You are on page 1of 5

1.

Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Lama


Pada masa awal kemerdekaan, negara ini mengalami perubahan bentuk
negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur negara atau birokrasi.
Perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi
RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidaktidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi Pada saat itu,
Pertama, masdalah

yang

di

hadap

pemerntah

adalah

bagaimana

cara

menempatkan pegawai republik indonesia yang telah berjasa mempertahankan


NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai.
Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah
belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal
terhadap NKRI.Kinerja birokrasi saat itu sangat ditentukan oleh kekuatan politik
yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai
kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau
program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari
partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam
memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya
sebagai, Bureaucratic Polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara
menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari
politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran
seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik dari
tingkat daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini
dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin.
Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai
instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem
pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang
tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam
menjalankan

tugas-tugasnya,

birokrasi

tidak

pernah

dapat

melaksanakan

kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari


partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu

menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai
politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan,
merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang
Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik
terbesar ada pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak
heran

jika

untuk

memperkuat

Soekarno memelihara,PKI

sebagai

posisi

kekuatan

kekuasaan
pendukung.

presiden,

Untuk

dapat

mengontrol rakyat yang kritis dan dianggap membahayakan, dibentuklah serikatserikat atau organisasi yang berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang
bertujuan sebagai penampung aspirasi mereka.Menurut Bahtiar Effendy (dalam
Maliki, 2000: xxvii)[3], sejak indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya
menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai
institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer,
demokrasi

terpimpin,

demokrasi

pancasila,

dan

periode

transisional

sesudahnya, interplay, antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas
adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya
politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian
Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama
dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU yang pada akhirnya
orde lama membubarkan masyumi dan PSI sebagai partai penyaing PKI dan PNI.
Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa orde lama,
birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai
politik, seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi
di tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika
sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian
cabinet rerus menerus.
2. Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Baru
Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni
oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik

yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya, hegemonic party system diistilahkan
oleh Afan Gaffar Sedangkan menurut William Liddle, kekuasaan orde baru terdiri
dari ;1). Kantor kepresidenan yang kuat, 2). Militer yang aktif berpolitik, dan 3).
Birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan..
Sistem birokrasi yang berlaku di indonesia pada masa orde baru tidak dapat
dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan
kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa
corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi
landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap
raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.
Birokrasi di indonesia pada jaman orde baru sebagai birokrasi Parkinson dan
Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk
pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi
yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang
merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai
pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan menggunakan regulasi
yang bila perlu ada suatu pemaksaan.Birokrasi model Parkinson ini menjelaskan
fenomena birokrasi dimana setiap organisasi birokrasi memerlukan dua sifat dasar,
yaitu setiap pejabat negara berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya
dan mereka saling memberi kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi cenderung
meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang
harus mereka lakukan. Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa
birokrasi yang berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak
efisein dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.Pada masa
orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya
lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai
instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam pandangan
William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif,
merupakan

pelaku

utama

transformasi-

meskipun

tidak

penuh-

model

pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi.

Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap
Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar.
Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya
sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan
kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.Jadi Reformasi birokrasi
yang dilakukan pada masa orde baru bersifat semu. Birokrasi diarahkan pada ;
1).Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki
birokrasi, 2).Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak
kepemimpinan pusat dan 3).Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam
rangka

mengkonsolidasikan

pengendalian

atas

daerah-daerah.

Reformasi

birokrasi hanya menjadi kekuatan elit dan partai politik yang berkuasa .
3. Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Reformasi.
Pada era reformasi usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan
pengaruh politik gencar dilakukan.BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP
Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan
pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan
pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk
menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.Perubahan struktur, kultur dan paradigma
birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk
segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap
terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Aturan
lainpun di terbitkan seperti;Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Namun, harapan terbentuknya
kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di
negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.Kecenderungan
birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum
sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Inefisiensi kinerja

birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik


masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu
sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran
anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar
merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi
pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun
merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan
sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan
kepada masyarakat.

You might also like