Professional Documents
Culture Documents
Sumber:
Tak terkecuali, fenomena ini pun menghantui Jerman (dan dalam kadar tertentu juga Indonesia). Studi
OECD (organisasi ekonomi negara-negara maju) menunjukkan bahwa sejak tahun 2002, Jerman merupakan
salah satu pemasok utama ilmuwan ke USA.
Ahli-ahli dari Uni Eropa bahkan memperkirakan bahwa saat ini ada sekitar 85.000 ilmuwan Eropa yang
saat ini bekerja di USA, dan 18.000 diantaranya adalah orang Jerman. Di satu sisi hal ini sangat
membanggakan karena kualitas pendidikan Jerman sangat disegani di dunia. Sebaliknya, hal ini juga sangat
menyedihkan karena semakin hari semakin banyak ahli-ahli Jerman yang lebih memilih bekerja di luar
negeri daripada di negerinya sendiri. Satu studi terbaru bahkan menunjukkan bahwa saat ini hampir 30%
peneliti Jerman tinggal dan bekerja di luar negeri.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa tantangan di luar negeri sangat menjanjikan. Sebaliknya, banyak
peneliti muda yang menganggap tidak ada lagi kesempatan untuk mengembangkan karier. Di satu era
dimana kemajuan suatu negara sangat tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi, fenomena
kaburnya para ilmuwan demikian bisa berakibat sangat fatal di belakang hari.
Pengalaman bekerja dan melakukan penelitian di luar negeri sebenarnya sangat berguna bagi ilmuwan itu
sendiri maupun negaranya, asalkan sang ilmuwan kembali ke tanah air setelah beberapa saat di luar negeri.
Masalah baru muncul manakala para ilmuwan lebih memilih terus tinggal dan mengembangkan ilmunya di
luar negeri.
Perpindahan ilmuwan dari satu negara ke negara lain sebenarnya juga tidak masalah asalkan berjalan secara
seimbang, dalam arti bahwa jumlah ilmuwan yang keluar setara dengan jumlah ilmuwan yang masuk. Akan
tetapi, apa yang terjadi saat ini sangatlah tidak berimbang sebagaimana disampaikan oleh Wakil Rektor
Humboldt-University (HU) Berlin Hans Jürgen Prömel. Dan Jerman berada dalam posisi yang sangat
dirugikan dengan banyaknya ahli mereka yang pergi ke luar negeri, khususnya USA dan Inggris.
Beberapa hal yang mendesak dilakukan oleh pemerintah Jerman untuk menghentikan fenomena ini
diantaranya: meningkatkan dana riset untuk Universitas dan lembaga penelitian, meningkatkan
otonomi, daya saing serta atraktivitas Universitas.
Selain oleh Wakil Rektor HU-Berlin Hans Jürgen Prömel, kurangnya dana penelitian juga diungkapkan
oleh Rektor Free University (FU) Berlin Dieter Lenzen. Dengan ketersediaan dana penelitian yang
memadai, Universitas-universitas di Jerman akan sanggup memanggil pulang para peneliti Jerman yang ada
di luar negeri. Bila perlu, bahkan membawa pulang seluruh laboratoriumnya serta menarik ilmuwan-
ilmuwan dari Asia semacam Jepang, China dan Korea. Lebih jauh lagi, Mickel Bruda (peneliti
berkebangsaan USA di HU Berlin) menyebut bahwa Universitas-universitas di Jerman kurang bisa
memberikan kebanggaan kepada para mahasiswa dan professornya.
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah negara bagian Berlin yang terus mengurangi anggaran
dana pendidikan dan penelitian. Hal ini tentu saja kontraproduktif bagi usaha menahan arus kaburnya
ilmuwan ke luar negeri. Kekurangan dana penelitian ini harus segera diatasi, salah satunya dengan
menggali dana-dana baik privat dari perusahaan maupun publik dari lembaga pemerintah dan
kemasyarakatan yang sampai saat ini belum dieksplorasi secara maksimal.
Untuk meningkatkan daya saing dan atraktivitas Universitas, beberapa inovasi sebenarnya telah dilakukan
diantaranya dengan membuka posisi Juniorprofessor. Jabatan ini dibuka untuk memberikan kesempatan
kepada peneliti muda agar ia bisa secara dini melakukan penelitian mandiri. Melalui jalur ini, HU dan FU
berlin masing-masing berhasil membawa pulang 12 dan 10 ilmuwan Jerman dari luar negeri. Meskipun
Pulang habis ke Indonesia: Apa yang perlu dipersiapkan?
Tentu saja banyak hal yang perlu diselesaikan bagi anda di Jerman yang akan pulang habis ke Indonesia.
Selain harus menutup rekening, telpon, mengakhiri kontrak tempat tinggal dan abmelden tempat tinggal,
anda juga perlu perlu memperhatikan hal-hal yang sebagai berikut.
Ketika anda di Jerman akan pulang habis dan memiliki sejumlah barang yang akan dibawa ke Indonesia
perlu melengkapi beberapa dokumen yang disediakan KBRI Berlin. Dokumen ini sangat penting ketika
barang anda dikirim melalui kontainer dimana dokumen pengiriman barang dibutuhkan.
Program Bantuan
Beberapa institusi Jerman memiliki program bantuan bagi warga negara asing yang akan kembali ke tanah
airnya. Beberapa program di Jerman adalah sebagai berikut:
• Kementerian Kerjasama dalam Bidang Ekonomi dan Pembangunan (BMZ)
• Zentral Arbeits Vermittlung (ZAV)
• Pusat Migrasi dan Pembangunan Internasional
• Deutsche Investitions- und Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG)
Kota-kota yang menciut
Apakah di Amerika Serikat, Inggris Raya atau Belgia, di Finlandia, Italia, Rusia, Kasachstan atau
China, di mana-mana kita dapati kota-kota yang menciut; pemahaman kita selama ini tentang kota dan
pengembangan kota dipertanyakan.
Di tempat-tempat inilah hidup para pecundang transformasi dari industri seperti Ford ke industri jasa
yang mengglobal. Perkembangan dramatis di Jerman bagian timur sejak 1989, yang telah memicu
kosongnya lebih dari satu juta apartemen, ditinggalkannya areal industri serta sarana-sarana sosial dan
budaya yang tak terhitung jumlahnya, adalah contoh umum dari peradaban kita.
Kota adalah ekspresi budaya masyarakat kita dan sekaligus plattform untuk produksi budaya. Ia
memiliki peran sentral bagi pemahaman diri kita. Oleh karena itu, perubahan-perubahan kota yang
drastis yang disebabkan penciutan tidak hanya merupakan tantangan ekonomi dan sosial, melainkan
juga tantangan budaya. Proses penciutan kota pada dasarnya hampir tak bisa dikontrol dan melahirkan
sejumlah masalah. Tipe-tipe kota bermunculan, sementara belum ada bayangan yang pasti baik tentang
kekhasannya maupun bentuk penggunaannya.
Kemana arah perkembangan kota? Dalam perdebatan di tahun-tahun belakangan ini seringkali muncul
kata „penciutan sebagai peluang“. Dan umumnya yang dimaksud adalah cita-cita untuk menciutkan
kota pada intinya, pada gagasan kota yang padat sebagai bayangan ideal pengembangan kota Eropa.
Kita berharap bisa mengatasi pemukiman suburban yang semrawut yang terbentuk dari tumpukan-
tumpukan daerah hunian yang tak disenangi. Namun, yang terjadi adalah justru kebalikannya. Gedung-
gedung yang ditinggalkan kosong tak berpenghuni di bagian timur Jerman dibongkar dan dibangun
baru secara besar-besaran. Ketika jumlah penduduk menciut dan aktifitas ekonomi lesu kota-kota
malah terus meluas dan lapang. Di dalam kota makin sering didapati gedung-gedung dan areal yang
dibiarkan begitu saja, di sekeliling kota muncul daerah-daerah tempat berdirinya rumah-rumah
keluarga, tempat parkir perusahaan dan pusat-pusat perbelanjaan. Sebuah perkembangan yang sudah
terjadi di Detroit sejak tahun 50-an. Di sana sekarang lebih dari 80% penduduknya tinggal di wilayah
suburban di luar batas kota, sementara bagian-bagian luas dari wilayah-wilayah dalam kota banyak
yang dibiarkan begitu saja, ditumbuhi rumput dan menjadi seperti pemandangan pedesaan.
Dengan latar belakang seperti ini muncul kembali pertanyaan tentang ruang publik. Betatapun sukanya
kita kepada ruang publik seperti lapangan-lapangan, pasar dan gereja, di kota-kota yang mengalami
penciutan tempat-tempat seperti ini biasanya punah dan ditinggalkan. Di sini kehidupan publik lebih
terjadi di tempat-tempat parkir atau pom bensin. Atau juga di shopping malls – di Amerika Serikat
sudah lama ditemukan istilah untuk para remaja yang suka nonkrong di mall, yakni „Mall’ies“.
Fenomena penciutan kota juga memunculkan pertanyaan lain: Bagaimana kita menyikapi lubernya
ruang dan gedung? Apa yang menghubungkan sebuah kota jika bukan pembangunan yang kontinyu?
Bagaimana struktur-struktur kota yang tak direncanakan bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-
hari?
Kota-kota yang menciut berbeda. Di sana pandangan kita yang sudah mentradisi dan konsep bertindak
tentang perencanaan kota tidak bisa diterapkan. Bentuk-bentuk klasik perencanaan kota dan kebijakan
pasar tenaga kerja tidak berjalan, tapi sebaliknya kadang-kadang ada perkembangan tersendiri yang
mengejutkan. Perkembangan yang paling nyata adalah budaya musik remaja yang berbau subkultur.
Munculnya budaya musik baru dari kota-kota yang mengalami penciutan sangat mencolok – musik
techno ditemukan di Detroit dan sebagian besar musik punk Inggris, Hip-Hop dan House muncul dari
Manchester dan Sheffield pada akhir tahun 70-an. Perkembangan ini juga tercermin dalam
perkembangan kota. Kiranya revitalisasi dalam kota Manchester tidak akan pernah terjadi tanpa
kancah musik. Karena musiklah yang telah memulai perubahan citra dari kota pusat industri yang
terlantar menjadi sebuah kota metropolis budaya yang mengandalkan sektor jasa.
Kota-kota yang menciut menunjukkan betapa pentingnya „faktor-faktor lunak“ bagi perkembangan
kota. Karena itu cukup fatal bahwa perdebatan di Jerman di tahun-tahun terakhir hanya membahas
persoalan banyaknya gedung yang kosong dan pembongkaran. Perdebatan politik baru muncul setelah
ada tekanan para pengembang dan sejak itu kepentingan ekonomi mereka yang mendominasi.
Selanjutnya program perombakan kota di wilayah timur Jerman ditandai oleh kepentingan bisnis
tersebut dan tujuannya terutama sekali adalah membongkar apartemen-apartemen yang mubazir.
Langkah ini perlu, tapi tidak cukup karena pertumbuhan gedung-gedung yang kosong lebih cepat
ketimbang pembongkarannya sehingga pada 2010 diperkirakan akan ada lebih banyak gedung yang
kosong daripada sekarang walaupun sudah diinvestasikan 2,5 juta Euro.
Selain itu perencanaan pembongkaran membuat dilema pembangunan kota dewasa ini menjadi makin
kentara: ketika terjadi pembongkaran maka yang jadi pertimbangan keputusan bukan lagi masalah apa
yang layak bagi pembangunan kota, melainkan merupakan hasil dari paksaan keadaan, status hukum
dan keputusan-keputusan yang pernah menyangkut bangunan tersebut. Misalnya bagaimana struktur
kepemilikan gedung tersebut? Di mana letak infrastrukturnya? Di mana orang berinvestasi di tahun-
tahun belakangan ini, perumahan yang bagaimana yang diminati pihak bank yang memberikan kredit?
Subsidi apa saja yang ada? Dan banyak pertimbangan lainnya. Pengembangan dan figur bangunan dari
kota-kota yang menciut luput dari perencanaan tata kota. Dan ini lebih terasa dibandingkan dengan
kota-kota yang sedang tumbuh. Proses pengembangan kota-kota yang mengalami penciutan itu lebih
merupakan produk dari hubungan sebab-akibat yang sangat kompleks. Banyak faktor yang bermain di
sana, apakah itu pengaruh ekonomi, politik, teknologi dan budaya. Jadi, apa yang terlihat kemudian
adalah efek samping tak terencana dari sebuah proses umum di masyarakat. Kota-kota yang menciut
adalah contoh yang sempurna bagi mekanisme sebab-akibat dan proses pengambilan keputusan dalam
masyarakat kita sekarang seperti yang digambarkan oleh Ulrich Beck dan Anthony Giddens dengan
model modernisasi refleksif mereka.
Tantangan budaya
Ada dua kesimpulan yang bisa kita ambil dari fenomena ini: Pertama, kita harus meninggalkan
gagasan perencanaan kota yang heroik yang begitu mempengaruhi abad 20. Perancangan kota tidak
lagi dilakukan oleh seorang perencana yang kemudian rancangannya diputuskan oleh politisi atau
investor dan selanjutnya direalisasikan. Sekarang tidak lagi seperti itu. Yang terjadi adalah, kota
berkembang dengan caranya sendiri sesuai dengan kondisi masyarakatnya dan kita bisa mempengaruhi
perkembangan itu dengan cara memodifikasinya. Ini berarti perencanaan kota tidak bersifat mubazir,
tapi ia berangkat dari syarat yang berbeda dan menggunakan instrumen lain. Pertama-tama yang harus
dilakukan adalah memahami perkembangan kota agar kita bisa ikut mengintervensi proses-prosesnya.
Mungkin ini bisa disebut „perencanaan lemah“. Dan perencanaan lemah ini akan lebih sering
menggunakan „peranti lunak“. Sebab yang mempengaruhi perkembangan kota itu bukanlah
perencanaan tata kota sebagai pengembangan budaya, bentuk-bentuk komunikasi atau munculnya
jaringan-jaringan dan proses-proses sosial.
Kesimpulan kedua berkaitan dengan masalah mendasar: beberapa prinsip dalam masyarakat yang
berdampak terhadap perkembangan kota-kota yang menciut menjadi patut dipertanyakan. Bagaimana
kita harus melihat hak kepemilikan yang menghalangi perkembangan tata kota yang diinginkan?
Bagaimana kita harus menyikapi fenomena hak imigrasi yang memberi kontribusi terhadap
problematika bom waktu kependudukan? Bagaimana kita harus membaca subsidi untuk mobilitas dan
pembangunan gedung-gedung baru suburban manakala dengan begitu bangunan yang sudah ada
terbiarkan dan memfragmentasi kota? Bagaimana kita harus menyikapi struktur masyarakat apabila
meski ada masalah mendasar tidak ada keberanian untuk menempuh jalan baru?
Kota-kota yang menciut adalah tantangan budaya. Mereka mempertanyakan nilai-nilai yang berlaku
selama ini, mereka memunculkan budaya-budaya baru kota dan menuntut lahirnya model-model aksi
yang inovatif. Mereka adalah cikal-bakal yang potensial bagi munculnya hal yang baru.
Pameran proyek Schrumpfende Städte (Kota-kota yang menciut) berlangsung dari 4 September
sampai 7 November di Kunst-Werke- Institute for Contemporary Art, Berlin. Bersamaan dengan
pameran ini diadakan juga festival musik selama dua-tiga hari yang menggambarkan produksi
musik di kota-kota yang menciut dengan mengambil contoh Manchester/Liverpool (Ing), Ivanovo
(Rusia), Detroit (AS) dan Halle/Leipzig.
Philipp Oswalt
Kepala proyek insisatif Schrumpfende Städte/Shrinking Cities Yayasan Budaya Jerman
Artikel ini untuk pertama kalinya muncul di majalah “Das Parlament”, disunting oleh Parlemen
Jerman dan Kontor Pusat Pendidikan Politik, Nr. 37 tanggal 8 September 2003
© Deutscher Bundestag und Bundeszentrale für politische Bildung
Ada pertanyaan lain tentang artikel ini? Silakan kirimkan pertanyaan Anda kepada kami.
online-redaktion@goethe.de
Agustus 2004