You are on page 1of 15

BAB 1

PENDEHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) ialah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria masif,
hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka kejadian SN di
Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun,
sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan anak
laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta,
sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus
Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 19952000.
Semua penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran
protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya sindrom
ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati
primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura HenochSchonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan,
terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya
herediter) dan mempunyai prognosis buruk. Pada tulisan ini hanya akan dibicarakan SN
idiopatik.
1.2 Rumusan masalah
Masalah yang kami angkat pada makalah ini mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan
sindroma nefrotik.
1.3 Tujuan
1.3.1

Tujuan umum

Untuk mendapatkan gambaran tentang asuhan keperawatn dengan sindrom nefrotik serta factorfaktor yang berhubungan dengan masalh tersebut.

1.3.2

Tujuan khusus

Tujuan dari penulisan makalah diharapkan mahasiswa mampu:


1.

Mengetahui pengertian sindrom nefrotik

2.

Mengetahui etiologi sindrom nefrotik

3.

Mengetahui patofisologi sindrom nefrotik

4.

Mengetahui manifestasi klinis sindrom nefrotik

5.

Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada anak yang sindrom nefrotik

1.4 Manfaat
1.
2.
3.
4.
5.

Memahami pengertian dari sindrom nefrotik


Memahami etiologi dari penyakit sindrom nefrotik
Memahami patofisologi sindrom nefrotik
Memahami manifestasi klinis sindrom nefrotik
Dapat memberikan yang tepat pada anak yang sindrom nefrotik

BAB 2

PEMBAHASAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SINDROM NEFROTIK
2.1 Anatomi dan Fisiologi
Glomerulus merupakan gulungan pembuluh darah kapiler yang berada di dalam sebuahkapsul
sirkuler, yang disebut kapsula Bowman. Secara bersamaan, glomerulus dan kapsula
Bowman disebut dengan korpuskulum renalis. Ginjal manusia memiliki sekitar satu
jutaglomerulus di dalamnya. Glomerulus terdiri atas tiga tipe sel intrinsik: sel endotel kapiler,
selepitel yang dipisahkan dari sel endotel oleh membrana basalis glomerular, serta sel mesangial
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat
tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar
kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume
disebut glomerula filtration rate
pemukaan tubuh). GFR

masuk

ke

dibanding tekanan hidrostatik intra

ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh

(GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas

normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.

2.2 Pengertian
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), sindroma nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai
dengan peningkatan protein dalam urin secara bermakna (proteinuria), penurunan albumin dalam
darah (hipoalbuminemia), edema, dan serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas
rendah (hiperlipidemia). Tanda-tanda tersebut dijumpai di setiap kondisi yang ssngat merusak
membran kapiler glomerolus dan

menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerolus.

Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran
glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif
(Donna L. Wong, 2004)
Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC SYNDROME) adalah suatu sindroma (kumpulan gejalagejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan:
proteinuria (protein di dalam air kemih) menurunnya kadar albumin dalam darah
penimbunan garam dan air yang berlebihan meningkatnya kadar lemak dalam darah.

Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak-anak, paling sering timbul pada usia 18
bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.
2.3 Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli
membagi etiologinya menjadi:
a.

Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema
pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu
cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil.
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:
1) Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
2) Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
3) Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun
oak, air raksa.
4)

Amiloidosis,

penyakit

sel

sabit,

hiperprolinemia,

nefritis

membranoproliferatif

hipokomplementemik.
c.

Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa
dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu: kelainan
minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis fokal
segmental.

2.4 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:

a.

Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.

b. Proteinuria dan albuminemia.


c.

Hipoproteinemi dan albuminemia.

d. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.


e.

Lipid uria.

f.

Mual, anoreksia, diare.

g. Anemia, pasien mengalami edema paru.


2.5 Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a.

Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan
sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop
cahaya.
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura
anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma
limfoproliferatif.
c.

Sindrom Nefrotik Kongenital

Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena
sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria.
Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun
pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.
2.6 Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria sedangkan
yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan
permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan
hilannya muatan negative gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya
protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein

didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan
dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari albumin
yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar albumin serum
turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologi tetapi
kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang
memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini disebabkan oleh karena
hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan
pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun
dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume
intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan
system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan
mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan
aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan
hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini
mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan
air yang direabsorbsi akan memperberat edema. (Husein A Latas, 2002: 383).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan mengaktifasi
terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum
meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh
dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002: 383)
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a.

Laboratorium

1) Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment
kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.
2) Darah

Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya


meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida,
fsfat dan magnesium meningkat. Albumin <>
b. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.
2.7 Komplikasi
Menurut Rauf, .2002 : .27-28 :
2.7.1

Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat

hipoalbuminemia.
2.7.2

Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang

menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.


2.7.3

Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi

peninggian fibrinogen plasma.


2.7.4

Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.

2.8 Penatalaksanaan
a.

Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak berdaya

dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan tirah baring selama
diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
b. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan
masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema
menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam
usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang
timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari.
Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang
adekuat.
c.

Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap

kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus dikurangi sampai
minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan
bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan

scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok
kulit.
d.

Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk

mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
e.

Kemoterapi:

1) Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping
minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua
kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10
minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya
pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
2)

Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan

berlebihan, misalnya obat-obatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan obatobatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan
seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
a.

Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga

muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan
tekanan darah.
b. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi
dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak
dengan steroid dan siklofosfamid.
c.

Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan harian,

pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.


d.

Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan

penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini
menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk
rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka
mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada
mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1

Identitas.

Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam (6) kasus pertahun setiap 100.000 anak terjadi
pada usia kurang dari 14 tahun. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah endemik
malaria banyak mengalami komplikasi sindrom nefrotik.
3.1.2

Riwayat Kesehatan.

A. Keluhan utama.
Badan bengkak, muka sembab dan napsu makan menurun
B. Riwayat penyakit dahulu.
Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan GNK, terpapar bahan

kimia.

C. Riwayat penyakit sekarang.


Badan bengkak, muka sembab, muntah, napsu makan menurun, konstipasi,

diare,

urine

menurun.
3.1.3

Riwayat Kesehatan Keluarga.

Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat ditangani dengan terapi biasa dan
bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah kelahiran.
3.1.4

Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Tidak ada hubungan.


3.1.5

Riwayat kesehatan lingkungan.

Endemik malaria sering terjadi kasus NS.


3.1.6

Imunisasi.

Tidak ada hubungan.


3.1.7

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan.

a. Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8


b. Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.
c.

Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba

dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang bermain dengan anak
berjenis kelamin beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan ibu, elektra
kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan ayah.

d.

Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school (inisiative vs rasa bersalah)

yaitu memiliki inisiatif untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli atau
dicela anak akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu.
e.

Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai mempresentasekan dunia

dengan bahasa, bermain dan meniru, menggunakan alat-alat sederhana.


f.

Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar orang dengan kepala,

lengan dan badan, segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam seminggu,
protes bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan kecil, meniru aktivitas
orang dewasa.
g.

Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur, kecemasan, keterbatasan

dalam bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang tua, teman.
3.1.8

Riwayat Nutrisi.

Usia pre school nutrisi seperti makanan yang dihidangkan dalam keluarga. Status gizinya adalah
dihitung dengan rumus (BB terukur dibagi BB standar) X 100 %, dengan interpretasi : < 60 %
(gizi buruk), < 30 % (gizi sedang) dan > 80 % (gizi baik).
3.1.9
a.

Pengkajian Persistem.

Sistem pernapasan.

Frekuensi pernapasan 15 32 X/menit, rata-rata 18 X/menit, efusi pleura karena distensi


abdomen
b. Sistem kardiovaskuler.
Nadi 70 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 100/60 mmHg, hipertensiringan bisa dijumpai.
c.

Sistem persarafan.

Dalam batas normal.


d. Sistem perkemihan.
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.
e.

Sistem pencernaan.

Diare, napsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri daerah perut, malnutrisi berat,
hernia umbilikalis, prolaps anii.
f.

Sistem muskuloskeletal.

Dalam batas normal.


g. Sistem integumen.

Edema periorbital, ascites.


h. Sistem endokrin
Dalam batas normal
i.

Sistem reproduksi

Dalam batas normal.


j.

Persepsi orang tua

Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.


3.2 Prioritas Diagnosa Keperawatan
3.1.2

Gangguan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)

3.1.3

Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L,

2004 : 550)
3.1.4

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)

3.1.5

Hipertensi b.d. kontriksi pembuluh darah (Doengoes, 2000: 177)

3.1.6

Anemia b.d produksi sel darah merah menurun (Carpenito,1999: 204)

3.1.7

Proteinuria b.d. protein tidak mengalami filtrasi (Doengoes, 2000: 177)

3.1.8

Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)

3.1.9

Resiko Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas. (Wong,Donna,2004:550)

3.1.10 Gangguan pola eliminasi:ur b.d. oliguri.


3.3 Intervensi Keperawatan
3.3.1

Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)

Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai program dan monitor efeknya


Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam pola pernafasan pasien kembali efektif
Kriteria Hasil : Frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal
Intervensi:
1) Auskultasi bidang paru
R: penurunan area ventilasi menujukkan adanya atelektasis dimana bunyi nafas adventisius
menunjukkan kelebihan volume cairan.
2) Berikan posisi semi fowlerkan
R: Memudah expansi dada atau ventilasi dan mobilisasi sekret.

3) Kolaborasi pemberian O2 sesuai indikasi


R: memaksimalkan ogsigen untuk penyerapan vaskuler, pencegahan atau pengurangan hipoksia
4) Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi
R: menghilangkan nyeri, meningkatkan pernafasan nyaman,upaya batuk maksimal
3.3.2

Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma (Wong, Donna

L, 2004 : 550)
Tujuan : tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake dan
output.
Kriteria Hasil : menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan,
tidak terjadi edema.
Intervensi:
1) Timbang berat badan/ hari
R: penimbangan berat badan harian adalah pengawasan status cairan terbaik. Peningkatan BB
lebih dari 0,5 kg/hari diduga ada retensi cairan
2) Ukur input dan output.
R: membantu memperkirakan kebutuhan penggantian cairan
3) Pantau TD dan CVP
R: takikardia dan hipertensi terjadi karena kegagalan ginjal untuk mengeluarkan urine
4) Awasi berat jenis urine
R: mengukur kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urine. Pada gagal intrarenal berat
jenis biasanya sama/kurang dari 1,010 menunjukan kehilangan kemampuan untuk memekatkan
urine.
5) Evaluasi derajat edema
R: edema terjadi terutama pada jaringan yang tergantung pada tubuh, contoh tangan, kaki, area
lumbosakral. BB dapat meningkat sampai 4,5 kg cairan sebelum edema pitting terdeteksi.
6) Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: kelebihan cairan dapat menimbulkan edema paru dan GJK dibuktikan dengan adanya bunyi
nafas tambahan,bunyi jantung ekstra.
7) Kolab dengan tim medis dalam pemberian obat diuretic, contoh furosemid(lasix), manitol
(osmitrol)
3.3.3

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999:

204)
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil : tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat,
mempertahankan berat badan
Intervensi:

1) Kaji pemasukan diet


R: membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.
2) Berikan makan sedikit tapi sering
R: meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik/menurunnya peristaltic
3) Lakukan oral hygiene
R: perawatan mulut menyejukan, meminyaki, dan membantu menyegarkan rasa mulut, yang
sering tidak nyaman
4) Timbang BB/hari
R: pasien puasa/katabolic akan secara normal kehilangan 0,2-0,5 kg/hari.
5) Kolab dengan ahli gizi dalam pemberian diet
R: menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Sindroma Nefrotic (SN) adalah gambaran klinis dengan ciri khusus proteinuri masif
lebih dari 3,5 gram per 1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari (dalam praktek, cukup >
3,0-3,5 gr per 24 jam) disertai hipoalbuminemi kurang dari 3,0 gram per ml. Pada SN
didapatkan pula lipiduria, kenaikan serum lipid lipoprotein, globulin, kolesterol total dan
trigliserida,

serta

adanya

sembab

sebagai

akibat

dari

proteinuri

masif

dan

hipoproteinemi. Beberapa ahli penyakit ginjal menambahkan kriteria lain :


1.Lipiduria yang terlihat sebagai oval fat bodies atau maltase cross bodies.
2.Kenaikan serum lipid, lipoprotein, globulin, kolesterol total dan trigliserida
3.Sembab.
4.2 Masalah keperawatan
1.

Gangguan pola nafas

2.

Kelebihan volume cairan

3.

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

4.

Hipertensi

5.

PK :Anemia

6.

Proteinuria

7.

Intoleransi aktivitas

8.

Resiko Gangguan integritas kulit

9.

Gangguan pola eliminasi:ur

4.3 Saran
1. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa keperawatan
2. Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan.
3.

Semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum

terbuka.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih bahasa:
Monica Ester. Jakarta : EGC.

Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih bahasa:
Monica Ester. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan: Guidelines for
Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made Kariasa. Jakarta:
EGC.
Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester. Jakarta:
EGC.
Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price A & Wilson L. 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process (Patofisiologi
konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa: Dr. Peter Anugrah. Jakarta: EGC.

You might also like