Professional Documents
Culture Documents
Latar Belakang
Kenaikan angka harapan hidup di negara berkembang pada abad ini juga
menyebabkan kenaikan kebutuhan praktisi kesehatan terutama untuk penyakit dan
gangguan yang terjadi pada populasi usia lanjut. Proplaps Organ Pelvis (POP) dan
Inkontinensia Urin (UI) merupakan kondisi yang sering dijumpai pada wanita
dewasa sekarang ini. POP sendiri adalah penurunan tidak normal atau herniasi
organ pelvis dari tempat perlekatan atau posisi normalnya pada pelvis. Pada
artikel
ini,
penulis
akan
mendiskusikan
tampilan
klinik,
patofisiologi,
mengganggu
karena
sering
berhubungan
dengan
defek
penyerta
pada
Penelitian tahun 1999 pada wanita swedia usia 20-59 tahun oleh Samuelsson dan
rekan universitasnya menunjukkan bahwa walaupun tanda-tanda prolaps organ
pelvis seringkali ditemukan, tetapi kondisi tersebut jarang menimbulkan gejala
bagi pasien. Prolaps uteri yang minimal tidak membutuhkan terapi karena
biasanya hanya simptomatis saja. Namun, penurunan serviks sampai atau bahkan
melewati introitus vagina dapat bersifat simptomatis. Gejala-gajala prolaps uteri
antara lain meliputi sensasi penuh atau tekanan pada vagina, nyeri belakang
sakral, timbulnya bintik-bintik dari ulserasi akibat penonjolan serviks, kesulitan
koitus, rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah, serta kesulitan defekasi
dan miksi. Khas yang dirasakan pasien adalah terasanya tonjolan pada vagina
bagian bawah atau penonjolan akibat penurunan melalui introitus vagina.
Pemeriksaan
Identifikasi dari defek penyerta sebelum pembedahan dapat menunjang perbaikan
dari defek tersebut dan meminimalisir peluang terjadinya kekambuhan. Idealnya
dokter bedah sebaiknya merencanakan prosedur yang dibutuhkan dan prosedur
yang paling tepat untuk mengkoreksi semua defek. Pasien-pasien yang mengeluh
perihal prolaps uterinya, anamnesis yang mendetail dan pemeriksaan fisik status
lokalis pada dasar pelvis menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan proses
evaluasi. Beberapa pasien prolaps asimptomatis juga sering dirujuk. Aksioma
Shull menyatakan bahwa terapi bedah tidak dapat memberikan hasil yang lebih
baik pada pasien asimptomatis. Aksioma tersebut dapat memberikan masukan
yang baik (1993). Tanggungjawab seorang ahli obstetri adalah untuk mengarahkan
kebutuhan individu setiap pasien.
Penilaian kualitas hidup juga sangat berguna untuk menentukan terapi yang sesuai
bagi pasien. Riwayat aktivitas seksual merupakan hal yang penting, begitu pula
dengan penilaian kulitas hidup pasien yang digali secara terfokus melalui
pertanyaan ataupun kuosioner. Kesulitan berkemih, peningkatan frekuensi
berkemih, urgensi, dan inkontinesia sering dijumpai pada prolaps organ pelvis.
Jika ditemukan gejala-gejala tersebut maka harus dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut karena prolaps yang berat dapat menimbulkan disfungsi saluran kemih
(2)
Klasifikasi
dari
International
Continence
Society
(ICS)
Derajat prolaps pada semua sistem di atas sama yaitu, derajat I : penurunan uterus
pada titik manapun sampai 1 cm proksimal dari hymen; derajat II : dari 1 cm
proksimal hymen, hymen itu sendiri, atau sampai 1 cm di distal hymen; derajat III
: melebihi 1cm di distal hymen; derajat IV : prolaps uterine totalis.
Pemeriksaan pada pasien dapat dilakukan baik pada posisi litotomi dan posisi
berdiri. Saat melakukan pemeriksaan, gunakan spekulum standar berbilah ganda
(cocor bebek) pada permukaan vagina untuk melihat vagina dan serviks secara
visual. Spekulum kemudian dibongkar untuk diambil bilah bagian posterior saja
(bilah bagian bawah) dan diposisikan pada posterior vagina agar memungkinkan
visualisasi dari dinding vagina anterior. Spekulum kemudian dibalik posisinya
untuk melihat dinding posterior. Perhatikan bahwa titik maksimal penurunan
dinding anterior, lateral dan apikal sesuai dengan posisi hymen dan spina
ischiadica. Selanjutnya, posisikan 2 jari secara ipsilateral berlawanan dengan
dinding vagina (membuka vagina dengan melebarkan vulva menggunakan 2 jari)
dan minta pasien untuk mengejan. Setelah memeriksan jaringan penyokong
dinding lateral vagina, periksa juga bagian apeks (serviks dan apeks vagina).
Ulangi pemeriksaan pada dua posisi (berdiri dan litotomi) untuk melihat
penurunan maksimal dari prolaps uteri.
Selanjutnya, tentukan derajat kekuatan dan kualitas dari kontraksi dasar pelvis
dengan cara meminta pasien untuk mengencangkan otot levator disekitar jari
pemeriksa. Periksa daerah genitalia eksterna, catat status estrogen pasien,
diameter introitus, dan panjang dari corpus perineum. Lakukan pemeriksaan
bimanual dengan hati-hati untuk menentukan ukuran uterus, mobilitas dan
adneksanya. Terakhir, lakukan pemeriksaan rektal untuk mengukur tonus spincter
ani eksterna dan memeriksa adanya rektokel atau enterokel.
Ketika pasien didiagnosis prolaps uteri dinding anterior vagina (sistokel), penting
untuk menyingkirkan Potensial Inkontinensia (PI) yang biasa terjadi paska
operasi, sebelum dilakukan pengelolaan prolaps uteri. PI didefinisikan sebagai
inkontinensia yang terjadi hanya jika dilakukan reduksi pada prolaps tersebut.
Inkontinensia urin ini mungkin merupakan akibat dari penekukan uretra pada
prolaps yang telah direduksi. Jika PI tidak ditangani sebelum pembedahan, angka
inkontinensia pada pasien paska pembedahan mencapai 30%. Sistometrogram
dapat digunakan untuk menguji apakah PI dapat terjadi yaitu dengan cara mengisi
vesika urinaria dengan air steril atau normal saline sampai kapasitas
maksimumnya (boleh juga minimal 300 mL), kemudian uterus yang prolaps
dielevasikan secara vertikal menggunakan jari atau alat lain seperti pesarium yang
sesuai. Apabila terdapat kebocoran aliran kemih saat pasien melakukan maneuver
valsava atau batuk, pemberian prosedur anti-inkontinensia bersamaan dengan
operasi prolaps uteri akan memberikan banyak keuntungan bagi pasien.
Uji terhadap Potensial Ikontinensia (tes urodinamik pada penjelasan sebelumnya)
sebelum
dilakukan
manajemen
prolaps
uteri
(terutama
pada
operasi
sakrokolpopeksi) telah didukung oleh berbagai studi. Pada studi ini, angka stress
inkontinensia urin pada wanita dengan prolaps uteri atau prolaps apeks vagina
yang menjalani sakrokolpopeksi abdominal (sebelum operasi tidak ada
inkontinensia urin) dapat diturunkan oleh Burch sebesar 32 % (45 % terjadi
inkontinensia apabila menggunakan metode non Burch).
Namun, penulis lain telah melakukan peninjauan tentang akurasi dan kemampuan
presiksi dari tes urodinamik sebelum dilakukan operasi sakrokolpopeksi (uji coba
Colpopexy and Urinary Reduction Efforts [CARE] ) dan sekaligus menyarankan
untuk dilakukan profilaksis berupa kolposuspensi untuk mengurangi terjadinya
stress inkontinensia urin paska operasi. Pada studi praktik menggunakan
kuesioner oleh para anggota American Urogynecological Society (AUGS),
sebagaian besar klinisi (57%) tidak melakukan prosedur profilaksis anti
inkontinensia (Kolposuspensi Burch) saat operasi sakrokolpopeksi. Hal ini
menggambarkan bahwa masalah-masalah pre operatitif serta manajemen dari
Potensial Inkontinensia masih diperdebatkan.
Indikasi
Manajemen utama dari prolaps uteri yang berat adalah dengan pembedahan.
Pasien-pasien yang mengalami kegagalan menggunakan terapi konservatif dapat
menggunakan berbagai macam pendekatan metode pembedahan.
Ketika
merencanakan
pendekatan
yang
sesuai,
dokter
bedah
harus
Pada posisi terlentang, vagina bagian atas hampir horizontal dan lebih superior
dari penampang musculus levator ani. Uterus dan apeks vagina mempunyai dua
sistem penyokong utama. Penyokong utama aktif diperankan oleh musculus
levator ani; sedangkan penyokong pasif diperankan oleh fasia endopelvis
(kompleks ligamentum uterosakralis-kardinale, fasia puboservikalis, septum
rektovagina) serta perlekatannya pada pelvis dan dinding pelvis melalui arcus
tendinous. Muskulus levator ani menyatu di posterior ke rektum dan melekat pada
os coccygeus. Hiatus genitalis adalah lubang pada dasar panggul yang dilewati
oleh uretra, vagina dan rektum.
Kontraindikasi
Kontraindikasi untuk dilakukan operasi pembedahan pada prolaps uteri
didasarkan pada komorbiditas pasien dan kemampuan pasien untuk mentoleransi
operasi. Pasien dengan prolaps uteri derajat I tidak memerlukan pembedahan
karena biasanya asimptomatis. Pasien yang merencanakan kehamilan di masa
mendatang dapat menunda pembedahan prolaps uteri karena kehamilan dan
persalinan pervaginam setelah pembedahan prolaps membutuhkan pembedahan
tambahan untuk memperbaiki prolaps organ pelvis yang terjadi.
Oleh karena itu, wanita premenopouse yang merencanakan kehamilan di masa
mendatang harus diberikan konseling preoperative yang memadai tentang waktu
yang tepat untuk melakukan operasi prolaps uteri, yaitu apakah sebelum
melahirkan atau setelah melahirkan. Kontraindikasi operasi preservasi uterus
(uterus masih ingin dipertahankan) antara lain meliputi berbagai abnormalitas
uterus, fibroid uterus, riwayat saat ini atau riwayat berulang dysplasia, perdarahan
pervagina
paska
menopause,
perdarahan
uterus
abnormal,
Hereditary
Strategi utama dalam pengelolaan prolaps uteri berat adalah dengan pembedahan.
Pasien-pasien yang gagal dikelola dengan terapi konservatif dapat menggunakan
berbagai macam pendekatan metode pembedahan untuk memperbaiki prolapsnya.
Pendekatan abdominal/Laparoskopi
Apabila diputuskan untuk menggunakan metode pendekatan abdominal dalam
pengelolaan prolaps uteri, penulis lebih memilih abdominal sacrocolpopeksi.
Prosedur ini memungkinkan bagian atas vagina untuk kembali menempati sumbu
anatomi normalnya yaitu dengan memasang mesh poplypropylene pada apeks
vagina / serviks / uterus sampai sacrum menggunakan jahitan melewati fascia
presacral pada promontorium atau setinggi S1-S2 (jika yakin kuat dan bebas dari
pembuluh darah).
Studi biomekanik yang telah dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa fascia
presacral melekat paling kuat pada promontorium. Apabila promontorium telah
dipilih sebagai perlekatan, bahan untuk penyambungan harus dipasang longgar
agar vagina tidak tegang saat ada peregangan dan vagina dapat terletak dengan
baik pada sisi permukaan musculus levator. Untuk menguji tekanan abdominal
yang nantinya juga berperan dalam keberhasilan pembedahan dapat dilakukan tes
saat proses operasi. Yaitu dengan cara melakukan tarikan bahan graft vagina ke
bawah dengan lembut sebelum dilakukan pengguntingan dan penutupan jahitan.
Pendekatan cara abdominal secara umum dapat memberikan fiksasi yang lebih
tinggi pada pelvis dan memberikan perbaikan yang lebih tahan lama dengan
ukuran vagina yang cenderung cukup panjang.
Bahan graft yang digunakan pada prosedur sacropeksi (seperti Fascia lata
mahkluk hidup, fascia abdominalis, fascia lata dari mayat, Marlex, Prolene, GoreTex, Mersilene, Vipro-II) memiliki angka keberhasilan yang bervariasi. Bahan
yang cocok secara biologis sebaiknya inert (stabil, tidak mudah mengalami
perubahan reaksi kimia), tahan lama, tidak karsinogenik, tidak menimbulkan
reaksi inflamasi, siap sedia digunakan dan tidak mahal.
Mesh sintetis berbahan dasar polypropylene terbukti lebih unggul daripada fasia
lata jenis autologous. Multifilamen mesh (misalnya Gore-Tex, Merseline)
dilaporkan berhubungan dengan inflamasi kronis yang merugikan dibandingkan
mesh berbahan monofilamen. Multifilamen mesh dapat menimbulkan reaksi
inflamasi akut dan pembentukan jaringan ikat fibrous. Disisi lain, mesh dengan
ukuran pori-pori yang besar (>75 mikrometer) dapat menunjang pertumbuhan
fibroblast, kolagen dan pembuluh darah serta juga dapat menunjang infiltrasi
makrofag dan leukosit, sehingga peluang terjadinya infeksi dan erosi pada mesh
dapat berkurang.
Untuk menghindari jeratan usus, dilakukan pembungkusan menggunakan
peritoneum pada graft yang akan dipasang. Beberapa ahli bedah secara rutin
melakukan kuldoplasti. Cara melakukan prosedur ini yaitu dengan cara menjahit
sisi peritoneum yang membentuk kantong Douglass tersebut sehingga bentukan
kantong akan menghilang. Biasanya prosedur ini juga melibatkan ligamentum
uterosacral. Bahan graft diletakkan pada sisa vagina atau dari sisa pangkal serviks
yang telah dipotong kemudian dihubungkan dengan fasia presacral menggunakan
jahitan longgar. Graft kemudian dibungkus dengan peritoneum dan beberapa ahli
bedah melakukan penutupan kantong Douglass untuk mencegah timbulnya
enterokel.
Prosedur Marion-Moschcowitz (untuk menutup cavum douglass) menggunakan
jahitan spiral untuk menutup cavum secara melingkar. Sedangkan prosedur
Halban menggunakan beberapa jahitan pada bidang sagittal cavum douglass
sehingga lamina anterior dan posterior cavum melekat dan kemudian menutup
cavum tersebut.