You are on page 1of 12

Prolaps Uteri

Latar Belakang
Kenaikan angka harapan hidup di negara berkembang pada abad ini juga
menyebabkan kenaikan kebutuhan praktisi kesehatan terutama untuk penyakit dan
gangguan yang terjadi pada populasi usia lanjut. Proplaps Organ Pelvis (POP) dan
Inkontinensia Urin (UI) merupakan kondisi yang sering dijumpai pada wanita
dewasa sekarang ini. POP sendiri adalah penurunan tidak normal atau herniasi
organ pelvis dari tempat perlekatan atau posisi normalnya pada pelvis. Pada
artikel

ini,

penulis

akan

mendiskusikan

tampilan

klinik,

patofisiologi,

pemeriksaan, dan pengelolaan dari prolaps uteri.


Sejarah dari Prosedur
Prolaps uteri pertama kali dilaporkan oleh Kahun Papyri sekitar 2000 tahun
sebelum masehi. Hippocrates juga memaparkan beberapa tatalaksanan non bedah
untuk kondisi tersebut. Pada tahun 98 masehi, Soranus dari Roma pertama kali
menunjukkan cara pengambilan prolaps uteri yang telah menghitam. Histerektomi
vagina untuk terapi prolaps uteri pertama kali berhasil dilakukan oleh seorang
wanita yang bekerja sebagai petani bernama Faith Raworth (disebutkan oleh
Willouby pada tahun 1670). Faith Raworth mengalami kelelahan disebabkan oleh
prolaps uteri yang dideritanya kemudian ia menariknya melalui serviks dan
memotongnya menggunakan pisau tajam. Ia bertahan dan kemudian melanjutkan
hidupnya dengan akibat samping berupa inkontinensia urin. Sejak awal tahun
1800-an sampai berabad-abad selanjutnya metode serta pendekatan bedah lain
yang berhasil kemudian mulai banyak diterapkan.
Masalah
Prolaps uteri adalah defek dari apeks vagina dan ditandai dengan eversi vagina
bersama dengan penurunan uterus. Derajat penurunan uterus bervariasi pada
setiap pasien. Pada kasus yang sangat parah uterus dapat menonjol keluar melalui
hiatus genitalis. Prolaps uteri merupakan masalah relaksasi pelvis yang paling

mengganggu

karena

sering

berhubungan

dengan

defek

penyerta

pada

kompartemen vagina anterior, posterior dan lateral.


Epidemiologi
Frekuensi
Prevalensi pasti dari prolaps uteri sulit ditentukan. Namun, diperkirakan bahwa
risiko seumur hidup seseorang untuk dilakukan 1 kali operasi untuk memperbaiki
inkontinensia atau prolaps adalah sekitar 11%.
Etiologi
Defek dari dasar pelvis dapat diakibatkan oleh banyak hal seperti proses
persalinan; peregangan dan perobekan pada fascia endopelvis, musculus levator
serta corpus perineum. Neuropati sebagian perasarafan daerah pudendal dan
perineal juga berhubungan dengan persalinan. Gangguan transmisi impuls saraf ke
otot-otot dasar pelvis dapat menjadi predisposisi menurunnya tonus, serta memicu
penurunan dan peregangan yang lebih parah. Oleh karena itu wanita multipara
mempunyai risiko yang lebih khusus pada kasus prolaps uteri. Atrofi genital dan
hipoestrogen juga memiliki pernan penting dalam patogenesis terjadinya prolaps.
Namun, mekanisme pastinya belum sepenuhnya dipahami. Prolaps uteri juga
dapat diakibatkan oleh tumor pelvis, gangguan nervus sacralis dan neuropati
diabetikum. Kondisi medis lain yang dapat menyebabkan terjadinya prolaps uteri
adalah hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdominal
(contoh : obesitas, penyakit paru konis, merokok, konstipasi). Abnormalitas
khusus dan jarang pada jaringan penghubung (kolagen) seperti pada penyakit
Marfan juga dihubungkan dengan prolaps daerah genitourinaria. Tinjauan dari
mekanisme yang lebih mendetail tentang prolaps uteri tidak dibahas dalam artikel
ini. Namun, evaluasi menyeluruh dan definisi dari semua defek pendukung sangat
penting karena sebagian besar wanita yang menderita prolaps uteri juga menderita
defek multipel.
Tampilan klinik

Penelitian tahun 1999 pada wanita swedia usia 20-59 tahun oleh Samuelsson dan
rekan universitasnya menunjukkan bahwa walaupun tanda-tanda prolaps organ
pelvis seringkali ditemukan, tetapi kondisi tersebut jarang menimbulkan gejala
bagi pasien. Prolaps uteri yang minimal tidak membutuhkan terapi karena
biasanya hanya simptomatis saja. Namun, penurunan serviks sampai atau bahkan
melewati introitus vagina dapat bersifat simptomatis. Gejala-gajala prolaps uteri
antara lain meliputi sensasi penuh atau tekanan pada vagina, nyeri belakang
sakral, timbulnya bintik-bintik dari ulserasi akibat penonjolan serviks, kesulitan
koitus, rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah, serta kesulitan defekasi
dan miksi. Khas yang dirasakan pasien adalah terasanya tonjolan pada vagina
bagian bawah atau penonjolan akibat penurunan melalui introitus vagina.
Pemeriksaan
Identifikasi dari defek penyerta sebelum pembedahan dapat menunjang perbaikan
dari defek tersebut dan meminimalisir peluang terjadinya kekambuhan. Idealnya
dokter bedah sebaiknya merencanakan prosedur yang dibutuhkan dan prosedur
yang paling tepat untuk mengkoreksi semua defek. Pasien-pasien yang mengeluh
perihal prolaps uterinya, anamnesis yang mendetail dan pemeriksaan fisik status
lokalis pada dasar pelvis menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan proses
evaluasi. Beberapa pasien prolaps asimptomatis juga sering dirujuk. Aksioma
Shull menyatakan bahwa terapi bedah tidak dapat memberikan hasil yang lebih
baik pada pasien asimptomatis. Aksioma tersebut dapat memberikan masukan
yang baik (1993). Tanggungjawab seorang ahli obstetri adalah untuk mengarahkan
kebutuhan individu setiap pasien.
Penilaian kualitas hidup juga sangat berguna untuk menentukan terapi yang sesuai
bagi pasien. Riwayat aktivitas seksual merupakan hal yang penting, begitu pula
dengan penilaian kulitas hidup pasien yang digali secara terfokus melalui
pertanyaan ataupun kuosioner. Kesulitan berkemih, peningkatan frekuensi
berkemih, urgensi, dan inkontinesia sering dijumpai pada prolaps organ pelvis.
Jika ditemukan gejala-gejala tersebut maka harus dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut karena prolaps yang berat dapat menimbulkan disfungsi saluran kemih

meliputi hidronefrosis dan neuropati obstruktif. Tindakan bedah pada pasien


inkontinensia dengan prolaps organ pelvis lebih jarang berhasil dibandingkan
pasien tanpa prolaps.
Inkontinensia dibahas juga di artikel lain (lihat Inkontinensia Urin : Review
Komprehensif dari aspek Medis dan Pembedahan ; Inkontinensia Urin : Terapi
bedah; Inkontinensia urin : Terapi non bedah). Retensi urin sering dijumpai pada
pasien dengan prolaps uteri karena terjadinya penurunan pada dinding anterior
vagina. Uretra yang tertekuk secara anatomis dapat mengkibatkan retensi urin.
Volume sisa urin setelah berkemih harus diukur untuk menyingkirkan obstruksi
akibat terlekuknya uretra atau gangguan pengosongan kandung kemih skunder
karena lemahnya kontraksi dari kandung kemih.
Pemeriksaan preoperatif yang lengkap dapat mencegah berbagai komplikasi pasca
operasi. Penulis baru-baru ini melaporkan beberapa pasien dengan prolaps dinding
anterior vagina yang mengalami retensi urin secara bersamaan. Setiap pasien
menjalani uji pre operasi dengan metode reduksi menggunakan pesarium. Uji ini
ternyata memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi serta menjadi faktor
prediktif positif dalam mengatasi retensi urin paska operasi. Didapatkan bahwa
bedah rekonstruksi pelvis bisa menyembuhkan pasien prolaps uteri yang
mengalami masalah retensi urin.
Catatan medis pasien (contoh : obesitas, asma, penggunaan steroid jangka
panjang) yang lengkap juga dapat menjadi kontributor dalam pengelolaan prolaps
atau inkontinensia urin. Disarankan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut
terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan bedah. Kekambuhan lebih mudah
terjadi apabila riwayat penyakit sebelumnya tidak ditangani dengan baik.
Pemeriksaan status lokalis yang spesifik merupakan hal yang sangat penting.
Metode untuk memeriksa relaksasi dasar pelvis meliputi (1) Sistem Baden
Halfway;

(2)

Klasifikasi

dari

International

Continence

Society

(ICS)

menggunakan sistem Pelvic Organ Prolaps Quantification (POPQ); dan (3)


Sistem New York Classification (NYC) yang telah direvisi.

Derajat prolaps pada semua sistem di atas sama yaitu, derajat I : penurunan uterus
pada titik manapun sampai 1 cm proksimal dari hymen; derajat II : dari 1 cm
proksimal hymen, hymen itu sendiri, atau sampai 1 cm di distal hymen; derajat III
: melebihi 1cm di distal hymen; derajat IV : prolaps uterine totalis.
Pemeriksaan pada pasien dapat dilakukan baik pada posisi litotomi dan posisi
berdiri. Saat melakukan pemeriksaan, gunakan spekulum standar berbilah ganda
(cocor bebek) pada permukaan vagina untuk melihat vagina dan serviks secara
visual. Spekulum kemudian dibongkar untuk diambil bilah bagian posterior saja
(bilah bagian bawah) dan diposisikan pada posterior vagina agar memungkinkan
visualisasi dari dinding vagina anterior. Spekulum kemudian dibalik posisinya
untuk melihat dinding posterior. Perhatikan bahwa titik maksimal penurunan
dinding anterior, lateral dan apikal sesuai dengan posisi hymen dan spina
ischiadica. Selanjutnya, posisikan 2 jari secara ipsilateral berlawanan dengan
dinding vagina (membuka vagina dengan melebarkan vulva menggunakan 2 jari)
dan minta pasien untuk mengejan. Setelah memeriksan jaringan penyokong
dinding lateral vagina, periksa juga bagian apeks (serviks dan apeks vagina).
Ulangi pemeriksaan pada dua posisi (berdiri dan litotomi) untuk melihat
penurunan maksimal dari prolaps uteri.
Selanjutnya, tentukan derajat kekuatan dan kualitas dari kontraksi dasar pelvis
dengan cara meminta pasien untuk mengencangkan otot levator disekitar jari
pemeriksa. Periksa daerah genitalia eksterna, catat status estrogen pasien,
diameter introitus, dan panjang dari corpus perineum. Lakukan pemeriksaan
bimanual dengan hati-hati untuk menentukan ukuran uterus, mobilitas dan
adneksanya. Terakhir, lakukan pemeriksaan rektal untuk mengukur tonus spincter
ani eksterna dan memeriksa adanya rektokel atau enterokel.
Ketika pasien didiagnosis prolaps uteri dinding anterior vagina (sistokel), penting
untuk menyingkirkan Potensial Inkontinensia (PI) yang biasa terjadi paska
operasi, sebelum dilakukan pengelolaan prolaps uteri. PI didefinisikan sebagai
inkontinensia yang terjadi hanya jika dilakukan reduksi pada prolaps tersebut.
Inkontinensia urin ini mungkin merupakan akibat dari penekukan uretra pada

prolaps yang telah direduksi. Jika PI tidak ditangani sebelum pembedahan, angka
inkontinensia pada pasien paska pembedahan mencapai 30%. Sistometrogram
dapat digunakan untuk menguji apakah PI dapat terjadi yaitu dengan cara mengisi
vesika urinaria dengan air steril atau normal saline sampai kapasitas
maksimumnya (boleh juga minimal 300 mL), kemudian uterus yang prolaps
dielevasikan secara vertikal menggunakan jari atau alat lain seperti pesarium yang
sesuai. Apabila terdapat kebocoran aliran kemih saat pasien melakukan maneuver
valsava atau batuk, pemberian prosedur anti-inkontinensia bersamaan dengan
operasi prolaps uteri akan memberikan banyak keuntungan bagi pasien.
Uji terhadap Potensial Ikontinensia (tes urodinamik pada penjelasan sebelumnya)
sebelum

dilakukan

manajemen

prolaps

uteri

(terutama

pada

operasi

sakrokolpopeksi) telah didukung oleh berbagai studi. Pada studi ini, angka stress
inkontinensia urin pada wanita dengan prolaps uteri atau prolaps apeks vagina
yang menjalani sakrokolpopeksi abdominal (sebelum operasi tidak ada
inkontinensia urin) dapat diturunkan oleh Burch sebesar 32 % (45 % terjadi
inkontinensia apabila menggunakan metode non Burch).
Namun, penulis lain telah melakukan peninjauan tentang akurasi dan kemampuan
presiksi dari tes urodinamik sebelum dilakukan operasi sakrokolpopeksi (uji coba
Colpopexy and Urinary Reduction Efforts [CARE] ) dan sekaligus menyarankan
untuk dilakukan profilaksis berupa kolposuspensi untuk mengurangi terjadinya
stress inkontinensia urin paska operasi. Pada studi praktik menggunakan
kuesioner oleh para anggota American Urogynecological Society (AUGS),
sebagaian besar klinisi (57%) tidak melakukan prosedur profilaksis anti
inkontinensia (Kolposuspensi Burch) saat operasi sakrokolpopeksi. Hal ini
menggambarkan bahwa masalah-masalah pre operatitif serta manajemen dari
Potensial Inkontinensia masih diperdebatkan.
Indikasi

Manajemen utama dari prolaps uteri yang berat adalah dengan pembedahan.
Pasien-pasien yang mengalami kegagalan menggunakan terapi konservatif dapat
menggunakan berbagai macam pendekatan metode pembedahan.
Ketika

merencanakan

pendekatan

yang

sesuai,

dokter

bedah

harus

mempertimbangkan risiko, aktivitas seksual, dan anatomi saluran vagina. Di


bawah ini merupakan daftar hal-hal yang harus dipertimbangkan.
Pertimbangan penting untuk pengambilan keputusan menggunakan metode bedah
atau tidak. Lihat daftar di bawah ini :
-

Tingkat kesehatan secara umum dan usia pasien


Tingkat keparahan dari gejala
Pilihan pasien (dengan pembedahan atau tanpa pembedahan)
Kelayakan pasien untuk dilakukan pembedahan
Adanya kondisi pelvis lain yang membutuhkan penanganan secara

bersamaan termasuk inkontinensia urin atau alvi


Ada atau tidaknya hipermobilitas uretra
Ada atau tidaknya neuropati dasar pelvis
Riwayat operasi pelvis sebelumnya

Anatomi yang Terkait


Pengetahuan anatomi pelvis penting untuk memahami prolaps organ pelvis.
Penalaran teleologis juga dapat membantu pemahaman tentang prolaps ini. Dasar
pelvis pada primata mengalami evolusi, khususnya pada manusia sebagai
makhluk berkaki dua yang menghabiskan sebagian besar waktu terjaganya dalam
posisi berdiri. Sesuai dengan namanya, dasar pelvis merupakan batas terbawah, di
mana tempat inilah yang menjadi penyangga bagi seluruh isi pelvis dan abdomen.
Dasar pelvis dibentuk dari beberapa grup otot (levator) dan ligamen-ligamen
(fasia endopelvis) membentuk bangunan menyerupai ayunan kain (atau dasar
kursi kain) yang terhubung pada sekeliling (360o ) tulang pelvis berbentuk ovoid.
Terlebih lagi, pengetahuan mengenai orientasi biaksial dari vagina dan uterus
penting untuk memahami hubungan anatomi dan fungsi serta pembedahan yang
tepat dalam mengembalikan jaringan penyokong pelvis.

Pada posisi terlentang, vagina bagian atas hampir horizontal dan lebih superior
dari penampang musculus levator ani. Uterus dan apeks vagina mempunyai dua
sistem penyokong utama. Penyokong utama aktif diperankan oleh musculus
levator ani; sedangkan penyokong pasif diperankan oleh fasia endopelvis
(kompleks ligamentum uterosakralis-kardinale, fasia puboservikalis, septum
rektovagina) serta perlekatannya pada pelvis dan dinding pelvis melalui arcus
tendinous. Muskulus levator ani menyatu di posterior ke rektum dan melekat pada
os coccygeus. Hiatus genitalis adalah lubang pada dasar panggul yang dilewati
oleh uretra, vagina dan rektum.
Kontraindikasi
Kontraindikasi untuk dilakukan operasi pembedahan pada prolaps uteri
didasarkan pada komorbiditas pasien dan kemampuan pasien untuk mentoleransi
operasi. Pasien dengan prolaps uteri derajat I tidak memerlukan pembedahan
karena biasanya asimptomatis. Pasien yang merencanakan kehamilan di masa
mendatang dapat menunda pembedahan prolaps uteri karena kehamilan dan
persalinan pervaginam setelah pembedahan prolaps membutuhkan pembedahan
tambahan untuk memperbaiki prolaps organ pelvis yang terjadi.
Oleh karena itu, wanita premenopouse yang merencanakan kehamilan di masa
mendatang harus diberikan konseling preoperative yang memadai tentang waktu
yang tepat untuk melakukan operasi prolaps uteri, yaitu apakah sebelum
melahirkan atau setelah melahirkan. Kontraindikasi operasi preservasi uterus
(uterus masih ingin dipertahankan) antara lain meliputi berbagai abnormalitas
uterus, fibroid uterus, riwayat saat ini atau riwayat berulang dysplasia, perdarahan
pervagina

paska

menopause,

perdarahan

uterus

abnormal,

Hereditary

Nonpolyposis Colonic Cancer (HNPCC), kanker familial (BRCA), riwayat


sekarang atau dahulu dalam mengkonsumsi obat golongan Selective Estrogen
Receptor Modulator (misal Tamoxifen) atau pasien yang tidak dapat melakukan
kunjungan atau pengawasan rutin oleh ahli genikologi.
Pemeriksaan Penunjang Pencitraan

Apabila pasien menghendaki uterus tetap dipertahankan maka dianjurkan


pencitraan menggunakan USG.
Tes-Tes yang Lain
Sebelum operasi pembedahan dilakukan, sitologi serviks (Pap Smear) harus selalu
dipertimbangkan sebagai rekomendasi skrining dari American Congress of
Obstetrics and Gynecologists.
Prosedur Diagnostik
Biopsi endometrium dianjurkan sebelum operasi preservasi uterus bagi wanita
dengan perdarahan vagina paska menopause.
Terapi Medis
Pasien dengan prolaps uteri ringan tidak membutuhkan terapi karena biasanya
asimptomatis. Namun, ketika gejala ini muncul banyak pasien pada awalnya
memilih terapi konvensional. Selain itu, pasien yang tidak memenuhi syarat
dilakukan pembedahan atau sangat enggan melakukan pembedahan dapat
ditawarkan pesarium untuk mengurangi gejalanya. Estrogen topikal merupakan
adjuvan penting dalam pengelolaan konservatif pasien dengan prolaps uteri.
Renacana pembedahan yang jelas harus segera dibuat apabila telah memilih
metode operasi untuk memperbaiki prolaps uteri. Ahli bedah pelvis harus
mempertimbangkan risiko nedah, aktivitas seksual, dan anatomi normal vagina.
Operasi yang tepat harus disesuaikan dengan masing- masing pasien (lihat
Indikasi).
Pertanyaan lain yang harus dijawab antara lain apakah operasi dilakukan secara
abdominal, secara vaginal atau melalui laparoskopi, dan apakah histerektomi juga
perlu dilakukan. Histerektomi tidak selalu menjadi bagian wajib dalam operasi
bedah prolaps uteri karena berbagai jenis proses penggantungan uterus dapat
dilakukan melalui abdomen atau vagina. Namun untuk alasan praktis, uterus
seringkali diambil untuk mempermudah akses menuju perlekatan bagian apikal,

terutama pada ligamentum uterosakral, kardinal, sacrospinosus dan ligamentum


sacralis anterior.
Tatalaksana Konservatif
Latihan panggul (Latihan/Senam Kegel) dan pesarium saat ini menjadi andalan
sebagai manajemen non bedah pada pasien dengan prolaps uteri. Meskipun latihan
Kegel yang dilakukan secara rutin dapat meningkatkan tonus otot dasar pelvis dan
menurunkan stress inkontinensia urin, belum ada bukti nyata dari penelitian RCT
(Randomized Controlled Trial) dengan prospektif dan blinding yang menunjukkan
bahwa peningkatan tonus otot dasar pelvis dapat mengurangi derajat prolaps.
Alat/perangkat dukungan vagina dapat menjadi pilihan yang sangat baik untuk
tatalaksana pasien prolaps uteri secara konservatif. Selain Pelvic Inflammatory
Disease dan nyeri setelah pemasangan, pesarium masih memiliki beberapa
kontraindikasi lain. Vaginitis yang berulang merupakan kontraindikasi relatif dan
karenanya mungkin pesarium perlu diambil kembali. Adjuvan yang penting
adalah penggunaan estrogen topikal pada eversi vagina terutama apabila
ditemukan tanda-tanda hipoestrogen.
Jenis dari pesarium yang dapat digunakan sangat bervariasi dan tingkat
kecocokannya secara ilmiah masih belum dapat ditentukan. Metode yang dipakai
adalah metode Trial and Error. Penulis akan mencoba membahas 2 jenis yang
paling umum digunakan yaitu (1) Gellhorn, pesarium bentuk cincin dengan
penyokong dan (2) Pesarium bentuk donat yang digunakan sesuai dengan defek
pada dasar pelvis. Jenis Gellhorn paling sering digunakan untuk pasien-pasien
prolaps uteri berat dengan diameter introitus vagina lebar yang gejalanya belum
dapat berkurang dengan pesarium lainnya. Pesarium jenis Smith-Hodge, Gehrung
dan Risser dapat digunakan pada retrodisplacement uterus (Uterus dengan
kelainan perlekukan seperti retrofelksi, retroversi dll) dan pasien yang akan
menggunakan pesarium jenis ini harus memiliki informasi tentang ukuran arcus
pubis yang tepat dan lebar vagina yang cukup.
Terapi pembedahan

Strategi utama dalam pengelolaan prolaps uteri berat adalah dengan pembedahan.
Pasien-pasien yang gagal dikelola dengan terapi konservatif dapat menggunakan
berbagai macam pendekatan metode pembedahan untuk memperbaiki prolapsnya.
Pendekatan abdominal/Laparoskopi
Apabila diputuskan untuk menggunakan metode pendekatan abdominal dalam
pengelolaan prolaps uteri, penulis lebih memilih abdominal sacrocolpopeksi.
Prosedur ini memungkinkan bagian atas vagina untuk kembali menempati sumbu
anatomi normalnya yaitu dengan memasang mesh poplypropylene pada apeks
vagina / serviks / uterus sampai sacrum menggunakan jahitan melewati fascia
presacral pada promontorium atau setinggi S1-S2 (jika yakin kuat dan bebas dari
pembuluh darah).
Studi biomekanik yang telah dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa fascia
presacral melekat paling kuat pada promontorium. Apabila promontorium telah
dipilih sebagai perlekatan, bahan untuk penyambungan harus dipasang longgar
agar vagina tidak tegang saat ada peregangan dan vagina dapat terletak dengan
baik pada sisi permukaan musculus levator. Untuk menguji tekanan abdominal
yang nantinya juga berperan dalam keberhasilan pembedahan dapat dilakukan tes
saat proses operasi. Yaitu dengan cara melakukan tarikan bahan graft vagina ke
bawah dengan lembut sebelum dilakukan pengguntingan dan penutupan jahitan.
Pendekatan cara abdominal secara umum dapat memberikan fiksasi yang lebih
tinggi pada pelvis dan memberikan perbaikan yang lebih tahan lama dengan
ukuran vagina yang cenderung cukup panjang.
Bahan graft yang digunakan pada prosedur sacropeksi (seperti Fascia lata
mahkluk hidup, fascia abdominalis, fascia lata dari mayat, Marlex, Prolene, GoreTex, Mersilene, Vipro-II) memiliki angka keberhasilan yang bervariasi. Bahan
yang cocok secara biologis sebaiknya inert (stabil, tidak mudah mengalami
perubahan reaksi kimia), tahan lama, tidak karsinogenik, tidak menimbulkan
reaksi inflamasi, siap sedia digunakan dan tidak mahal.

Mesh sintetis berbahan dasar polypropylene terbukti lebih unggul daripada fasia
lata jenis autologous. Multifilamen mesh (misalnya Gore-Tex, Merseline)
dilaporkan berhubungan dengan inflamasi kronis yang merugikan dibandingkan
mesh berbahan monofilamen. Multifilamen mesh dapat menimbulkan reaksi
inflamasi akut dan pembentukan jaringan ikat fibrous. Disisi lain, mesh dengan
ukuran pori-pori yang besar (>75 mikrometer) dapat menunjang pertumbuhan
fibroblast, kolagen dan pembuluh darah serta juga dapat menunjang infiltrasi
makrofag dan leukosit, sehingga peluang terjadinya infeksi dan erosi pada mesh
dapat berkurang.
Untuk menghindari jeratan usus, dilakukan pembungkusan menggunakan
peritoneum pada graft yang akan dipasang. Beberapa ahli bedah secara rutin
melakukan kuldoplasti. Cara melakukan prosedur ini yaitu dengan cara menjahit
sisi peritoneum yang membentuk kantong Douglass tersebut sehingga bentukan
kantong akan menghilang. Biasanya prosedur ini juga melibatkan ligamentum
uterosacral. Bahan graft diletakkan pada sisa vagina atau dari sisa pangkal serviks
yang telah dipotong kemudian dihubungkan dengan fasia presacral menggunakan
jahitan longgar. Graft kemudian dibungkus dengan peritoneum dan beberapa ahli
bedah melakukan penutupan kantong Douglass untuk mencegah timbulnya
enterokel.
Prosedur Marion-Moschcowitz (untuk menutup cavum douglass) menggunakan
jahitan spiral untuk menutup cavum secara melingkar. Sedangkan prosedur
Halban menggunakan beberapa jahitan pada bidang sagittal cavum douglass
sehingga lamina anterior dan posterior cavum melekat dan kemudian menutup
cavum tersebut.

You might also like