutin meneruskan
tradisi yang telah berjalan, merupakan pemimpin yang kontraproduktif bagi kelangsungan
apalagi kemajuan lembaga pendidikan Islam.
Di pihak lain banyak orang mengungkapkan bahwa kepemimpinan merupakan
ilmu yang dapat diungkapkan, oleh karena itu kemampuan seseorang dipandang, dalam
kepemimpinan, supaya dapat dipelajari oleh setiap orang. Namun kita harus memahami
bahwa setiap orang tidak mempunyai bakat kepemimpinan atau setidaknya bakat
seseorang berbeda dengan yang lainnya, seementara dalam bidang pendidikan dan latihan
proses belajar dan pengalaman dipandang sebagai tidak berpengaruh sama sekali.8

Jamal Madhi, Menjadi Pemimpin yang efektif dan Berpengaruh: Tinjauan Manajemen Kepemimpinan
Islam, terj. Anang Syafruddin dan Ahmad Fauzan, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2002), hlm. 14.
6
Ibid., hlm. 2.
7
Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka: 1984),
hlm. 15.
8
Muhammad Quthub, Secercah Keteladanan Rasulullah SAW, (Yogyakarta: Prum Griya, 2004), hlm.
43.

C.

Ayat tentang Kepemimpinan


1. Teks Ayat Ali-Imran 28




Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah,
kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).
2. Mufradhat
adalah bentuk plural dari yang bertaut erat dengan konsep wala atau
muwalah yang mengandung dua arti: satu, pertemanan dan aliansi; kedua proteksi atau
patronase (dalam kerangka relasi patron-klien). Dalam kamus lisanul arab, kata waliy
berarti shiddiq(teman) dan an-nashir(penolong). Kemudian dalam terjemahan the holy
quran yang ditulis oleh Abdullah yusuf Ali, kata auliya diartikan friends(teman).
bentuk mufrad nya adalah berasal dari kata awal yang berarti
berpaling. Kafir berarti orang-orang yang berpaling dari keimanannya kepada Allah.
Bisa juga digunakan dalam konteks menyebut orang-orang yang tidak mensyukuri
nikmat, dalam konteks ini terminology kafir atau kufur adalah lawan dari syukur.
3. Sabab Nuzul
Menurut riwayat dari Ibnu jarir Ayat ini diturunkan ketika Al-hajjaj bin amr,
kaab bin al-asyraf , ibnu abil haqiq dan qais bin zaid(golongan yahudi) tinggal
berbaur bersama orang-orang anshar untuk mengganggu keislaman mereka dan
menjadikan mereka murtad.
Maka Rifaah ibnul mundzir, Abdullah bin Zubair, dan said bin Hatsamah
berkata kepada mereka : Jauhilah orang yahudi itu dan janganlah tinggal bersama
mereka agar mereka tidak membuat kalian keluar dari agama kalian. Kemudian
turunlah ayat ini.
Ayat ini diturunkan kepada sekelompok orang islam pada waktu itu untuk
waspada ketika berelasi dengan orang yahudi atau kafir, ini dikarenakan orang kafir
pada waktu itu sangat memusuhi islam. Sehingga dikhawatirkan bergaul dengan
mereka akan menjadikan orang-orang muslim murtad.

4. Munasabah
Dalam ayat yang lalu Allah swt mengingatkan Nabi dan kaum muminin untuk
berlindung kepada Allah dengan pengakuan bahwa ditanganNya lah kerajaan,
kemuliaan dan pengaruh mutlak dalam mengatur alam semesta ini. oleh karena itu
Allah memberikan kepada yang dikehendaki dan mencegahnya dari orang-orang yang
dikehendaki pula. Kemudian Allah swt membimbing melalui ayat-ayat ini bahwa
termasuk orang yang lupa apabila ia merasa bangga kepada selain Allah atau
berlindung kepada selainNya.
Para perawi juga meriwayatkan bahwa sebagian orang yang telah memeluk
islam merasa silau dengan kemuliaan dan kekuatan kuffar. Karenanya mereka
memihak dan tunduk padanya. Kecenderungan manusia untuk berafiliasi dengan pihak
yang lebih kuat sebenarnya bukan hal yang aneh, hal semacam ini sudah menjadi
watak manusia pada umumnya.9
Dalam surat An-nisa ayat 139 dan ayat 144 secara saling berkaitan Allah juga
menegaskan larangan menjadikan orang non muslim sebagai wali.



Artinya; (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir
menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di
sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan
kepunyaan Allah. (QS. An-Nisa; 139)




Artinya; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orangorang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang
nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?(QS. An-Nisa; 144)
5. Penafsiran dan Kontekstualisasi Ayat
Allah melarang orang-orang mumin menjadikan orang kafir sebagai wali dan
teman akrabnya lalu meninggalkan sesama saudaranya yang mumin. Allah
mengancam bahwa barang siapa melanggar larangan ini putus hubungannya dengan
Allah karena telah menyimpang dari jalan yang benar sebagaimana Allah berfirman
dalam ayat-ayat yang lain :
9

Bahrun Abu Bakar, Terjemah Tafsir Maraghi, (Semarang; Toha Putra, 1985), hlm. 243



Artinya; (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir
menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di
sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan
kepunyaan Allah. (QS. An-Nisa; 139)
Selanjutnya dalam ayat 144 juga dijelaskan;



Artinya; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orangorang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang
nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?(QS. An-Nisa; 144)
Dalam surat al-Maidah ayat 51 juga ditegaskan :




Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Maidah: 51)
Ayat-ayat ini dijadikan legitimasi oleh sebagian golongan yang menyatakan
bahwa memilih pemimpin dari kalangan kafir hukumnya haram. Perbedaan penafsiran
dalam ayat ini berpangkal dari ketidaksamaan mereka dalam mendefinisikan makna
wali atau auliya. Prof. Hamka Dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan, wajib bagi kita
mengambil pemimpin dari orang muslim. Allah memberi peringatan dengan tegas
bahwa memilih orang kafir menjadi pemimpin adalah perangai kelakuan orang
munafik. Pada ayat ini ditegaskan kepada orang-orang beriman agar tidak mengambil
orang kafir sebagai pemimpin. Ini dikarenakan mereka tidak percaya kepada tuhan,
dan keingkaran mereka kepada tuhan dan peraturan-peraturan tuhan akan
menyebabkan rencana kepemimpinan mereka tidak tentu arah.10
Dalam terjemah Al-quran bahasa Indonesia kata Auliya juga diartikan sebagai
pemimpin, hal ini kemudian memunculkan kesalah pahaman bagi orang awam yang
memahami ayat ini secara tekstual atau sebagaimana yang tertulis dalam terjemah Al10

Hamka, Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1999) juz 2 hlm. 412

quran tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah tepatkah kata auliya diterjemahkan
sebagai pemimpin yang konotasinya mengarah pada pemimpin politik?
Dalam surat al-maidah ayat 51 tertulis badluhum auliyau badlu, jika kata
auliya pada redaksi ayat tersebut diartikan pemimpin atau yang memiliki kuasa atas
yang lain maka seharusnya-sesuai kaidah nahwiyah- ada huruf jer ala setelah kata
badlun yang menunjukkan makna istila atau superioritas yang sebagian atas
sebagian yang lain. Tapi dalam redaksi ayat tersebut Allah menyebutkan secara
langsung badluhum auliyau badlu, yang berarti ada hubungan linear antara dua
golongan yang berelasi dalam konsep wali pada ayat tersebut.
ThabatabaI dalam tafsirnya Al-mizan, memaknai kata auliya sebagai bentuk
kedekatan kepada sesuatu yang menjadikan terangkat dan hilangnya batas antara yang
mendekat dan yang didekati dalam tujuan kedekatan itu. Kalau tujuan dalam konteks
ketakwaan dan pertolongan, maka auliya adalah penolong-penolong. Apabila dalam
konteks pergaulan dan kasih sayang, maka ia adalah ketertarikan jiwa sehingga auliya
adalah yang dicintai yang menjadikan seseorang tidak dapat tidak tertarik kepadanya,
memenuhi kehendaknya dan mengikuti perintahnya. Dan kalau dalam hal ketaatan
maka auliya adalah siapa yang memerintah dan harus ditaati ketetapannya. 11
Jadi pemaknaan kata auliya dengan arti pemimpin adalah usaha terjemah yang
tergesa-gesa dan tak mempertimbangkan tekstualitas dan kontekstualitas ayat. Di sisi
lain kita tidak bisa semata-mata memahami ayat ini sebagai larangan memilih
pemimpin kafir dan atau kecaman untuk tidak bergaul, berteman, bersahabat dengan
orang kafir. Perbedaan pada penafsiran auliya dalam ayat ini, keduanya sama-sama
akan menyuburkan isu sensitifitas antar islam dan non islam jika masing-masing tak
dipahami sesuai konteks masa turunnya ayat dan konteks relasi islam dan kafir pada
masa sekarang.
Sengaja kami tidak secara langsung menggunakan kata non-muslim dalam
keterangan diatas. Hal ini dikarenakan, terma kafir dalam ayat tersebut seharusnya
tidak kita pahami sebatas pada mereka yang ingkar pada Allah saja. Menurut Quraisy
syihab dalam tafsirnya Al-Mishbah, kata kafir biasa dipahami dalam arti siapa yang
tidak memeluk agama islam. Makna ini tidak keliru, tetapi perlu diingat bahwa alquran menggunakan kata kafir dalam berbagai bentuknya untuk banyak arti yang
puncaknya adalah pengingkaran terhadap wujud atau keesaan Allah, disusul dengan
keengganan melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya
11

www.shiasource.org/tafsir al-mizan.

walau tidak

mengingkari wujud dan keesaanNya, sampai kepada tidak mensyukuri nikmatnya yaitu
kikir. Seperti yang ada pada surat Ibrahim ayat 7 :



Artinya : Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
(Q.S. Ibrahim :7)
Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa kufur atau kafir adalah segala aktifitas
yang bertentangan dengan tujuan agama dan dengan demikian walaupun ayat inj turun
dalam konteks melarang orang-orang beriman menjadikan orang yahudi dan nasrani
sebagai pemimpin yang diberi wewenang menangani urusan orang-orang beriman,
tetapi larangan itu juga mencakup orang yang dinamai muslim yang melakukan
aktifitas yang bertentangan dengan tujuan ajaran islam. Larangan ini adalah karena
kegiatan mereka secara lahiriah bersahabat, menolong dan membela ummat islam,
tetapi dengan halus mereka menggunting dalam lipatan.12
Jadi, jika ayat ini dijadikan legitimasi pelarangan memilih pemimpin kafir
(yang dalam pemahaman umum adalah orang non muslim), maka tidak tepat. Ini
dikarenakan kepemimpinan di Negara kita adalah kepemimpinan yang bersifat politis
bukan keagamaan. selain itu, tidak dibenarkan bagi pemimpin di Negara ini atau
siapapun untuk memaksakan orang lain dalam beragama. Ketentuan ini dilindungi oleh
undang-undang Negara republic Indonesia pasal 29 ayat 2 yang berbunyi : Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.13
Jadi tidak ada kekhawatiran sebagaimana konteks ketika ayat ini diturunkan.
Tetapi tidak lantas ayat ini tidak sesuai untuk konteks masa sekarang, pesan moral
dalam ayat ini perlu kita perhatikan adalah peringatan bagi kita untuk lebih berhati-hati
dan selektif dalam memilih pemimpin. Kebebasan beragama sudah dilindungi
konstitusi hokum Negara, tugas kita adalah memilih pemimpin yang ideal. Menurut
ibnu taimiyah, adil adalah syarat bagi seorang pemimpin yang ideal. Ibnu taimiyah
mengatakan bahwa

Kezaliman mengakibatkan kesengsaraan, keadilan melahirkan

12

M. Quraisy Syihab. Tafsir Al-Misbah. (Jakarta: Lentera Hati, 2005) cet.IV. Vol 3 hlm. 59
Undang-Undang Dasar 1945. 78 Books. 2010

13

kemuliaan. Allah membantu Negara yang adil meskipun kafir, dan tidak membantu
Negara yang dzalim meskipun beriman.14
Sebagaimana yang telah kami paparkan di atas, kafir berarti pengingkaran.
Orang mukmin yang melanggar hal-hal yang dilarang agama atau tindakannya tidak
sesuai dengan tujuan agama maka bisa dikatakan ia adalah kafir atau orang yang
ingkar. Misalnya, seorang pemimpin mukmin atau islam yang melakukan korupsi,
pada hakikatnya adalah kafir karena melakukan perbuatan yang bersebrangan dengan
ajaran islam. Maka kita harus berhati-hati, jangan sampai berteman, bekerjasama
ataupun menjadikan orang seperti ini sebagai pemimpin karena dikhawatirkan mereka
akan mengajak kita melanggar larangan agama.
D.

Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung dalam Ayat di Atas


Kepemimpinan dalam defenisi di atas memiliki konotasi general, bisa
kepemimpinan Negara, oraganisasi politik, organisasi social, perusahaan perkantoran,
maupun pendidikan. Madhi selanjutnya menegaskan bahwa di antara jenis kepemimpinan
yang paling spesifik adalah kepemimpinan pendidikan (qiyadah tarbiyah atau educative
leadership), karena kesuksesan mendidik generasi, membina umat, dan berusaha dan
membangkitkannya terkait erat dengan pemenuhan kepemimpinan pendidikan yang
benar.15
Dengan demikian, jika kita memperhatikan keadaan pendidikan Islam sebaiknya
melihat tipologi pemimpinnya. Dari tipologi pemimpin ini segera didapatkan gambaran
tentang kualitas pendidikan Islam tersebut. Ismail Raji Al-Faruqi menegaskan,
pemimpin-pemimpin pendidikan di dunia Islam adalah orang-orang yang tidak
mempunyai ide, kultur, atau tujuan.16 Gambaran tipologi pemimpin seperti ini
melambangkan pemimpin yang pasif, jauh dari kreativitas, solusi, inovasi, produktivitas
dan lain sebagainya. Dengan pengertian lain, pemimpin-pemimpin yang hanya secara
formalitas menduduki jabatannya sebagai pemimpin dan bekerja secara rutin meneruskan
tradisi yang telah berjalan, merupakan pemimpin yang kontraproduktif bagi kelangsungan
apalagi kemajuan lembaga pendidikan Islam.
Kepala sekolah adalah termasuk kepada seorang pemimpin. Kepala sekolah Islam
yang efektif hendaknya:
14

Ibn Taimiyyah, Tugas Negara Menurut Ibn Taimiyah, (Yokyakarta: Pustaka pelajar, 2004), hlm. 13

15

Ibid., hlm. 2.
Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka: 1984),

16

hlm. 15.

1.

Memiliki keinginan untuk memimpin dan kemauan untuk bertindak dengan


keteguhan hati dan melakukan perundingan dalam situasi yang sulit.

2.

Memiliki inisiatif dan upaya yang tinggi.

3.

Berorientasi kepada tujuan dan memiliki rasa kejelasan yang tajam tentang
tujuan instruksional dan organisasional.

4.

Menyusun sendiri contoh-contoh yang baik secara sungguh-sungguh.

5.

Menyadari keunikan guru dalam gaya, sikap, keterampilan dan orientasi


mereka mendukung gaya-gaya mengajar yang berbeda.

6.

Menjadual tuntutan-tuntutan waktu staff secara fleksibel

7.

Mampu memunculkan guru sebagai pemimpin.

8.

Menjelaskan

peranan

mereka

dalam

kaitannya

dengan

penyiapan

kepemimpinan pendidikan dan menciptakan lingkungan belajar. Mereka kurang peduli


dengan rutinitas administratif.
9.

Menyadari dimensi kepemimpinan informal di sekolah, yaitu kepemimpinan


berdasarkan kekuasaan, prestise, atau kepribadian yang mungkin sesuai dengan atau
tidak dengan struktur kepemimpinan formal sekolah.

10.

Yang paling penting, mereka proaktif dari pada reaktif mereka menguasai
pekerjaan dan bukan pekerjaan menguasai mereka.17

E.

Kesimpulan
1. Pemahaman terhadap ayat ini harus disesuaiakn dengan konteks diturunkannya ayat,
larangan dan peringatan memilih pemimpin kafir pada waktu itu adalah bentuk
kewaspadaan terhadap kelompok yahudi dan nasrani yang mengajak orang mumin
murtad. Sedangkan yang terjadi sekarang, kebebasan beragama sudah dilindungi
hokum Negara. Pemaksaan seperti itu tidak perlu lagi menjadi kekhawatiran.
2. Sekarang yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita selektif dalam memilih
pemimpin yang baik dan ideal yang membawa ide-ide keadilan dan persamaan. Bukan
pemimpin yang dzolim dan melanggar perintah tuhan. Sebagaimana pendapat ibnu
taimiyah, Tuhan melindungi Negara yang sekali pun kafir tapi adil, dan Tuhan tidak
menjadi pelindung bagi Negara yang tidak adil, meskipun muslim.

17

Sulistyorini, Op.cit., hlm. 195-196.

10

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bakar, Bahrun Abu. Terjemah Tafsir Maraghi, Semarang; Toha Putra, 1985.
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1999 juz 2
Nawawi, Hadari. Kepemimpinan Menurut Islam, Yogyakarta: Gajah Mada, 1993.
Syihab, M. Quraisy. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2005 cet.IV. Vol 3
Taimiyyah, Ibn. Tugas Negara Menurut Ibn Taimiyah, Yokyakarta: Pustaka pelajar, 2004.
11

Undang-Undang Dasar 1945. 78 Books. 2010


www.shiasource.org/tafsir al-mizan.

12

You might also like