You are on page 1of 13

MAKALAH

DIFTERI
Disususun Oleh :
Kelompok II

1. Zaenal arifin
2. Tatat permana
3. Wati suwarta
4. Abdul subur
5. Ahmad hapidz
6. Deni hendriyani
7. Edah

STIKES KHARISMA KARAWANG


PRODI D3 KEPERAWATAN
2010
DIFTERI

A. Definisi

Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium

diphteriae yang berasal dari membran mukosa hidung dari nasofaring, kulit, dan

lesi lain dari orang yang terinfeksi.

B. Etiologi

Corynebacteriunt diphteriae, bakteri berbentuk batang gram positif

C. Epidemiologi

Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula

melalui benda atau makanan yang terkontaminasi

D. Patofsiologi

Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva,

kulit, mata, walaupun jarang terjadi.Kuman membentuk pseudomembran dan

melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring,

laring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak

dan mengandung toksin.Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan

mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul miriasis otot-otot pernafasan

bila mengenai jaringan saraf.Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari

pseudo membran pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang

fatal
Corynebacterium diphteriae
Kontak langsung dengan orang yang
Trinfeksi atau barang barang yang
Terkontaminassi.

masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernapasan

Aliran sistemik

Masa inkubasi 2 5 hari

Mengeluarkan toksin (eksotoksin)

Saluran nafas (laring dan trakhea) fharing dan tonsil

Membentuk pseudomembran peradangan selaput mukosa

Bersihan jalan nafas inefektif Ggn pemenuhan nutrisi dan cairan

Resiko penyebarluasan infeksi


E. Klasifikasi

Biasanya pembagian dibuat menurut tampat atau lokalisasi jaringan yang terkena

infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh

Beach, dkk (1950) sebagai berikut:

a. Infeksi ringan

Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau farsial dengan gejalahanya

nyeri menelan.

b. Infeksi sedang

Pseudomembran menyebar luas sampai ke dinding posterior faring dengan

edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif

c. Infeksi berat

Disertai gejala sumbatan jalan nafas yg berat, yg hanya dapat diatasi dengan

trekeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis atau pun nefritis

dapat menyertai.

F. Gejala Klinis

Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membran, selanjutnya gejala klinis dapat

dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang

terkena.

Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat ntyeri

kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali Gejala ini

biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkerta seperti

pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan serak dan stridor, sedangkan
gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti

miokarditis paralisis jaringan Saraf atau nefritis .

1. Difteria hidung

Gejalanya paling ringan dan jarang terdapai (hanya 2%). Mula-mula hanya

tampak pilek, tetapi kemudian sekret yang ke luar tercampur darah sedikit

yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula

mencapai faring dan laring. Perderita diabati seperti penderita difteria

lainnya.

2. Difteria faring don tonsil (difteria fausial)

Paling sering dijumpai (± 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya berupa radang

pada selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan

diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh

sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih

berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dergan suahu yang tidak terlalu

tinggi, dapat ditemukan pseudomembran yang mula-mula hanya berapa

bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring,

nafas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehilgga leher

tampak seperti leher sapi (bull neck). Brennernan dan Mc Quarne (1956)

meryatakan bahwa setiap bercak keputihan di luar tonsil dapat dianggap

sebagai difteria, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap

membran yang menutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh

permukaan tonsil baik satu maupun kedua sisi dapat dianggap sebagai difteria.
Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun

belum terjadi sumbatan taring. Hal ini disebabkan oleh paresis palatum mole.

Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar haemoglobin dan

leukositosis, polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumi,

sedangkan pada urin mungkin dapat ditemukan albuminuria ringan.

3. Diftheria laring dan trakhea

Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dart tonsil (3 kali lebih banyak)

daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan jalan nafas berupa suara

serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas

hebat, sianosis dan tampak retraksi suprastemal serta epigastrium Pembesaran

ketenjar regional akan menyebabkan bull neck. Pada pemeriksaan laring

tampak kemerahan, sembab, banyak sekret dan permukaan ditutupi oteh

pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus segera

ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.

4. Difteria faeraneus

Merupakan keadaan yang sangat jarang sekali terdapat. Tan Eng Tie(1965)

mendapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman

difteria. Dapat pula timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilikus.


G. Komplikasi

a. Saluran pernafasan

Obstruksi jalan nafas dengan segala bronkopneumonia atelaktasis

b. Kardiovaskuler

Miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini.

c. Urogenital

Dapat terjadi nefritis

d. Susunan saraf

Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami kompikasi yang mengenai

sistem susunan saraf terutama sistem motorik.

Paralisis/parese dapat berupa:

a. Palisis/paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia, kesukaran

menelan Sifatnya reversible dan terjadi pada minggu kesatu dan kedua

b. Paralisis/paresis otot otot mata; sehingga dapat mengakibatkan

strabismus gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang timbuI

setelah minggu ketiga.

c. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu keempat. Kelainan

dapat mengenai otot muka, leher anggota gerak dan yang paling berbahaya

bila mengenai otot pernafasan.


H. Prognosis

Nelson berpendapat kematian penderita difteria sebesar 3 - 5% dan sangat

bergantung kepada:

a. Umur penderita, karena makin muda umur anak

prognosis makin buruk.

b. Perjalanan penyakit, karena makin lanjut makin buruk

prognosisnya.

c. Letak lesi difteria

d. Keadaan umum penderita, misalnya prognosis kurang

baik pada penderita gizi kurang.

e. Pengobatan. Makin lambat pemberian antitoksin,

prognosis akan makin buruk.

I. Pencegahan

1. lsolasi penderita.

Penderita difteria harus diisolasi dan baru dapat dipuiangkan setelah

pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheriae

2 kali berturut-turut.

2. Imunisasi

3. Pencarian dan kemudian

mengobati karier difteria. Dilakukan dengan uji Schick. yaitu bila hasil uji

negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi), maka


harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan C. diphtheriae,

penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi:

J. Penatalaksanan Teraupetik

1. Pengobatan Umum

Terdiri dari perwatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi

penderita dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi

antara lain pemeriksaan EKG tiap minggu.

2. Pengobatan Spesifik

a. Anti Diphtheria Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hari

selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan

mata

b. Antibiotika diberikan penisilin prokain 50.000 U/kgBB/hari sampai 3

hari bebas panas. Pada penderita yang diiakukan trakeostomi,

ditambahkan kloramfenikol 75 mm/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.

c. Kortikosteroid. Obat ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya

komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednison

2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara

bertahap

Penderita difteria dirawat selama 3 - 4 rninggu. Bila terdapat sumbatan jalan

nafas harus dipertimbangkan tindakan trakeostomi, karena tindakan ini pada

difteri laring dengan sumbatan jalan nafas akan menyelamatkan jiwa penderita

Perawatan pasca-trakeostomi juga memegang peranan penting seperti


pengisapan lendir secara berhati-hati dan teratur sebab pengisapan lendir

secara tiak tepat dapat menimbulkan refleks vagal yang dapat menyebabkan

kematian. Intubasi trakea juga dapat dipakai untuk menolong penderita yang

mengalami sumbatan jalan nafas dan dapat dilakukan oleh dokter umum.

Bila ada komplikasi paralisis/paresis otot, dapat diberikan sriknin ¼ mg dan

vitamin B1 100 mg setiap hari seiama 10 hari berturut-turut.

K. Penatalaksanaan Perawatan

1. Pengkajian

- Riwayat keperawatan;riwayat terkena penyakit infeksi,

status imunisasi

- Kaji tanda tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring, dan

laring

- Lihat dari manfestasi klinis berdasarkan alur patofisiologi

2. Diagnosa Keperawatan

a. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada

jalan nafas.

b. Resiko penyebarluasan. infeksi berhubungan. dengan organisme

virulen

c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit

(metabolisme meningkat, intake cairan menurun)

d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

intake nutrisi yang kurang.


3. Tujuan

a. Anak akan menunjukkan tanda tanda jalan nafas efektif

b. Penyebarluasan infeksi tidak terjadi

c. Anak menunjukkan tanda tanda kebutuhan nutrisi

terpenuhi

d. Anak akan mempertahankan keseimbangan cairan.

4. Intervensi

a. Meningkatkan jalan nafas efektif

- Kaji status pernafasan observasi irama dan bunyi pernafasan.

- Atur posisi kepala dengan posisi ekstensi

- Suction jalan nafas jika terdapat sumbatan

- Berikan oksigen sebelum dan setelah dilakukan suction

- Lakukan fisioterapi dada

- Persiapkan anak untuk dilakukan trakeostomi

- Lakukan pemeriksaan analisa gas darah

- Lakukan intubasi jika ada indikasi

b. Perluasan infeksi tidak terjadi

- Tempatkan anak pada ruang khusus

- Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit

- Gunakan prosedur perlindungan infeksi jika melakukan

kontak dengan anak

- Berikan antibiotik sesuai order


c. Kekurangan volume cairan tidak terjadi

- Memonitor intake output secara tepat, pertahankan intake

cairan dan elektrolit yang tepat

- Kaji adanya tanda tanda dehidrasi (membran mukosa kering, turgor,

kulit kurang, produksi urin menurun, frekuensi denyut jantung dan

pernafasan. meningkat, tekanan darah menurun, fontanel cekung).

- Kolaborasi untuk pernberian cairan parenteral jika pemberian

cairan melalui oral tidak memungkinkan.

d. Meningkatkan kebutuhan nutrisi

- Kaji ketidakmampuan anak untuk makan

- Memasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak

- Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral

- Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat

badan, lingkar lenga, memberan mukosa) yang adekuat.


DAFTAR PUSTAKA

1. Supriadi, 2004, Asuhan Keperawatan Anak, Jakarta: Sagung Seto

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, 2005, IlmU Kesehatan Anak, Jakarta:

FKUI.

You might also like