You are on page 1of 11

Kultur

Pentas Tari Didik Nini Towok di Berlin


Dalam rangka memperkenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat Eropa khususnya Jerman, KBRI
Berlin menyelenggarakan pentas tari Didik Nini Towok. Pagelaran yang menampilkan penari asal
Yogyakarta ini pada malam 12 November 2004 telah mendapat sambutan luar biasa dari hadirin baik dari
Jerman maupun dari masyarakat Indonesia sendiri. Acara yang bertempat d Lily Braun Oberschule,
Münsinger Straße 2, 13597 Berlin-Spandau, diselenggarakan berkat kerjasama dengan Lily Braun
Oberschule Berlin-Spandau.

Pagelaran Seni Tradisional di „Gärten der Welt“


Seni tradisional mendapat simpati tersendiri bagi kalangan masyarakat
Jerman. Di Berlin bahkan telah dibangun satu tempat khusus dimana kita
bisa menyaksikan keindahan taman sekaligus nuansa-nuansa tradisional.
Tempat yang dibangun Grün Berlin GmbH sejak tahun 2000 ini adalah
„Gärten der Welt“ (taman dunia) di Erholungspark Marzahn, tepatnya di
Eisenacher Straße 99, Berlin-Marzahn. Di sana bisa kita temukan misalnya
Balinische Garten, Japanische Garten dan Chinesiche Garten.

Pada 25 Juli 2004 KBRI Berlin melalui Bidikbud turut menyajikan


kesenian tradisional Indonesia berupa tari Pendet, Rejang, Wirayudha dan
tari Manukrawa. Tarian diiringi oleh group gamalan Puspa Gita Pertiwi. Selain itu acara dimeriahkan pula
oleh Grup-Angklung Bandung yang mendemonstrasikan Rampak Kendang dan alunan musik Lalayaran,
Ranah Minang, Tanah Tapanuli, Kerraban Sape dan Janger. Mereka yang terdiri dari tidak kurang 50
personel mendapat sambutan meriah dari pengunjung yang memadati sekitar panggung pertunjukan.
Selain itu masyarakat sekitar juga turut berpartisipasi menyajikan berbagai makanan khas Indonesia.

Gärten der Welt, Erholungspark Marzahn


Eisenacher Straße 99 - Berlin-Marzahn
Mata Pelajaran Etika haruslah melatih "kemampuan beropini"
Tidak seperti di negara-negara bagian lainnya, pelajaran agama di Berlin bukanlah pelajaran yang diberikan
secara regular. Pelajaran ini ditawarkan secara sukarela dan dalam tanggung-jawab perkumpulan/komunitas
agama. Hal yang sama juga berlaku untuk mata pelajaran keterampilan yang diberikan oleh Perhimpunan
Kemanusiaan. Peraturan khusus dikukuhkan melalui sebuah pengecualian dalam undang-undang dasar
yang dinamakan Perjanjian Bremer (Bremer Klausel). Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa
pelajaran agama di negara-negara bagian, dimana pada tanggal 1 Januari 1949 berlaku sebuah peraturan
negara bagian, tidak perlu menjadi "mata pelajaran umum". Itu adalah kasus untuk Bremen dan Berlin.
Senat akan mempertahankan aturan pengecualian ini dan sebagai pengganti mata pelajaran agama akan
memperkenalkan sebuah mata pelajaran Etika yang netral sebagai mata pelajaran umum untuk seluruh
siswa. Komunitas Agama dan Komunitas Filsafat selanjutnya dapat menawarkan tambahan pengajarannya
secara sukarela.
Mata pelajaran yang baru ini haruslah "mendidik para siswa etika kemampuan beropini dan
berefleksi/mempertimbangkan sesuatu", kata Senator Pendidikan Klaus Böger (SPD). Kurikulumnya
memuat enam bidang topik: Identitas, Persahabatan dan Keberuntungan; Kebebasan, Tanggung-jawab dan
Solidaritas; Persamaan, Hak dan Keadilan; Diskriminasi, Kekerasan dan Toleransi; Kesalahan, Kewajiban
dan Kesadaran dan juga Pengetahuan, Harapan dan Kepercayaan.
Saat ini seluruhnya terdapat delapan Komunitas Agama dan Komunitas Filsafat yang menawarkan
pengajaran secara sukarela. Pada tahun ajaran 2004/2005 sekitar 150.000 dari hampir 300.000 siswa di
Berlin ikut serta dalam pengajaran ini, yang terdiri dari 110.000 sekolah dasar dan 46.000 sekolah lanjutan.
Diantara para sukarelawan tersebut juga terdapat Federasi Islam yang masih dipersoalkan, yang
mengajarkan mata pelajaran Agama Islam di sekitar 4000 sekolah dasar. Para kritikus dari pengajaran Etika
mengritik bahwa problem dengan Federasi Islam tidak dapat langsung terselesaikan, karena mata pelajaran
baru ini hanya diajarkan pada tingkat menengah saja.

Sumber:

Berliner Morgenpost, tanggal 1 Pebruari 2006


Meter Terakhir Yang Menentukan
Komponen pertama dari system peringatan dini tsunami yang
dikembangkan di Jerman berada dalam tahap pengujian
Satu tahun setelah peristiwa tsunami di Samudra Hindia, sebuah komponen pertama sistem peringatan dini
tsunami yang ditempatkan di perairan Sumatera sedang dalam pengujian. Kedua pelampung yang
ditempatkan di laut oleh kapal penelitian Jerman "Sonne" ini, dengan masing-masing sensornya, secara
kontinyu mengirimkan data-data tentang pergerakan air di perairan tersebut. Misalnya saja pada hari ini, di
layar monitor komputer di Pusat Riset Geologi (GFZ) di Potsdam, yang bertanggung jawab atas komponen
utama dari sistem peringatan bahaya tsunami yang dikembangkan di Jerman, telah dapat dilihat besarnya
amplitudo dari gelombang samudra secara real time (waktu riil). Sampai perangkat ini dengan seluruh titik-
titik pengukurannya, pelampung-pelampung dan hubungan melalui satelit, dapat menginformasikan secara
efektif kepada penduduk di daerah bahaya bila terjadi tsunami, masih membutuhkan waktu paling sedikit
dua tahun lagi.
Persiapan untuk sistem peringatan bahaya tsunami ini pada dasarnya telah dimulai di Potsdam langsung
pada malam setelah terjadinya bencana alam tersebut. "Kami duduk bersama di sini pada hari libur Natal
kedua sampai tengah malam dan kami sebenarnya tahu, bahwa sesuatu yang sangat dahsyat tengah terjadi"
kata pimpinan institut Rolf Emmermann. "Tepatnya bagaimana kami hanya dapat menduga-duga.
Seismograf kami mengirimkan kepada kami data-data dari suatu daerah dan data-data tersebut
menunjukkan sesuatu yang terburuk sedang terjadi." Rolf Emmermann mengakui, bahwa untuk tsunami
dengan dimensi yang seperti ini, bahkan para peneliti masalah gampa bumi sendiripun mungkin tidak
pernah memikirkannya.
Maka peristiwa tersebut untuk pertama kalinya langsung dimanfaatkan untuk mempelajari proses dan
penyebabnya. Analisis terhadap data-data pengukuran di daerah bencana yang dikumpulkan pada tanggal
26 Desember 2004 seperti juga yang dikumpulkan pada hari-hari dan minggu-minggu setelahnya,
memungkinkan para ahli membuat sebuah gambaran yang tepat, tidak hanya dari gempa bumi penyebabnya
yang terjadi di depan pesisir asia tenggara, tetapi juga dari gelombang tsunami.
"Gempa bumi itu sendiri terjadi selama kira-kira tujuh sampai delapan menit pada jarak 1200 kilometer",
kata Rolf Emmermann. Di daerah patahan akan terus menerus terjadi gempa bumi, yang bahkan pada awal
April telah sekali lagi menimbulkan tsunami kecil. Rolf Emmermann: "Untuk seterusnya daerah tersebut
merupakan daerah dengan keaktifan seismik yang tinggi."
Setiap tahunnya, permukaan dasar laut dari Samudra Hindia terdorong ke bawah lempeng kepulauan
indonesia sedalam enam centimeter. Karena melalui gempa bumi pada hari Natal 2004 tegangan tektonik
benar-benar telah terbebaskan, sekarang timbul pertanyaan, dimana kemungkinan tegangan baru dapat
terjadi. "Jikalau di daerah itu suatu saat nanti akan terjadi sesuatu yang lebih besar, maka ke arah selatan",
perkiraan Emmermann. Disana terletak kota Jakarta dengan jutaan penghuninya. Para ahli khawatir bahwa
pelabuhan metropolitan Indonesia ini terancam bahaya oleh sebuah gelombang raksasa baru (lihat peta
diatas).
Oleh karena itu, perhatian para peneliti yang bekerja sama dengan ilmuwan-ilmuwan Indonesia dalam
mengembangkan sistem peringatan bahaya, lebih diarahkan pertama-tama pada daerah ini. Untuk
selanjutnya pergerakan air di seluruh Samudra Hindia akan diawasi. Karena itu sangat penting bila data-
data sampai ke institut secara real time, kata Emmermann.
Jadi tidak sampai terlambat, sebagaimana kejadian yang lalu. Satelit "Jason" misalnya, telah menyediakan
gambar dari permukaan laut bagi para ilmuwan hanya beberapa jam setelah tsunami (sementara untuk para
korban, walaupun berita itu datang dalam jangka waktu yang sama, namun itu sudah sangat terlambat).
Meskipun demikian, sistem peringatan dini tsunami yang baru ini seharusnya dapat mengirimkan informasi
kepada pusat lokasi terjadinya tsunami dan media massa dalam waktu 13 menit setelah terbentuknya
gelombang raksasa.
Dalam konfigurasinya yang sedang dalam tahap pembangunan, sistem peringatan dini ini terdiri dari sebuah
jaringan kerja dari sensor-sensor pengukur tekanan yang terletak saling berjauhan, yang terpasang pada
kedalaman sekitar 6000 meter di dasar laut. Disana terjadi efek yang terkuat dari gelombang. Sebuah
tsunami menyebar pada laut yang sangat dalam dengan kecepatan sampai dengan 900 kilometer per jam,
sementara pada permukaan ia melaju hanya sekitar 150 kilometer per jam.
Dengan bantuan impuls akustik, data-data dari sensor diteruskan ke pelampung yang terapung diatasnya,
yang mengukur temperatur, tekanan udara, kelembaban udara dan kecepatan angin. Jadi alat ini pada saat
yang sama juga dapat digunakan untuk peringatan bahaya angin topan, yang pada musim-musim kemarau
selalu saja mengakibatkan banjir di daerah sekitar Samudra Hindia.
Dari pelampung, sinyal ditransmisikan ke sebuah satelit yang ditempatkan secara tetap di ketinggian 36.000
Brain drain:
fenomena pindahnya ilmuwan ke luar negeri
Globalisasi ditandai dengan kebebasan arus barang, modal dan tenaga kerja untuk bergerak dari satu
wilayah ke wilayah lain tanpa adanya hambatan yang berarti. Arus globalisasi ini melanda semua segi
kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Salah satu fenomena yang sangat terlihat di dunia pendidikan
adalah terjadinya brain drain atau hengkangnya ilmuwan dari satu Negara ke Negara lainnya, khususnya
menuju negara-negara maju.

Tak terkecuali, fenomena ini pun menghantui Jerman (dan dalam kadar tertentu juga Indonesia). Studi
OECD (organisasi ekonomi negara-negara maju) menunjukkan bahwa sejak tahun 2002, Jerman merupakan
salah satu pemasok utama ilmuwan ke USA.

Ahli-ahli dari Uni Eropa bahkan memperkirakan bahwa saat ini ada sekitar 85.000 ilmuwan Eropa yang
saat ini bekerja di USA, dan 18.000 diantaranya adalah orang Jerman. Di satu sisi hal ini sangat
membanggakan karena kualitas pendidikan Jerman sangat disegani di dunia. Sebaliknya, hal ini juga sangat
menyedihkan karena semakin hari semakin banyak ahli-ahli Jerman yang lebih memilih bekerja di luar
negeri daripada di negerinya sendiri. Satu studi terbaru bahkan menunjukkan bahwa saat ini hampir 30%
peneliti Jerman tinggal dan bekerja di luar negeri.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa tantangan di luar negeri sangat menjanjikan. Sebaliknya, banyak
peneliti muda yang menganggap tidak ada lagi kesempatan untuk mengembangkan karier. Di satu era
dimana kemajuan suatu negara sangat tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi, fenomena
kaburnya para ilmuwan demikian bisa berakibat sangat fatal di belakang hari.

Pengalaman bekerja dan melakukan penelitian di luar negeri sebenarnya sangat berguna bagi ilmuwan itu
sendiri maupun negaranya, asalkan sang ilmuwan kembali ke tanah air setelah beberapa saat di luar negeri.
Masalah baru muncul manakala para ilmuwan lebih memilih terus tinggal dan mengembangkan ilmunya di
luar negeri.

Perpindahan ilmuwan dari satu negara ke negara lain sebenarnya juga tidak masalah asalkan berjalan secara
seimbang, dalam arti bahwa jumlah ilmuwan yang keluar setara dengan jumlah ilmuwan yang masuk. Akan
tetapi, apa yang terjadi saat ini sangatlah tidak berimbang sebagaimana disampaikan oleh Wakil Rektor
Humboldt-University (HU) Berlin Hans Jürgen Prömel. Dan Jerman berada dalam posisi yang sangat
dirugikan dengan banyaknya ahli mereka yang pergi ke luar negeri, khususnya USA dan Inggris.

Beberapa hal yang mendesak dilakukan oleh pemerintah Jerman untuk menghentikan fenomena ini
diantaranya: meningkatkan dana riset untuk Universitas dan lembaga penelitian, meningkatkan
otonomi, daya saing serta atraktivitas Universitas.

Selain oleh Wakil Rektor HU-Berlin Hans Jürgen Prömel, kurangnya dana penelitian juga diungkapkan
oleh Rektor Free University (FU) Berlin Dieter Lenzen. Dengan ketersediaan dana penelitian yang
memadai, Universitas-universitas di Jerman akan sanggup memanggil pulang para peneliti Jerman yang ada
di luar negeri. Bila perlu, bahkan membawa pulang seluruh laboratoriumnya serta menarik ilmuwan-
ilmuwan dari Asia semacam Jepang, China dan Korea. Lebih jauh lagi, Mickel Bruda (peneliti
berkebangsaan USA di HU Berlin) menyebut bahwa Universitas-universitas di Jerman kurang bisa
memberikan kebanggaan kepada para mahasiswa dan professornya.

Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah negara bagian Berlin yang terus mengurangi anggaran
dana pendidikan dan penelitian. Hal ini tentu saja kontraproduktif bagi usaha menahan arus kaburnya
ilmuwan ke luar negeri. Kekurangan dana penelitian ini harus segera diatasi, salah satunya dengan
menggali dana-dana baik privat dari perusahaan maupun publik dari lembaga pemerintah dan
kemasyarakatan yang sampai saat ini belum dieksplorasi secara maksimal.

Untuk meningkatkan daya saing dan atraktivitas Universitas, beberapa inovasi sebenarnya telah dilakukan
diantaranya dengan membuka posisi Juniorprofessor. Jabatan ini dibuka untuk memberikan kesempatan
kepada peneliti muda agar ia bisa secara dini melakukan penelitian mandiri. Melalui jalur ini, HU dan FU
berlin masing-masing berhasil membawa pulang 12 dan 10 ilmuwan Jerman dari luar negeri. Meskipun
Pulang habis ke Indonesia: Apa yang perlu dipersiapkan?
Tentu saja banyak hal yang perlu diselesaikan bagi anda di Jerman yang akan pulang habis ke Indonesia.
Selain harus menutup rekening, telpon, mengakhiri kontrak tempat tinggal dan abmelden tempat tinggal,
anda juga perlu perlu memperhatikan hal-hal yang sebagai berikut.

Ketika anda di Jerman akan pulang habis dan memiliki sejumlah barang yang akan dibawa ke Indonesia
perlu melengkapi beberapa dokumen yang disediakan KBRI Berlin. Dokumen ini sangat penting ketika
barang anda dikirim melalui kontainer dimana dokumen pengiriman barang dibutuhkan.

Penjelasan untuk Mendapatkan Surat Keterangan Pulang Seterusnya


• fotokopi halaman sampul muka paspor (yang tercantum data-data Sdr.)
• fotokopi halaman paspor dengan No. Pendaftaran Diri: .../BN/... atau .../SB/...
• biaya porto/perangko (cukup untuk jumlah berat)
• cantumkan nama dan alamat terakhir yang jelas dan lengkap
• fotokopi Abmeldungsschein dari Einwohnermeldeamt
• mengisi formulir daftar barang pindahan rangkap 2 (dua), yang kemudian disahkan oleh Bidang
Konsuler (perhatikan biaya perangko!)
• mengisi formulir daftar buku pindahan rangkap 2 (dua), yang kemudian disahkan oleh Bidang
Dikbud
• Formulir Daftar Buku/Barang untuk di-download

Khusus Bagi Pemegang Paspor Dinas


• pendaftaran diri, mengisi formulir rangkap 2 (dua) dan melampirkan fotokopi surat Sekkab
• pindah alamat wajib lapor kembali
• masa berlaku paspor hanya dapat dipenuhi dengan mengisi formulir kembali
• segala urusan yang bersifat konsuler, agar langsung berhubungan dengan Bidang Konsuler

Keterangan untuk Pengisian Daftar Barang Pindahan


• alat-alat elektronik harus mencantumkan merek dan nomor seri
• pakaian, sepatu dll. yang termasuk dalam perlengkapan tubuh tidak perlu dimasukkan dalam daftar
• CD, kaset ataupun video kaset agar ditulis judul dan jumlahnya.
• dibuat dalam rangkap 2 (dua)
• untuk surat dengan berat lebih dari 20 gr., sertakan juga perangko

Keterangan untuk Pengisian Daftar Buku


• dibuat dalam rangkap 2 (dua)
• untuk surat dengan berat lebih dari 20 gr., sertakan juga perangko

Download Formulir Daftar Buku/Barang

Program Bantuan

Beberapa institusi Jerman memiliki program bantuan bagi warga negara asing yang akan kembali ke tanah
airnya. Beberapa program di Jerman adalah sebagai berikut:
• Kementerian Kerjasama dalam Bidang Ekonomi dan Pembangunan (BMZ)
• Zentral Arbeits Vermittlung (ZAV)
• Pusat Migrasi dan Pembangunan Internasional
• Deutsche Investitions- und Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG)
Kota-kota yang menciut
Apakah di Amerika Serikat, Inggris Raya atau Belgia, di Finlandia, Italia, Rusia, Kasachstan atau
China, di mana-mana kita dapati kota-kota yang menciut; pemahaman kita selama ini tentang kota dan
pengembangan kota dipertanyakan.

Bildergalerie zu Schrumpfende Städte

Di tempat-tempat inilah hidup para pecundang transformasi dari industri seperti Ford ke industri jasa
yang mengglobal. Perkembangan dramatis di Jerman bagian timur sejak 1989, yang telah memicu
kosongnya lebih dari satu juta apartemen, ditinggalkannya areal industri serta sarana-sarana sosial dan
budaya yang tak terhitung jumlahnya, adalah contoh umum dari peradaban kita.

Schrumpfung Penciutan sebagai peluang?

Sementara dalam perdebatan-perdebatan internasional perhatian dicurahkan pada megapol dan


anglomerasi, pada saat yang sama telah terbentuk – suatu perkembangan yang luput dari perhatian –
daerah-daerah yang mengalami penciutan di mana wilayah kota maupun desa atau dengan kata lain
seluruh bagian daerah ditandai oleh berkurangnya berjuta-juta jumlah penduduk dan tingginya jumlah
pengangguran. Prediksi terhadap menurunnya jumlah penduduk di berbagai negara akan mempertajam
polarisasi ini di dekade-dekade mendatang. Fenomena penciutan kota kontradiktif dengan citra
„boomtown“ yang sudah melekat sejak revolusi industri. Yakni citra kota besar yang ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang terus menerus. Penciutan kota memprovokasi orang untuk
merubah cara berpikir berkaitan dengan pandangan tradisional tentang kota Eropa dan juga dengan
perkembangan dunia urban di masa depan.

Kota adalah ekspresi budaya masyarakat kita dan sekaligus plattform untuk produksi budaya. Ia
memiliki peran sentral bagi pemahaman diri kita. Oleh karena itu, perubahan-perubahan kota yang
drastis yang disebabkan penciutan tidak hanya merupakan tantangan ekonomi dan sosial, melainkan
juga tantangan budaya. Proses penciutan kota pada dasarnya hampir tak bisa dikontrol dan melahirkan
sejumlah masalah. Tipe-tipe kota bermunculan, sementara belum ada bayangan yang pasti baik tentang
kekhasannya maupun bentuk penggunaannya.

Kemana arah perkembangan kota? Dalam perdebatan di tahun-tahun belakangan ini seringkali muncul
kata „penciutan sebagai peluang“. Dan umumnya yang dimaksud adalah cita-cita untuk menciutkan
kota pada intinya, pada gagasan kota yang padat sebagai bayangan ideal pengembangan kota Eropa.
Kita berharap bisa mengatasi pemukiman suburban yang semrawut yang terbentuk dari tumpukan-
tumpukan daerah hunian yang tak disenangi. Namun, yang terjadi adalah justru kebalikannya. Gedung-
gedung yang ditinggalkan kosong tak berpenghuni di bagian timur Jerman dibongkar dan dibangun
baru secara besar-besaran. Ketika jumlah penduduk menciut dan aktifitas ekonomi lesu kota-kota
malah terus meluas dan lapang. Di dalam kota makin sering didapati gedung-gedung dan areal yang
dibiarkan begitu saja, di sekeliling kota muncul daerah-daerah tempat berdirinya rumah-rumah
keluarga, tempat parkir perusahaan dan pusat-pusat perbelanjaan. Sebuah perkembangan yang sudah
terjadi di Detroit sejak tahun 50-an. Di sana sekarang lebih dari 80% penduduknya tinggal di wilayah
suburban di luar batas kota, sementara bagian-bagian luas dari wilayah-wilayah dalam kota banyak
yang dibiarkan begitu saja, ditumbuhi rumput dan menjadi seperti pemandangan pedesaan.
Dengan latar belakang seperti ini muncul kembali pertanyaan tentang ruang publik. Betatapun sukanya
kita kepada ruang publik seperti lapangan-lapangan, pasar dan gereja, di kota-kota yang mengalami
penciutan tempat-tempat seperti ini biasanya punah dan ditinggalkan. Di sini kehidupan publik lebih
terjadi di tempat-tempat parkir atau pom bensin. Atau juga di shopping malls – di Amerika Serikat
sudah lama ditemukan istilah untuk para remaja yang suka nonkrong di mall, yakni „Mall’ies“.
Fenomena penciutan kota juga memunculkan pertanyaan lain: Bagaimana kita menyikapi lubernya
ruang dan gedung? Apa yang menghubungkan sebuah kota jika bukan pembangunan yang kontinyu?
Bagaimana struktur-struktur kota yang tak direncanakan bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-
hari?

„Faktor-faktor lunak“ bagi perkembangan kota

Kota-kota yang menciut berbeda. Di sana pandangan kita yang sudah mentradisi dan konsep bertindak
tentang perencanaan kota tidak bisa diterapkan. Bentuk-bentuk klasik perencanaan kota dan kebijakan
pasar tenaga kerja tidak berjalan, tapi sebaliknya kadang-kadang ada perkembangan tersendiri yang
mengejutkan. Perkembangan yang paling nyata adalah budaya musik remaja yang berbau subkultur.
Munculnya budaya musik baru dari kota-kota yang mengalami penciutan sangat mencolok – musik
techno ditemukan di Detroit dan sebagian besar musik punk Inggris, Hip-Hop dan House muncul dari
Manchester dan Sheffield pada akhir tahun 70-an. Perkembangan ini juga tercermin dalam
perkembangan kota. Kiranya revitalisasi dalam kota Manchester tidak akan pernah terjadi tanpa
kancah musik. Karena musiklah yang telah memulai perubahan citra dari kota pusat industri yang
terlantar menjadi sebuah kota metropolis budaya yang mengandalkan sektor jasa.

Kota-kota yang menciut menunjukkan betapa pentingnya „faktor-faktor lunak“ bagi perkembangan
kota. Karena itu cukup fatal bahwa perdebatan di Jerman di tahun-tahun terakhir hanya membahas
persoalan banyaknya gedung yang kosong dan pembongkaran. Perdebatan politik baru muncul setelah
ada tekanan para pengembang dan sejak itu kepentingan ekonomi mereka yang mendominasi.
Selanjutnya program perombakan kota di wilayah timur Jerman ditandai oleh kepentingan bisnis
tersebut dan tujuannya terutama sekali adalah membongkar apartemen-apartemen yang mubazir.
Langkah ini perlu, tapi tidak cukup karena pertumbuhan gedung-gedung yang kosong lebih cepat
ketimbang pembongkarannya sehingga pada 2010 diperkirakan akan ada lebih banyak gedung yang
kosong daripada sekarang walaupun sudah diinvestasikan 2,5 juta Euro.

Selain itu perencanaan pembongkaran membuat dilema pembangunan kota dewasa ini menjadi makin
kentara: ketika terjadi pembongkaran maka yang jadi pertimbangan keputusan bukan lagi masalah apa
yang layak bagi pembangunan kota, melainkan merupakan hasil dari paksaan keadaan, status hukum
dan keputusan-keputusan yang pernah menyangkut bangunan tersebut. Misalnya bagaimana struktur
kepemilikan gedung tersebut? Di mana letak infrastrukturnya? Di mana orang berinvestasi di tahun-
tahun belakangan ini, perumahan yang bagaimana yang diminati pihak bank yang memberikan kredit?
Subsidi apa saja yang ada? Dan banyak pertimbangan lainnya. Pengembangan dan figur bangunan dari
kota-kota yang menciut luput dari perencanaan tata kota. Dan ini lebih terasa dibandingkan dengan
kota-kota yang sedang tumbuh. Proses pengembangan kota-kota yang mengalami penciutan itu lebih
merupakan produk dari hubungan sebab-akibat yang sangat kompleks. Banyak faktor yang bermain di
sana, apakah itu pengaruh ekonomi, politik, teknologi dan budaya. Jadi, apa yang terlihat kemudian
adalah efek samping tak terencana dari sebuah proses umum di masyarakat. Kota-kota yang menciut
adalah contoh yang sempurna bagi mekanisme sebab-akibat dan proses pengambilan keputusan dalam
masyarakat kita sekarang seperti yang digambarkan oleh Ulrich Beck dan Anthony Giddens dengan
model modernisasi refleksif mereka.

Tantangan budaya

Ada dua kesimpulan yang bisa kita ambil dari fenomena ini: Pertama, kita harus meninggalkan
gagasan perencanaan kota yang heroik yang begitu mempengaruhi abad 20. Perancangan kota tidak
lagi dilakukan oleh seorang perencana yang kemudian rancangannya diputuskan oleh politisi atau
investor dan selanjutnya direalisasikan. Sekarang tidak lagi seperti itu. Yang terjadi adalah, kota
berkembang dengan caranya sendiri sesuai dengan kondisi masyarakatnya dan kita bisa mempengaruhi
perkembangan itu dengan cara memodifikasinya. Ini berarti perencanaan kota tidak bersifat mubazir,
tapi ia berangkat dari syarat yang berbeda dan menggunakan instrumen lain. Pertama-tama yang harus
dilakukan adalah memahami perkembangan kota agar kita bisa ikut mengintervensi proses-prosesnya.
Mungkin ini bisa disebut „perencanaan lemah“. Dan perencanaan lemah ini akan lebih sering
menggunakan „peranti lunak“. Sebab yang mempengaruhi perkembangan kota itu bukanlah
perencanaan tata kota sebagai pengembangan budaya, bentuk-bentuk komunikasi atau munculnya
jaringan-jaringan dan proses-proses sosial.

Kesimpulan kedua berkaitan dengan masalah mendasar: beberapa prinsip dalam masyarakat yang
berdampak terhadap perkembangan kota-kota yang menciut menjadi patut dipertanyakan. Bagaimana
kita harus melihat hak kepemilikan yang menghalangi perkembangan tata kota yang diinginkan?
Bagaimana kita harus menyikapi fenomena hak imigrasi yang memberi kontribusi terhadap
problematika bom waktu kependudukan? Bagaimana kita harus membaca subsidi untuk mobilitas dan
pembangunan gedung-gedung baru suburban manakala dengan begitu bangunan yang sudah ada
terbiarkan dan memfragmentasi kota? Bagaimana kita harus menyikapi struktur masyarakat apabila
meski ada masalah mendasar tidak ada keberanian untuk menempuh jalan baru?

Kota-kota yang menciut adalah tantangan budaya. Mereka mempertanyakan nilai-nilai yang berlaku
selama ini, mereka memunculkan budaya-budaya baru kota dan menuntut lahirnya model-model aksi
yang inovatif. Mereka adalah cikal-bakal yang potensial bagi munculnya hal yang baru.

Pameran proyek Schrumpfende Städte (Kota-kota yang menciut) berlangsung dari 4 September
sampai 7 November di Kunst-Werke- Institute for Contemporary Art, Berlin. Bersamaan dengan
pameran ini diadakan juga festival musik selama dua-tiga hari yang menggambarkan produksi
musik di kota-kota yang menciut dengan mengambil contoh Manchester/Liverpool (Ing), Ivanovo
(Rusia), Detroit (AS) dan Halle/Leipzig.

Philipp Oswalt
Kepala proyek insisatif Schrumpfende Städte/Shrinking Cities Yayasan Budaya Jerman
Artikel ini untuk pertama kalinya muncul di majalah “Das Parlament”, disunting oleh Parlemen
Jerman dan Kontor Pusat Pendidikan Politik, Nr. 37 tanggal 8 September 2003
© Deutscher Bundestag und Bundeszentrale für politische Bildung

Ada pertanyaan lain tentang artikel ini? Silakan kirimkan pertanyaan Anda kepada kami.
online-redaktion@goethe.de
Agustus 2004

You might also like