Professional Documents
Culture Documents
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya tidak memperbolehkan euthanasia karena tidak
diperbolehkan agama. Hal senada juga ditegaskan oleh Persatuan Gereja Indonesia (PGI), hanya
dengan catatan bila secara medis sudah tidak ada harapan sembuh dan kondisi pasien justru
semakin menderita.
Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah dimuat dalam rapat Fatwa MUI tahun 1998.
Anggota MUI Ali Mustafa Yakub menegaskan segala tindakan manusia yang menyebabkan
hilangnya nyawa seseorang adalah pembunuhan yang dilarang agama.
Euthanasia baik pasif maupun dengan sengaja menghentikan terapi medis hingga seseorang
meninggal maupun aktif, tidak dibenarkan dalam agama Islam. "Kalau pasien tersebut masih bisa
hidup dengan alat bantu, kemudian kita lepas, itu tidak boleh. Karena berarti kita ikut
mencampuri proses kematiannya. Ada tangan manusia berperan disitu," jelas Ali.
Dalam kasus Ny Agian, menurut Ali, keluarga harus berusaha semaksimal mungkin dan
pemerintah harus memberi bantuan. Namun bila tidak mampu lagi, alat bantu medis baru bisa
dihentikan.
Sementara Ketua PGI Nathan Setiabudi menyatakan euthanasia hanya bisa dilakukan jika tidak
ada lagi harapan sembuh secara medis, apalagi kondisi pasien semakin menderita bila tetap
hidup. Jadi bukan hanya karena alasan ekonomi.
Menurut Nathan, meski membunuh tidak dibenarkan dalam agama namun keputusan euthanasia
atas seseorang hanya bisa dilakukan jika diambil dalam persidangan yang mendengarkan
keterangan ahli hukum, etika kedokteran dan agama pasien.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) mengeluarkan Surat Edaran (SE)
No.702/PB/H.2/09/2004 tentang Euthanasia (tindakan menghentikan hidup pasien) yang
ditandatangani oleh Ketua umum IDI Prof Dr F.A. Moeloek dan Ketua MKEK-IDI Dr Broto
Wasisto, MPH.
Dalam surat edaran tersebut, PB IDI menyerukan kepada seluruh dokter untuk menyampaikan
yang sebenarnya dan sejujurnya kepada pasien atau keluarganya tentang keadaan penyakit yang
dideritanya. Tindakan menghentikan hidup pasien pada tahap menjelang ajalnya, patut dihormati,
namun demikian dokter wajib untuk terus merawatnya sekalipun pasien dipindahkan ke fasilitas
pelayanan lainnya. Beban yang menjadi tanggungan keluarga pasien harus diusahakan seringan
mungkin, dan apabila pasien meninggal, seyogyanya bantuan diberikan kepada keluarga yang
ditinggalkan.
Bahwa apabila pasien dan keluarga pasien menghendaki menempuh cara pengobatan "alternatif",
tidak ada alasan utuk melarangnya selama tidak membahayakan bagi pasien. Bahwa dalam
menghadapi pasien yang secara medis tidak memungkinkan lagi untuk disembuhkan, termasuk
penderita "dementia" lanjut, disarankan untuk memberikan perawatan "hospis" (Hospis care).
Dalam situasi dimana ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran sudah tidak diharapkan
memberikan kesembuhan, maka upaya perawatan pasien harus lebih ditujukan untuk
memperoleh kenyamanan dan meringankan penderitanya. PB-IDI mengharapkan Komite Medik
di setiap rumah sakit untuk menyusun pedoman yang lebih rinci dan teknis dalam menghadapi
kemungkinan pasien dan atau keluarganya meminta euthanasia.
Sementara itu, keputusan keluarga Hasan Kesuma dalam menempuh euthanasia mendapat
dukungan dari LBH Kesehatan. Bahkan Ketua LBH Kesehatan akan membantu upaya jalur
hukum keluarga itu. "Apa yang dialami Ny Agian, yang persis tahu itu adalah suami dan orang
disekelilingnya. Terlampau naif dan berlebihan jika ada pihak-pihak yang memberikan
pernyataan bahwa tindakan permohonan penetapan euthanasia itu tindakan yang tidak
manusiawi," jelas Iskandar Sitorus.
Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan mengijinkan. Namun bila
euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar
pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana.
Dalam kasus malpraktek yang dilakukan rumah sakit, pasal 359 KUHP telah menentukan rumah
sakit tersebut bisa dituntut, termasuk membiayai seluruh biaya pengobatan. Dalam kaitan
malpraktek itu juga, Departemen Kesehatan juga akan segera membentuk majelis kehormatan
disiplin kedokteran, sehingga kasus yang terjadi seperti Ny Agian bisa ditangani cepat.
(Idh/Bahan : Bagus Herawan, Fokus)
Sumber: Majalah HealthToday
Other articles
YLKI: Jangan Ragu Adukan Parcel Kadaluarsa
Tue, 02 Nov 2004 13:22:00 WIB
Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Antraks
Tue, 02 Nov 2004 10:33:00 WIB
Tak Punya Biaya Berobat? Datang ke Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC)
Tue, 02 Nov 2004 09:05:00 WIB