You are on page 1of 24
Vol. 1 No.1 METODE TAKHBRIJ HADITS Badruddin Hsubky Dosen Tetap FAI UIKA Bogor VY Abstract As the second base of Islamic law after Al-Qur’an, the authenticity of “sunnah” becomes a must to be learned and studied by every moslem especiatly scholar and future scholar, Because, eventhough Allah SWT promised to keep his religion but slander and examination on “sunnah” and “ulama” (Islamic teacher or leader) never stop the fact affects the majority of moslem’s understending about the teaching of their religion especially “sunnah” and it’s “takhrij”. But they cannot be blammed since he people who have main responsibility in spreading out islamic propagantion and strainghting the devergence of sunnah are those who like to persue knowledge. One field of the sciences that should be mastered by moslem students is the science of “takhrijul Hadist” .by mastering takhrij science it can be found the oroginality of islamic teaching sourced from Rasulullah SAW, by mastering it’s methods some one will be well be well educated to ac carefully in receiving and stating hadist as the law base. Key Word: rasul’s Sunnah, authentic, takhrijul hadist, the teaching, originality BABI MUQADDIMAH Sebagai landasan hukum syara’ yang kedua setelah al-Qur’an, keotentikan sunnah menjadi keharusan untuk dipelajari dan dikaji oleh setiap muslim terutama bagi sarjana atau calon sarjana. Sebab, meskipun Allah swt. telah berjanji untuk menjaga agama-Nya, namun fitnah dan hujaman terhadap sunnzh dan para ulamanya, juga tidak pernah berhenti. Kenyataan ini sangat _berpengaruh terhadap pemahaman mayoritas umat Islam tentang ajaren agamanya khusunyanya as-sunnah dan pen-fakhrij- annya. Namun mereka tidak dapat disalahkan sepenuhnya, sebab orang- orang yang memikul tanggung jawab utama dalam penyebaran dakwah dan meluruskan penyimpangan-penyimpangan as-sunnah adalah orang-orang yang cinta/menuntut ilmu. Allah swt. berfirman: Ceall Gi Lyd Lith pgs TA US Ge inti Fast), Garis petal agall Lea stth pga st Lots 122 “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahun mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya”.[QS. At- Taubah, 9:122]. Dan salah satu bidang ilmu yang harus dikuasai oleh setiap pelajar Islam adalah ilmu takhrijul hadits. Dengan penguasaan ilmu takhrij itu dapat diketahui keaslian ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Rasulullah saw., dan dengan penguasaan metode-metodenya, maka seseorang akan terdidik untuk bersikap teliti/hati-hati dalam menerima dan menetapkan hadits sebagai landasan hukum. Edisi Januari 2008 75 Karena itu Imam Hasan Al-Banna rahimahullah berkata, “Setiap orang perkataannya bisa diterima dan bisa juga sebaliknya, kecuali Rasulullah saw”, Lanjut al-Banna: “Setiap pendapat orang yang datang dari kaum salaf kami terima jika sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah, jika tidak sesuai , maka Al-Quran dan as- Sunnah lebih utama untuk diikuti. Dan kami tidak menyampaikan suatu riwayat pun yang perawinya masih diperdebatkan oleb para ulama”,! BABIL PENGERTIAN ILMU TAKHRIJ, URGENSI, DAN MANFAATNYA A. Pengertian Imu Takhrij Secara etimologi, kata GAG yang berasal dari ¢s4 dapat berarti issaly 9g lil! “yang muncul dan tampak”*, dan dapat pula berarti = uyilly bata “menyimpulkan dan melatih”® Sedangkan secara__terminologi, dengan disepakatinya awal tahun 300 H. oleh para ulama, sebagai tahun pemisah antara_ mutagaddimin [generasi pertama] dengan mutaakhirin [generasi terakhir] dari ablul hadits*, maka pengertian ilmu takhrij dapat di kategorikan menjadi dua macam; perlama, ilmu takhrij menurut mmutagaddimiin, dan kedua, ilmu takhrij menurut mutaakhirin. "DR. Yusuf Qordowi, Kaifa Nata’amal Ma’a At- Turats Wa At-Tamadzahub Wa AL-Ikhtilaf, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001) cet, Pertania, hal, 12. ? ALMu’jam Al-Wasith, jit, 1 hal, 223 3 Lisanul ‘Arab, jil. 2 hal. 249 * Muhammad Abdul Aziz Khuli, Miftah as- Sunnah, (Bairat: Darul Kutub Al-Ihmiyah) hal. 34. Lihat, DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Kasyfuul Litsam ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kairo: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet, Pertama, juz L, hal. 26. 1, Pengertian Imu Takhrij Menurut Mutaqaddimin Ahlul Hadits a, AUS pb salads Cysall cilyal) 363 “Penyebutan suatu hadits beserta sanad-sanadnya yang dilakukan oleh seorang penulis hadist di dalam buku karangannya”. Seperti yang dilakukan oleh imam al-Bukhari di dalam kitab shahihnya? Bb, sleds be Gis Cala cityall oly) ABH oye gf AR od ea liye Qe ily Adil “Penyebutan hadits-hadits satu kitab yang dilakukan oleh seorang penulis dengan sanad-sanadnya sendiri; dimana gurunya atau guru dari gurunya bertemu dengan penulis asli kitab tersebut”. Dari definisi imi, penulis hadits disebut mustakhrij (orang yang mentakhrij hadits), sedangkan kitabnya _ disebut mustakhraj. Seperti kitab Mustakhraj Abi ‘Awanah ‘Ala Shahih Muslim. Uadits- hadits yang ditulis olen Abu ‘Awanah dalam kitabnya adalah hadits-hadits yang ditulis oleh imam Muslim dalam kitab shahibnya. Hanya saja_ di dalam meriwayatkan hadits-hadits tersebut, Abu “Awanah menggunakan sanad-sanadnya sendiri yang beliau dapatkan dari gurunya, atau guru dari gurunya yang bertemu dengan imam Muslim cy pileean (ya acta ood solely Cys sly Maat “Menyebutkan suatu hadits dengan sanad-sanadnya dalam satu sumber dari sumber sumber sunnah?” 5 Abu Muhammad Abdul Muhdi ibnu Abdul Qadir ibm Abdul Hadi, Thurugu Takhrij Hadits Rasulullah saw., (Kairo: Darul Ptisham, 1986) cet Ke-4, hal. 9. § fbid, hal. 10 7 DR. Abdul Manjud Muhammad Abdul Lathif, Kasyful Litsam ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kairo: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet. Pertama, juz 1, hal, 26, 76 Edisi Januari 2008 Vol. 1 No. 1 Dari ketiga defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadinya perbedaan pada ketiga devinisi tersebut, akibat adanya perbedaan masa hidup para ulama hadits itu sendiri. Devinisi_ pertama, _pengertian ilmu takhrij hanya terbatas pada penulisan hadits-hadits beserta sanad-sanadnya yang dilakukan oleh seorang ulama_hadits dalam kitabnya. Devinisi_ kedua, pengertian ilmu takhrij adatah penulisan ulang hadits-hadits yang terdapat dalam. satu kitab, yang dilakukan oleh seorang ulama hadits dengan sanadnya sendiri yang beliau dapatkan dari gurunya, atau guru dari gurunya yang hidup semasa dengan penulis kitab tersebut. Devinisi ketiga, pengestian ilmu takhrij adalah menyebutkan/mengeluarkan hadits dengan sanad-sanadnya dari sumber- sumber kitab hadits terutama sunanus- sittah, Dari devinisi ini, dapat kita ketahui bahwa antara devinisi pertama dengan devinisi kedua terdapat rentang waktu satu atau dua generasi. Sementara antara devinisi kedua dan ketiga terdapat rentang waktu yang jauh \ebih lama dari rentang waktu antara devinisi pertama dan kedua. Hal tersebut dapat kita ketahui dengan adanya penyebutan sumber-sumber takhrij pada devinisi yang ketiga. Ini jelas menunjukkan bahwa, pada _periode devinisi pertama dan kedua belum dikenal istilah sumber-sumber sunnah atau kitab- kitab yang disepakati para ulama hadits sebagai sumber bagi ilmu-ilmu sunnah, sedangkan pada periode devinisi ketiga sudah dikenalnya. Jika dilihat dari sisi cakupannya, juga dapat disimpulkan bahwa, devinisi ilmu takhrij para ulama hadits generasi pertama lebih sederhana dari devinisi ilmu takhrij para ulama hadits generasi sesudahnya (mutaakhiriin). Hal ini terlihat jelas dari cakupan defenisi yang mereka Khazanah berikan; dimana masa mutagaddimin hanya terbatas pada penulisan, penyebutan, dan atau penyandaran suatu hadits beserta sanad-sanadnya saja, tanpa mensyaratkan adanya penjelasan tentang status hadits tersebut dari sisi diterima atau tidaknya, Ada faktor-faktor yang melatar belakangi hal itu, diantaranya adalah, 1) Dekatnya masa mereka dengan Rasulullah = saw. = dan_— para sahabatnya Sehingga, selain mereka bisa mendapatkan suatu hadits langsung dari orang yang mendengarnya; baik itu tabi'in, ‘tabi’it tabi’in, atau para ulama hadits setelah mereka. Jika mereka mendapatkan hadits yang gharib/aneh, maka dengan mudahnya mereka mengetahui statusnya. Hal itu, karena pengetahuan mereka tentang hadits amatlah Iuas, dan mereka juga telah dijamin Allah SWT sebagai orang-orang yang mendapat petunjuk-Nya: UBL ys g | puane Lal Ua cs pag Lai! age Lila y 24 sBamall, G8 “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi ‘petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” (QS. As- Sajdah: 24)* Ada beberapa pendapat para ulama tentang arti pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk pada ayat di atas, antara lain a) Abdurrahman ibnu Mu’alla_ Al- Luwaihiq mengatakan: yang dimaksud pemimpin-pemimpin di dalam ayat tersebut adalah para ulama, atau pemimpin agama yang jujur, berani * Departemen Agama, Al-Qur‘an dot Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toa Putra, 1998) cet. Ke-3, hal. 663, Metode Takhrij Hadits menegakkan kebenaran.? —_Seperti disebut dalam sabda Rasulullah saw. a poe TA aly Lill al ye Atl JY BE Gs AU akg dil yal ly sin ppl of pgs. “Akan selalu ada segolongan orang dari umatku yang _senantiasa mendirikan perintah Allah, Tidak akan mencelakai mereka orang-orang yang menghinakan mereka, atau menentang mereka, sehingga perkara Allah itu datang [hari kiamat], dan mereka tetap terlihat di antara manusia.”" b) Imam An-Nawawi mengutip pendapat Imam Al-Bukhari: “Sekelompok orang tersebut adalah ahlul ilmi [para ulama abli hadits,-pent]”."! ¢) Imam Ahmad Tbau Hambal berkata, “Apabila golongan orang yang disebutkan di dalam hadis di atas itu bukan ahlul hadits, maka aku tidak tahu lagi siapakah mereka itu?”.'? Sedangkan, d) Qadhi Iyadh berkata, “Yang dimaksud oleh imam Ahmad bin Hambal adalah ahlus-sunnah wal jama’ah, dan orang- orang yang mengikuti manhaj ahlul hadits”."* “Dan ahlil hadits —seperti yang dikemukakan oleh Khathib al- baghdadi-- adalah mereka pemegang amanah Allah di antara seluruh makhluk-Nya, penyambung antara ° Abdurrahman ibnu Miv’alla Al-Luwaihiq, Quaid Fi At-Ta'arnul Ma'a Al-Vlama’, bal. 19 Diriwayatkan oleh imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya, pada kitab; ALI’tisham, bab; Qaulun Nabi saw, “La Tazaalu Tha'ifah...”, jl. 8, hal. 149. Dan diriwayatkan juga oleh imam Muslim di dalam kitab Shabihnya, pada kitab; Al-Imarah, bab; Qaulun Nabi sam, “La Tuzaalu Tha'ifah...”. "’ An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jil. 13, hal. 67. Abdurrahman ibnu Mu’alla Al-Luwaihig, Qawa'id Fi At-Ta'amul Ma’a Al-Vlama’, hal. 19 ” Ibid, hal.19 2) Badruddin Hsubky nabi dan umat-nya, dan orang-orang, yang berijtihad di dalam menjaga agama-Nya,”!* Belum banyaknya tuntutan terhadap devinisi ilmu takhrij yang lebih terperinci. Sebab, selain para ulama hadits diyakini tidak meriwayatkan hadits-hadits - yang maudhu’/palsu, mereka juga sangat selektif dalam mengambil hadits dari seseorang. Hal ini dapat terlihat dari perkataan sahabat, dan dari pengakuan para ulama hadits setelah mereka. Di antaranya adalah; a) Imam Malik bin Anas -radhiallahu b) ‘onhu-, berkata: “Ilmu itu tidak diambil dari orang yang mengajak manusia untuk mengikuti hawa nafsunya, juga ilmu tidak diambil dari orang yang bodoh sekalipun ia orang yang paling banyak meriwayatkan hadits. Iimu juga tidak diambil dari orang yang berdusta terhadap as-sunnah dan bahkan tidak diambil dari_~—=sorang-—_-yang mulia/terhormat dan rajin beribadah, namun ia tidak mengetahui hadits yang diucapkannya.”!? Yonu Abi Uwais Ismail ibnu Abdullah Al-Ashbahi, berkata: “Aku mendengar pamanku, (Malik bin Anas) telah berkata, “Sesungguhnya ilmu [takhrij hadits, pent.] ini adalah sebagian dari ilmu agama, maka perhatikanlah dari mana kamu mengambil —_ajaran agamamu”. Lanjutnya, “Sungguh aku telah mendapatkan tujuh puluh orang di mesjid ini [mesjid nabawi] yang “DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Kasyful Litsums ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kaito: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet, Pertama, juz 1, hal. 31. Untuk lebih lanjut lihat, Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnu Tsabit Al-Khathib Al-Baghdadi, Syaraf Ashhabul Hadits, hal. 8-9, *S syeikhul Islam Ahmad ibe Taimiiyah, mu Al- Hadits, (Kaito: Dar At-Taufiq An-Namudzajiyah, 1984) cet, Pertama, hal, 108, Vol. 1 No. 1 mengatakan; “Rasulullah _telah bersabda: “Akan tetapi aku tidak mengambil sedikitpun dari mereka. — meskipun jika mereka diberi amanah untuk menjaga harta di baitul mal niscaya mereka akan amanah--, namun karena mereka bukan termasuk dalam golongan ahlul hadits”.'* ©) Khatib Al-Baghdadi _ berpendapat: “Mereka yang boleh diterima atau diambil ilmunya adalah mereka yang menjaga as-Sunnah dari sisi hafalan dan periwayatan, sehingga mereka mendapatkan aslinya. © Merekalah orang-orang yang berhak atasnya dan yang patut disebut sebagai ahlinya. Mereka telah menjaga _tiang-tiang agama dan mendirikan perintah- perintth yang ada. dalam kandungannya”.! 0, Pengertian Imu Takhrij Menurat Mutaakhirin Atul Hadits Jika para ulama ___ generasi pertama/mutagaddimin cenderung lebih sederhana di dalam mendevinisikan takhrij, maka para ulama__ hadits mutaakhirin justru lebih memperluas dan metincinya. Hal ini dapat terlihat dari devinisi yang mereka sampaikan, antara lain; a. Aull ga yal Ge oo) Guba ie Upale pall ee duis ood Cuan “Menyandarkan hadits-hadits kepada orang yang meriwayatkannya dari para ulama hadits di dalam kitabnya, Khazanah dengan menyertakan hukum atau status keabsahan hadits-hadits tersebut.)* DB. cf Alla ce Hist) ay Qual ge Sysot al aie yall aleaall ya dua pe Uppiligay Atte asibly Cuatady) gd oo gH csill y “Menyandarkan — suatu—_hadits setelah diketahui keadaannya kepada tempat-tempat —_periwayatannya; —_yaitu sumber-sumber yang diakui oleh para ulama —hadits, yang —_ menyebutkan didalamnya hadits-hadits beserta sanadnya yang dimiliki oleh penulis sumber itu ssendiri.” Ada beberapa = allasan yang menyebabkan para ulama hadits pada generasi terakhir lebih memperluas dan merinci devinisi takhrij tersebut, di antaranya; 0) Adanya tuntutan untuk melakukan hal itu, agar keabsahan hadits tetap terjaga. 0) Supaya devinisi tersebut lebih bersifat integral dan terbatas pada bidangnya, atau Qits als, sehingga tidak bercampur dengan bidang ilmu-ilmu hadits yang lainnya. Dari kedua devinisi tersebut, tidak didapatkan adanya perbedaan yang sangat signifikan. Hanya saja pada devinisi kedua disebutkan bahwa kitab-kitab yang dijadikan sebagai sumber/sandaran suatu hadits haruslah kitab-kitab yang diakui oleh para ulama hadits, sedangkan pada devinisi pertama tidak disebutkannya. c). 2utlnae yd Cyan) avage fo ANall Ayal ale Ait ya clay pb olay Aig AI (fill Ae *S Ibid, hal. 108. 7 DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Kasyful Litsam ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul ‘Anam, (Kairo: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet. Pertama, juz 1, hal. 31. Untuk lebih lanjut That; Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnu Tsabit Al- Khathib Al-Baghdadi, Syaraf Ashhubul Hadits, hal. 10, '® Abu Muhammad Abdul Muhdi ibnu Abdu! Qadir ibnu Abdul Hadi, Thurugs Takhrij Hadits Rasulullah saw., (Kaito: Darul l’tisham, 1986) cet. Ke-4, hal, 10. ’° DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Kasyful Litsam ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kaito: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet. Pertama, juz 1, hal. 28. eae ae ce Metode Takhrij Hadits “Menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber aslinya, dimana_hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan”™. Penjelasan devinisi ilmu hadits bagian (c): takhrijul 1) Menunjukan tempat hadits. Ini berarti menyebutkan kitab-kitab tempat adits tersebut. Mislanya, perkataan: — dagaue yd wstdall dail maksudnya Al-Bukhari telah mentakhrijkan dalam kitab shahihnya, Atau semitsal: danse ob pil hth dy 3! maksudnya, At-Thabrani telah mentakhrijkan hadits dalam kitab Mu’jamnya. Atau perkataan: wodall 4a 8/ oyuai ut ~ maksudnya At-Thabari telah mentakhrijkan adits didalam kitab tafsirnya. 2) Sumber-sumber asli hadits ialah; a) Kitab-kitab hadits yang dihimpun para pengarang dengan jalan yang diterima dari guru-gurunya dan lengkap dengan sanad-sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, seperti kitab clull ‘Gull (hadits enam), dlls aladit Unsall saat ald aie Slal} plo dais | Gia ae pW cies dan sesamanya. Kitab-kitab hadits mengikut (c#) kitab-kitab hadits pokok diatas, seperti kitab-kitab yang menghimpun kitab- kitab hadits di atas. Misalnya kitab oss!) Gy gael karangan Al- Hamidy. Kitab-kitab yang menghimpun bagian terkecil ( “ial! ) Kitab-kitab ini misalnya kitah 4ésG iby! Ai ayy G29) karangan Imam b ?° DR. Muhammad at-Thahan, Ushult Takhrij Wa-dirasattul Asaanid, yang diterjemahkan oleh Drs, Ridlwan Nasir MA. Bina IImu, Surabaya, 1995 M. Hal.5. Badruddin Hsubky al-Maazi. Dan kitab ringkasan dari Kitab-kitab tersebut, misalnya kitab glo cal Glad wigs karya al-Mundziri. Kitab-kitab terakhir in} meski al- Mundziri telah membuang sanad-sanad hadistnya, tetapi secara tidak langsung terdapat sanad sanad di dalamnya. Karena orang yang menghendaki sanadnya harus melihat kembali kitab sunan Abi Dawud (kitab aslinya). ) Kitab-kitab selain hadits, --misalnya Kitab tafsir, fikih, dan sejarah, yang didukung oleh hadits dengan syarat penulisnya meriwayatkan —_lengkap dengan sanadnya sendiri. Maksudnya, mereka tidak mengambil dari kitab- kitab sebelumnya. Diantara kitab-kitab ini adalah seperti kitab tafsir dan tarikh karangan at-Thabari, dan kitab al-Um karangan Imam Syafi’i. Kitab-kitab tersebut bukan merupakan _ kitab himpunan hadits, namun pembahsannya didukung oleh hadits, baik dalam menafsirkan ayat maupun menjelaskan hukum dan sebagainya. Kitab-kitab yang menyebutkan _hadits-hadits tersebut sebagai pendukung, pengarangnya biasanya _selalu meriwayatkan dari para gurunya lengkap dengan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW dan tidak mengambil karya lain yang sebelumnya. Inilah yang dimaksud degan sumber-sumber hadits yang asli. Sedangkan menisbatkan _hadits kepada kitab-kitab yang hanya menghimpun sebagaian hadits, tanpa memakai jalan yang diterima dari guru- gurunya (hanya = dari_—ikitab-kitab sebelumnya) adalah tidak —_termasuk pengertian takhrij menurut istilah, tetapi hanya menjelaskan suatu hadits yang terdapat dalam kitab tertentu. Ini termasuk penisbatan terakhir dari orang yang tidak rene ae Vol. 1 No. 1 mampu megetahui sumber asli dari suatu hadits, sehingga ia menempati derajat terrendah. Kenyataan seperti ini tidak pantas bagi ilmuwan muslim terutama ahli hadits atau mungkin para sarjana atau calon sarjana yang menekuni tentang hadits. Kitab-kitab yang terhitung sebagai sumber asli hadits adalah kitab- kitab yang hanya meghimpun_hadits- hadits hukum. Misalnya, kitab eld &.sb yang menjelskan dalil-dalil hukum karangan Al-Hafidh Yonu Hajar al- Asqalani. Kitab-kitab yang menghimpun hadits-hadits berdasarkan urutan huruf hijaiyah, mislanya jal! eatati] karangan Imam as-Sayuthi, Kitab Aust) Cysla Qt tide karangan As-Sayyid Ahmad Al-Hasyimy. Dan kitab-kitab yang menghimpun kitab- kitab hadits sebelumnya dengan bentuk yang bermacam-macam semisal kitab gall oa 8! dan kitab Geatluall yal, keduanya karangan An-nawawi. Kitab- kitab tersebut hanya sebagai petunjuk pada sumber-sumber hadits yang asli, karenanya dapat dijadikan sebagai pembantu, 0. Menjelaskan derajat (nilai) hadits ketika dipertukan. Maksudnya menjelaskan nilainya, baik sahih, dhaif, dan sesamanya jika diperlukan. Karena itu menjelaskan nilai hadits tidak merupakan hal yang mendasar dalam rientakhrij _hadits melainkan haya penyempurnaan yang harus dipenuhi ketika diperlukan. . Urgensi Mempelajari Iimu Takhrij Dengan kedudukan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur an”, | DR. Yusuf Qardhawi, As-Sunnah Mashdaran Li ALMa’rifah wa Al-Hadharah, (Kaito: Dar Asy-Syurg, 2002) cet. Ke-3, hal. 7. Khazanah maka urgensi mempelajari dan mengerti imu takhrij dengan baik, tidak disangsikan lagi. Sebab, dengan bantuan ilmu takhrij kita akan dapat mengetahui, apakah hadits itu shahih atau tidak sehingga yang shahih dapat dijadikan sebagai dasar hukum, dan yang dhaif menjadi sebaliknya. Para ulama sepakat bahwa, As- sunnah selain kedudukannya sebagai sumber hukum — setelah al-Qur'an, juga merupakan penjelas bagi hukum-hukum yang ada di dalam al-Quran. Seperti dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hambal “Sesunggubnya sunnah itu menafsitkan al- Qur'an dan menjelaskannya”.” Bahkan Al- Makhul berkata, “Al-Quran lebih membutuhkan sunnah dari pada sunnah membutubkan al-Qur'an.””? Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, menjaga kebenaran as-sunnah dan mengetahui yang shahih dan yang dha’if darinya, adalah suatu keharusan bagi kita selaku pengikut sunnah Rasulullah saw. Hal itu agar kebenaran hukum Islam yang telah ditetapkan oleh hadits-hadits yang shahih tidak ternodai/bercampur dengan hadits- hadits yang dha’if atau hadits palsu Fakta sejarah menunjukkan banyaknya bermuculan hadits-hadits palsu antara lain: 4 Mes alll - Sigdy ge yplti duel - 2 OR. Muhammad ibru Muhammad Abu Syahbah, Difa’ ‘an As-Sunnah, (Kaito: Maltabah As- Sunnah, 1989) cet. Pertama, hal. 13 ® Ibid, hal. 13 * Imam Az-Zarkasyi, As-Sakhawi, dan imam As- Suyuthi berkata, “Hadits ini tidak memiliki dasar”, Syeikhul Islam Ahmad ibnu Taimiyah, How Al- Hadits, (Kairo: Dar At-Taufiq An-Namudzajiyah, 1984), cet. Pertama, hal. 522. 5 Hadits ini dha’if. Bahkan menurat para ulama hadits, ia adalah hadits maudhu’. Sekalipun imam At-Turmudzi meriwayatkannya, akan —_tetapi Kemudian beliau sendiri mengatakan, “bahwa ia adalah adits mongkar”. adits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Mustadrak, Ath-Thabari di dalam Al-Kabir, dan Abu Syeikh di Metode Takhrij Hadits sels le od pall eal LU 9 WU G+ 264iat) JSa Pal ok gills Aad od Gent - AS 1g ecyall g shall ous pal y Lyd cis - Woy ola Y gal glad Selain banyak hadits palsu, ada juga kelompok yang menafikan terhadap hadits-hadits shabih, seperti; hadits shahih Hamada gle iS Ga yang dinafikan oleh Abu Rayyah”’. Atau pemitnahan terhadap ulama-ulama dan perawi hadits, seperti tuduhan babwa ulama-ulama hadits tidak bersikap objektif dalam —menerima hadits”. Umar bin Khaththab misalnya dianggap meremehkan hadits dan hanya merujuk kepada al-Qur’an*!, dan berbagai macam fitnah yang tidak mendasar yang ditujukan kepada Abu Husairah, Abu Hurairah dituduh hanya berpihak kepada My’ awiyah™. Ada golongan (syi’ah) yang menganggap bahwa Abu Hurairah tidak dalam As-Sunnah, Hadits yang senada dengan hadits tersebut adatah hadits, (Ub cle 5 RaSall it Ul ) yang diriwayatkan oleh imam At-Turmudzi dan Abu Nu’aim. Akan tetapi, ‘adits ini pun tidak diterima. Darul Quthni berkata di dalam Al-‘ilal, “Hadits ini adalah hadits Mudhtharib, Tidak memiliki dasar”. At-Purroudzi sendiri berkata, “la adalah hadits mungkar”. {mam Al-Bukhari berkata, “la tidak memiliki sisi yang benar”. Al-Khathib Al-Baghdadi menukil dari ‘Yahya ibnu Mu’in, “Hadits tersebut adalah dusta. Tidak memiliki dasar”. Zbid, hal. 523-534. % Imam An-Nawawi berkata di dalam Syarah Al- Muhadzib, “Hadits ini Maudtw’. Tidak memiliki dasar”. Ibid, hal. 526, 7 Imam Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini di dalam kitdonya “Adh-Dhu’afa™”, Kemudian beliau menje-laskan bahwa hadits tersebut adalah hadits maudhn’, Ibid, hal. 526. 6 Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini dha’ if”. Az-Zarkasyi berkata, “Hadits dengan lafazh seperti ini tidak memiliki dasar”, bid, hal. $27. ® Lebih lanjut lihat; Muhammad ibnu Muhammad Abu Syuhbah, Difa’ ‘an As-Sunnah, (Kairo: Maktabah As-Sunnah, 1989) cet, Pertama, al. $1. Ibid, hal. 258. 3 Dhid, hal, 280, ® Did, hall. 155, Badruddin Haubky disebutkan di dalam kitab Thabaqat Shahabah®’, karenanya Abu Huraira banyak meriwayatkan hadits-hadits palsu (maudhu’) tentang ALi, dan lain sebagainya. Tuduhan-tuduhan yang tendensius dan mendiskriditkan shahabat tersebut, jelas meng-isyaratkan akan pentingnya mempelajari imu takhrij hadits. C. Manfaat Mempelajari Iimu Takhrij Secara umum manfaat dari mempelajari ilmu takhrij adalah untuk memudahkan seseorang dalam mencati suatu hadits beserta derajatnya yang telah ditetapkan para ulama dari sumber-sumber aslinya yang diakui oleh para ulama abli hadits.** Akan tetapi apabila dilihat lebih mendalam, maka akan dapat diketahui bahwa manfaat dari ilmu takhrij hadits ini sangat banyak, antara lain: 1. Mengetahui ulama yang meriwayatkan hadits tersebut beserta letaknya di dalam kitab-kitab sunnah yang asli. 2. Mengetahui lebih banyak sanad dari suatu hadits. 3. Mengetahui hadits. 4. Mengetahui ketetapan para ulama hadits terhadap suatu hadits dan pendapat mereka tentang hadits tersebut, dari sisi shahih atau tidaknya. 5. Mengetahui perawi yang mubham fsamar], 6. Mengetahui ziyadah —_{tambahan- tambahan] yang terdapat dalam suatu hadits. keadaan sanad suatu ® Ibid, hal. 153. * Thid, hal. 159. * DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Kaspful Litsam ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kaito: Darul Kutub Al-Masiiriyah, 1984) cet. Pertama, juz 1, hal. 39, Vol. 1 No. 1 7. Mengetahui makna kata yang gharib [asing] pada suatu hadits. 8. dan lain sebagainya.* BAB I SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU TAKHRIJ A. Sejarah Singkat Secara singkat, sejarah perkembangan ilmu takhrij terbagi dalam tiga periode: Pertama; _periode dasar_— atau pendahuluan [cikal bakal munculnya ilmu takhrij] yang ditandai_-— dengan bermunculannya banyak kitab-kitab hadits yang diakui oleh para ulama hadits. Pada periode ini terjadi dalam tiga masa; 1. Masa shuhuf -shuhuf para sahabat dan tulisan-tulisan mereka. 2. Masa penulisan hadits para tabi’in, yang berakhir dengan muncul nya pembukuan sunnah-sunnah secara manhaji [sistematis) pada seperempat awal abad kedua hijrah. 3. Masa penulisan kitab-kitab sunnah yang dimulai pada seperempat awal tahun kedua hijrah hingga seperempat akhir tahun ke tiga hijrah. Kedua; periode perkembangan, yang menjadi cikal bakalnya imu takhrij yang ditandai dengan disepakatinya kitab- kitab sunnah tertentu, sebagai kitab-kitab yang diutamakan dan diakui sebagai sumber-sumber hadits. Periode ini dimulai pada seperempat akhir abad ke tiga hijrah, hingga akhir-akhir abad ke empat hijrah. % Lebih Janjut lihat; Abu Muhammad Abdul Muhdi ibnu Abdul Qadir ibnu Abdul Hadi, ‘Thurugu Takhrij Hadits Rasulullah saw., (Kaito: Darul Ptisham, 1986) cet. Ke-4, hal. 11-14. Khazanah Ketiga;_periode ~—_penetapannya sebagai suatu ilmu, yang memiliki kaidah- kaidah dan manhaj-manhaj sendiri. Periode ini dimulai pada akhir-akhir abad ke empat hijrab, dan terus__berkembang hingga sampai sekarang ini.’” B. Kitab-kitab Takhrij Yang Pertama Kitab takhrij yang pertama adalah kitab takhrij karangan Al-Khathib Al-Baghdadi [463 H.], Beliau mentakhrijkan hadits dari beberapa kitab yang dikarang oleh para ulama, diantaranya: a) b) ¢) Kitab takhrij Gesell (fb Aybasiatial il HA) karangan Asy-Syarif Abu Al- Qasim Al-Husaini, Kitab takbrij Gesell (A Apediasl sith willy karangan Abu Al-Qasim Al- Mahrowani, dan kedua kitab tersebut masih berbentuk naskah, Dan setelah itu muncul Kitab takhrij gall Cyst) gy as karangan Muhammad bin Musa Al- Hazimi Asy-Syafii [584] sedangkan kitab Muhadzabnya itu sendiri adalah kitab figih Syafi’i, yang ditulis oleh Abu Ishaq Asy-Syairozi. Selanjutnya bermunculan kitab-kitab takhrij yang lain sehingga jumlahnya mencapai puluhan kitab.* * DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Kasyful Litsam ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kaiso: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet. Pertama, juz 1, hal. 67. ** Drs. A. Zarkasyi Chumaedy, Diktat Umu Takhrij Al-Hadits, (Bandung: IAIN Gunung Jati, 1990) hal. 4. Diktat ini bersumber pada kitab “Ushsl At- Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid”, karangan DR. Mahmud At-Tohan, Metode Takhrij Hadits C. Kitab-kitab Takbrij Yang Populer Dan Pengarangnya Ulama-ulama hadits telah _menulis berpuluh-puluh kitab takhrij °° yang popular diantaranya: 1) Kitab Takhrij ( opal Qytladl gu as karya Abu Ishaq As-Saerazi), karangan Muhamad bin Musa al- Hazimi (584 H). 2) Kitab Takhrij (tytn Sl quai Alogi! karya Al-Margigani_), karangan Abdullah bin Yusuf az- Zaila’i (-762 B). 3) Kitab Takhrij ( Gxai) gat veSll neil ~ karya Ibnul Hijab), karangan Ahmad bin Abdul hadi Al- Maqdisi (-774 H). 4) Kitab Takhrij ( diss QutaSi gy As karya Al-Jahiz), masih karangan Az- Zaila’i. Kitab Takhrij ( gidi gi yalall sul aS cotll CA dag Uily cyte! karya Ar-Rifa’i ), karangan Umar bin Ali bin al-Mulqin (-804 HD). Kitab Takhrij ( 4 lui des ce (tall JSS) Oe ele! Gils g55 ), karangan Abdur Rahim bin al-Husain Al-‘Iraqi (806 H). 7) Kitab Takhrij ( vias 85) yang ditandainya dalam setiap _tulisan, masing di karang oleh Al-Haafiz Al- “Iraqi. Kitab Talhrij ( GUS 2 448! eval! pl GASH just Sig gl yd ysl! , karangan Ahmad bin Ali bin Hajar Al- A‘sqalani (852 1), Kitab Takhrij ( Cu aS a5 (8 Lal Ajsgli), masih karangan al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqalani juga, } 6 8 9) * Nama-nama Kitab takhrij yang bejumlah sekitar 40 dapat dibaca dalam kitab ar-Rialatul Mustatrafah, bal 185-190. Badruddin Hsubky 10)Kitab Takhrij ( GAd oA sult) Mins esslaayd) Cudo4s ), karangan Abdur-Rauf Al-Munawi. BABIV METODOLOGI PENTAKHRIJAN HADIST DAN ASPEK-ASPEK NYA A. Metode Takhrij Adanya perbedaan para ulama hadits di dalam menyusun kitab-kitab hadits, maka metode mentakhrij suatu hadits dari kiteb-kitab tersebut juga berbeda-beda.° DR. Abdul Muhdi, didalam bukunya Thurugu Takhrij menyebutkan: “Sika dilihat dari sisi cara menulis kitab- kitab hadis yang dilakukan oleh para ulama hadits, maka metode mentakhrij hadits dari kitab-kitab tersebut ada lima cara; 1. Dengan melihat huruf yang terdapat pada awal hadits. 2. Dengan memilih salah satu lafazh dari lafazh-lafazh yang ada di dalam suatu hadits. 3. Dengan melihat perawi pertama pada suatu hadits. 4. Dengan melihat tema pada suatu hadits. 5. Dengan menentukan jenis suatu hadits”” Lebih = lanjut = Abdul = Muhdi menjelaskan: a) Di dalam kitab-kitab adits yang disusun sesuai dengan ‘urap-hurup mu'jam, atau hurup hija'iyah, maka cara mentakhrij haditsnya, adalah dengan melihat huruf yang terdapat pada awal hadits. on Muhammad Abdul Mubdi ibnu Abdul Qadir ibnu Abdul Hadi, Thurugu Takhrij Hadits Rasulullah saw., (Kaito: Darul Ptisham, 1986) cet. Ke-4, hal. 23. * Did, hal. Raeaaseeee aa amare eeaeeeseeeEeS eSee ia Vol. 1 No. 1 b) Pada kitab-kitab hadits yang disusun sesuai dengan pembahasannya, seperti hadits-hadits tentang shalat yang dikumpulkan dalam bab shalat —dan seterusnya--, maka cara _mentakhrij hadits dari kitab-kitab itu, adalah dengan memilih salah satu lafazh dari lafazh-lafazh yang ada dalam hadits tersebut. Pada kitab-kitab hadits yang disusun sesuai dengan perawi awalnya, (seperti jika hadits itu muttashil maka awalnya adalah para sahabat, dan jika hadits itu mursal maka awalnya adalah tabi’), maka cara mentakhrij hadits dari kitab-kitab tersebut, adalah dengan melihat perawi pertama pada hadits tersebut. Pada kitab-kitab hadits yang disusun sesuai dengan jenis hadits, --seperti hadits qudsi yang dikumpulkan dengan hadis-hadis qudsi, _hadits mutawatir dengan mutawatir, mursal dengan mursal, maudhu’ dengan maudhu’, dan seterusnya----, maka cara mentakhrij hadits dari kitab-kitab itu, adalah dengan melihat tema pada hadits tersebut. e) Pada kitab-kitab adits yang menyusun bagian-bagian hadits sesuai dengan lafazh-lafazh yang ada di dalamnya, [sebagaimana yang terdapat pada kamus-kamus bahasa arab], maka cara mentakhrij hadits dari kitab-kitab tersebut, adalah dengan cara menentukan jenis hadits yang bersangkutan, Namun demikian, jika dilihat dari sisi “tahapan munculnya _metode pentakhrijan adits”, maka cara mentakhrij suatu hadits ita ada enam, yaitu: 1) Dengan cara membaca dan mengikuti. °) d * Ibid, hal. 23-24, 2) 3) 4) 7 6) Khazanah Dengan cara menyimpulkan dan memahami kandungan hadits secara seksama, lalu melihatnya pada kitab- kitab hadits yang diakui oleh para ulama. Cara ini digunakan untuk mencari hadits, dari kitab-kitab sunnah yang disusun menurut pembahasan di dalam bab-bab fiqih. Dengan cara melihat perawi pertama pada suatu hadits. Cara ini digunakan untuk mentakhrij hadits dari kitab-kitab yang disusun menurut _perawi pertamanya. Dengan cara melihat huruf yang terdapat pada awal hadits. Cara ini digunakan untuk mentakbrij hadits dari kitab-kitab yang disusun sesuai dengan huruf mu ‘jam/hijaiyah Dengan cara. memilih ~— dan menyimpulkan tema yang terdapat di dalam suatu hadits. Cara ini digunakan untuk mentakhrij suatu hadits, dari kitab-kitab yang disusun dengan pembahasan yang berbeda-beda. Sedangkan dengan cara yang keenam adalah memiliki beberapa tahapan: a) Memilah lafazh-lafazh pada hadits yang ingin ditakhrij Menjauhkan bentuk-bentuk hurup yang terdapat di dalam hadits tersebut, seperti hurup jar, nasab, dan jazm. a) Menjauhkan isim-isim yang mabni dan isim jamid, fi'il-fi'i jamid, dan alfazh yang sering diulang-ulang. Juga menjauh kan fi'lfi'l naghish kecuali jika harus digunakan, Menghilangkan huruf-huruf ziyadah yang terdapat pada lafazh-lafazh yang jarang digunakan. Menentukan urutan lafazh atau kata seseuai dengan urutan kata yang ada pada kamus-kamus bahasa arab. d) Mencarinya di dalam ma'ajim al- hadits, dan merujukannya kembali b b) ° Metodle Takhrij Hadits kepada sumbernya yang asli dari Kitab-kitab sunah yang diakui oleh para ulama hadits. Cara ini digunakan untuk mentakhrij hadits dari kitab-kitab yang disusun menurut urutan lafazhnya di dalam kamus-kamus bahasa Arab,” Apabila seluruh metode tersebut kita perhatikan dengan seksama, baik metode yang diambil dari sisi pemulisan kitab- kitab hadits yang di lakukan oleh para ulama, maupun dari sisi tahapan munculnya metode pentakhrijan hadits, maka akan kita dapatkan banyak kesamaan di antara keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa, metode-metode pentahrijan adits tersebut, memang muncul bersamaan dengan timbulnya metode-metode penulisan _kitab-kitab hadits yang dilakukan oleh para ulama. Di samping persamaan, kita juga akan mendapatkan perbedaan dan penambahan metode di dalam pentakhrijan hadits pada kedua sisi metode pentakhrijan di atas. Dengan demikian, maka uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: Metode pentakhrijan hadits ada tujuh: 1, Dengan cara membaca dan mengikuti. 2. Dengan cara menyimpulkan dan memahami kandungan hadits secara seksama, lalu melihatnya pada kitab- Kitab hadits yang diakui oleh para ulama. 3. Dengan cara memilih salah satu lafazh dari lafazh-tafazh yang ada di dalam suatu hadits. 4. Dengan cara melihat perawi pertama pada suatu hadits. 5. Dengan cara melihat hurup yang terdapat pada awal hadits. “DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Kasyful Litsam ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kaito: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet. Pertama, juz 1, hal, 257. 9. ou Badruddin Hsubky Dengan cara memilih ~— dan menyimpulkan tema yang terdapat di dalam suatu hadits. Dengan cara mengambil lafazh atau kata yang jarang diulang-ulang di lisan yang bukan berbentuk husuf, buken asma’ yang mabni dan jamid, dan bukan af'al yang jamid serta fril-f'il naqhish. Kemudian menghilangkan huruf ziyadah pada lafazh itu, lalu mencari lafazh tersebut pada ma’ajim al-hadits dan merujuk-kannya pada kitab-kitab hadits yang diakui oleh para ulama. Keistimewaan, Kelemahan Dari Maetoda Takhrij Yang Tujuh Dan Kitab-kitab Takhrij-nya Metode takhrij dengan membaca dan mengikuti cara Keistimewaannya: Disepakati sebagai metode yang paling menyakinkan [aisbaf]. Dengan metode ini si pentakhrij dapat mengetahui banyak hadits lain yang bermanfaat baginya. Dapat digunakan terhadap kitab-kitab hadits yang diakui. seluruh Kelemahannya: Sulit dan butuh waktu lama untuk sampai kepada hadits yang diinginkan. Banyak membuang-buang waktu. Rugi jika ternyata hadits yang dimaksud tidak terdapat di dalam kitab tersebut, sedangkan si pentakhrij telah meluangkan banyak waktu dan tenaganya. Sangat mungkin si pentakhrij tidak mendapatkan adits yang di inginkannya di dalam kitab tersebut, padahal hadits itu ada di dalamnya. Hal ini karena mencari icereaeeeeeeecsecee cease area ee Vol. No.1” 5. dalam waktu yang lama akan membuat bosan dan jenuh.“* ©) Kitab-kitab Takhrij Metode ini Seluruh kitab-kitab takhrij dapat digunakan untuk metode yang pertama ini, 2. Metode takhrij dengan cara menyimpulkan dan memahami kandungan_hadits secara seksama, dan melihatnya pada kitab-kitab hadits yang diakui oleh para ulama hadits. 2 Keistimewaannya: 1. Dapat digunakan pada _berbagai macam kitab hadits yang diakui oleh para ulama, Menambah wawasan pentakhrij terhadap kandungan hadits yang ingin ditakhrijnya. 2. Lebih meringankan pentakhrij dari pada penggunaan metode yang pertama, b) Kelemahannya: 1. Apabila pentakhrij salah dalam memahami dan menyimpulkan isi hadits, maka ia tidak akan sampai pada hadits yang diinginkan. 2. Apabila pemahaman dan kesimpulan pentakhrij benar sehingga ia mendapatkan —_hadits yang diinginkannya, maka hal tersebut akan membuatnya cenderung beranggapan bahwa hadis_—tersebut ~—hanya disebutkan di tempat yang ia dapatkan saja, padahal bisa jadi, juga terdapat pada tempat-tempat yang lain di dalam kitab yang sama.** “ DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Kasyful Litsam ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kaito: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet. Pertama, juz 1, hal. 259-260. * Ibid, hal. 267-269. . e & Khazanah Kitab-kitab takhrij metode ini AL-Mu'jam Al-Mufahras Lialfadzi Al- Hadits An-Nabawi Penulis, DR. A. Y. Fensink yang dibantu oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi.*® Al-Manhal Al-‘Adzhu —Al-Maurud Syarhu Sunan Al-lmam Abu Daud Penulis, Mushtafa ibnu Bayumi.*” Metode takhrij dengan cara memilih salah satu lafazh dari lafazh-lafazh yang ada di dalam suatu hadits. Keistimewaannya: Cepat —menemukan dimaksud hadits yang . _Mudah merujuk ke sumber-sumber asli hadits tersebut. Karena para penulis kitab ini juga mencantumkan nama kitab, bab, juz, dan halaman tempat hadits tersebut di dalam kitab aslinya. Dengan hanya mengetahui sebagian hadits saja, seseorang sudah dapat mencari keberadaan hadits tersebut, di dalam kitab-kitab sunnah yang diakui oleh para ulama hadits. Kelemahannya: . Orang yang menggunakan metode ini haruslah orang yang menguasai ilma bahasa arab dengan baik. Metode ini tidak dapat digunakan untuk mencari atsar [perkataan sahabat], sebab yang dimuat pada kitab-kitab untuk metode ini, hanya hadits-hadits Rasulullah saw. “© Abu Muhammad Abdul Muhdi ibru Abdul Qadir ibnu Abdul Hadi, Thurugu Takhrij Hadits Rasulullah saw., (Kairo: Darul I’tisham, 1986) cet. Ke-4, hal. 87, “DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Kasyful Litsam ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kaito: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet. Pertama, juz 2, hal. 600, © Abu Muhammad Abdul Muhdi ibnu Abdul Qadir ibnu Abdul Hadi, Thurugu Takhrij Hadits Bdici muri INS eT Metode Takhrij Hadits 9 Kitab-kitab Takhrij Metode ini 1, ALMu’jam Al-Mufahras Lialfadzi AlL-Hadits An-Nabawi Penulis, DR. A. Y. Fensink yang dibantu oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi. 2, AlManhal Al-‘Adzbu Al-Maurud Syarhu Sunan Al-Imam Abu Daud Penulis; Mushtafa ibnu Bayumi. - }. Metode takhrij dengan cara melihat perawi pertama pada suatu hadits. a) Keistimewaannya: - Memperbanyak wawasan tentang sanad-sanad hadits. b Kelemahannya: - Tidak dapat digunakan kecuali setelah mengetahui rawi pestama dari suatu hadits.° c) Kitab-kitab Takhrij Metode ini 1. Tufatul Asyraf Bima’rifati Al-Athraf Penulis; Jamaluddin Abu Al-Hajjaj Yusuf ibnu Az-Zaki Abdurrah-man jon Yusuf Al-Qadha’i Al-Kalbi Al- Muzi Ad-Dimasygi Asy-Syafi’i. 2, An-Nakiu Azh-Zharraf ‘Ala Al- Athraaf Penulis, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al- ‘Asqalani. 3. Dzakha’ir Al-Mawarits Fi Ad- Dilalah ‘Ala Mawadhi’ Al-Hadits Penulis; Abdul Ghani ibnu Isma’il ibnu Abdul Ghani ibnu Isma’il An- Nablusi Al- Hanafi Ad-Dimasyqi 4, Musnad Al-Imam Ahmad ibnu Hambal Pemulis; Imam Ahmad ibm Hambal.” Rasulullah saw., (Kai Ker, hal, 83-84. ® Ibid, hal. 105-105. * Abu Muhammad Abdul Muhdi ibnu Abdul Qadir ibnu Abdul Hadi, 7hurugu Takhrij Hadits Rasulullah sav., (Kairo: Darul I’tisham, 1986) cet. Ke-4, hal, 111-139. yarul I'tisham, 1986) cet. Badruddin Hsubky 5. Metode Takhrij dengan cara melihat huruf yang terdapat pada awal hadits. a) Keistimewaannya: -Mudah mendapatkan hadits yang dinginkan.! b) Kelemahannya: 3. Adanya kesalahan sekecil apa pun pada awal hadits menyebabkan pentakhrij tidak dapat menemukan hadits yang dicarinya.? 4. Sulit untuk mendapatkan hadits yang diinginkan jika pentakhrij tidak benar- benar yakin tethadap hurof pertama dari hadits yang akan dicarinya. ©) Kitab-kitab Takhrij Metode ini 1, Al-Jami’ Ash-Shaghir Min Hadits Al- Basyir An-Nadzir Penulis; Imam Al Hafizh Jalaluddin Abul Fadhl Abdurraman ibnu = Abu_—-Bakar Muhammad Al- Khudhairi As-Suyuthi Asy-Syatv'i. 2. Al-Fathu Al-Kabir Fi Dhami Az- Ziyadah Ma Al-Jami’ Ash-Shaghir Penulis; Imam Al-Hafizh Jalaluddin Abul Fadhi Abdurraman ibnu Abu Bakar Muhammad Al-Khudhairi As- Suyuthi Asy-Syafi’i 3. Jamul Jawami? atau Al-Jami’? Al- Kabir Penulis; Imam Al-Hafizh Jalaluddin Abul Fadhl Abdurraman ibm Abu Bakar Muhammad Al- Khudhairi As-Suyuthi Asy-Syafi'i 5) Ibid, hal. 27. Likat juga; DR. Abdal Maujud Muhammad Abdul Lathif, Kasp/ul Litsant ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kaito: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet. Pertama, juz 2, hal. 201 * Ibid, hal. 27. * DR. Abdul Manjud Muhammad Abdul Lathif, Kasyful Litsam ‘an Asrar Takhrij Hadits Saidul Anam, (Kaito: Darul Kutub Al-Mashriyah, 1984) cet, Pertama, juz.2, hal. 201 Vol. 1No. 1 3 Al-Jami’ Al-Azhar Min Hadits An- Nabi Al-Anwar Penulis; Al-Hafizh Abdurra’uf ibnu Tajuddin Ali ibnu Al- Haddadi Al-Munawi Al-Qahiri Asy- Syaf’i. Hidayatul Bari Na Tartibi Ahadits AL-Bukhar Penulis; Abdurtahim ibnu Ambar Ath- Thahthawi. Kunuzul Haqa’ig Fi Haditsi Khairul Khalaig — Penulis, ~—Al-Hafizh Abdurra’uf ibnu Tajuddin Ali ibnu Al- Haddadi Al-Munawi Al-Qahiri Asy- Syafi’i. Al-Magashid Al-Hasanah Fi Bayani Katsirin Min Al-Ahadits Al-Musy- tahirah ‘Ala Al-Alsinah. Penulis; Al- Hafizh Syamsyuddin Abu Al-Khair Muhammad ibnu Abdurrahman As- Sakhawi. . Tamyiz Ath-Thayyib Min Hadits Fi Ma Yaduru ‘Ala Alsinati An-Nas Min Al-Hadits— Penulis; Imam Abdurrahman ibnu Ali. Murid imam As-Sakhawi. . Kasyful Khafa Wa Muzilil Albas ‘Amma Isytahara Min Ahadits ‘Ala Alsinati An-Nas. Penulis, Isma’ ii ibnu Muhammad ibnu Abdul Hadi Al- Jarahi Ad- Dimasyqi. .AsnaAl-Mathalib Fi Ahadits Mukhtalifil — Maratih —_Penulis; Muhammad ibny Darwisy Al-Huti. .Miftahn Ash-Shahihaini Penulis, Muhammad Syarif ibnu Mushthafa At-Taugadi . AL-Baghiyah Fi Tartib Ahadits At Hilliyah Penulis,; Abdul Aziz ibnu Muhammad ibm Shiddiq Al- Ghumari. Miftah At-Tartib Li Ahadits Tarikh Al-Khatib Penulis,; Ahmad ibnu Muhammad ibnu == Shiddiq Al- Ghumari. 14, Is. » wo & .» Metode Khazanah Fahras Mu’jam Ath-Thabrani Shaghir Penulis,; Abdul Aziz Muhammad As-Sadhaan. Fahras Jami’ Bayanul Tmi Fadhlihi Penulis; Abdul Aziz Muhammad As-Sadhaan Dan sebagainya,™* Ash- ibnu Wa ibnu lain Takhrij Dengan Cara Memilih dan menyimpulkan tema yang terdapat di dalam suatu hadits, Keistimewaan metode it Memberi keluasan kepada pentakhrij untuk — mengumpulkan seluruh unsur-unsur yang berkaitan dengan tema yang ada di dalam hadits yang ingin ditakhrijnya. Jika pada akhirnya _pentakhrij menemukan hadits yang dicarinya, maka ia akan mendapatkannya secara sangat terperinci. seorang . Melatih pentakhrij untuk berijtihad di dalam menyimpulkan satu hadits. Kelemahannya: Jika kesimpulan yang dilakukan oleh pentakhrij berbeda dengan kesimpulan penulis buku, maka ia tidak akan mendapatkan hadis tersebut. Banyaknya kesimpulan yang ada pada suatu hadits menyebabkan_pentakhrij sangat sulit untuk — menentukan kesimpulan yang mana yang harus diambilnya. Dan bila beberapa kesimpulan yang telah dicobanya gagal maka sangat = mungkin — akan membuatnya merasa bahwa hadits yang dicarinya tidak terdapat di dalam suatu 5 Abu Muhammad Abdul Muhdi ibnu Abdul Qadir ibmu Abdul Hadi, Thurugu Takhrij Hadits Rasulullah saw., (Kaito: Darul U'tisham, 1986) cet. Ker, hal, 31-79. Foisi lemuari 2002 9 Metode Takhrij Hadits kitab tertentu, padahal bisa jadi hadits tersebut ada di dalamnya.** ¢) Kitab-kitab Takhrij Metode ini 1. Kanzul ‘Ummal Fi Sunani Al-Aquwal wa Al-Afal Penulis; Ali ibnu Hisamuddin Abdul Malik ibnu Qadhi Khan, yang lebih dikenal dengan Al- Muttaga. 2. Muntakhab Kanzul ‘Ummal Penulis; Al-Muttaga Al-Hindi. 3. Miftah Kunuz As-Sunnah Penulis; DR. A. Y. Fensink. 4. AL-Mughni ‘An Hamli AL-Asfar Fi Takhrij Ma Fi Al-Ihya’ Min Al- Akhbar — Penulis; ——Al-Hafizh Abdurrahim ibnu Husain ibnu Abdurrahman. 5. Nashbu Ar-Rayah Litakhrij Ahadits Al-Hidayah —Penulis, —_Al-Hafizh Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah ibmu = Yusuf —ibnu Muhammad ibau Ayyub ibnu Musa Al-Hanafi. 6. Ad-Dirayah Fi Takhrij Ahadits Al- Hidayah Penulis, Al-Hafizh Ahmad ibmu Ali ibnu Muhammad, yang lebih dikenal dengan Ibu Hajar. 7, At-Talkhish Al-Habir Fi Takhrij Ahadits Ar-Rafi’i AL-Kabir Penulis; Al-Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. 8. Muntaga Al-Akhbar Min Ahadits Saidil Akhbar —_Penulis; Majduddin Abdussalam == ibn Abdullah ibau Abi Al-Qasim ibnu Muhammad 9. Bulughul Maram Min Jam’i Adillati AtAkkam Penulis,; Imam Ibou Hajar Al-‘ Asqalani, 10. Tagrib Al-Asanid Wa Tartiib Al- Masanid — Penulis, —Al-Hafizh Zainuddin Al-‘Iraqi. \. At-Targhib wa At-Tarhib Min Al Hadits Asy-Syarif Pemilis, Al-Hafizh + Ibid, hal, 253-255. x Badruddin Hsubky Zakiuddin Abdul Azhim ibnu Abdul Al-Qowi Al-Mundziri. Dan lain sebagainya.*° Metode Takhrij Dengan Cara Mengambil Lafazh Yang Jarang Diulang-ulang, (bukan berbentuk huruf, bukan asma’ yang mabni dan jamid, dan bukan pula afal yang jamid serta fPil-f'il naghish atau lam). Dan menghilangkan huruf ziyadah pada lafazh itu, lalu mencari lafazh tersebut pada ma’ajim al-hadits dan merujuknya pada kitab-kitab hadits yang diakui oleh para ulama, Keistimewaan metode ini: Memudahkan pentakhrij di dalam mendapatkan hadits yang dicari jika ia menguasai cara-caranya. Tidak memakan banyak waktu dan tenaga. Kelemahannya: Sulit untuk mendapatkan hadits yang dicari jika pentakhrij tidak menguasai bahasa arab dengan baik. Banyaknya hadits yang _ tidak dicantumkan di dalam kitab-kitab mu’jam yang digunaken untuk mentakhrij hadits, dapat menyebabkan seorang pentakhrij mengira, bahwa hadits tersebut tidak ada dalam kitab- kitab sunnah yang diakui oleh para ulama,” Kitab-kitab Takhrij Metode it Kanzul ‘Ummal Fi Sunani Al-Aqwal wa ALAf’al Penulis, Ali ibnu Hisamuddin Abdul Malik ibnu Qadhi Khan, yang lebih dikenal dengan Al- Muttaga. *§ Ibid, hal. 155-215. © Ibid, hal, 274-275, Gece eae an eee a Vol. 1 No.1 2, Muntakhab Kanzul ‘Ummal Penilis, Al-Muttaqa Al-Hindi. 3. Miftah Kunuz As-Sunnah Penulis, DR. A. Y. Fensink. 4, AlMughni ‘An Hamli Al-Asfar Fi Takhrij Ma Fi Al-Ihya’ Min Al- Akhbar — Penulis; Al-Hafizh Abdurrahim ibnu Husain fonu Abdurrahman, 5. Nashbu Ar-Rayah Litakhrij Ahadits Al-Hidayah Penulis; —_Al-Hafizh Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah ibnu Yusuf = ibnu Muhammad ibnu Ayyub ibou Musa Al-Hanafi, 6. Ad-Dirayah Fi Takhrij Ahadits Al- Hidayah Penulis; Al-Hafizh Ahmad Yoou Ali ibnu Muhammad, yang lebih dikenal dengan Ibnu Hajar. 7. AtTalkhish Al-Habir Fi Takhrij Ahadits Ar-Raf’i Al-Kabir Penulis; ‘Al-Imam Tbnu Hajar Al-‘Asqalani. 8, Muntaga Al-Akhbar Min Ahadits Saidil Akhbar Penulis; Majduddin Abdussalam ibnu Abdullah ibnu Abi Al-Qasim ibnu Muhammad. 9. Bulughul Maram Min Jam’i Adillati Al-Ahkam Penulis, Imam Tbnu Hajar AL‘ Asqalani. 10. Tagrib Al-Asanid Wa Tartiih Al- Masanid Penulis; Al-Hafizh Zainuddin Al-‘Iraqi. IL, AtTarghib wa At-Tarhib Min Al- Hadits Asy-Syarif Penulis; Al- Hafizh Zakiuddin Abdul Azhim ibnu Abdul Al-Qowi Al-Mundziri Dan lain sebagainya.* 5 id, hal. 155-215. Khazanah C. Contoh Mentakhrij Hadits 0, Cara Az-Zaila’i Mentakhrij Hadits Dalam Kitab 4g]! CystaSt 44)! quad Keunggulan kitab ini Seperti yang dikemukakan oleh Dr.Muhammad Thahan®, bahwa Kitab ini adalah kitab yang terkenal diantara kitab- kitab takhrij lainnya, dan sebuah kitab yang sampai pada kita, ditulis oleh Az-Zaila’i (nama lengakapnya adalah —cyall Jue ila! call Yom Chg col dilae tenn yh) wafat tahun 762 H. . Kitab 4M cual merupakan —kitab takhrij hadits yang dipakai oleh Ali bin Abu Bakar Al- Margigani Al-Hanafi dalam kitabnya al- Hidayah, tentang fikih hanafi. Lebih lanjut Ath-Thahan menjelaskab abbwa kitad 4s quai merupakan kitab takhrij yang paling baik, berguna, banyak menyebutkan sanad-sanad hadits, dan menjelaskan tempatnya dalam Kitab-kitab hadits yang dilengkapi dengan pendapat para ahli jarh wat-ta'dil tentang pribadi para rawi hadits dengan penyajian *° Dr.At-Thahan, Ushul at-Takhrij Wa ad-Dirasatul al-Asaanid, terjemahan Drs, Ridhwan nasir MA. Bina lin, Surabaya, th. 1995 M hal, 11-16. © Az-Zacla’i adalah hafiz hadits ia dinisbatkan pada sebuah desa Zaela’, suartu daerah di dekat Habsyah (Etiopia). Di sana terdapat dataran rendah (As- sumal), Beliau sangat mencintai ilmu serta belajar figih sampai menjadi abli di daerahnya, hidupnya mencurahkan pada hadits, mentakinij, mengarang, menghimppun, dan mendenganr dari para guru dimasanya, seperti Al-Fakhr Az-Zaela'l (Penyusun Syah kitab Al-Kanzu) dan ‘Alauddin At-Turkamani Beliau selalu menpelajari kitab-kitab hadits hingga mampu mentakhrijkan hadits-hadits Kitab al- Hidayah dan al-Kasyaaf serta menguasainya dengan baik, Dalam hal ini, beliaw bersama al'Iraqi menelaah kitab-kitab adits guna _mentakhrijkan Kitab-kitab yang telah belian tekuni berdua dan menyusun kitab-kitab lain tentang takhrij, yaita Kitab Takhrija Ahaadisil Kasyaaf, arya az- Zamakhsyari, Beliao wafat di kairo dan dimakamkan di sana pada tahun 762 H. Metode Takhrij Hadits yang mudah dan tepat serta belum pernah disajikan para ulama-ulama_terdalnuly, Sehingga, sistematika kitab ini banyak sekali diambil oleh para penulis kitab takhrij sesudahnya, terutama oleh al-Hafiz Tbnu Hajar al-‘Ashqalani.®" Kitab 410 quai —lanjut Ath- Thahan--, membuktikan kemahiran Az- Zaela’i dalam bidang hadits dan ilmu- ilmunya, pengetahuannya yang Juas tentang kitab-kitab sumber hadits, dan kemampuannya dalam mentakhrijkan hadits dalam kitab tersebut. Metode takhrij yang dipakai dalam kitab ini adalah menyebutkan teks hadits yang dipakai pengrang kitab al-Hidayah lalu menyebutkann perawi hadits, para imam yang mempunyai kitab-kitab _ hadits lengkap dengan sanad dan tempatnya kemudian menyebutkan hadits yang menjadi sandaran pengertian _hadits pengarang kitab al-Hidayah, lengkap dengan perawinya serta menandai hadits ini dengan kata Glut dyslal Mengenai masalah khilafiyah, Az- Zaela’i menyebutkan hadits-hadits yang dipakai dasar para ulama dan para imam yang berbeda-beda pendapat dengan madzhab Hanafiyah. Beliau menandainya dengan kata = ayaa Cylal dan smenyebutkan perawinya. Semua itu beliau lakukan dengan perasaan yang murni tanpa cenderung pada suatu pendapat.© Kitab ini (Nasbur-Rayah) telah dicetak dua kali, Cetakan pertama di India pada abad XIV H. Namun terus dibekukan karena banyak kesalahan dalam sanad dan matan serta di dalamnya terdapat perubahan tulisan, sehingga tidak dapat digunakan sebagai pedoman. Cetakan kedua di Kairo -di bawah pengawasan/pengoreksian lembaga Badruddin Hsubky keilmuan di Pakistan pada th.1357 H/1938 M—oleh Percetakan Darul Makmun, dicetak menjadi empat jilid. Cetakan kedua_ inilah yang cukup baik.>* Pentakhrijan hadits-hadits dalam kitab ini disusun berdasarkan urutan permasalahan dalam kitab fikih. Mula-mula beliau (Az-Zaeala’i) menakhrijkan hadits- hadits yang berkaitan denga thaharah hingga akhir kitab fikih, seperti telah ditetapkan oleh penulis kitab Al-Hidayah Kitab tersebut sangat mudah dipergunakan, Karena topic setiap hadits dan yang bethubungan dengan itu telah disatukan dalam bab-bab tertentu, sehingga bagi yang menggunakannya cukup melihat babnya saja. Kitab ini, --sebagaimana disebut dalam keterangan tentang metoda kitab ini—merupakan kitab yang sangat berguna untuk mentakhrijkan hadits-hadits hukum, baik yang dipakai dasar oleh golongan hanafiyah maupun yang lainnya.® b. Contoh Mentakhrij dalam kitab

You might also like