Professional Documents
Culture Documents
A. Pengantar
Ketahanan pangan masih menjadi masalah utama di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh
meningkatnya jumlah penduduk yang mengalami kerawananan pangan. Di tengah keberhasilan
Pemerintah Indonesia menekan angka kemiskinan hingga 4.09% dari tahun 2009 hingga tahun
2013, jumlah penduduk yang mengalami rawan pangan tidak berkurang, justru semakin
meningkat hingga 2.12%. Selama rentang waktu lima tahun tersebut, tercatat pula bahwa jumlah
penduduk yang masuk dalam kategori sangat rawan pangan mengalami peningkatan hingga
4.81% (Badan Ketahanan Pangan 2013). Menanggapi masalah tersebut, pemerintah berusaha
untuk meningkatkan ketahananan pangan nasional melalui perbaikan ketersediaan pangan rumah
tangga dengan membentuk kelompok masyarakat pelaksana kegiatan optimalisasi pemanfaatan
pekarangan. Pembentukan kegiatan tersebut bertujuan meningkatkan pola konsumsi rumah
tangga menjadi beragam, bergizi, seimbang dan aman. Pemerintah mengasumsikan dengan
perbaikan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga akan berimbas pada perbaikan ketahanan
pangan nasional (Dewan Ketahanan Pangan 2006).
Berbagai program pembangunan yang bertujuan meningkatkan ketahanan pangan rumah
tangga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan terus dilakukan oleh Pemerintahan
Indonesia. Program ini memiliki tujuan yang hampir sama dengan program-program optimalisasi
pemanfaatan pekarangan sebelumnya, yaitu berupaya mengembangkan model rumah pangan
yang dibangun dalam suatu kawasan (dusun, desa, kecamatan).
Menelaah perjalanan program pemanfaatan pekarangan di Indonesia yang telah
dikemukakan sebelumnya, bisa dilihat bahwa program-program tersebut mempunyai tujuan yang
sama yaitu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga untuk meningkatkan ketahanan pangan
nasional melalui pemberdayaan wanita. Untuk mensukseskan program ketahanan pangan
nasional, maka diperlukan strategi pendekatan khusus untuk mendorong partisipasi masyarakat
dan keberhasilan program.
Komunikasi partisipatif dalam program pembangunan akan lebih efektif bila dilakukan
dengan pendekatan kelompok, pendekatan iu dinilai efekif sehingga anggota kelompok dapat
mendiskusikan cara terbaik untuk memperbaiki kehidupan mereka secara bersama-sama. Untuk
lebih jauh, maka partisipasi masyarakat dalam penyuluhan publik akan di analisis pada
pembahasan selanjunya.
mendapatkan umpan balik tentang masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam
pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam mengumpulkan informasi yang
berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku aparat pembangunan sangat diperlukan.
pembangunannya melalui dialog dengan stakeholder lainnya yang terlibat dalam proses
pembangunan (Bessette 2007).
Proses dialog dalam komunikasi partisipatif bersifat
transformatif. Dialog terjadi antar individu, kelompok dan institusi dengan pihak lainnya baik
individu maupun kolektif, untuk mewujudkan potensi mereka dan meraih kesejahteraan
hidupnya (Singhal 2001).
Menurut Cohen dan Uphoff (1980) (dalam Kartasubrata, 1986), partisipasi adalah suatu
istilah deskriptif yang mencakup berbagai kegiatan dan situasi yang beraneka ragam, karena
besar sekali kemungkinan terjadi kesalahpahaman tentang sebab dan akibatnya, ruang lingkup
dan penyebarannya. Partisipasi tersebut adalah suatu konsep cakupan yang sebaiknya didekati
dengan melihat komponen-komponen yang spesifik dan konkrit, oleh karena itu perlu adanya
pembeda antara dimensi dan konteks partisipasi.
Dimensi partisipasi mencakup jenis partisipasi yang sedang diselenggarakan, kelompokkelompok perorangan yang terlibat tersebu dan berbagai cara bagaimana terjadinya proses
partisipasi tersebut. Sedangkan konteks partisipasi berfokus pada hubungan antara ciri-ciri
proyek pembangunan pedesaan dan pola-pola partisipasi yang ada dalam lingkungan daerah
lokasi proyek. Hal ini mendorong untuk memperhatikan ciri-ciri sejarah, keadaan lingkungan
dan masyarakat yang sering punya pengaruh kuat terhadap pola-pola partisipasi yang muncul
dalam suatu usaha pembangunan di pedesaan.
tersebut disebabkan: pertama, sukses program lebih terjamin apabila mereka berkepentingan
untuk ikut ambil bagian dalam perencanaan dan pelaksanaannya, kedua, partisipasi masyarakat
dapat mendidik kembali para perencana dan pengelola yang berhubungan langsung dengan
proyek, ketiga, apabila benar-benar berdasarkan partisipasi masyarakat, maka proses tersebut
dapat mengembangkan keterampilan masyarakat dan dapat memupuk rasa kekeluargaan.
Uraian tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan Slamet (1990), bahwa partisipasi
masyarakat diperlukan untuk keberhasilan pembangungna. Dengan demikian, partisipasi
masyarakat merupakan basis dan fokus utama dalam strategi dan program pembangunan.
D. Penyuluhan ketahanan pangan dan partipasi wanita
Peran wanita di dalam percepatan laju pembangunan tidak dapat dikesampingkan.
Mengingat besarnya peranan wanita dalam mewujudkan tujuan pembangunan, pemerintah
menetapkan kebijakan untuk meningkatkan peranan wanita dalam berbagai sektor pembangunan
nasional. Wanita secara kuantitatif merupakan sumberdaya manusia yang berpotensi tinggi untuk
berpartisipasi dalam pembangunan. Partisipasi aktif wanita desa, baik melalui jalur formal
maupun jalur kelembagaan nonformal pada dasarnya merupakan tindakan efiseien untuk
mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.
Agar tercapainya tujuan dalam suatu kelompok, baik dalam kelembagaan formal maupun
nonformal, erat hubungannya dengan kerjasama atau partisipasi anggota dalam kegiatan
kelompoknya. Untuk itu, para wanita tani perlu dihimpun di dalam kelompok swadaya, sehingga
dapat berfungsi sebagai penggerak pembangunan di pedesaan.
Kelompok swadaya yang menurut Tjondronegoro (1987) merupakan kelompok yang
biasanya terdapat pada komunitas kecil yang berada di lapisan bahwa. Kelompok ini berorientasi
pada upaya pemenuhan kebutuhan tertentu dengan keterlibatan pendukungnya dan berpegang
teguh pada norma-norma dan pengawasan sosial.
Berbagai program pembangunan yang bertujuan meningkatkan ketahanan pangan rumah
tangga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan sudah lama dilakukan oleh Pemerintahan
Indonesia. Sejarah mencatat dari tahun 1991 Pemerintah Indonesia pernah membentuk program
Pengembangan Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG) yang bertujuan
untuk mendukung
penyediaan bahan makan berkualitas dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan perbaikan
gizi. Salah satu cara yang ditempuh pada program DPG adalah dengan memanfaatkan
pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi. Selanjutnya pada tahun 2010, gema program
pemanfaatan pekarangan kembali menguat, ketika Kementrian RI melalui Badan Ketahanan
Pangan menggalakkan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP).
Program ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang
kebijakan P2KP berbasis sumberdaya lokal. Setahun berlalu sejak Keputusan Presiden dibuat,
maka pada tahun 2011, Badan Litbang Pertanian membentuk Model Kawasan Rumah Pangan
Lestari (M-KRPL). Program ini memiliki tujuan yang hampir sama dengan program-program
optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebelumnya, yaitu berupaya mengembangkan model
rumah pangan yang dibangun dalam suatu kawasan (dusun, desa, kecamatan). Model pangan
tersebut dibangun dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk
pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan yang pada
akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui partisipasi masyarakat (Ashari et al. 2012).
Menelaah perjalanan program pemanfaatan pekarangan di Indonesia yang telah
dikemukakan sebelumnya, bisa dilihat bahwa program-program tersebut mempunyai tujuan yang
sama yaitu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga untuk meningkatkan ketahanan pangan
nasional melalui pemberdayaan wanita. Bessette (2007) dalam hasil penelitiannya mengatakan
bahwa program pembangunan yang menangani masalah pengelolaan sumberdaya alam seperti
program ketahanan pangan memerlukan strategi pendekatan khusus untuk mendorong partisipasi
masyarakat dan keberhasilan program. Strategi tersebut adalah dengan merubah paradigma
komunikasi difusi menjadi paradigma komunikasi pembangunan partisipatif.
Komunikasi
pembangunan difusi, selama ini hanya fokus pada diseminasi informasi, yang memberikan
informasi sebanyak mungkin kepada masyarakat dan memaksanya untuk mengadopsi informasi
yang disampaikan.
Komunikasi partisipatif dalam program pembangunan akan lebih efektif bila dilakukan
dengan pendekatan kelompok. Hal tersebut diungkapkan oleh Bessette (2006) yang sekaligus
menambahkan bahwa adanya kelompok lokal akan memudahkan anggotanya dalam
mengidentifikasi prioritas dan kebutuhannya. Mereka bisa mendiskusikan cara untuk
memperbaiki kehidupannya secara bersama-sama dengan orang-orang yang sudah dikenal dan
berasal dari lingkungan yang sama. Kelompok mampu membangun kesamaan karakteristik
anggotanya sehingga memudahkan untuk mengkoordinasikan solusi prioritas yang akan
kelompok untuk menyampaikan aspirasinya berdasarkan kebutuhan dan masalah kesehatan yang
dirasakan, selain itu mereka juga merasa mempunyai tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi
daripada sebelum bergabung dengan kelompok, dan timbul rasa saling menghargai lingkungan
dan sekitarnya untuk memiliki hidup yang lebih baik, serta kemauan untuk berkembang bersama
sebagai kelompok.
E. Komunikasi partisipatif pada program ketahanan
Kebijakan ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan telah banyak direvisi dalam
beberapa tahun terakhir, menjadi lebih menekankan pada pendekatan holistik untuk pemanfaatan
sumberdaya alam berkelanjutan, kerjasama multisektoral, partisipasi stakeholder dalam
memaksimalkan potensi lokal masyarakat dan lingkungannya (World Bank 2007). Bessette
(2007) menambahkan bahwa program ketahanan pangan perlu didesain dan diimplementasikan
dengan partisipasi aktif masyarakat maupun keluarganya untuk meyakinkan bahwa program
ketahanan pangan tersebut benar-benar sesuai dengan penghidupan dan lingkungannya.
Berdasarkan hal tersebut program ketahanan pangan merevisi cara pandang mereka terhadap
masyarakat. Masyarakat tidak lagi dianggap sebagai objek pembangunan, tetapi dianggap
sebagai subjek pembangunan yang menjadi bagian dari stakeholder pembangunan. Tidak ada lagi
hubungan antara subjek-objek pada program pembangunan ketahanan pangan, yang ada adalah
hubungan antara subjek-subjek. Masyarakat dianggap sebagai pihak yang mampu bertindak dan
merubah penghidupannya, karena merekalah yang mengetahui potensi sumberdaya alam di
lingkungannya, serta masalah dan berbagai peluang yang bisa meningkatkan taraf hidupnya
(Singhal, 2001; World Bank, 2007; Bessette, 2007).
F. Jaringan komunikasi pedesaan.
Era reformasi telah memicu perubahan berarti pada pola komunikasi masyarakat.
Setidaknya, ada beebrapa gejala komunikasi yang bisa dilihat. Pertama, secara kuantitatif, media
komunikasi tumbuh pesat. Secara kualitatif, media massa kembali mendapat ruang yang
demokratis untunk dapat bersuara dengan lantang. Pemberitaan pers pun mengalami
desakralisasi. Objek pemberitaan kini menembus batas-batas yang sebelumnya termasuk wilayah
abu-abu (Setiansah dan Santoso, 2003).
Ketiga, dengan makin terbukanya akses informasi itu, peran opinion leader semakin
tersaingin. Realitas global village makin menemukan bentuknya pada masa kini. Melalui media
massa apa yang terjadi di Amerika hari ini, akan pula diketahui masyarakat desa seketika pula.
Keempat, iklim kebebasan telah menyadarkan publik bahwa mereka memiliki akses pada
informasi. Masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan, pun makin menjadi aktif dan rasional.
Pemahaman akan pola komunikasi masyarakat pedesaan sangat dibutuhkan manakala
pemerintah akan menggulirkan kebijakan masalah atau program. Melalui analisis jaringan
komunikasi akan diketahui apakah pola komunikasi masyarakat telah berubah, dan masyarakat
telah berubah, dan masyarakat telah menjadikan media massa sebagai sumber informasi yang
utama, ataukah masyarakat masih menjadikan jaringan sosialnya sebagai rujukan.
Pola komunikasi masyarakat, di pedesaan khususnya, merupakan pola yang relatif stabil
dan lebih merupakan budaya, sehingga untuk mengubahnya perlu waktu yang cukup lama.
Masyarakat pedesaan bercirikan homogen, terbingkai dalam aturan- aturan nilai adat yang kuat
dan sedikit tertutup. Keluar masuknya informasi dalam lingkungan tertumpu pada hubungan
personal. Selain faktor verbal, komunikasi di pedesaan sangat tergantung pada kehadiran sosok
opinion leader. Opinion leader adalah orang yang dipercaya menjadi titik tolak dan poros bagi
masyarakat setempat. Wujud nyata opinion leader akan ditemui pada sosok pemuka agama
seperti Ustadz, Mubaligh, Pastor maupun sosok panutan seperti guru dan sesepuh. Opinion
leader begitu sentral bagi berjalannya komunikasi pedesaan. Opinion leader secara garis besar
dianggap sebagai orang yang lebih tahu sebagai pihak penerjemah pesan dari luar maupun ke
dalam desa.
Berhubung daerah - daerah di luar kota juga sudah terjamah oleh perkembangan teknologi
dan informasi maka tidak menutup kemungkinan jika masyarakat sedah memliki pola konsumsi
media massa, baik itu cetak maupun elektronik. Namun, pada prartiknya, apa yang disampaikan
media kepada khalayak juga tak sesempurna yang didambakan. Untuk hal- hal yang laten seperti
agama dan kepercayaan, peran opinion leader sangat kental nuansanya sebagai pamong yang
menetralisir arus informasi.
mampu memilih kesempatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi faktual di lapangan.
Perkembangan jejaring pertukaran informasi di antara pelaku yang terkait merupakan aspek
penting untuk mewujudkan sistem pengetahuan dan informasi pertanian.
2. Learning to do (penekanan pada skill tingkat rendah ke tingkat tinggi menuju ke arah
kompetensi).
3. Learning to live together (mengenal diri sendiri, mengenal diri orang lain, menemukan tujuan
bersama, bekerjasama dengan orang lain).
4. Learning to be (memecahkan masalah sendiri, mengambil keputusan dan memikul tanggung
jawab, belajar untuk disiplin).
5. Learning society (mengembangkan diri secara utuh, terus menerus).
6. Learning organization (belajar memimpin, belajar berorganisasi, belajar mengajarkan kepada
orang lain).
Slamet (2001) mengajukan sembilan ciri yang merupakan paradigma baru dalam
penyuluhan. Menurutnya, paradigma baru yang dikembangkan bukan untuk mengubah prinsipprinsip, tetapi diperlukan untuk lebih mampu merespon tantangan-tantangan baru yang muncul
dari situasi baru. Paradigma baru tersebut mencakup:
1. Jasa informasi, di mana penyuluhan harus mampu menyiapkan, menyediakan, dan menyajikan
segala informasi yang diperlukan oleh para petani (produksi, pengolahan, pemasaran, dan
sebagainya). Informasi perlu dipersiapkan dan dikemas dalam bentuk dan bahasa yang mudah
dimengerti para petani.
2. Lokalitas, di mana untuk memenuhi prinsip lokalitas ini Balai Pengkajian teknologi Pertanian
(BPTP) dan lembaga sejenisnya harus lebih difungsi-aktifkan, bahkan diperluas penyebarannya
sampai ke daerah tingkat II dalam bentuk stasiunstasiun percobaan dan penelitian. Penelitian
yang dilakukan harus bertujuan memecahkan masalah atau kebutuhan petani setempat.
3. Berorientasi agribisnis, di mana prinsip-prinsip dan teknologi yang berkaitan dengan agribisnis
harus lebih banyak dikembangkan dan dipelajari oleh para penyuluh. Kerjasama dan koordinasi
dengan lembaga yang menangani pengolahan dan produk-produk olahan itu sangat diperlukan
oleh lembagapenyuluhan pertanian.
4. Pendekatan kelompok, di mana para penyuluh perlu dipersiapkan dengan baik untuk membina
kelompok dan mengembangkan kepemimpinan kelompok agar kelompok tumbuh menjadi
kelompok tani yang dinamis sehingga mampu melancarkan pembangunan masyarakat desa yang
benar-benar berasal dari bawah (bottom up).
5. Fokus pada kepentingan petani, di mana penyuluh harus lebih mendekatkan diri pada petani dan
mampu mengidentifikasi kepentingan petani dan menuangkan dalam program-program
penyuluhan melalui kerjasama dengan petani.
6. Pendekatan humanistik-egaliter, di mana para penyuluh perlu dibekali dengan seperangkat
pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan komunikasi sosial, psikologi sosial, dan
stratifikasi sosial.
7. Profesionalisme, yaitu perlunya dilakukan penataan dan peningkatan dari lembaga pendidikan
dan pelatihan yang menangani tenaga penyuluh.
8. Akuntabilitas, yaitu perlu diciptakan sistem evaluasi dan akuntabilitas yang dapat dioperasikan
secara tepat dan akurat, setiap jenis kegiatan penyuluhan harus jelas dan terukur tujuannya, biaya
penyuluhan harus dipertimbangkan dengan hasil dan dampak dari penyuluhan tersebut.
9. Memuaskan petani, di mana pendidikan, pelatihan dan keteladanan yang tepat dapat
menghasilkan tenaga-tenaga penyuluh yang mampu menyuluh dengan sepenuh hati.
Tujuan utama dari pendekatanpendekatan baru yang diuraikan di atas adalah
memberdayakan petani sehingga menjadi petani yang mandiri, di mana penyuluh lebih berperan
sebagai fasilitator, pencari serta memberikan pilihan-pilihan kepada petani. Petani mampu
mengambil keputusan dengan pilihan yang terbaik baginya, sehingga mampu meraih peluang
dan menghadapi tantangan globalisasi ekonomi. Hal ini sesuai dengan falsafah pemberdayaan
masyarakat yang dianut dalam penyuluhan pertanian, yaitu to help people to help themselves
through educational means to improve their level of living (menolong orang agar orang tersebut
dapat menolong dirinya sendiri melalui penyuluhan sebagai sarananya untuk meningkatkan
derajat kehidupannya).
I. Penutup
Penyuluhan pertanian mempunyai peran untuk membantu petani agar dapat menolong
dirinya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya secara baik dan memuaskan sehingga
meningkat derajat kehidupannya. Dengan demikian nilai penting yang dianut dalam penyuluhan
adalah pemberdayaan sehingga terbentuk kemandirian petani.
Pada era Orde Baru, pembangunan pertanian yang dikenal dengan revolusi hijau telah
dimanfaatkan oleh kepentingan pemerintah untuk tujuan peningkatan produktivitas dan produksi
tanaman pangan khususnya padi untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus
meningkat. Seiring dengan itu, penyuluhan pertanian juga ikut berubah. Jika semula penyuluhan
ditekankan pada bimbingan kepada petani dalam berusahatani yang lebih baik, berubah menjadi
tekanan pada alih teknologi yakni mengusahakan agar petani mampu meningkatkan
produktivitas dan produksinya terutama padi. Akibatnya petani menjadi tergantung, tidak
mandiri dan kelembagaan lokal banyak yang kurang berfungsi atau bahkan hilang.
Oleh karena itu diperlukan perubahan paradigma dari paradigma lama yang lebih
menekankan pada alih teknologi ke paradigma baru yang mengutamakan pada sumberdaya
manusianya, yang dikenal dengan pendekatan farmer first, atau mengubah petani dan bukan
mengubah cara bertani, yang memungkinkan terjadi pemberdayaan pada diri petani.
Referensi
Ashari, Saptana, Purwantini TB. (2012). Potensi dan prospek pemanfaatan lahan pekarangan
untuk mendukung ketahanan pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi . 30 (1): 1330.
Atrisiandy, K. (2015). Pengembangan Profesionalisme Penyuluh Pertaniaon Melalui Penguasaan
Teknologi Informasi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Sumatera
Utara.
Bessette G. (2006). People, Land and Water. Participatory Development Communication for
Natural Resource Management. Di dalam Bessette G editor. People, Land and Water.